Sabtu, 23 Oktober 2010
Tren Mobilitas AKWI Ke luar Negeri
Secara umum terdapat tiga kelompok besar mobilitas angkatan kerja wanita Indonesia ke luar negeri. Pertama, gelombang angkatan kerja yang memburu ringgit; kedua, kelompok pemburu real; dan ketiga, kelompok pemburu dolar, dan belakangan muncul tren baru mobilitas angkatan kerja wanita Indonesia ke Korea Selatan.
Kelompok terbesar pertama terdapat di Malaysia dan Brunai. Menurut perkiraan Departemen Tenaga Kerja, jumlah tenaga kerja yang bekerja di Malaysia hingga tahun 1990 sebesar 250.000 pekerja, dan hanya sebagian kecil dari mereka melalui lembaga resmi. Sementara Hugo, memperkirakan lebih dari 600.000 pekerja Indonesia saat ini berada di Malaysia. Sebagian besar dating secara illegal dengan jenis pekerjaan bervariasi, yaitu dari pertanian, perkebunan, buruh pabrik, buruh bangunan sampai pembantu rumah tangga.
Kelompok terbesar kedua adalah pekerja yang diekspor di negara-negara Timur Tengah. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pemabantu rumah tangga. Ironisnya, sebagian besar dari angkatan kerja ini berasal dari pondok pesantren yang fasih menggunakan bahasa Arab. Menurut Renard, hingga tahun 1984 paling sedikit terdapat 15.564 TKWI berada di Saudi Arabia. Dan labih dari 10.000 di negara-negara Timur Tengah lainnya. Kecuali datang secara legal atau melalui biro penyalur tenaga kerja, banyak di antara mereka yang juga menggunakan kesempatan umroh untuk mencari perkejaan. Cacatan-catatan tidak resmi yang dari sumber yang diperoleh, terutama dari lembaga penyalur tenaga kerja swasta dan calon tenaga kerja (terutama di Jawa dan Nusa Tenggara), terdapat lebih dari 50.000 tenaga kerja Indonesia (hampir separuhnya wanita) yang bekerja di negara-negara Timur Tengah hingga tahun 1995.
Kelompok besar lainnya adalah mereka yang bekerja di Hongkong, Singapura, Belanda,Amerika Serikat, Yunani maupun Jepang, baik sebagai pembantu rumah tangga, tenaga kerja profesional di biro travel maupun sebagai “artis”
Maraknya tren mobilitas angkatan kerja wanita Indonesia ke luar negeri, terutama dari daerah-daerah yang secara ekonomi masih terbelakang, berkaitan dengan rendahnya income di daerah asal sementara beban keluarga makin tinggi. Pilihan mobilitas keluar merupakan suatu survival strtegy yang harus dilakukan. Sementara itu, lapangan kerja tidak tersedia dengan cukup di daerah asal. Hal ini juga didorong oleh berkembangnya perubahan nilai ekonomi kerja wanita yang mendorong dinamisme wanita dalam bersaing di pasar kerja yang lebih kuas. Dalam hal ini, kontrol bdaya yang makin longgar (akibatnya modernisasi), memberikan peluang bagi wanita untuk lebih aktif di berbagai sektor produksi.
Kenyataan ini secara umum mengimplikasikan bahwa makin rendah income perkapita suatu kelompok, sosial, dan makin terbukanya kesempatan kerja di luar negeri, maka mobilitas wanita lebih progresif. Di sisi lain, semakin tinggi pula risiko yang dihadapi wanita. Risiko yang dimaksud adalah pelecehan, diskriminasi, dan eksploitasi yang justru menempatkan wanita pada posisi-posisi yang kurang menguntungkan dalam konstelasi perubahan sistem sosial, budaya, politik maupun ekonomi.
Tingginya mobilits angkatan kerja wanita ke luar negeri menunjukkan bahwa wanita memiliki mobilitas yang jauh lebih agresif daripada laki-laki. Kecuali itu, kasus tersebut juga secara spesifik merupakan bukti terkikisnya hegemoni sistem kekuasaan yang sangat patrial chal oriented.
0 komentar:
Posting Komentar