Search

Jumat, 11 Desember 2009

Diposting oleh santri kuliah

Episode 1
Kubah


Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak-geriknya serba kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas-kertas itu dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.

Sampai di dekat pintu keluar, Karman kembali gagap dan tertegun. Menoleh ke kiri dan kanan seakan ia merasa sedang ditonton oleh seribu pasang mata. Akhirnya, dengan kaki gemetar ia melangkah menuruni tangga gedung Markas Komando Distrik Militer itu.

Terik matahari langsung menyiram tubuhnya begitu Karman mencapai tempat terbuka di halaman gedung. Panas. Rumput dan tanaman hias yang tak terawat tampak kusam dan layu. Banyak daun dan rantingnya yang kering dan mati. Debu mengepul mengikuti langkah-langkah letaki yang baru datang dari Pulau B itu.

Dari jauh Karman melihat lapisan aspal jalan raya memantulkan fatamorgana. Atap seng gedung olahraga di seberang jalan itu berbinar karena terpanggang panas matahari.

Karena kegamangan belum sepenuhnya hilang, Karman berhenti di dekat tonggak pintu halaman. Tubuhnya terpayungi oleh bayang pohon waru yang daun-daunnya putih karena debu. Karman makin terpana. Dua belas tahun yang lalu suasana tak seramai itu. Mobil-mobil, sepeda motor, dan kendaraan lain saling berlari serabutan. Anak-anak sekolah membentuk kelompok-kelompok di atas sepeda masing-masing. Mereka bergurau sambil mengayuh sepeda. Dan semua bersepatu serta berpakaian baik, sangat berbeda dengan keadaan ketika Karman belum terbuang selama dua belas tahun di Pulau B.

Karman masih terpaku di tempatnya. Kedua matanya disipitkan. Dilihatnya banyak gedung baru bermunculan. Gedung-gedung lama dipugar atau diganti sama sekali. Oh, kota kabupaten ini benar-benar sudah berubah, pikirnya. Dan anehnya perubahan yang tampak merata di depan mata itu membuat Karman merasa makin terasing. Sangat jelas terasakan ada garis pemisah yang tajam antara dirinya dengan alam sekitar. Ia merasa tidak menjadi bagian dari bumi dan lingkungan yang sedang dipijaknya. Karman merasa dirinya begitu kecil; bukan apa-apa. Semut pun bukan. “Ya, tentu saja. Aku kan hanya seorang bekas Tapol, tahanan politik!" begitu Karman berkali-kali meyakinkan dirinya.

Lelaki itu masih belum mampu beringsut dari bawah bayangan pohon waru. Ia tidak sadar, Komandan Kodim memperhatikarmya dari dalam gedung. Pak Komandan menduga ada sesuatu yang menyebabkan lelaki itu tidak bisa segera meneruskan perjalanan ke kampungnya. Padahal surat-surat resmi sebagai bekalnya kembali ke tengah masyarakat sudah cukup. Sudah lengkap. Pak Komandan tahu pasti. Maka perwira itu menggapai ajudannya.

“Temui orang yang baru tiba dari Pulau B itu. Dia masih berdiri di pintu halaman. Suruh dia cepat meneruskan perjalanan. Atau berilah dia dua ratus rupiah, barangkali ia kehabisan bekal.”

“Siap!”

Ajudan keluar, langsung melangkah ke arah Karman yang masih berdiri, bingung karena tak yakin apa yang sebaiknya dia lakukan. Kesadaran Karman benar-benar sedang berada di luar dirinya. Maka ia tak mendengar suara langkah sepatu tentara yang sedang mendekat. Ketika ajudan yang berpangkat sersan itu menepuk pundaknya, Karman terkejut. Darah langsung lenyap dari wajahnya. Sikap santun Pak Sersan tak mampu menepis rasa takut yang mendadak mencengkeram hati Karman.

“Atas perintah Komandan, saya menemui Anda. Surat-surat pembebasan Anda sudah lengkap. Kata Komandan, sebaiknya Anda segera meneruskan perjalanan. Apabila uang jalan sudah habis, Komandan memberikan ini untuk Anda.”

Karman sedikit pun tidak memperhatikan lembaran uang yang ditawarkan oleh sersan itu. Ia masih tercengang. “Oh, untunglah Komandan bukan memanggilku untuk diperiksa kembali,” pikir Karman. Bibirnya gemetar. Setelah detak jantungnya mereda, Karman berkata tergagap.

“Oh. Terima kasih. Anu. Baik. Baiklah. Saya akan meneruskan perjalanan. Terima kasih. Uang jalan saya masih ada.”

Dengan cara menekuk punggung dalam-dalam, Karman memberi hormat kepada Pak Sersan. Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan beberapa langkah sampai ke gili-gili. Dan berhenti. Termangu. Lalu-lintas di hadapannya terlalu sibuk dan asing baginya. Namun ia harus menyeberang.

Dari depan gedung Kodim, Karman berjalan ke barat mengikuti iring-iringan orang banyak. Karman, meski ukuran tubuhnya tidak kecil, saat itu merasa menjadi rayap yang berjalan di antara barisan lembu. Ia selalu merasa dirinya tak berarti, bahkan tiada. Demikian, pada hari pertama dinyatakan menjadi orang bebas, Karman malah merasa dirinya tak berarti apa-apa, hina-dina. Waktu berjalan ke barat sepanjang gili-gili itu Karman sebenarnya amat tersiksa. Tatapan mata sekilas orang-orang yang kebetulan berpapasan terasa sangat menyiksa. Oh, andaikan ada secuil tempat untuk bersembunyi, mungkin Karman akan menyelinap ke sana. Karman akan menyembunyikan diri karena pembebasan dirinya belum mampu mengembalikan dia dari keterasingan.

Dan tak lama kemudian lelaki berusia 42 tahun itu mendapatkan apa yang diinginkannya, sebuah tempat yang enak untuk duduk, di bawah pohon beringin alun-alun Kabupaten.

Sudah beberapa saat lamanya matahari memasuki langit belahan barat. Di sebuah sudut jalan, seorang penjaja rokok terkantuk-kantuk, punggungnya tersandar pada dinding gardu listrik. Dua orang tukang becak bahkan sedang meringkuk lelap di atas jok kendaraan masing-masing. Dan yang sedang duduk menghitung uang recehan adalah seorang lelaki penjual makanan kecil. Bunyi kericik uang aluminium mungkin terdengar bagai suara gambang di mata lelaki itu. Merdu dan penuh arti.

Dari dalam kerimbunan beringin terdengar kicau burung-burung. Ria dan gembira. Unggas-unggas kecil itu meluruhkan buah beringin. Di atas tanah, ratusan butir buah beringin jatuh dan pecah berserakan.



Episode 2
Kubah


Karman duduk di atas sebuah tonjolan akar. Di sampingnya ada gulungan kertas yang berisi kain sarung, dan masing-masing selembar baju dan celana tua. Itulah semua hartanya yang ia bawa kembali dari Pulau B. Angin bergerak ke utara menggoyangkan daun-daun tanaman hias di halaman Kabupaten. Seorang perempuan muda berjalan dan melintas di hadapan Karman. Alisnya, matanya, sangat mengesankan. Oh, tungkainya enak dipandang. Dan bibirnya. Bibir seperti itu gampang mengundang gairah lelaki. “Mungkin dia seorang guru sekolah,” pikir Karman yang merasa jantungnya berdebar lebih keras. “Bila guru secantik itu, setiap murid lelaki akan betah tinggal di kelas.” Oh, Karman tersenyum. Dan kaget sendiri ketika menyadari kelelakiannya ternyata masih tersisa pada dirinya.

Keramaian kota sedang surut. Beringin besar di pojok alun-alun itu seakan memayungi wilayah kecil yang sepi dan sejuk. Maka siapa pun yang berada di sana bisa duduk terkantuk atau bahkan lelap dalam mimpin. Tetapi Karman tidak. Karman sama sekali tidak terpengaruh oleh kesejukan di pojok alun-alun itu dan pikirannya sudah lebih dulu melayang sampai ke kampungnya, tiga puluh kilometer dari tempat di mana kini ia duduk. Boleh jadi Pegaten, kampung halamannya, juga sudah banyak berubah. Boleh jadi semuanya menjadi bertambah baik di sana. Tetapi Karman tidak tertarik untuk memikirkannya.

Yang sedang menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta, seorang teman sekampung. Tujuh tahun yang lalu, ketika Karman masih menjadi penghuni pulau buangan, Parta menceraikan istrinya dan kemudian mengawini Marni. Meskipun sudah punya tiga anak, Marni memang lebih cantik daripada istri Parta yang diceraikan. Hal ini tidak akan dibantah oleh siapa pun di Pegaten, tidak juga oleh Karman. Juga, semua orang percaya bahwa kecantikan Marni adalah sebab utama mengapa Parta sampai hati melepas istri pertamanya.


Mula-mula Marni menolak kawin lagi meski sudah lima tahun ditinggal suami. Betapapun, tekad Marni saat itu, ia akan menunggu suaminya kembali. “Siapa tahu, suamiku masih hidup. Dan perasaanku mengatakan, entah kapan dia akan kembali.”

Marni tidak menghiraukan bujukan sanak-saudara yang menghendaki dia menikah lagi. Akibatnya, mereka mulai mengambil jarak. Bantuan berupa kebutuhan hidup sehari-hari mulai jarang diterima oleh perempuan muda beranak tiga itu. Namun dengan tabah Marni menghadapi semua kesulitan hidupnya. Dicobanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri bersama ketiga anaknya yang masih kecil. Marni pernah bersekolah di Sekolah Kepandaian Putri, SKP, meskipun tak tamat. Maka ia bisa menjahit pakaian. Tetapi Marni memang kurang beruntung. Upayanya untuk hidup mandiri, gagal. Marni anak-beranak makin menderita.

Tahun 1971 Marni memaksakan diri mengubah pendiriannya. Ia mau mengikuti saran sanak famili. Maka sehelai surat ditulis untuk suaminya. Dengan surat itu Marni meminta pengertian dan keikhlasan suami. Marni sudah mengambil keputusan hendak kawin lagi.

Orang-orang yang tahu keadaan Marni anak-beranak dapat dengan mudah memahami keputusan perempuan muda itu. Marni baru berusia tiga puluh tahun, segar dan cantik. Karena lama ditinggalkan suami, banyak lelaki, yang beristri atau tidak, ingin memiliki dia. Jadi semuanya wajar saja. Karman sendiri dapat menerima hal yang masuk akal itu. “Tetapi masalahnya, Marni adalah istri saya!” keluh Karman. Keluhan itu bahkan tak juga pupus meskipun sudah enam tahun mengendap dalam hatinya.

Waktu menerima surat Marni itu di Pulau B, mula-mula Karman merasa sangat gembira. Surat dari istri yang terpisah ribuan kilometer adalah sesuatu yang tak ternilai harganya bagi seorang suami yang sedang jauh terbuang. Sebelum membaca surat itu, sudah terbayang oleh Karman lekuk sudut bibir Marni yang bagus; suaranya yang lembut, atau segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni adalah perempuan yang bisa jadi penyejuk hati suami. Tetapi selesai membaca surat itu Karman mendadak merasa sulit bernapas. Padang datar yang kerontang dan penuh kerikil seakan mendadak tergetar di hadapannya. Padang yang sangat mengerikan, asing, dan Karman merasa tegak seorang diri. Keseimbangan batin Karman terguncang keras. Semangat hidupnya nyaris runtuh.

Selama beberapa hari sesudah itu Karman hanya bisa diam, merenung dan merenung. Dan untuk mengurangi beban yang sangat menekan jiwanya Karman mencoba membagi duka bersama teman-teman sebarak. Dia datangi mereka dan dia ceritakan isi surat yang diterimanya dari Marni. Oh, ternyata Karman tidak mendapat apa-apa dari para teman kecuali tanggapan tak berharga dan kadang menyakitkan.

“Sekarang nasib kita sama,” kata Birin. “Aku dan kamu sama-sama punya tiga anak. Bedanya, istriku hanya tahan empat bulan hidup dalam kesepian. Jadi, Man, kamu masih lebih beruntung; istrimu lumayan setia karena tahan tidur sendiri selama lima tahun.”

“Yah, kita memang senasib,” kata Asep. “Meskipun istri tidak minta cerai, namun saya kira sama saja. Sewaktu saya masih tinggal serumah, istriku biasa membuka pintu untuk lelaki lain. Apalagi sekarang. Maka Birin benar, kamu masih lebih beruntung, Man.”

“Tetapi aku mengerti mengapa Karman kini begitu sedih,” sambung Birin. “Bung Asep pernah melibat foto istri Karman?”

“Pernah! Memang dapat kupahami mengapa para lelaki di kampungnya tidak tahan melihat istri Karman tidur sendiri setiap malam. Dia terlalu menarik. Oh, Karman. Sekarang kamu harus percaya bahwa ada kalanya lebih beruntung punya istri sumbing!”

Birin dan Asep terbahak. Namun hanya sebentar, kerena Sitepu mendekat. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh. Ucapannya pelan tapi tandas. “He, cecurut-cecurut! Kalian lupa, partai menuntut segalanya. Partai menuntut segala apa yang ada pada kita! Lalu apa artinya seorang istri yang tidak setia? Apa?”

Karman tersinggung. Bangkit menuju biliknya di ujung barak. Rasa tidak hormatnya atas norma partai bertambah satu lagi. “Ya, karena partailah saya kini di sini, terbuang jauh. Dan istriku mau kawin lagi,” Karman mengeluh seorang diri; keluhan yang menyertakan rasa amat sakit di dasar hati.

Pada hari kedelapan Karman bermaksud membalas surat Marni. Entah dari mana datangnya, yang jelas ada pikiran bening di otaknya. “Betapapun terasa pahit, Marni sepantasnya kulepaskan. Keadaan dirikulah yang memastikannya. Kapan dan bagaimana akhir penahanan dan pengasingan ini tidak dapat diramalkan, apalagi dipastikan. Padahal Marni masih muda. Tidaklah adil memaksa Marni ikut menderita dan kehilangan masa depannya. Apalagi anak-anaknya, anak-anakku, perlu santunan. Nah, baiklah. Marni kulepaskan walaupun hati dan jiwaku tak pernah menceraikannya. Takkan pernah!”



Kubah


Keputusan Karman yang penuh nalar dan jujur itu ternyata terlalu berat bagi dirinya sendiri. Ia patah semangat. Kekosongan terasa mengepungnya. Sepi, sangat terasing, dan hampa tanpa makna. Kini satu-satunya taruhan yang menyebabkan dia masih ingin hidup, yakni harapan bisa hidup kembali bersama istri dan anak-anaknya, telah runtuh. Karman merasa dirinya benar-benar sudah selesai, tamat, dan hilang.

Sebenarnya Karman telah memahami benar keadaan dirinya. Ia hidup dalam martabat manusia kelas tiga, kelas yang terbuang karena dianggap penuh dosa sosial. Tetapi di hatinya masih tersisa harapan; kiranya Marni tidak ikut menganggapnya demikian. Karman masih ingin diperlakukan sebagai seorang suami, betapapun keadaannya saat itu. Namun kenyataan yang harus dihadapinya amat pahit. Bahkan Marni, satu-satunya manusia yang diharap bisa memberi secuil harapan, bertekad melepaskan diri menjadi orang lain. “Sungguh dunia, seluruhnya, telah membelakangiku.”

Setiap hari jiwa dan raga Karman bertambah rapuh. Akhirnya ia tergeletak tanpa daya dalam biliknya yang berdinding papan dan beratap ilalang. Lelaki muda itu telah kehilangan semangat hidup. Catu tak pernah dimakannya. Bahkan berbicara pun Karman tak suka.

Para petugas kesehatan datang merawatnya, dan Karman tetap sakit. Orang boleh mengatakan, Karman tidak kunjung sembuh karena obat dan cara merawatnya tidak baik. Bisa jadi kata-kata demikian ada benarnya. Yang jelas para petugas kesehatan itu tidak mengerti penyebab penyakit Karman yang sesungguhnya. Namun mereka tak dapat dipersalahkan. Mereka telah melaksanakan tugas. Perihal si sakit tetap tidak bangun adalah perkara lain.

Ada seorang perwira yang karena pembawaan pribadi serta tugasnya harus memperhatikan Karman. Dia adalah Kapten Somad, perwira yang bertugas membina kehidupan rohani para tahanan. Kapten Somad mencatat sudah dua kali Karman tidak hadir pada ceramah keagamaan yang diselenggarakannya. Mengetahui keadaan Karman yang sakit, perwira itu bermaksud menjenguknya.

Di luar dugaan Kapten Somad, keadaan Karman sangat menyedihkan. Badannya kurus dan lemah. Pandangan matanya tak hisa diartikan lain kecuali keputusasaan yang mendalam. Alisnya turun dan masuk ke dalam cekungan tulang. Kumis dan cambang hanya menambah kesan berantakan pada wajah Karman yang sudah amat pucat.

Melihat kedatangan Kapten Somad, Karman berusaha bangkit. Tetapi kepalanya jatuh kembali ke atas gumpalan kain bekas yang mengganjalnya.

Setelah mengucapkan salam, Kapten Somad bergerak sampai dekat sekali pada kepala Karman.

“Aku datang karena aku ingin melihat keadaanmu. Hari ini kamu merasa lebih baik, bukan?”

Si sakit tak segera menjawab. Hanya bola matanya sedikit tergulir ke kiri dan ke kanan. Kemudian dari tenggorokannya terdengar suara parau.

“Terima kasih atas kunjungan Kapten. Rasanya, keadaanku masih tetap begini.”

“Badanmu tampak lemah sekali; bukankah ransummu selalu kaumakan?”

“Ya, Kapten,” jawab Karman bohong.

Dan aku tidak ingin didakwa sedang melancarkan mogok makan, sambung Karman dalam hati.

“Obat-obatan?”

Karman diam. Wajahnya yang beku dibadapkannya ke dinding papan. Dari caranya menarik napas, Kapten Somad tahu bahwa Karman sedang diburu oleh perasaan yang menekan. Tiba-tiba terdengar ucapan Karman. Lirih saja, dan bibir itu hampir-hampir tidak bergerak.

“Kadang-kadang saya minum obat, Kapten.”

“Kadang-kadang? Hanya kadang-kadang? Apakah kamu hanya diberi obat sedikit?”

“Tidak. Obat itu banyak.”

“Dan hanya kadang-kadang kauminum?”

“Ya, Kapten...”

“Mengapa?”

Sebagai jawaban, Karman menggerakkan lensa matanya ke arah Kapten Somad. Tatapan yang sayu itu mampu mencapai dasar hati sang kapten. Tiga kali Kapten Somad mengulangi pertanyaannya, sebanyak itu pula ia mendapat jawahan dengan cara yang sama. Bahkan akhirnya perwira itu melihat ada air mata menggenang.

“Kapten bersungguh-sungguh dengan pertanyaan itu?”

“Pasti. Mengapa tidak?”

“Jawabannya tidak akan masuk nalar Kapten. Bagaimana?”

“Oh, baik, katakanlah. Aku akan senang mendengarnya. Siapa tahu aku dapat membantu meringankan perasaanmu.”

“Nah, Kapten. Saya memang segan minum obat karena saya tidak ingin sembuh. Saya merasa tidak perlu sembuh. Lebih baik saya tidak sembuh.”

Kapten Somad mengerutkan kening.

“Kenapa?” tanyanya dengan sungguh-sungguh.

“Kalau Kapten sungguh-sungguh ingin tahu, bacalah surat ini.”

Karman menggeliat. Dari bawah gumpalan kain bekas itu dikeluarkannya sehelai kartu pos. Ya, kartupos. Para tahanan di Pulau B itu hanya boleh menerima surat tanpa sampul.

Sebelum membaca Kapten Somad membetulkan letak kacamatanya. Sejenak perwira itu tampak tercenung. Alisnya mendatar, dan perlahan-lahan lelaki itu memutar tubuh kemudian bergerak ke arah pintu dan berhenti, termangu. Kedua tangannya bersilang di punggung.


Ketika berdiri di pintu menghadap ke luar itu, Kapten Somad teringat akan keluarganya yang ditinggal jauh di seberang lautan, di Magelang. Ia sama sekali tidak mengkhawatirkan kesetiaan istrinya. Ia hanya meyakinkan bahwa lepas dari kenyataan dirinya seorang perwira yang harus taat sepenuhnya kepada tugas, sebaiknya seorang suami selalu dekat dengan istri dan keluarganya. Dengan demikian tidak perlu ada tragedi di mana seorang istri minta izin suami untuk menikah lagi. Ah, Kapten Somad jadi teringat anak-istri sendiri. Kerinduan mengusik hatinya. Tetapi apa mau di kata, tugasnya di Pulau B baru akan berakhir 5 bulan mendatang.



Episode 4
Kubah


Beberapa saat kemudian Kapten Somad itu berbalik menuju dipan tempat Karman terbaring. Bagaimanapun, wajahnya tetap jernih dan tersenyum. Perwira yang baik tahu mengambil sikap yang benar dalam segala keadaan. Dengan gaya seorang ayah, Kapten Somad meraba dahi Karman sambil berkata, “Ya, ya, Karman, aku mengerti. Aku dapat merasakan penderitaanmu. Andaikata aku sendiri yang menghadapi masalah seperti itu, hatiku akan benar-benar hancur. Sekarang marilah! Aku akan menemanimu mencari sikap yang terbaik dalam menghadapi masalah yang tidak ringan ini. Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi jawaban yang benar. Tidak pernah! Dan yang pasti pula, bagaimanapun ketiga anakmu ingin melihat ayahnya pada suatu saat. Oh ya, kau tahu tempat ini bukan kamp konsentrasi. Aku percaya Pemerintah tidak bermaksud mengubur para tahanan di pulau ini. Camkanlah, ini permintaan pribadiku kepadamu. Bila kau dapat menyingkirkan angan-angan untuk berputus asa, kau akan sampai pada jalan yang terbaik. Nah, sekarang minumlah obat-obat itu. Mari kubantu.”

Selesai minum obat, Karman terbaring kembali. Tetapi matanya terus mengikuti segala gerak Kapten Somad. Laki-laki yang sakit itu merasa terkesan oleh sikap Pak Kapten, sehingga ia tak mampu menjawab ketika tamunya minta diri. “Aku permisi dulu, Karman, lain kali aku akan datang khusus bagimu. Jangan lupa, minumlah obat-obat itu.”

Lama sekali Karman merenungkan kunjungan Kapten Somad siang itu. Mula-mula ia merasa bimbang terhadap dirinya sendiri; haruskah anjuran Kapten Somad dituruti? Atau, biarlah aku ikuti keputusasaan sampai diriku hancur dan dengan demikian kepedihan ini cepat berakhir?

Karman kembali menarik napas panjang. Tetapi kemudian ada titik-titik bening muncul pada akal budinya yang semula hampir mati. “Seorang kapten dengan ikhlas menunjukkan pengertian dan simpatinya padaku. Kebenaran yang disampaikan padaku sukar kubantah. Ah, setidaknya telah ada satu orang yang mau memahami diriku, pikir Karman. Tetapi betulkah penderitaanku telah terbagi? Bisakah aku memastikan aku telah mempunyai seorang teman di dunia ini?

Kapten Somad berjanji akan membantuku mencari jalan yang terbaik. Dan mestinya aku sendiri sudah mengerti. Menginginkan Marni tetap menjadi istriku adalah sangat sulit, hampir mustahil. Jadi keputusan yang terbaik adalah melepaskannya. Ya. Malah hal itu pun sudah kulaksanakan. Tetapi ternyata bagiku persoalan belum selesai. Kini aku tak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mererima kenyataan aku telah ditinggalkan oleh Marni. Aku telah kehilangan satu-satunya milikku. Oh, andaikata aku hidup di alam yang wajar, pastilah persoalannya akan menjadi lebih sederhana. Seorang istri minta cerai, dan cerailah. Aku bisa dengan mudah mencari ganti. Tetapi kini aku sedang terpencil dalam buangan. Dan harus pula kehilangan istri. Oh, betapa mengerikan hidup yang harus kujalani. Mengerikan!”

Benar, secara teratur Kapten Somad menjenguk Karman. Tulus senyumnya, lapang dadanya selagi perwira itu menerima segala keluhan laki-laki yang hampir putus asa itu. Si sakit sendiri merasakan nikmatnya sesuatu yang sukar didapat di pulau buangan itu: kemanusiaan.

Namun sebagai akibat sikap santunnya terhadap Karman, Kapten Somad pernah ditegur oleh Mayor Darius.

“Maaf, Mayor, saya merasa wajib mengembalikan kesehatan tahanan itu. Dia mengalami tekanan jiwa yang berat. Tugas saya adalah mengembalikan kesehatan dia. Dan saya percaya pengobatan secara medis tidaklah cukup. Karena itu saya melakukan pendekatan moral dan sama sekali bukan pendekatan pribadi. Saya sekali-kali tidak melupakan setiap peraturan yang berlaku di pulau ini,” Kapten Somad meneranakan.

Dalam suatu kesempatan ketika putih mata Karman mulai bening dan bercahaya, Kapten Somad berkunjung lagi. Yang sakit sudah bisa duduk. Di mulutnya ada sebatang rokok buatan sendiri. Rupanya Karman memungut puntung yang dibuang oleh tamunya, dan menggulungnya kembali dengan daun pisang kering. Bila orang sakit sudah ingin merokok itulah pertanda baik. Perwira itu tersenyum.

“Hanya Tuhan yang berhak atas segala pujian. Kau tampak sedikit segar sekarang. Obat-obatmu belum habis?”

“Tinggal sedikit, Kapten. Sebenarnya saya sudah merasa sembuh. Sayang, saya masih sukar tidur.”

“Baiklah, akan kusampaikan masalahmu kepada petugas medis. Mudah-mudahan besok mereka mengantar obat yang kauperlukan.”

“Terima kasih, Kapten. Tetapi, maaf, saya masih bingung.”

“Bingung?”

“Ya, Kapten.”

“Mengapa?”

Karman tidak segera memberikan jawaban. Namun tak lama kemudian ia bicara.

“Apa yang bisa saya harapkan sesudah saya sembuh? Rasanya saya sudah kehilangan tujuan. Kehilangan segala-gala. Hidup saya terasa sangat enteng. Dan kosong.”

“Yah, kukira semuanya akan tampak wajar pada dirimu. Semua orang akan merasakan seperti itu sesudah mengalami kekecewaan yang luar biasa. Jadi yang sebenarnya kaudambakan adalah obat kekecewaan itu, bukan?”

“Saya kira begitu, Kapten.”

“Tanpa diobati kekosongan hati akan menghilangkan segala macam citarasa hidup. Dengan senang hati aku akan mengobatimu sebisa-bisaku. Namun aku khawatir syaratnya terlalu sulit kauterima. Bagaimana?”

Dengan segala daya Karman mencoba memahami kata-kata Kapten Somad. Syarat? Aku harus memenuhi syarat bila aku ingin mendapatkan obat bagi kekosongan dalam jiwaku? pikir Karman.

“Yah, dengarlah apa yang kumaksud dengan syarat itu. Untuk mendasari upaya penyembuhan jiwamu, kau harus memulai dari kepercayaan. Ya, kepercayaan.”

“Kepercayaan?” sela Karman.

“Ya, kepercayaan bahwa ada kekuatan besar yang berkuasa atas dirimu. Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada padamu. Pokoknya kau hanya memiliki kekuasaan yang kecil saja atas dirimu sendiri. Memang, kau dapat menerangkan dengan kekuatan akakmu misalnya, mengapa bisa sampai menghuni tempat ini. Tetapi pada batasnya, kau akan jatuh tak berdaya. Terbukti, beberapa hari yang lalu kau berniat menghancurkan dirimu sendiri karena kau tak bisa memahami sesuatu yang sedang terjadi pada dirimu. Itulah bukti yang nyata atas ketidakberdayaanmu.


Episode 5
Kubah


Nah, kau bekas seorang ateis; dapatkah kau menata sikap batinmu? Dapatkah kau mendudukkan kepercayaan di atas kekuatan akalmu? Itulah syarat yang kumaksud.”

Karman tertunduk; Tuhan. Yang dimaksud oleh Kapten Somad pastilah kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan. Ah, ya. Selama menjadi pengikut partai, Karman memang didorong untuk membuang jauh semua kepercayaan atas segala sesuatu yang tidak membenda. Ajaran partainya mengatakan, apa yang tidak membenda sama dengan omong kosong. Tuhan pun hanya ada bagi mereka yang menganggapnya ada. Dan ajaran partainya juga mengatakan kalaulah ada sesuatu yang boleh disebut tuhan, maka dia adalah partai itu sendiri. Dan revolusi!

Karman tetap tertunduk. Ada kejujuran yang lambat-laun mengembang dalam dirinya. Ia ingin mengaku dengan tulus, meskipun ia lama menjadi anggota partai komunis, bahwa kehadiran Tuhan tetap terasa pada dirinya. Karman tak pernah berhasil memaksa dirinya percaya bahwa Tuhan sama dengan omong kosong. Dan bahwa pada kenyataannya, walaupun ia lama bergabung dengan partai komunis, Karman sebenarnya ingin dipahami melalui jalur yang lain.

Kemudian Karman menatap Kapten Somad dengan mata sedih.

“Kapten, syarat yang diajukan dengan mudah bisa saya terima. Ya, meskipun saya malu mengatakannya namun sebenarnya masih ada kepercayaan terhadap Tuhan dalam hidup saya. Sungguh, Kapten. Tetapi kenyataan bahwa Kapten mengajukan syarat seperti itu, itulah yang membuat saya merasa sedih.”

Kapten Somad merasa tersodok. Namun perwira itu cepat bisa tersenyum.

“Kalau begitu, maafkanlah aku. Dan baiklah, mari kita mulai sekarang. Sebelum datang kematian, setiap orang akan mengalami satu di antara tiga cobaan; sulit mendapat rezeki, kesehatan yang buruk, dan hilangnya orang-orang terdekat. Yang kini sedang terjadi pada dirimu, saya kira, adalah gabungan ketiga cobaan hidup itu. Luar biasa memang. Namun apabila kamu percaya dan berserah diri kepada Tuhan, maka jalan keluar selalu tersedia. Jadi, hanya kepercayaan terhadap kebesaran dan kasih sayang Tuhan-lah yang bisa membuat kamu tenang, tak merasa sia-sia.

Apakah kata-kataku bisa sampai ke hatimu?”

“Sedikit, Kapten.”

“Ketika kau merasa berada dalam pikiran yang amat gelap, ketika kau merasa benar-benar tak berdaya, sesungguhnya ada tangan-tangan terjulur kepadamu. Tangan pertama mewakili pertolongan Tuhan, dan tangan lainnya mewakili kuasa buruk yang menghendaki kehancuran atas dirimu. Kau dapat mengatakan siapa yang mengajakmu berputus asa serta meyakinkan dirimu bahwa jalan itulah yang terbaik. Jangan ikuti ajakan dari kuasa buruk itu. Lebih baik kaudengarkan suara nuranimu sendiri karena dia dapat melihat jalan yang disukai Tuhan. Turutilah jalan itu, karena bersama Dia segala penderitaan jadi terasa ringan atau bahkan tak ada sama sekali.”

***

Angin yang menembus sela-sela kerimbunan beringin di pojok alun-alun itu menimbulkan suara mendesau. Sebutir buah beringin runtuh dan menimpa pundak Karman. Satu lagi jatuh di dekat kaki kirinya. Karman yang sedang larut dalam kenangan ketika terbuang di Pulau B, tersadar. Ia mendengar riuh suara burung yang makin ramai. Burung-burung berebut tempat yang paling baik untuk tidur sampai menjelang fajar esok pagi. Kota Kabupaten itu pun sedang bersiap memasuki suasana malam. Lampu-lampu jalan menyala serentak. Karman bangkit. Namun hanya termangu bingung. “Oh, rupanya aku terlalu lama duduk di tempat ini,” keluhnya.

Tanpa tujuan yang jelas, Karman kemudian melangkahkan kaki, berjalan ke arah selatan. Di pojok alun-alun sebelah sana ia kembali berhenti, gamang. Namun akhirnya ia bergerak lagi, membelok ke barat. Dan sekali lagi, kebimbangan mengepungnya ketika Karman sampai di pojok yang ketiga. Maka ia hanya mengikuti pembawaan kaki dan berbelok lalu melangkah ke utara. Karman melihat ada pedagang makanan. Tiba-tiba perutnya terasa sangat lapar.

Karman mengeluarkan uang kumal untuk membeli sebuah ketupat dan segera memakannya sambil jongkok. Setelah meminta segelas teh yang langsung diminumnya, Karman melangkah sepembawa kaki ke timur. Maka lengkap sudah; tanpa tujuan tertentu Karman telah sempurna mengelilingi alun-alun Kabupaten. Bahkan karena tetap tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, Karman menurutkan kedua kakinya mengelilingi alun-alun buat kali kedua. Dan kali ini Karman berpapasan dengan serombongan anak-anak besar-kecil. Mereka berkopiah dan berkain sarung, lucu menawan, dan berjalan hiruk-pikuk. Tanpa kesadaran penuh, Karman berbalik mengikuti rombongan anak-anak itu. Anak-anak terus berhamburan menuju serambi mesjid besar Kabupaten. Tetapi Karman mendadak berhenti, gagap. Termangu. Dua-tiga orang yang hendak sembahyang melewatinya tanpa peduli. Namun akhirnya seorang lelaki tua sambil berjalan menepuk pundak Karman. “Mari. Pak, sudah hampir ikamah!”

Dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, Karman ikut melangkah memasuki halaman mesjid.

Pukul tujuh malam Karman keluar. Ada setitik rasa lega dalam hatinya karena ia telah berhimpun dengan orang banyak ketika salat berjamaah. Memang, orang-orang itu tak satu pun mengenalnya dan mereka tak mengajaknya bicara. Mereka hanya menawarkan jabat tangan dan... senyum! “Oh, boleh jadi senyum itu mereka berikan justru karena mereka tidak tahu siapa aku,” renung Karman. “Tetapi cukuplah; senyum adalah tanda keramahan yang sangat berharga bagiku. Terima kasih, oh, terima kasih.” Dan tanpa terasa air mata Karman meleleh.

Setelah berhasil mengendapkan gejolak perasaannya, Karman sadar bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan pulang yang sangat panjang dari Pulau B. Pulang? tanya Karman berkali-kali kepada dirinya sendiri. Pulang ke mana? Aku memang lahir di sana, di Pegaten. Di sana aku dibesarkan dan di sana pula aku pernah punya r­umah, istri, dan anak. Namun masih adakah semua itu? Dan, apakah kampungku, terutama orang-orangnya, mau menermna aku kembali? Sebuah letupan ketakutan tiba-tiba menggoyahkan hatinya.



Episode 6
Kubah


Tetapi entahlah; Karman keluar juga meninggalkan halaman mesjid dan berjalan hampir dua kilometer menuju terminal bis. Di sana Karman menemukan kenyataan. Sepi; tak ada lagi kendaraan yang melayani penumpang, kecuali mobil borongan. Ah, tak mungkin, uang Karman di saku hanya tinggal seratus lima puluh rupiah.

Karman berdiri dan kembali termangu, merasa terasing seperti benda langit yang baru sedetik jatuh ke bumi. Diperlukan waktu beberapa menit sebelum Karman menemukan sesuatu yang bisa segera dilakukan; pergi ke Jalan Pandanan. Saudara sepupunya dulu tinggal di sana. “Dari bila aku beruntung, Gono, sepupuku itu, belum pindah.”

Pikiran Karman sudah bulat, daripada berdiri bingung di halaman mesjid ia merasa lebih baik pergi ke rumah Gono. Maka Karman berjalan ke sana. Jalan Pandanan yang dulu hanya dikeraskan dengan batu kali, sekarang sudah dilapisi aspal. Rumah-rumah yang berderet sepanjang jalan kecil itu tampak lebih baik, lebih teratur, jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1965 ketika terakhir kali Karman berkunjung ke rumah Gono. Pagar-pagar halaman diterangi lampu neon. Banyak rumah yang berganti dengan pagar tembok. Dan yang lebih menarik perhatian Karman adalah banyaknya remaja di sepanjang jalan itu. Mereka duduk bergerombol di bawah cahaya lampu neon, menyanyi dan merokok. Pemandangan serupa tak pernah ditemukan di kota Kabupaten itu dua belas tahun yang lalu.

Rumah Gono terletak di tepi sebuah kanal kecil. Itu petunjuk yang jelas meski misalnya sudah terjadi banyak perubahan di sana. Maka Karman merasa pasti telah sampai ke tujuan ketika ia melihat kanal kecil itu. Tetapi rumah yang dulu ditempati keluarga Gono itu sudah berubah menjadi sebuah gedung yang bagus. Halamannya, meskipun tetap terbuka dan tak terlalu luas, namun ditata rapi dengan berbagai tanaman hias. Maka Karman ragu-ragu ketika hendak memasuki halaman rumah gedung itu; jangan-jangan pemiliknya bukan lagi Gono.

Dalam keraguan dan kegagapannya, Karman bahkan ingin berbalik. Ia mulai merasakan keangkuhan mengepungnya dari segenap penjuru. Karman kembali merasa sebagai benda asing di bumi, dan kakinya mulai bergetar. Lalu dengan gerakan gamang Karman benar-benar berbalik. Namun pada saat yang sama Karman terkejut karena mendengar suara gagang pintu diputar. Detak jantungnya menjadi cepat, tetapi Karman memberanikan din menoleh kembali ke arah rumah gedung itu.

Di sana, di beranda, berdiri seorang anak lelaki remaja. Ia mungkin keluar karena hendak berkumpul dengan teman-teman sebaya. Namun anak muda itu terhenti di beranda karena ia melihat seorang lelaki berdiri di pintu halaman. Dan entah mendapat kekuatan dari mana, Karman melangkah mendekat. Dari jarak kurang dari dua meter Karman menatap anak muda yang berdiri diam di depannya. Karman terkesan pada mata anak muda itu. Terasa ada perasaan aneh yang mengembang. Mata anak muda itu, dengan cara yang amat sulit dimengerti, memberikan sasmita bahwa Karman sedang berhadapan dengan darah daging sendiri.

Rudio? pikir Karman. Ia memang punya anak lelaki yang baru berusia tujuh tahun ketika ia harus berangkat ke tanah Pengasingan. Karman bergerak satu langkah ke depan. Anak muda itu menegakkan leher karena merasa didekati dan ditatap oleh orang yang belum dikenalnya.

Dan dalam waktu yang singkat itu akal budi anak remaja itu bekerja. Ia sudah mendengar bahwa pemerintah telah membebaskan seribu tahanan dari Pulau B. Dari ibunya, dia pernah memperoleh gambaran tentang ayahnya. Perawakannya gagah, kaya akan rambut, serta lubang hidung lebar. Dan, wajah laki-laki yang sedang tegak di depannya itu mirip gambar pada pasfoto tua yang dimilikinya. Kemudian atas nama nalurinya, anak remaja itu berkata ragu-ragu, “Ayah...?”

Sepi.

Karman menelan ludah, mendan kembali perasaannya yang tiba-tiba akan meledak. Air matanya meleleh.

“Ya, Nak. Aku Ayah!”

Hening lagi. Ayah dan anak yang jumpa setelah belasan tahun terpisah jauh itu tidak berpelukan. Rudio menunduk lemas. Ayahnya menjatuhkan kedua pundaknya dan mengosongkan paru-paru dengan desahan panjang. Namun suasana menjadi agak ribut ketika Bu Gono keluar. Perempuan itu terpana dalam gerakan yang janggal. Ditatapnya lelaki yang sedang berhadapan dengan Rudio. Setelah menyadari siapa yang sedang ditatapnya, Bu Gono berlari dan langsung memeluk Karman. Tangisnya meledak sehingga anak-anak berhamburan keluar karena ingin tahu apa yang terjadi.

“Ya Tuhan... Mas Karman? Kau masih hidup, Mas Karman?”

Karman yang merasa sulit berbicara, tidak segera menjawab.

“Ya, Dik. Syukurlah. Kita masih bisa bertemu lagi. Sekarang tenanglah. Mari kita duduk dulu.”

Tetapi Bu Gono belum bisa tenang dan belum mau duduk. Dipeluknya Karman erat-erat. Di sela-sela tangisnya, ia masih berkata-kata penuh emosi.

“Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini. Kau takkan menemukan apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu habis dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan, oalah Gusti, Marni istrimu telah kawin lagi dan beranak-pinak. Anakmu yang terkecil meninggal. Mas Karman, kau tak punya apa-apa lagi di Pegaten. Kau tak punya apa-apa lagi.”

“Astaghfirullah... Ya, ya. Sekarang tenanglah dulu. Mari duduk.”

Rudio menata kursi bagi ayahnya. Bu Gono masuk untuk mengambil minuman.

“Jadi kau tinggal bersama bibimu di sini?”

“Ya, Ayah.”

“Sekolahmu?”

“Di STM, kelas tiga. Empat bulan lagi ujian.”

“Syukurlah. Dan adik-adikmu?”

“Tini tinggal bersama Ibu. Dia hanya menamatkan SMP.”

“Dan Tono meninggal?”

“Benar, Ayah. Sudah satu tahun. Saya dilarang memberi kabar pada Ayah. Hanya akan menambah beban pikiran Ayah, begitu kata Ibu.”

Karman mengerutkan kening. Jakunnya turun naik.

“Oh, ya, tak mengapa. Seorang seperti Ayah ini sudah terlalu sering mengalami hal yang menyedihkan. Lupakan itu. Tetapi di mana pamanmu? Tampaknya sepi saja?”



Episode 7
Kubah


“Paman Gono sudah dua minggu berada di Bandung. Kata Bibi, sedang tugas belajar di sana. Akhir bulan baru akan kembali.”

“Berarti pamanmu akan mencapai jenjang karier yang baik. Syukurlah. Dan Rudio, dengar pertanyaanku yang satu ini...”

Karman tidak melanjutkan kata-katanya. Rudio mengangkat muka dan melihat wajah ayahnya menegang.

“Apa, Ayah?”

“Anu, Nak. Anu... bagaimana keadaan ibumu?”

Tiba-tiba Rudio menunduk. Mendadak, seperti ada batu mengganjal tenggorokannya. Ketika mengangkat muka, Rudio sadar bahwa ayahnya bersungguh-sungguh.

“Mestinya baik-baik saja. Saya jarang menemui Ibu.”

Sehabis berkata demikian, Rudio bangkit dan berjalan ke kamarnya. Ia tahu, menangis bukanlah kelakuan seorang lelaki. Jadi setidaknya ia harus merasa malu, sebab air matanya telanjur menetes.

Geger Oktober 1965 sudah dilupakan orang, juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut-paut dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi warga masyarakat yang taat. Tampaknya mereka ingin disebut sebagai orang yang sungguh-sungguh menyesal karena telah menyebabkan guncangan besar di tengah kehidupan masyarakat. Bila ada perintah kerja bakti, merekalah yang paling dulu muncul. Sikap mereka yang demikian itu cepat mendatangkan rasa bersahabat di antara sesama warga desa Pegaten.

Desa Pegaten yang kecil itu dibatasi oleh Kali Mundu di sebelah barat. Bila datang hujan, sungai itu berwarna kuning tanah. Tetapi pada hari-hari biasa air di Kali Mundu bening dan sejuk. Di musim kemarau Kali Mundu beruhah menjadi selokan besar penuh pasir dan batu. Orang-orang Pegaten yang memerlukan air, cukup menggali belik di tengah hamparan pasir. Ceruk yang dangkal itu akan mengeluarkan air minum yang jernih.

Di bawah sebatang pohon bungur ada sebuah belik besar. Airnya berwarna kebiruan akibat pengaruh akar bungur itu. Orang tidak menimba air minum di belik ini. Tetapi banyak orang yang senang mandi di tempat tersebut karena airnya menyegarkan. Boleh jadi karena bakteri tidak suka hidup di air yang mengandung getah bungur.

Hari masih agak siang ketika Tini mandi di belik itu. Entah mengapa gadis itu sekarang tidak suka mandi bergiliran. Ia ingin mengguyur tubuhnya sambil bernyanyi kecil, tanpa seorang pun berada di dekatnya. “Aku tak ingin orang melihat bagian tubuhku yang biasa tertutup, karena hal yang demikian mungkin tidak menyenangkan hati Kang Jabir,” pikir Tini. Entahlah, Tini merasa dirinya telah dipunyai oleh seseorang, si Jabir.

Tini hampir tujuh belas tahun, dan kurang menyadari bahwa ibunya mewariskan bentuk rahang yang menarik. Seandainya Tini ingin naik pentas membawakan tarian klasik, tukang rias tak perlu mengubah bentuk alisnya. Alis itu sudah bagus secara alami. Memang ada bekas cacar di samping cuping hidungnya. Hanya sebuah, dan tak ada yang menganggap noda kecil itu mengurangi kecantikannya.

Hanya orang yang teliti dapat menemukan kekurangan pada diri Tini. Bukan pada matanya yang teduh atau bentuk hidungnya yang bagus, tetapi pada penampilannya. Perangainya tenang, namun dalam ketenangannya itulah Tini sebenarnya menyimpan rasa rendah diri. Akibatnya gadis remaja itu cepat gugup dan mudah tersinggung.

Rasa rendah diri itu tumbuh ketika Tini mulai mengerti bahwa Parta bukan ayah kandungnya. Pada saat yang sama pula ia tahu di mana dan bagaimana ayahnya yang sejati. Bukanlah salah Tini bila ia merasa ada perbedaan dengan anak-anak lain. Orang-orang di sekelilingnya sering memberi gambaran yang buruk-buruk tentang para tahanan politik.

Bagaimana kuatnya rasa rendah diri pada Tini dapat dibaca dalam surat balasan pertamanya kepada Jabir. “Apakah engkau sungguh-sungguh tidak malu berkenalan dengan seorang gadis terlantar seperti aku ini? Ayahku seorang tahanan, sekarang entah tinggal di mana, di tempat yang sangat jauh dan menakutkan.”

Jabir memang tak urusan dengan kenyataan ayah Tini seorang penghuni pulau tahanan, jauh di Maluku Utara. Dan bila Jabir mau jujur, sikap itu timbul karena alasan yang mudah; Tini cantik. Jabir adalah cucu Haji Bakir yang kaya. Jabir yang urakan, entah mengapa merasa berhak mendapatkan Tini.

Maka ketika seorang prajurit berbaret merah datang melamar Tini, Jabir segera ke sana pula. Dari pintu belakang ia masuk menemui kecintaannya. Dengan urakan dia berkata, “Katakan kepada ibumu! Bila lamaran prajurit itu diterima, kau akan kubawa lari pada saat janur kuning sudah dipasang di rumah ini. Kau harus mengikutiku ke hutan di Sumatra atau ke mana saja. Di sana banyak monyet. Tentu mereka mau kusuruh mencari buah-buahan untukmu. Tetapi bila kau sendiri menyenangi tentara itu, aku menyerah. Akan kutunggu gadis secantik engkau lahir dari perutmu. Bagaimana juga kau harus mau jadi mertuaku!”

Sebelum ada orang datang ke belik itu, Tini sudah selesai mandi. Kain batik dipinjungkan. Kemudian ia mengambil air sembahyang. Kedua pundaknya tertutup handuk. Ketika menaiki jenjang-jenjang tanah bentuk pinggulnya tampak nyata. Tini bukan anak-anak lagi.

Sampai ke permukaan tanah yang mendatar Tini melihat bunga-bunga bungur berserakan di tanah. Ia berhenti. Dipunguttrya sebuah yang besar dan segar. Kembang berwarna ungu dengan benangsari kuning itu diselipkan di atas telinganya dan dilepas kembali.

Sepasang angsa berjalan beriringan memotong jalan setapak yang akan dilewati Tini. Kedua binatang itu menarik perhatiannya, maka ia berhenti. Bulunya bersih. Yang jantan tampak perkasa dan satria. Seolah-olah ia seorang pangeran yang sedang berjalan mengawal putri kekasihnya. “Tentulah pasangan itu selalu bahagia,” kata Tini dalam hati.

Angin kemarau datang dari tenggara menyapu punggung Bukit Kendeng. Dibawanya bau tanah yang habis dicangkul dan kena gerimis tadi malam. Silirnya membuat daun-daun nyiur berayun-ayun berirama. Mata Tini terpaut pada pohon yang meliuk-liuk itu. Lama-lama pandangannya membaur. Tampak olehnya Jabir sedang mengendarai truk milik kakeknya. Soal tampan memang menjadi ciri khas cucu Haji Bakir itu. Hidungnya mancung, Darah Pakistan masih mengalir dalam tubuhnya. Tiba-tiba Jabir menoleh dan tersenyum nakal pada Tini. Gadis itu tertunduk, tersipu, dan lamunannya buyar. Di depannya tidak ada apa-apa kecuali sepasang angsa yang sedang bercinta.

***


Episode 8
Kubah


Dalam perkawinannya dengan Parta, Marni memperoleh dua orang anak. Parta memiliki tanah sawah yang lumayan luasnya. Jadi soal kesulitan pangan tidak dirasakan oleh Marni dan keluarga barunya. Perempuan itu juga sadar Parta berusaha keras menjadi suami yang baik. Tampaknya Parta lebih mencintai Marni daripada istrinya yang lama. Pada dasarnya Parta bukan suami yang mengecewakan Marni, kecuali penyakit asma yang dideritanya serta sikapnya terhadap Rudio. Ia tak mau tahu akan biaya yang diperlukan anak tirinya itu. Maka Marni harus menjual semua harta yang ditinggalkan Karman untuk membiayai pendidikan Rudio, dari SMP sampai STM.

Orang-orang Pegaten melihat perangai Marni berubah setelah hidup bersama Parta. Kecerahannya lenyap, ia jadi pendiam. Tidak seperti dulu, kini Marni jarang bergaul dengan perempuan-perempuan lain. Hanya perempuan itu sendiri yang tahu mengapa. Yang jelas Marni merasa perkawinannya dihantui oleh kekhawatiran munculnya Karman pada suatu saat. Rasa khawatir itu kemudian berubah menjadi rasa takut dan bersalah. Setitik pengakuan dosa mulai melembaga di hati Marni. Bahkan nuraninya sering menuntut; mana kesetiaanmu sebagai istri sejati? Mengapa kautinggalkan Karman dalam segala kesengsaraannya?

Pada saat itu orang Pegaten sudah mulai berbicara tentang para tahanan yang dibebaskan. Seribu orang dilepas dari Pulau B, tujuh ratus dari Nusakambangan, dan masih banyak lagi. Hati Marni seperti terpanggang. Rasa bersalah menghunjam keras. Apalagi sudah sampai selentingan yang mewartakan Karman mungkin termasuk tahanan yang dibebaskan. Seorang penduduk Pegaten mengaku melihat Karman di rumah Gono, di kota. Dan Marni menangis. Sore itu pun Marni membersihkan beras sambil menangis. Tapi ia berusaha keras menahan dirinya, karena terdengar Tini datang dari belik. Anak gadisnya langsung masuk kamar. Nyanyian cinta mengalun ringan. Oh, akhirnya Marni mampu tersenyum. “Pada saat ini pasti Tini percaya bahwa Bukit Kendeng yang gundul itu indah,” kata Marni dalam hati. Senyumnya terurai kembali.

Keluar dari kamar, Tini sudah rapi. Bajunya berwarna kuning ringan. Rok bawahnya cokelat hampir hitam. Kini ia berani mewarnai bibirnya. Rambutnya yang pendek menggulung di atas pundak. Marni ingin memuji kecantikan anaknya, namun urung. Wajah Karman seakan menopengi muka Tini.

Dengan berlari seperti anak kecil, Tini menghampiri ibunya. Ia duduk berdempetan. Mula-mula Tini ikut menjumput-jumput gabah. Tetapi kemudian mengambil tampah itu dan meletakkannya ke samping. Tangan ibunya digenggamnya.

“Ibu sudah mendengar?”

“Apa?”

“Kak Jabir berkata...”

“Ah, kau selalu menyebut nama Jabir bila hendak berkata sesuatu padaku.”

Tini merengut. Pipinya merah. Ia hendak bangkit merajuk, tapi ibunya cepat menahan.

“Ibu suka begitu sih...”

“Aku hanya berolok-olok, Tini, kau mau mengatakan apa padaku?”

“Kak Jabir bilang sudah ada orang yang melihat Ayah di rumah Paman Gono. Jadi Ayah pasti pulang ya, Bu? Jadi aku punya ayah yang sebenarnya ya, Bu? Aku sangat ingin melihat Ayah. Ibu juga senang bila Ayah pulang?”

Tini menunggu jawaban ibunya. Tapi Marni bahkan tertunduk. Ada rasa getir dan sakit menyapu hati perempuan itu. Tangan Tini digenggamnya erat-erat. Kelenjar air mata Marni bekerja, meskipun ia berusaha menahannya. Kini Marni tak menyembunyikan tangisnya.


“Tini, kau sudah besar. Kita sama-sama mempunyai hati perempuan. Tentu kau dapat menduga apa yang sedang kurasakan sekarang. Aku takut kepada ayahmu. Di mata ayahmu pasti aku seorang perempuan tidak setia, tidak berharga. Aku...”

“Salah Ibu sendiri, mengapa Ibu kawin lagi. Coba kalau tidak, aku tak pernah disebut anak tiri. Nggak enak lho, Bu.”

“Ya, anakku. Tapi segalanya sudah terjadi.”

“Ibu menyesal?”

“Andaikata penyesalan itu ada gunanya.”

“Tetapi Ibu masih mencintai Ayah?”

Sekilas Marni memandang mata anaknya, tapi ia tak mampu menjawab pertanyaan itu. Jantungnya berdebar. Lalu sambil membuang muka ia balik bertanya.

“Kau mencintai Jabir. Iya, kan?”

Kedua ibu dan anak itu berpandangan. Mendadak Tini merasa dirinya jauh lebih dewasa. Pengertian tentang perasaan ibunya makin mendalam. “Kasihan ibuku,” pikir Tini. “Ia perempuan yang malang.”

“Dan, Bu, seandainya Ibu tahu keinginanku bersama Rudio... keinginan sejati dari anak-anak terhadap kedua orangtuanya.”

“Yah, aku mengerti. Di dunia ini tak ada anak yang menginginkan kedua orangtuanya hidup terpisah. Aku tahu. Tapi Tini, kehidupan ini ternyata sering begitu kejam. Kehidupan ini telah memisahkan aku dan ayahmu secara paksa. Dan untuk bersatu lagi, meskipun ayahmu sudah kembali, masalahnya sungguh tidak gampang. Boleh jadi tak mungkin.”

“Tapi, Bu, siapa tahu Tuhan menghendaki Ibu kumpul lagi sama Ayah?”

Marni mengusap matanya.

“Ah, Tini, Ibu takut berandai-andai seperti itu.”

Dari kamar Parta terdengar suara batuk beruntun. Penyakit napasnya sedang kambuh. Marni dan anaknya kembali duduk tegak. Khawatir suaminya akan keluar, Marni segera mengalihkan pembicaraan. Tini melayaninya dengan pintar.

“Kemarin Jabir bertamu sampai malam, tidak pantas, bukan?”

Tini mencubit lengan ibunya.

“Sayang, Tin, Jabir cucu Haji Bakir!”

“Jadi mengapa?”

“Oh, tidak mengapa. Di kampung ini keluarga itu terlalu kaya. Orang sering berbicara tentang keimbangan antarbesan. Apakah kau pernah berjumpa dengan keluarga Jabir?”

“Sering, Bu. Pada malam Mauludan yang lalu aku duduk berdampingan dengan...”

“Jabir?” potong Marni.


Episode 9
Kubah


“Bukan. Aku berdampingan dengan Bu Haji Bakir, nenek Jabir. Wah, malu...”

“Beliau mau bicara denganmu?”

“Mau. Malah lebih dari itu. Aku diajak singgah ke rumahnya. Beliau juga memuji bacaan Quranku. Dan Ibu tahu tentang kain kerudungku yang berwarna biru, bukan?”

“Ya, tahu. Pemuda yang sedang pacaran memang suka memberi hadiah kecil-kecilan.”

“Ah, Ibu salah terus. Kain kerudung itu bukan hadiah dari Kak Jabir.”

“Lalu?”

“Dari neneknya, buat aku.”

Marni tersenyum. Anehnya Tini agak tersinggung karena tidak yakin akan arti senyum ibunya.

“Kenapa Ibu tersenyum?”

Marni cepat sadar bahwa anaknya mudah merasa dilecehkan. Untung ibu yang bijak itu bisa mengalihkan perhatian Tini.

“Tidak mengapa, Tini. Aku hanya sedikit heran bila mengingat Jabir. Dia lebih suka menjadi sopir truk kakeknya daripada bersekolah. Padahal bila dia mau, biaya pasti tersedia sampai ke mana pun dia menuntut pelajaran.”

“Ibu kan tahu, Kak Jabir seperti aku; anak tiri.”

“Tetapi dia tinggal bersama kakeknya, kan? Lagi pula Haji Bakir tampaknya begitu sayang kepadanya. Oh, lupakan semua, Tini. Yang penting aku tahu pacarmu itu bukan sembarang sopir. Tentu saja.”

Tini tersenyum malu-malu. Jabir memang bukan sembarang sopir. Dia cucu orang kaya yang sengaja memilih bekerja sendiri. Terkadang Jabir berhari-hari mondar-mandir dengan truk milik kakeknya itu. Jabir menjual pasir, batu kali, atau tahi kuda. Yang terakhir itu untuk melayani permintaan para petani sayuran dan tembakau. Atau kadang Jabir menembak tupai di kebun kelapa kakeknya yang sangat luas. Kulit binatang itu dikelupasi dan dijemur. Setelah kering kulit itu akan menutupi sebagian besar kamar tidurnya. Jumlah korban buruannya memang bisa mencapai puluhan ekor.

Jabir juga pernah meminta kakeknya tidak menjual belasan ribu buah kelapa yang telah memenuhi tempat penimbunan. Anak urakan itu memimpikan sebuah kilang pengolahan minyak goreng. “Aku bisa memperoleh kredit bank untuk membiayai pembangunan kilang itu,” pikir Jabir. Dan orang boleh tidak pereaya bahwa yang kemudian datang berbicara dengan Jabir adalah para tengkulak kelapa, bukan pegawai bank. Timbunan kelapa milik kakek dijual habis. Dua hari kemudian motor Jabir berganti dengan yang baru. Dan Haji Bakir hanya tersenyum melihat ulah cucunya. Itu Jabir, si urakan yang punya daya pikat terlalu kuat bagi semua gadis di Pegaten. Tak pelak lagi Tini.

Malam yang sangat menggelisahIcan Tini; besok ia akan pergi ke kota, ke rumah Paman Gono. Tini tidak meragukan kabar itu. Ayahku, yang hanya hidup dalam angan-angan selama belasan tahun, pasti sudah berada di sana. Tadi sore Ibu sudah memberinya bekal. Tini tahu, sebenarnya Ibu juga ingin segera memperoleh kepastian tentang kepulangan Ayah.

Kegembiraan Tini makin mengembang ketika Jabir datang. Bajunya putih lengan panjang tanpa leher. Kain sarungnya hijau tua dan kopiahnya baru. Sayang, cucu Haji Bakir itu hanya sebentar menemui Tini. Ia bangkit minta diri setelah menyerahkan sebuah bingkisan. Ini oleh-oleh pamanku dari Mekah untuk kamu dan Ibu. Isinya dua sajadah. Aku senang bila kamu dan Ibu salat di atas sajadah itu.”

Agak larut malam Tini baru bisa tidur. Tetapi ibunya tetap terjaga dan mendengar kentongan dipukul satu kali. Kedua anaknya yang masih kecil sudah lama lelap. Dan Marni keluar kamar, ingin menyendiri. Namun ia tak tega melihat Parta yang mendadak terjaga dan napasnya tersengal-sengal. Bengeknya kambuh. Udara dingin agaknya ikut memperburuk keadaan Parta. Marni membantu suaminya minum obat pelonggar saluran napas. Setengah jam kemudian lelaki yang lemah itu tertidur setelah tubuhnya mengeluarkan keringat seperti orang habis berpacu lari.

Marni kini terjaga seorang diri. Berjalan mengelilingi ruang tengah, duduk dekat mesin jahit, dan bangkit lagi demi melihat kedua anaknya di kamar. Kentongan di balai desa dipukul dua kali. Dan Marni makin gelisah. “Apa yang sebaiknya kulakukan bila Mas Karman, bekas suamiku itu pulang? Bekas suami? Apakah aku benar-benar pernah bercerai dari dia?”

Pertanyaan-pertanyaan itu mengepung dan terus menyudutkan Marni. Karena merasa terdesak oleh pertanyaan yang mengembang di hati sendiri, Marni pernah ingin menjawabnya dengan lugas.

“Demi menjaga perasaanku maupun perasaan dia; aku tidak akan menemui Mas Karman bila dia sampai ke kampung ini.”

Namun ketetapan itu tak bertahan lama. “Apa kata senma orang nanti apabila aku tak mau menemui Mas Karman; mereka akan mengatakan aku perempuan yang tak punya perasaan. Tak patut. Lagi pula aku membohongi diriku sendiri. Aku ternyata tak bisa melupakan ayah Tini itu. Karman satu-satunya lelaki yang telah mengisi keindahan masa mudaku. Dialah orang yang pernah kuserahi segalanya yang ada padaku. Secara pribadi, kepadaku dia tidak bersalah sedikit pun. Dia memang meninggalkan aku dalam penderitaan selama dua belas tahun; namun aku tahu hal itu bukan kehendak dia. Ya Tuhan, aku kini bukan istri Karman. Kini aku istri Parta yang sah. Lalu aku harus bagaimana karena Mas Karman masih ringgal di hatiku? Dan aku akan bertemu dia besok atau lusa, jadi aku harus bagaimana?”

Marni bankit karena tersadar oleh bunyi kentongan tiga kali. Mula-mula ia berjalan menuju kamar suaminya. Dipandangnya Parta yang tetap tertidur di bawah cahaya lampu minyak, dengan tarikan-tarikan napas yang berat. Dalam tidurnya pundak lelaki itu tampak naik dan agak lengkung ke depan, ciri utama seorang penderita penyakit napas yang menahun. Tulang pelipis dan tulang pipinya menonjol. Entahlah, tiba-tiba ada rasa tak suka terhadap suami yang telah memberinya dua anak itu. Dan sebelum perasaan demikian mengembang menjadi kebencian, Marni memalingkan wajah ke dipan sebelah. Di sana kedua anaknya, anak Parta, lelap dalam wajah tanpa dosa. Itu, wajah-wajah kesucian. Marni hanya bergerak membetulkan kain yang menutup tubuh anak-anaknya, dan keluar menuju kamar Tini.



Episode 10
Kubah


Ditatapnya wajah Tini dengan matanya, dengan hatinya, dengan seluruh perasaannya. Dari sosoknya, Marni melihat Tini adalah titisan Karman. Bentuk hidung dan alis Tini itu. Juga rona kulitnya. Dan dari segi keberadaannya, Marni tidak hanya melihat Tini sebagai titisan ayahnya. Gadis yang sedang lelap dalam kedamaian itu adalah buah dan makna kebersamaan yang total antara dirinya dengan Karman. Mendadak dada Marni terasa menyesak. Air matanya berjatuhan. Dalam isaknya, Marni mengeluh. “Oh, Tini anakku. Kamu tidak tahu siapa sebenarnya orang yang paling merindukan ayahmu.”

Marni menghapus air mata, dan perlahan keluar dari kamar Tini. Termangu sebentar, telinganya mendengar kokok ayam jantan pertama. Entahlah, suara kokok itu membawa suasana jernih dan kudus. Ada ketenangan merambah hati, membuat Marni teringat sesuatu. Diambilnya lampu tempel. Pintu samping berderit ketika Marni membukanya. Marni ingin mengambil air sembahyang.

Di kamar pesalatan Marni berusaha mencari kesadaran tertinggi agar bisa berdekat-dekat dengan Tuhan. Ia bersimpuh dan merasa begitu kecil dan lemah. Namun dalam kesadaran akan kelemahan itulah Marni menemukan sikap yang akan ditempuhnya. “Besok, aku akan bertawakal; membiarkan apa yang harus terjadi, terjadilah.”

Marni lega. Ternyata, kepasrahan telah menyebabkan sebagian besar beban pikirannya lenyap.

Kokok ayam jantan yang terdengar makin ramai, monyebabkan Marni ingin mengakhiri salatnya. Ia berdiri. Dan mendadak termangu. Sepotong rekaman masa lalu tiba-tiba berputar dengan sangat jelas di depan matanya.

Waktu itu usia perkawinannya dengan Karman baru mencapai bulan yang keempat. Suatu malam, ketika Karman tertidur nyenyak di sampingnya, Marni masih terjaga dan gelisah. Marni sangat menginginkan sesuatu tetapi setiap kali menoleh ke samping, suaminya tetap nyenyak. Karman memang lelah dan lemas sehingga tidurnya sangat pulas. Marni menangis karena merasa tak dipedulikan. Menangis karena keinginannya akan sesuatu hampir tak tertahankan. Maka, dengan melawan perasaannya Marni memberanikan diri membangunkan Karman. Ke telinga suaminya itu Marni berbisik pelan, pelan sekali karena kamar mereka bersebelahan dengan kamar mertua.

“Mas... Mas Karman...!”

Karman menggeliat dan kemudian membuka mata.

“Ya...?”

“Mas...”

“Ya? Mengapa kamu menangis?”

Marni diam. Ia membalikkan tubuh, tetapi kemudian berputar kembali. Karman bingung. Macam-macam dugaan memenuhi kepalanya.

“Kamu sakit? Perutmu sakit?”

Marni menggeleng.

“Aku ingin, Mas, aku ingin...”

Karman menatap Marni. Samar, karena matanya baru terbuka, Karman melihat wajah istrinya. Ya, wajah itu menyiratkan Marni sedang menuntut sesuatu. “Ah, ya,” pikir Karman. “Jangan khawatir. Aku lelaki tulen.” Karman merasa ada tagihan terhadap kelelakiannya. Maka suami muda itu pun bersiap. Tetapi kemudian tertegun karena Marni tiba-tiba mengambil sikap tengkurap sambil memeluk bantal erat-erat. Tangisnya malah makin menjadi.

“Mas, aku kepengin kedondong. Itu, pohon kedondong di belakang rumah sedang berbuah. Ambilkan sekarang, Mas. Sekarang!”

Marni terus terisak. Karman memerlukan waktu setengah menit untuk menyadari apa yang benar-benar didengar dari mulut istrinya. Kedondong? Larut malam begini Marni kepengin kedondong?

“Bukan main! Tetapi baiklah. Akan kuambilkan sekarang.”

Karman turun dari tempat tidur. Kain sarung digulungnya di perut, terus melangkah ke pintu belakang. Marni ikut bangkit, namun hanya untuk duduk di pinggir tempat tidur.

Di belakang rumah memang ada pohon kedondong muda yang baru kali pertama berbuah. Batangnya masih kecil, buahnya pun tidak lebat. Tetapi untuk mendapatkan buah masam itu Karman harus menemukan galah. Tetapi di malam gulita, galah atau tangga bambu sulit didapat. Celakanya, Karman juga tak pandai memanjat pohon.

Bingung karena merasa harus mendapat buah kedondong, Karman mengusap-usap keningnya. Ah, suami muda itu masuk kembali ke rumah dan keluar lagi dengan sebuah golok di tangan. Tanpa pikir macam-macam, pohon yang tidak seberapa besar itu ditebangnya. Tumbang. Suaranya membuat Bu Mantri – ibu Karman – dan para tetangga terbangun.

“Karman, kamu gila? Malam begini kamu menebang pohon?” seru Bu Mantri sambil mengucek-ucek mata di depan pintu. Yang ditanya hanya tersenyum, tanpa menoleh. Sebuah bakul dipenuhinya dengan kedondong yang jadi berserakan di tanah. Sambil berjalan masuk ke rumah, Karman memberi aba-aba kepada ibunya. Bu Mantri maklum. Anak dan ibunya kemudian tertawa bersama.

“Oh, Karman, istrimu ngidam? Aku hampir punya cucu? Dan kamu lelaki yang tak bisa memanjat pohon?”

Selesai berkata demikian Bu Mantri berjalan cepat mendahului Karman. Masuk kamar menantu, dan Marni dicium, Marni diusap-usap rambutnya. Bu Mantri menyayang-nyayang seakan Marni seorang gadis kecil yang sedang merajuk. Oh, sang menantu jadi sangat kikuk.


Sampai pagi mulut Marni tak berhenti mengunyah kedondong. Kadang-kadang Karman ikut mencicipi karena Marni mendesaknya. Tetapi sesungguhnya Karman hanya ingin melayani Marni; mengupaskan buah masam itu, mengiris menjadi potongan kecil-kecil atau malah menyuapkannya. Saat itu Marni benar-benar merasakan keindahan hidup bersama Karman.



Episode 11
Kubah


Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935. Ayahnya seorang mantri pasar di sebuah kota kecamatan. Waktu itu gaji seorang mantri pasar bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Hampir semua warga desa Pegaten adalah petani. Maka ayah Karman sangat bangga akan jabatannya sebagat pegawai gubermen.

Dia tak suka dipanggil dengan nama aslinya. Itulah sebabnya orang Pegaten hampir lupa siapa nama ayah Karman yang sesungguhnya. Sehari-hari lelaki yang selalu bertopi gabus itu biasa dipanggil sebagai Pak Mantri. Dan karena begitu membanggakan kepriyayiannya, Pak Mantri merasa dirinya tak pantas menggarap sawah. Padahal dia punya satu setengah hektar warisan orangtuanya. Setiap tahun sawah Pak Mantri disewakan kepada petani penggarap.

Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang Pegaten mengalami masa yang sangat sulit. Kurang pangan terjadi di mana-mana karena padi orang kampung dijarah oleh tentara Jepang. Kemarau selama sembilan bulan juga ikut menyengsarakan semua orang. Di Pegaten, orang sudah beruntung apabila masih bisa makan ubi-ubian, tak terkecuali keluarga Pak Mantri. Priyayi itu sangat tersiksa, bukan hanya karena harus makan ubi. Menurut keyakinannya, seorang mantri hanya pantas makan nasi dari beras kualitas terbaik. Ubi tak pantas dihidangkan kepada Pak Mantri, baik pada zaman normal maupun pada zaman Jepang.

Dalam kesulitan memperoleh beras, Pak Mantri mengetahui bahwa Haji Bakir berhasil menyembunyikan sebagian padinya sehingga luput dari jarahan tentara Jepang. Dengan keyakinan bahwa dirinya hanya pantas makan nasi, Pak Mantri menemui Haji Bakir. Mantri pasar itu ingin melakukan tukar-menukar; ia akan memberikan sebagian sawahnya dan Haji Bakir diminta memberinya padi. Dalam suasana kurang pangan yang amat rawan itu, padi memang menjadi benda yang amat mahal.

Pada mulanya Haji Bakir tidak ingin melayani ajakan Pak Mantri. Karena, padi yang berhasil ia sembunyikan sebenarnya tak seberapa, malah diperkirakan tak cukup untuk keperluan keluarga besarnya. Namun karena terus didesak, juga karena takut rahasia simpanan padinya dibocorkan, akhirnya Haji Bakir mengalah. Dan terjadilah tukar-menukar itu. Sebagian sawah Pak Mantri ditukar dengan lima kwintal padi.

Belum lagi lima bulan, padi milik Pak Mantri yang diperoleh dari tukar-menukar itu habis. Menyusul kemudian tukar-menukar yang kedua, dan akhirnya habislah warisan milik priyayi Pegaten itu. Namun tak mengapa. Pak Mantri sangat yakin akan tiba kembali zaman normal. Ia akan kembali menjadi mantri pasar, duduk di gardu atau mengedarkan karcis retribusi, dan menerima gaji setiap akhir bulan. Sialnya masa lalu yang ditunggu Pak Mantri tak pernah kembali.

Kemudian pecah perang kemerdekaan. Tatanan kemasyarakatan porak-poranda. Pasar seakan bubar. Masyarakat terbelah dua; satu ikut Republik, dan sebagian kecil lainnya ikut pemerintaban sipil Belanda yang sedang dicoba kembali ditegakkan. Pak Mantri, karena cinta kepada kepriyayiannya, tidak ikut barisan Republik yang di Pegaten dimotori oleh pemuda kampung dan para santri. Namun pilihan Pak Mantri salah. Dia tak pernah kembali jadi mantri pasar karena para pemuda pejuang membawanya ke hutan. Ayah Karman itu tak pernah terlihat kembali oleh anak-istrinya.

Sepeninggal ayahnya, Karman hidup hanya dengan ibu dan seorang adik perempuan yang masih kecil. Sebenarnya Karman punya dua kakak lelaki. Tetapi keduanya meninggal dalam bencana kelaparan pada zaman Jepang. Keadaan keluarga Karman amat menyedihkan. Apalagi setelah terjadi kekerasan oleh tentara Belanda di Pegaten tahun 1948. Bersama ibu dan adiknya, Karman pergi mengungsi jauh ke pedalaman. Belanda lalu membuat markas pertahanan di Pegaten.

Setelah datang masa aman Karman dan ibunya pulang ke Pegaten. Masa kurang pangan berakhir. Namun Karman kecil harus menerima kenyataan bahwa dia dan ibunya sudah tak punya apa-apa lagi. Untunglah, karena panen padi selalu bagus maka orang Pegaten kurang peduli terhadap ubi dan singkong di ladang mereka. Maka Karman yang masih bocah biasa mengumpulkan singkong dari ladang orang dan dibawa pulang sebagai bahan makanan. Singkong direbus, singkong ditanak, atau malah singkong cukup dibenam dalam api sampai empuk; semuanya cukup buat mengganjal perut Karman bersama ibu dan adiknya.

Hingga dua tahun lamanya Karman hidup dengan singkong. Hanya sesekali dia menemukan sebungkus nasi, itu pun bila dia punya kesempatan bermain dengan Rifah, anak bungsu Haji Bakir. Rifah masih kecil, usianya beberapa tahun lebih muda daripada Karman. Banyak cara bisa dilakukan agar Karman bisa bermain dengan gadis cilik itu. Untuk Rifah, Karman harus punya sesuatu yang menarik hatinya. Misalnya mainan baling-baling yang terbuat dari daun kelapa. Tanpa dipancing-pancing, jika Rifah metihat mainan itu, pasti dia akan memintanya. Rifah yang agak dimanjakan biasa memperoleh apa saja yang dikehendakinya.

“Wah, mainan kamu bagus. Buat aku, ya!” kata Rifah kepada Karman suatu hari.

“Oh, jangan,” jawab Karman. Ia pura-pura bertahan.

“Tapi aku ingin mainan kamu itu,” sambung Rifah. Gayanya khas seorang anak yang terbiasa dimanja. Karman tahu Rifah akan memberikan apa saja apabila ia diberi baling-baling mainan itu. Itulah yang biasa terjadi.

“Kamu pulang dulu. Kamu ambil nasi buat aku. Nanti baling-baling ini buat kamu.”

Rifah gadis kecil yang segar. Betis dan pundaknya montok. Kedua pipinya padat dan matanya bulat tajam. Mendengar permintaan Karman, ia lari gesit seperti tupai.

“Tentu dia gesit. Setiap hari dia makan nasi sampai kenyang,” Karman iri.

Tak berapa lama Rifah muncul kembali, dan tanpa sebungkus nasi di tangannya. Karman sangat kecewa. Anak lelaki itu beberapa kali mendan ludah. Perutnya melintir perih. Tetapi wajah Karman berubah terang setelah mendengar ucapan Rifah. Ada harapan.

“Ibu meminta kamu datang ke sana. Adik kamu diminta datang juga.”

Yakin akan mendapat sebungkus nasi yang sangat diharapkan, Karman menyerahkan baling-baling daun kelapa itu kepada Rifah. Gadis kecil itu tertawa dan melompat-lompat gembira.


Episode 12
Kubah


Di dapur rumah Haji Bakir sudah tersedia dua piring nasi dengan lauk-pauknya. Bu Haji menyilakan Karman dan adiknya makan. Rifah sendiri lenyap entah ke mana bersama mainan barunya.

Diam-diam Bu Haji memperhatikan Karman dan adiknya. Kedua anak yatim itu makan dengan sangat lahap. Mungkin mereka sudah beberapa bulan hanya bertemu singkong dan kini mereka menghadapi sepiring nasi.

Bu Haji menarik napas panjang. Tiba-tiba perempuan itu merasa malu kepada diri sendiri. “Mengapa sampai sejauh ini aku baru sadar ada dua anak yang wajib kusantuni?” keluhnya. “Seharusnya sejak dulu kuperhatikan kedua anak yatim ini.”

Hari-hari selanjutnya, Karman dan adiknya mendapat perhatian cukup dari keluarga Haji Bakir. Selalu ada pekerjaan kecil-kecilan yang bisa dikerjakan Karman sementara anak itu momong adiknya. Dengan memberi pekerjaan kecil, Bu Haji bermaksud mendidik Karman bekerja sehingga ia tidak terbiasa bergantung kepada pemberian orang. “Manakala mengaji berangkatlah lebih awal. Bantulah kami menyalakan lampu-tampu atau menyapu lantai mesjid. Kita dapat makan bersama sesudah itu.” Atau, “Sambil mengajak adikmu bermain, berilah makan ikan-ikan di kolam kami. Kamu suka makan pagi dengan lauk ikan mujair goreng, bukan?”

Tanpa terasa akhirnya Karman seakan menjadi anggota keluarga Haji Bakir. Ia sering terlihat mengiringkan gerobak yang mengangkut kelapa yang baru dipanen dari kebun Haji Bakir. Petani kaya itu merasa puas, karena kalau menyangkut panen kelapa, Karman selalu teliti. Sering anak yang pintar itu melapor, panen kelapa kali ini berjumlah 836 buah. Sejumlah 43 buah rusak dimakan tupai. Dalam perjalanan, anak-anak nakal naik ke atas gerobak dan membawa lari 3 buah. Jadi sampai ke gudang tinggal 790 buah.”

Tiga tahun berjalan. Setelah adik Karman bisa bermain sendiri, Bu Haji Bakir menemui Bu Mantri. Mereka ingin membicarakan dan mencari kesepakatan tentang Karman. Terjadi persetujuan antara kedua perempuan itu: Karman yang saat itu sudah mencapai usia tiga belas tahun akan tinggal bersama keluarga Haji Bakir. Meski belum dewasa, Karman akan dianggap bekerja penuh pada keluarga kaya itu. Pangan dan pakaian sehari-hari Karman ditanggung, dan sehabis panen Karman berhak menerima tiga kwintal padi sebagai upah tahunan.

Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya; mengantarkan makanan bagi orang yang sedang bekerja di sawah, menyapu rumah dan halaman, memelihara ikan di kolam, dan melayani si manja Rifah. Si bungsu bertambah ceria. Sekarang di rumahnya tinggal seorang anak yang harus mau disuruhnya mencari bulu jagung untuk membuat boneka, mengumpulkan buah saga untuk bermain pasar-pasaran. Atau terjun ke air jika bola Rifah masuk ke kolam.

Namun karena hendak menolong Rifah, Karman pernah mengalami kejadian yang hampir mencelakakan dirinya.

Haji Bakir membeli seekor kambing jantan besar. Idul Qurban hampir tiba. Kambing itu berwarna hitam, bersurai dan berjanggut panjang. Sepasang tanduknya sebesar lengan Karman. Pohing, anak tetangga Haji Bakir yang mempunyai seekor kambing jantan berwarna putih, ingin membuat pertunjukan. Ia ingin membuktikan bahwa kamhingnya juga hebat, tak mungkin dikalahkan oleh kambing Haji Bakir. Binatang-binatang jantan itu didekatkan schingga keduanya berlaga sangat seru. Terjadilah. Anak-anak banyak berkumpul. Rifah datang bersama Karman. Bukan main senang anak-anak melibat kedua kambing itu saling membenturkan tanduk mereka. Mula-mula keduanya berdiri pada sepasang kaki belakang. Kepala sedikit dimiringkan. Lalu serentak mereka menjatuhkan kaki depan sambil mengadu tanduk mereka. Suaranya keras dan mengerikan.

Kambing Pohing tidak bertahan lama. Kibas berbulu putih itu lari. Kambing Haji Bakir penasaran, lalu mengamuk. Matanya jalang. Tiba-tiba ia mengambil ancang-ancang hendak menyerang seorang gadis kecil yang berbaju putih. Mungkin binatang itu mengira Rifah adalah lawannya yang telah lari. Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena tenaganya kalah kuat Karman terayun-ayun oleh empasan binatang yang marah itu. Tapi Karman bertahan sampai beberapa orang dewasa bertindak. Rifah masih menggigil ketakutan ketika diangkat oleh Haji Bakir.

Tampaknya Karman baik-baik saja kecuali goresan kecil di betisnya. Namun pada malam harinya ia tidak kelihatan di mesjid. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Belikatnya terkilir sehingga keesokan harinya ia tak bisa bekerja.

Karena merasa tidak enak menganggur di rumah Haji Bakir, Karman minta permisi pulang ke rumah ibunya sampai badannya segar kembali. Bu Mantri memanggil tukang pijat. Rifah datang membawa banyak makanan, tetapi gadis cilik itu merasa sulit berbicara dengan Karman. Namun wajah Rifah berseri-seri ketika melihat Karman mengupas pisang ambon yang dibawanya.

“Aku ingin Karman mengerti bahwa aku sangat berterima kasih kepada dia,” kata Rifah dalam hati. “Tetapi aku malu mengatakannya, jadi aku diam saja. Wah, sungguh kasihan Karman. Dia sampai terbanting-banting karena ingin melindungi aku.”

Hanya tiga hari Karman tinggal di rumah ibunya. Ia cepat sehat kembali. Kepada teman-teman sepermainan, Rifah sering bercerita bahwa entah apa jadinya bila Karman tidak menahan kambing yang mengamuk itu.

Hampir musim panen. Anak-anak di Pegaten mulai meniup-niup puput. Di pagi hari burung-burung gelatik dan murai terbang berkelompok-kelompok menuju sawah. Musim ini panenan baik. Orang-orang yang tidak mempunyai sawah ikut senang. Mereka ikut menuai. Dari hasil tuaian itu mereka berhak atas sepertujuh atau seperdelapan bagian. Selebihnya menjadi hak pemilik sawah.

Karman tahu Bu Mantri, ibunya, tak pandai menuai. Jadi bagaimanapun baiknya panen musim itu, Bu Mantri tidak akan mendapat bawon, yaitu upah menuai padi. Padi yang diterima dari Bu Haji Bakir sebagai upah Karman sudah habis, karena sebagian dijual untuk keperluan lain. “Tak pantas pada waktu panen seperti ini ibuku tak punya beras. Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat merasakan nasi yang empuk.”



Episode 13
Kubah


Sebelum berangkat tidur di serambi mesjid bersama kawan-kawannya, Karman menghadap Bu Haji Bakir. Sekali lagi ia minta permisi barang empat-lima hari, mulai besok pagi. Bu Haji Bakir tak kuasa menahan Karman. Perempuan itu sadar bahwa masa panen adalah masa istimewa bagi semua anak kampung. Maka Karman diberinya kesempatan ikut terjun ke sawah untuk melak­sanakan kepentingan sendiri.

Karena mendapat izin menuai padi untuk diri sendiri, malam itu Karman sulit tidur. Dia baru terlelap hampir tengah malam. Namun ketika ayam jantan mulai berkokok Karman sudah terjaga. Anak-anak yang tidur di serambi mesjid meng­hafal dua suara yang menandakan fajar telah tiba; kicau burung sikatan di atas kolam mesjid atau bunyi terompah kayu Haji Bakir. Pohing yang selalu bangun lebih dulu mengguncang kaki teman-temannya. “He, bangun. Bangun! Nanti ka­lian diperciki air oleh Pak Haji!” Begitu cara Pohing membangunkan Karman dan selusin anak lainnya.

Bunyi derek timba mengawali hiruk-pikuk di sumur. Anak-anak mulai bermain ciprat-cipratan air. Dan suasana baru reda bila Haji Bakir datang.

“Hayo, jangan bergurau. Bersucilah! Matahari hampir terbit.”

Pada saat seperti itu tentu Haji Bakir tidak tahu anak-anak sering bermain kotor. Seorang anak yang telah mandi dan bersuci didekati oleh lainnya yang masih bugil. Si bugil akan menyambar ta­ngan anak pertama, lalu disentuhkan ke kubul sehingga pemilik tangan itu batal wudunya.

Demikianlah sumur mesjid itu selalu ramai oleh gurau anak-anak selagi fajar merekah di timur. Hiruk-pikuk baru berakhir apabila sembahyang subuh sudah dimulai. Dan ketika jamaah yang tua-tua masih berzikir sehabis sembahyang, anak-anak sudah bubar berhamburan. Mereka kembali ke ru­mah masing-masing dengan gurauan yang gembira.

Gumpalan-gumpalan cadas di puncak Bukit Kendeng di sebelah selatan Pegaten mulai tampak dengan jelas. Matahari sudah menyorotkan sinarnya ke sana. Tapi di kampung itu kampret-kam­pret baru saja masuk ke lubang kayu atau kuncup daun pisang. Kabut tipis masih membayangi sawah luas dengan padinya yang menguning.

Sepagi itu Karman keluar dari rumah ibunya dengan caping bambu menutup kepalanya. Di ba­gian bawah caping itu terselip ani-ani. Ia tidak lupa membawa pikulan bambu yang akan diguna­kan untuk membawa ikatan-ikatan padi dari sawah ke rumah pemiliknya. Kalau Karman dapat tujuh ikatan ia akan membawa pulang satu. Tetapi ia tidak yakin. Ia belum dapat menggunakan ani-ani dengan cepat.

Di gang yang menuju ke sawah, Karman ber­temu dengan para penuai lainnya. Mereka berjalan seraya tertawa-tawa. Sungguh, banyak orang Pega­ten yang tertawa pada waktu penen tiba.

“Ke sawah siapa kita pergi?” kata seseorang kepada temannya.

“Ke sawah Pak Dulah,” jawab yang lain.

“Benar, aku setuju. Pak Dulah menanam padi bengawan. Nasinya wangi dan pulan. Dimakan dengan sambal bunga pisang kuah santan, wa­duh...”

“Pergilah kalian ke sana,” sahut seseorang. “Aku memilih sawah Santika. Padinya rojolele. Batangnya tumbuh tidak terlalu rapat, tidak roboh. Sebentar saja kita bisa dapat banyak tuaian. Pagi-pagi sarapan nasi rojolele yang masih hangat, lauknya oseng jagung muda, oh...”

“Dengar,” sera laki-laki yang bercaping lebar. “Sawah Pak Dulah dan Santika amat jauh di tengah. Di sana akan kautemui lintah sebesar tanduk kerbau. Yang bodoh akan pergi ke sana. Tapi aku akan ke sawah Sanawi!”

“Sawah Sanawi? Oh ya, itu cocok bagimu. Sanawi menanam padi mundung. Nasinya merah dan tidak dapat kausuap kecuali dengan sendok besar. Karena pera, sekilo beras mundung sudah cukup membuat tujuh anakmu kenyang. Jangan lupa, lauknya gulai keladi kemarin sore. Ho...”

Entah apa alasannya, ternyata kelompok penuai itu berbelok menuju sawah Sanawi, tak satu pun yang menyimpang. Memang sawah Sanawi terletak di pinggir kampun, agak tinggi. Lumpurnya sudah mengeras, karena Sanawi menutup pintu air sepuluh hari yang lalu. Keadaan demikian amat disukai oleh para penuai. Tak heran, makin banyak saja penuai yang datang, hingga Sanawi merasa kewalahan. Ia berjalan keliling pematang, waspada kalau ada penuai yang curang. Sering ditemukan ikatan padi sengaja disembunyikan di balik jerami.

Meskipun banyak orang di sawah itu, yang terdengar hanya suara puluhan ani-ani yang menggerek tangkai padi serta suara sibakan jerami. Atau suara burung ciplak yang sedih karena sarangnya di tengah rumpun jerami rusak oleh para penuai. Setiap orang ingin memperoleh hasil sebanyak-banyaknya. Mereka bekerja keras tanpa bicara, tak terkecuali Karman yang jarinya sudah terluka oleh mata ani-ani.

Hari sudah panas ketika Karman melihat seorang perempuan berdiri di bawah pohon dadap di tepian sawah. Kinah sedang membujuk bayinya agar cepat tidur. Perempuan itu merasa cemas karena panenan sawah si Sanawi itu hampir usai. Apabila Kinah belum juga ikut turun ia bisa kehilangan peluang mendapat bawon.

Burung branjangan terbang tinggi mengitari para penuai yang sedang sibuk memotong tangkai bulir-bulir padi. Suaranya renyah. Unggas itu terkenal pintar menirukan suara burung-burung yang lain. Segumpal awan tiba-tiba mengelilingi matahari. Sejuk, walaupun sejenak. Bayi Kinah tertidur, mungkin karena lelah mengisap tetek ibunya yang kempis. Dengan sebelah tangan, Kinah menggelar kainnya di atas tanah. Bayinya ditidurkan. Kemudian perempuan itu bangkit, menarik napas lega. Diambilnya ani-ani yang terselip di kondenya. “Akhirnya aku mendapat peluang memperoleh sedikit bawon,” gumam Kinah sambil bergerak terjun ke sawah.

Tak ada tudung menutupi kepala perempuan itu. Sebentar saja mukanya merah dan kepalanya pusing oleh sengatan matahari. Kebayanya dilepas untuk digunakan sebagai penutup kepala. Sekarang di bagian atas tubuh Kinah hanya ada kutang. Di matanya sudah terbayang sepincuk bubur beras untuk bayinya. “Aku tak ingin menyuapinya dengan singkong bakar lagi. Anakku harus ikut menikmati enaknya nasi.”

Episode 14
Kubah


Suara puluhan ani-ani masih terdengar seperti bunyi serangga yang rakus. Semua orang seperti sedang berlomba adu cepat memainkan ani-ani demi bawon yang lebih banyak. Kemudian, mengapa tak seorang pun sadar bahwa pada saat yang sama kuasa Tuhan sedang menggerakkan seekor binatang kecil di bawah keteduhan pohon dadap itu. Seekor semut merah bergerak di antara hilang dan tampak, meraba-raba dengan sepasang sungut halus yang mencuat di kepalanya. Mula-mula serangga kecil itu merayap di atas permukaan daun kering yang luruh, lalu menyelinap di bawahnya. Sekarang sampailah ia pada ujung kain yang digelar Kinah. Sejengkal lebih jauh semut itu menemukan benda hidup yang baginya berukuran amat besar. Dengan sungutnya ia meraba-raba, lalu kembali menjauh. Ia menuniti hukum yang berlaku bagi semut sejenisnya; apabila menemukan mangsa yang besar ia harus mengundang sebanyak mungkin teman.

Semut merah itu tiba-tiba berubah perangai. Ia bergerak lebih cepat, lebih bersemangat. Jalannya menempuh lintasan yang patah-patah. Teman yang berhasil dijumpai diberitahu dengan bahasa ketukan. Semut kedua ini pun tiba-tiba mengubah perangai seperti semut pertama dan seterusnya. Maka hanya dalam beberapa menit tempat teduh di bawah pohon dadap itu penuh semut merah dan bergerak ke arah yang sama: bayi Kinah.

Anggaplah peristiwa yang kemudian terjadi merupakan kejadian kecil dan alami, suatu peristiwa yang menyangkut semut-semut merah dan seorang bayi. Namun peristiwa ini akan menggetarkan jiwa Karman. Akan terbukti ketak, kejadian kecil ini mempunyai andil amat besar dan mampu mengubah sikap hidup Karman sampai ia harus mengalami pembuangan selama dua belas tahun di Pulau B.

Puluhan, atau ratusan semut merah sudah merayapi hampir seluruh tubuh bayi Kinah. Seekor di antaranya sudah sampai ke ujung kulup bayi yang sedang nyenyak itu. Mungkin karena sepersekian persen air seni yang melewati lubang kulup adalah gula, maka semut di sanalah yang pertama kali menggigit. Si semut tentulah tidak bermaksud menyakiti si buyung. Namun bayi Kinah menggeliat karena kenyenyakan tidurnya terusik. Dan pada saat yang sama ratusan semut merah di sekujur tubuh si buyung menggigit serentak. Gatal, perih, dan panas. Tangis si bayi langsung berupa jerit yang mengentak, melengking tinggi, putus, lalu senyap. Si buyung tak mampu mengembalikan napas dan mulutnya tetap ternganga. Hampir setengah menit lewat, keadaan tidak berubah. Kecuali kulit bayi itu yang lama-lama berubah menjadi biru karena kurang zat asam.

Karman bingung, amat bingung menghadapi perkembangan yang terjadi. Ternyata semua orang yang ada di sawah Sanawi hanya menoleh sebentar ke arah suara jerit bayi Kinah, kemudian asyik kembali dengan ani-ani mereka. Bahkan, ya bahkan, Kinah sendiri tidak segera menghentikan pekerjaannya. Memang Kinah kemudian bergerak ke arah bayinya, namun hanya dengan langkah lamban dan malas-malasan. Sangat jelas Kinah tak ingin menghentikan ani-aninya. Hasil tuaiannya belum cukup memenuhi genggamannya, maka berapa sepertujuhnya yang akan dia terima sebagai upah?

Nyai Nusi yang berada di sebelah kanan Karman kelihatan berkali-kali menelan ludah. Mata Nyai Nusi berkaca-kaca. Andaikan Karman bisa mendengar keluhan perempuan tua itu. “Oh, buyung. Aku juga seorang ibu. Aku amat pilu mendengar tangismu dan ingin segera menolongmu. Tapi mengapa Kinah melahirkan kamu padahal ibumu itu tak punya suami? Sesungguhnya kamu tidak bersalah meski kamu lahir dengan ayah yang tak jelas. Soalnya, aku dan semua orang di sini tak ingin dikatakan tidak membenci percabulan.” Air mata Nyai Nusi kembali meleleh.

Karena melihat Kinah masih berdiri menuai padi, Karman bertindak. Padi dan ani-ani diletakkannya di atas pematang. Kemudian secepatnya ia berlari. Ketika sampai di tujuan, hal pertama yang dilakukannya adalah menyapu tubuh bayi Kinah dengan kain. Karman tahu bayi itu masih kelenger. Kulitnya yang sudah membiru tampak bentol-bentol. Karman panik. Tetapi Karman ingat di sekolah ia pernah melihat gurunya melakukan gerakan membuat napas buatan. Karman mencoba menirukan gurunya dan berhasil. Bayi Kinah bisa mengembalikan napas lalu kembali menjerit.

Semua orang jadi marah. Kata-kata kasar mulai berhamburan ke arah Kinah. Akhirnya perempuan itu benar-benar bergerak, naik ke darat. Kinah mengambil bayinya yang masih menangis dari tangan Karman. Teteknya yang layu dikeluarkan. Bayi itu tersedak-sedak dan tak bisa diam, mungkin karena sakit bekas gigitan semut merah masih menyiksa dirinya.

Kinah pulang sambil berulang-ulang menghapus air mata. Sebelumnya Sanawi menyerahkan bawon yang menjadi hak Kinah. Banyaknya hanya sepertujuh dari genggaman tangkai padi; tak lebih dari dua puluh butir.

Matahari berada tepat di atas kepala ketika panen di sawah Sanawi usai. Para penuai mengumpulkan hasil kerjanya dan mengangkutnya ke rumah pemilik sawah. Yang lelaki memikul, yang perempuan menggendong dengan kain. Karman berhasil mengetam enam ikat padi dan upahnya pasti lumayan. Bersama belasan penuai lain Karman harus menunggu di halaman rumah Sanawi sampai pemilik sawah itu melakukan pembagian.

Kelak, manakala Karman sudah menjadi orang binaan Margo, kisah Si Kinah dan bayinya sering dimunculkan dalam diskusi-diskusi. Margo, seorang kader partai yang cerdik, amat pandai merekayasa kehalusan hati Karman demi kepentingan politiknya. Maka pada suatu rapat pembinaan, Margo berkata kepada Karman.

“Cobalah ingat kembali peristiwa si Kinah. Saat itu Kinah hanya memperoleh sejumput padi, padahal ia telah mempertaruhkan keselamatan bayinya. Kita tahu, Kinah sama seperti kita; manusia. Ia bukan burung pipit yang bisa kenyang oleh beberapa bulir biji padi. Tetapi begitulah yang terjadi. Jadi, yakinlah kamu; demikian jahat para tuan tanah. Mereka memperlakukan para penuai sekehendak hati!”

Dalam diskusi-diskusi seperti itu Margo selalu melukiskan Kinah sebegai martir yang suci. Margo tak pernah berkata dengan jujur bahwa di luar masalah bawon, Sanawi juga taat membayar zakat setiap kali panen. Salah seorang penerima zakat itu adalah Kinah meskipun Sanawi tahu perempuan itu kurang disukai orang Pegaten karena percabulannya.



Episode 15
Kubah


Sesudah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, banyak anggota Laskar Hisbullah meletakkan senjata. Mereka kembali ke kampung halaman setelah empat tahun ikut mempertahankan kemerdekaan Republik yang masih muda. Salah seorang di antara mereka pulang ke Pegaten. Dia adalah Hasyim, adik Bu Mantri.

Kepulangan pamannya ini membuat Karman sangat gembira. Karman merasa mempunyai sosok lelaki yang bisa memberinya perlindungan setelah ayahnya hilang pada masa awal revolusi.

Sebelum menjadi anggota Laskar Hisbullah, Hasyim adalah petani yang tekun. Hasyim mempunyai sawah dan tegalan, serta kolam ikan. Maka tanpa kesulitan yang berarti Hasyim bisa mengembalikan kehidupan rumah tangga setelah sekian lama ditinggalkannya. Dan karena kasihan melihat kehidupan Bu Mantri, Hasyim memberi kakaknya itu modal buat berdagang nasi rames. Hasyim juga pergi menemui Haji Bakir untuk berbicara tentang Karman. Kemenakannya ini diminta kembali ke rumah orangtuanya karena akan disekolahkan ke tingkat lanjutan. Haji Bakir tak bisa menolak permintaan Hasyim. Orang tua itu menyadari sepenuhnya bahwa Hasyim-lah yang paling berhak mengatur dan membimbing Karman.

Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun ajaran baru tahun 1950, Karman sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota kabupaten yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh pendidikan sampai ke tingkat menengah.

Sekali sebulan, Karman pulang ke Pegaten. Bersepatu dengan kaos kaki, pakaian diseterika dan pakai minyak rambut. Karman seakan berubah menjadi anak kota. Teman-teman sepermainan di Pegaten merasa kagum terhadap anak Bu Mantri itu.

Dalam usianya yang lima belas tahun itu Karman memang terlambat masuk SMP. Namum Karman merasa beruntung. Karena kelebihan umur ia jadi cepat menerima pelajaran dengan sangat baik. Maka Karman dapat menyelesaikan pendidikannya di SMP tepat pada waktunya. Sesungguhnya Karman sangat berhasrat meneruskan sekolah ke tingkat lanjutan atas. Namun Paman Hasyim menyatakan tak sanggup lagi menyokong kemenakan itu. “Cukupkan dulu sekolahmu sampai di sini,” kata Hasyim suatu hari. “Carilah pekerjaan di kantor atau perusahaan. Bila sudah dapat, kamu bisa meneruskan sekolah atau kursus di sore hari.”

Karman tidak melihat jalan lain kecuali menuruti nasihat pamannya. Karman pun maklum, anak pamannya banyak dan dua di antaranya sudah mulai bersekolah di kota. Jadi Karman mengerti bahwa beban pamannya sudah cukup berat.

Dengan ijazah SMP ternyata Karman tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Dua tahun dicari dan ditunggu, pekerjaan yang sangat diharapkan tak kunjung tiba. Untung Haji Bakir tetap bersedia memberinya kesibukan sehingga Karman tidak nganggur. Pak Haji sering meminta Karman mengantar bertruk-truk kelapa ke pabrik minyak.

Karman menerima permintaan Haji Bakir dengan senang hati, demi mendapat kesibukan atau demi lebih sering bertemu Rifah. Gadis bungsu Haji Bakir sudah enam belas tahun. Rifah tidak terlalu cantik. Namun kulitnya yang bersih, matanya yang hidup, dan perangainya yang selalu gembira membuat Rifah jadi menarik. Segar. Dan bagi Karman, anak Haji Bakir itu sudah lama akrab. Rifah sudah lama, sejak masa anak-anak, ada dalam jiwanya. Maka wajar bila Rifah adalah nama pertama yang terbaca di hati Karman ketika ia merasa sudah menjadi lelaki dewasa.

Bahkan Karman pun merasa punya alasan untuk berharap karena sikap Rifah yang tetap hangat. Kemanjaannya terhadap Karman tak berubah seperti ketika keduanya masih suka bermain baling-baling yang terbuat dari daun kelapa. Sayangnya ada satu hal yang pasti tak disadari oleh Karman; Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain. Calon suami Rifah sudah ditentukan oleh keluarga Haji Bakir. Pemuda itu sedang belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur, dan boleh jadi Rifah pun belum tahu apa-apa tentang perjodohannya.

***

Di Madiun, September 1948 terjadi pemberontakan besar. Makar ini dikoharkan untuk merobohkan Republik yang baru berusia tiga tahun, dan menggantinya dengan sebuah pemerintahan komunis. Namun makar yang meminta ribuan korban itu gagal. Para pelaku yang tertangkap diadili dan dihukum mati.

Banyak orang kurang menaruh perhatian terhadap para pelaku makar yang bisa lolos dan Madiun. Orang juga kurang memperhitungkan bahwa Muso, tokoh komunis penggerak makar itu, telah berhasil menanamkan pengaruh terhadap sementara kaum terpelajar.

Seorang terpelajar yang sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Muso lolos dari Madiun dan menjadi guru di Pegaten. Kawan Margo, demikian ia dipanggil oleh teman-teman separtai, adalah seorang kader pilihan. Cerdik dan ulet serta sangat gemar membaca buku atau brosur yang menyangkut partainya. Ia pun berlangganan Harian Merah, sebuah organ partai yang sangat dibanggakannya.

Margo berbadan sedang, rambutnya berombak, dan kebetulan ia punya sepasang alis yang rapat ke mata, mirip alis Lenin.

Tanpa diketahui masyarakat luas Margo berhasil menghimpun beberapa orang yang secita-cita. Yang paling tua di antara kelompok Margo adalah seorang pensiunan masinis pengikut Suryopranoto, seorang tokoh buruh kereta api yang komunis. Tiga tokoh tua lain adalah sisa-sisa pengikut Si Merah, yaitu sempalan organisasi Sarekat Islam membelot ke kiri karena pengaruh Alimin dan Darsono. Seorang lagi adalah Triman yang seusia dengan Margo. Namun Triman berhasil merahasiakan hubungannya dengan kelompok Margo. Ini taktik. Demi taktik itu Triman pada kenyataannya adalah seorang ketua Partai Indonesia, Partindo yang nasionalis.

Margo sangat aktif menambah jumlah anggota partainya. Teman-teman sejawat mulai dipengaruhinya, juga tetangga kiri-kanan, terutama para pemuda. Margo ingin menemukan bibit unggul di antara para pemuda itu untuk dimatangkan menjadi kader pilihan seperti dirinya. Bibit itu memang harus berusia muda, cerdas, dan yang terpenting: anak muda itu punya sejarah demikian rupa sehingga mudah dipengaruhi dan dibina menjadi kader pilihan.



Episode 16
Kubah


Cukup lama Margo mencari calon kader yang memenuhi persyaratan itu. Kemudian ia mendengar kabar bahwa Karman yang pernah menjadi muridnya, kini sedang gelisah karena ingin jadi pegawai dan belum terkabul. Margo cepat menangkap isyarat munculnya sebuah peluang untuk menemukan pemuda yang dibutuhkannya. Dan sebagai sesama warga Pegaten, Margo punya pengetahuan cukup banyak tentang anak Bu Mantri itu. Latar belakang kehidupan keluarganya, kecakapannya serta wataknya. Bahkan Margo juga sudah tahu bahwa Karman naksir Rifah, anak bungsu Haji Bakir. “Tentang kenyataan bahwa Karman dekat dengan tokoh agama seperti Haji Bakir, adalah tantangan bagiku,” pikir Margo. “Yang jelas Karman bisa dijadikan bibit yang luar biasa.”

Pada sebuah pertemuan partai, Margo melaporkan perihal Karman kepada atasannya, seorang lelaki enam puluhan tahun yang selalu berkopiah dan bergigi baja putih. Jabatan resminya adalah pegawai Dinas Sosial Kabupaten.

“Apabila laporan Kawan Margo benar, saya pun berpendapat bahwa Karman bisa dijadikan bibit unggul,” kata si Gigi Baja itu. “Namun untuk mencapai tujuan kita, Kawan Margo hanus sabar, sangat sabar. Ingat, dalam usaha mencetak seorang kader baru, tak boleh ada kata gagal apabila pilihan sudah ditentukan. Maka kita harus bertindak sangat hati-hati, Nah, Kawan Margo punya gagasan apa untuk pendekatan pertama?”

“Yah, tentu saja berusaha menanam jasa kepada dia. Sudah saya laporkan, saat ini Karman sangat membutuhkan pekerjaan. Apabila dia bisa menjadi pegawai atas bantuan kita, maka perkenalan dia dengan kita berlangsung sangat wajar dan mulus. Jadi pertanyaan saya saat ini adalah: apakah ada lowongan pekerjaan yang bisa kita berikan kepada Karman?”

“Tentang lowongan pekerjaan buat Karman, Kawan Margo-lah yang harus menemukannya. Ini tugas partai!”

“Wah, saya hanya mempunyai satu saluran, yakni ke kantor kecamatan. Itu pun tak gampang karena di sana orang-orang Nasional bersikap sangat tertutup. Belum lagi orang-orang Masyumi yang pasti akan menentang setiap usaha saya.”

Si Gigi Baja tersenyum sehingga kilatan logam terbersit di antara kedua bibirnya. Orang tua itu merasa pengetahuannya tak cukup terbaca oleh Margo.

“Satu hal yang Kawan Margo ketahui, pengaruh Kawan Triman terhadap Camat. Meskipun Kawan Triman hanya seorang kepala Kantor Penerangan tingkat kecamatan, wibawanya cukup besar. Camat yang sok ningrat dan bersikap asal tahu beres itu sering menggunakan Kawan Triman untuk menutupi semua kckurangannya. Dan di sana peran Kawan Triman tidak mencolok sebab dia tidak dikenal sebagai orang kita, melainkan orang Partindo.”

“Kalau begitu, Kawan Triman akan menangani penempatan Karman di kantor Kecamatan.”

“Ya, Kawan Margo telah mengatakannya demikian.”

“Ada jaminan Kawan Triman akan berhasil?”

“Keberhasilan berada di tangan kita. Itu ajaran partai. Dan saya tahu betul keadaan di kantor Kecamatan Kokosan itu. Selain Camat yang sok ningrat, kepala tata usaha di sana hanya tamatan Sekolah Rakyat Ongko Telu. Jadi Kawan Triman mempunyai alasan yang kuat untuk meyakinkan Camat bahwa seorang yang lebih berpendidikan perlu diangkat untuk membereskan administrasi. Saya akan membantu usaha Kawan Triman dari atas, dari tingkat kabupaten.”

Margo merasa puas. Ia bersandar ke belakang, lalu menyalakan rokok. Atasannya membuka lembaran-lembaran kertas berisi data tentang Karman. Tiba-tiba Margo berkata, “Bila pekerjaan kita pada taraf pertama telah berhasil, apa yang selanjutnya bisa saya lakukan?”

Laki-laki bergigi baja putih itu tersenyum kembali. Tanpa mengalihkan perhatiannya dari kertas-kertas yang sedang dibaca ia menjawab. Nadanya pasti.

“Jauhkan Karman dari Haji Bakir, dari mesjidnya. Harus ditemukan cara untuk memisahkan Karman dari tuan tanah dan mesjidnya itu.”

“Itu saya sanggup,” jawab Margo.

“Kenyataan bahwa orangtua Karman pernah memiliki satu setengah hektar sawah yang sekarang dikuasai Haji Bakir harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Ini senjata utama. Selanjutnya terserah, asal jangan lupa pekerjaan ini amat memerlukan kesabaran!”

Margo pulang ke Pegaten. Bersama Triman ia mematangkan siasat lebih lanjut. Peran utama untuk sementara beralih kepada orang partai yang sehari-hari dikenal sebagai ketua Partindo itu.

Perburuan dimulai. Halus sekali, tanpa letupan-letupan, bahkan tanpa nada kasar sedikit pun. Karman sungguh terlalu muda untuk menyadari bahwa sedang berlangsung kisah safari yang ditujukan kepada dirinya.

Dalam “tugas kelilingnya” suatu pagi Triman singgah di rumah Hasyim. “Sebagai juru penerang saya memerlukan sedikit kisah Pak Hasyim dalam masa perjuangan,” demikian Triman memulai.

Hasyim tidak melihat sesuatu yang tidak wajar pada kunjungan Triman itu. Dan imannya melarang ia berburuk sangka. Jadi Hasyim melayani Triman dengan semestinya.

“Saya tidak merasa telah berbuat sesuatu yang istimewa, Pak Triman. Siapa pun merasa wajib membela kebenaran, membela negeri ini. Hanya itu yang telah saya lakukan. Atau katakanlah, hanya demikian yang mampu saya berikan kepada negara yang masih muda ini.”

“Pak Hasyim tidak minta didaftar menjadi tentara?”

“Jangankan meminta, menginginkan pun tidak.”

“Dengan luka di leher yang hampir menewaskan Anda?”

“Oh.” Hasyim tersenyum. “Saya tak pantas jadi tentara.”

“Tetapi orang-orang mengerti bagaimana keberanian Pak Hasyim ketika terjadi pencegatan terhadap tentara Belanda di Lemah Abang. Dengan berhasilnya pencegatan itu, satu kompi Laskar Hisbullah jadi lengkap persenjataannya, bukan?”

“Tuhan Yang Mahakuasa yang mengatur segalanya. Oh ya, karena takdir Tuhan juga saya harus kembali menjadi petani. Kebetulan saya mempunyai sedikit sawah. Tugas memanggul senjata sudah saya tunaikan sebisa-bisanya. Kini saya kembali pada tugas keluarga, dan itu ternyata tidak ringan. Apalagi Pak Triman mengerti, kakak saya, Bu Mantri, telah menjadi janda dengan dua anak. Wah, saya merasa tidak dapat memenuhi kewajiban saya terhadap kakak saya tersebut...”

“Oh, apa maksud Pak Hasyim?”


Episode 17
Kubah


“Karman, Pak Triman. Betapa saya ingin menyekolahkan dia sampai tingkat menengah atas, tetapi tak dapat. Anak saya sendiri sudah waktunya membutuhkan biaya. Karman anak yang baik, pintar. Sayang ia harus puas dengan ijazah SMP. Sekarang Karman kusuruh mencari pekerjaan. Apa boleh buat.”

“Wah, sayang memang,” jawab Triman tanpa mengubah sikapnya.

Naif. Hasyim tidak sadar apa yang baru saja diucapkannya adalah kenaifan yang sebesar-besarnya. Ia tidak tahu tamunya merasa amat lega. Seorang pemburu telah diberitahu di mana binatang buruannya berada. Maka dengan hati-hati Triman meneruskan,

“Jadi Karman tidak bersekolah lagi?”

“Begitulah.”

“Dalam keadaan pemerintahan yang belum mapan benar, tidak gampang mencari pekerjaan. Sungguh Pak Hasyim tidak mempunyai cara lain agar Karman bisa meneruskan sekolah?”

“Seperti Pak Triman lihat sendiri.”

“Sungguh sayang, Karman harus menempuh banyak kesulitan sampai ia dapat menemukan pekerjaan. Kecuali misalnya...”

Sengaja Triman berhenti. Sengaja, supaya ia dapat mengukur tanggapan Hasyim.

“Kecuali bagaimana, Pak Triman?” tanya Hasyim penuh minat.

“Yah... kecuali Karman mempunyai sedikit kesabaran serta sedikit nrimo, barangkali saya bisa menolongnya.”

“Lho tunggu, Pak Triman. Saya merasa wajib menyuruh kemenakan saya bersikap sabar dan nrimo bila Pak Triman bersungguh-sungguh.”

“Tentu. Seandainya Karman bisa bersabar saya dapat menempatkan dia sebagai magang di kantor Kecamatan Kokosan. Tentu saja Karman mempunyai harapan baik. Bukankah masih jarang pemuda yang memiliki ijazah SMP seperti dia?”

Hasyim mengangguk-angguk. Di wajahnya jelas terlihat kesan kegembiraan. Ia kelihatan mau berbicara lagi. Dan inilah detik yang baik bagi Triman untuk meminta diri. Pedagang yang licik harus tahu cara merangsang minat seorang calon pembeli.

“Untuk saat ini cukup sekian dulu. Terima kasih atas pelayanan Pak Hasyim. Khusus mengenai Karman; bila dia berminat, suruhlah ia datang ke rumah saya. Sekali lagi, bila ia berminat.”

“Nanti malam?” Hasyim memburu.

“Jangan tergesa-gesa. Besok malam, saya tunggu pukul delapan.”

Keduanya berpisah di pintu. Hasyim menjabat tangan tamunya kuat-kuat. Ia merasa puas karena telah menemukan jalan untuk menolong kemenakannya. Tentulah Triman merasa lebih puas, dan Hasyim tidak akan menyadarinya.

Benarlah, Triman mempunyai pengaruh yang kuat atas diri Camat Kokosan. Ketika ia mengusulkan diangkatnya seorang pegawai baru untuk mengatasi kekalutan administrasi di kantornya, camat yang ningrat itu langsung setuju. Kalaulah ia mengemukakan sedikit syarat, hanyalah karena ia harus menjaga martabatnya. Martabat seorang kepala wilayah yang seharusnya tidak bisa didikte oleh bawahan.

“Apakah pemuda yang bernama Karman cukup mengetahui tata krama dan kesopanan?”

Camat perlu bertanya demikian agar ia dapat menyembunyikan pertanyaan lain yang sebenarnya perlu ia kemukakan, “Apakah Karman tahu aku seorang keturunan bangsawan?”

Beberapa saat sebelum waktunya, Karman telah tiba di rumah Triman. Di tangan pemuda itu ada gulungan kertas tebal yang diam-diam amat dibanggakannya; ijazah SMP berangka tahun 1953. Selain tuan rumah, Karman menjumpai Margo di sana. Kedua orang itu sudah dikenalnya. Triman adalah kepala Kantor Penerangan dan Margo adalah guru sekolah. Karman tidak tahu lebih dari itu.

Triman melayani tamunya dengan ramah, tetapi Margo biasa saja. Ia tetap menekuni brosur yang sedang dibacanya, tidak bangkit menyalami Karman. Pemburu dan mangsanya sudah berhadap-hadapan. Sungguh, tergambarlah dengan saksama kelicikan manusia di satu pihak dan keluguan di pihak lainnya.

“Jadi Paman Hasyim telah mengatakan semuanya kepadamu?” Triman mulai bicara. Senyumnya terkembang, sangat ramah.

“Ya, Pak,” jawab Karman agak malu.

“Tentu pamanmu juga mengatakan syarat-syarat yang harus kaupenuhi agar saya bisa menolongmu, bukan?”

“Sabar dan nrimo,” kata Karman menirukan nasihat Paman Hasyim.

“Dan satu lagi. Kau mengerti jer basuki mowo beyo?”

Mata Karman membulat. Pada dasarnya ia paham maksud ungkapan itu; untuk mencapai suatu tujuan diperlukan biaya. Melihat Karman tercengang, Triman segera meneruskan kata-katanya.

“Nah, pokoknya kamu ingin mendapat pekerjaan. Rasanya, saya dapat menolongmu. Biaya yang kuinginkan bukan berupa uang, tetapi suatu sikap yang kauberikan dengan tulus dan wajar. Apa yang kaujanjikan padaku apabila nanti kamu diterima menjadi pegawai Kantor Kecamatan?”

Karman menundukkan kepala. Bingung ia.

“Bukan uang yang kubutuhkan!” Triman menegaskan.

“Kalau begitu saya hanya dapat menyampaikan rasa terima kasih,” jawab Karman akhirnya.

“Cukup, lebih dari cukup. Hanya itu yang perlu kauberikan kepadaku. Tidak berat?”

Karman tersipu dan menggeleng. Matanya bersinar-sinar, hatinya penuh harapan. Dan ia sedikit pun tak merasa, utang moral baru saja ditandatanganinya.

“Selanjutnya, ketahuilah, saya tidak bekerja sendiri. Bapak itu (sambil menunjuk Margo), yang akan membantumu selanjutnya. Percayalah, dengan bantuan dia kau akan berhasil. Berterimakasihlah kepadanya kelak.”

Hanya seminggu Karman menunggu jawaban dari kantor Kecamatan. Selama tujuh hari itu ia gelisah, ia berdoa. Keinginannya untuk meneruskan sekolah sudah ditinggalkan. Yang diharapkannya sekarang adalah diterima magang di kantor Kecamatan, lalu memasuki masa percobaan menjadi pegawai tetap.

Kalau benar Pak Triman dan Margo membantunya, Karman merasa dirinya patut diangkat menjadi juru tulis, kemudian akan naik menjadi kepala tata usaha atau mantri polisi praja. “Pada saat itu umurku masih amat muda. Ijazah SMP akan mengantar aku ke jabatan wedana. Dan siapa yang menganggap aneh bila pada suatu saat aku dipanggil Bapak Wedana?”


Episode 18
Kubah


Karman tidak merasa lain kecuali nasib mujur sedang menimpanya. Lamarannya diterima. Doanya terkabul. Sedikit pun ia tidak sadar adanya kekuatan tangan-tangan manusia yang sedang menariknya.

Secara berkala Triman mengunjungi anak binaannya yang baru. Diberikannya petunjuk-petunjuk yang perlu diperhatikan oleh seorang calon pegawai. Ia bersikap seperti seorang ayah yang amat memperhatikan kepentingan anaknya. Pengaruh serta wibawa ditanamkan di hati anak muda itu dengan perhitungan yang saksama. Sementara, Karman merasa tak bisa berbuat lain kecuali selalu bersikap hormat kepada para penolongnya.

“Amat penting bagimu untuk selalu menambah pengetahuan,” kata Triman suatu kali. “Apalagi sebelum menjadi pegawai tetap, pasti kau akan diuji. Gunakan kesempatan yang ada untuk membaca buku-buku atau brosur-brosur yang kubawa ini. Mata ujian yang akan kautempuh nanti akan berkisar pada isi buku-buku itu.”

Apa yang dikatakan oleh Triman tentang isi buku dan mata ujian itu tidak semuanya benar. Apa hubungannya antara mata ujian yang harus dihadapi oleh Karman dengan teori-teori tentang pertentangan kelas, cerita tentang pertanian kolektif di Rusia, bahkan teori-teori tentang sejarah materialisme? Tetapi Karman membaca semua buku itu serta sebuah buku kecil tentang pengetahuan administrasi pemerintahan.

Ketika menempuh ujian untuk menjadi pegawai tetap, seorang penilai dari Kabupaten menyatakan Karman lulus. Tetapi yang lain, seorang laki-laki bergigi baja putih, berpendapat sebaliknya. “Saya juga berpendapat Karman tidak bodoh. Ia dapat kita harapkan bisa menjadi pegawai yang cakap, tetapi ia sekarang belum siap. Lihat jawabannya tentang Perjanjian Renville itu. Karman menyebutnya kemenangan di pihak Republik. Padahal kita harus mengatakannya sebagai kekalahan mutlak,” kata laki-laki itu.

Itulah yang terjadi. Karman tidak lulus! Bukan main kecut dan khawatir rasa hatinya. Padahal kalau tahu, Karman tidak perlu punya perasaan demikian. Kelompok Margo hanya menginginkan tambahan waktu untuk membina Karman lebih lanjut, tidak lebih. Lulus atau tidaknya Karman berada di tangan mereka sepenuhnya. Dan kini mereka mempunyai waktu tiga bulan lagi untuk memberi Karman bacaan-bacaan yang berisi doktrin-doktrin partai komunis dan pikiran-pikiran Lenin.

Pada ujian ulangan, Karman lulus. Ia takkan pernah mengaku bahwa ia membayar mahal untuk keberhasilannya itu. Gerak alam bawah sadarnya telah dibelokkan ke arah meyakini komunisme yang secara sabar dan teratur diajarkan oleh kelompok Margo. Melalui buku-buku yang diberikan kepada Karman, orang-orang partai itu berhasil menyusun dasar-dasar kejiwaan yang akan mempermudah mereka membina anak didik yang masih hijau itu menjadi pengikut mereka.

Adalah nyata, Karman merasa ada sesuatu yang kurang ketika ia menerima beslit dua bulan kemudian. Tetapi sebabnya tak bersangkut-paut dengan Margo atau Triman. Karman merasa sayang mengapa beslitnya diterima setelah kabar pertunangan Rifah dengan pemuda lain sudah didengar orang sekampung.

“Sungguh tidak adil!” begitu keluh Karman setiap kali teringat lamarannya yang tidak diterima oleh Haji Bakir. Lamaran Karman untuk memperistri Rifah yang disampaikan oleh Paman Hasyim ternyata terlambat sehingga tak mungkin dilayani.

Paman Hasyim bisa memahami sikap Haji Bakir. Bagi ayah Rifah itu, memang tak mungkin menerima Karman sebagai calon menantu karena sudah ada calon lain yang diterimanya. Namun lain halnya dengan Karman.

Terlambat, itu memang nyata. Tetapi Karman curiga hal tersebut merupakan satu-satunya alasan. Kecurigaan itu terus berkembang karena Karman sendiri yang mengembangkannya. “Seandainya aku yang melamar Rifah lebih dahulu dan diterima, baru kemudian datang Abdul Rahman, kurasa lamaranku akan dibatalkan oleh Haji Bakir.”

Abdul Rahman itu! Semua orang tahu siapa dia. Pemuda dari seberang desa, orangnya memang gagah. Walaupun ayahnya hanya dikenal sebagai pedagang batu akik, tetapi sesungguhnya batu permata yang dimilikinya sekotak penuh. Pokoknya kekayaan kedua calon besan itu berimbang. Abdul Rahman naik Harley Davidson bila pergi ke pesantren di Jombang. Tampan adalah ciri utamanya.

“Seandainya keadaanku lebih baik daripada Abdul Rahman, barangkali Haji Bakir akan menghapus kata ‘teriambat’ dan aku akan diteritna menjadi menantunya. Pokoknya tidak adil.”

Pemuda yang baru menginjak usia dua puluh tahun itu terguncang batinnya oleh kekecewaan yang amat sangat. Dia merasa telah ngemong Rifah selagi ia masih senang bermain titiran. Dia membuatkan Rifah boneka dengan rambut jagung. Rifah menyimpan pasfoto Karman. Rifah minta dituliskan lagu Sepasang Mata Bola. Rifah yang masih memandang dan tersenyum penuh arti. “Dan lamaranku, seorang pemuda yang sudah memegang beslit juru tulis ini, ditolak oleh ayahnya!” keluh Karman. “Seandainya dulu aku tidak berkelahi melawan kambing gila itu, mungkin Rifah telah mati. Setidaknya ia pasti cedera. Jadi kalau bukan karena aku, Rifah tidak akan cantik seperti sekarang. Haji Bakir sungguh tidak tahu diri dan tidak adil!”

Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur di hati Karman. Akibatnya ia mendendam dan membenci Haji Bakir.

Karman memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah orangtua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah. Dan ia memilih tempat lain bila menunaikan sembahyang Jumat.

Apa yang diperbuat Karman adalah balas dendam. Ia merasa disakiti, dinista. Dengan meninggalkan mesjid Haji Bakir, ia pun bermaksud membalas dendam. Bahkan ketika ia mulai sekali-dua meninggalkan sembahyang wajib, ia juga merasa sedang membayar kesumat. Haji Bakir mempunyai mesjid, dan bagi Karman, orang tua itu adalah tokoh agama. Dan wujud nyata agama di desa Pegaten adalah pribadi Haji Bakir itulah! Maka makin sering meninggalkan peribadatan, Karman makin makin merasa puas.

Pemberontakan jiwa anak muda itu segera diketahui oleh Triman dan Margo. Mereka tahu, apa yang sedang dibutuhkan Karman dalam rangka pemberontakannya itu; sokongan dan tepuk tangan! Orang-orang partai itu dengan senang hati akan memberikannya. Mereka berbuat seolah-olah menolong si anak malang. Bukan hendak menenteramkan jiwa Karman, melainkan sebaliknya. Melihat ada dua orang yang memberikan dukungan, Karman bersikap seperti anak kecil yang menangis karena berkelahi dengan teman sepermainan. Di dekat ibunya ia mengepalkan tinju: ini dadaku!



Episode 19
Kubah


Tentang Haji Bakir, kedua orang partai itu berpropaganda kepada Karman:

“Kebaikan yang pernah ia berikan kepadamu adalah contoh kemunafikan yang nyata. Takkan pernah ia menolongmu, menyantunimu ketika kau masih kanak-kanak, apabila ia tidak melihat keuntungan yang dapat diperoleh darimu. Tenagamu, misalnya! Jadi tidak mengherankan apabila Haji Bakir menolak lamaranmu. Seorang tuan tanah selalu jahat, tidak berperikemanusiaan. Pasti ia menganggap kau tidak pantas menjadi menantunya lantaran kau keturunan rakyat jelata. Bukan karena kau datang terlambat. Bukan! Tetapi karena kau miskin dan Abdul Rahman anak orang terkaya juga.

Mereka, orang-orang kaya, adalah kaum penindas yang secara historis selalau mempertahankan kelestarian kelasnya. Mereka tidak ingin seorang seperti engkau masuk ke dalam kalangan mereka. Sadarlah kau sekarang, betapa jahat kaum tuan tanah itu.”

Dan propaganda itu masih ditambah rasa pedas oleh hasutan yang hebat.

“Kau ingat, Karman! Seorang tokoh agama seperti Hap Bakir dengan serakah menguasai tanah sawah milik orangtuamu! Itulah kenyataan yang ada. Haji Bakir dengan caranya yang licin dan licik kini menguasai sawah milik orangtuamu. Lalu apa namanya hal semacam itu kalau bukan kejahatan yang sangat nyata?”

Hanya setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi pada pribadi Karman. Ia menjadi sinis. Segala sesuatu, apalagi yang menyangkut Haji Bakir selalu ditanggapi dengan prasangka buruk. Karman pun mulai berani berterus terang meninggalkan mesjid, meninggalkan peribadatan. Bahkan tentang agama, Karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu untuk membius kaum tertindas.

Namun puncak perubahan kepribadian Karman terjadi dekat sumur di belakang rumah. Siang itu Karman berdiri di sana. Tangannya memegang sebuah parang. Kelihatannya ia agak ragu-ragu. Alisnya turun-naik beberapa kali. Namun akhirnya ia maju mendekati padasan bambu itu dan langsung membelahnya. Penampung air wudu itu dibuatnya menjadi serpihan bambu kecil-kecil. Karman hanya menghancurkan tiga ruas bambu yang tampak tidak berarti itu. Tetapi itulah perlambang yang nyata atas pergeseran nilai yang telah melanda dirinya.

Orang yang paling memperhatikan keadaan Karman adalah pamannya sendiri, Hasyim. Ia menjadi amat masygul. Seperti orang-orang lain, Hasyim mengira Karman hanya sedang merajuk lantaran gagal memperistri Rifah. Tak diketahuinya sesuatu yang lebih serius telah terjadi. Orang tidak mengetahui Margo telah menguasai Karman hampir secara mutlak. Memang, hubungan antara keduanya tidak mencolok. Lagi pula siapa yang tahu bahwa Margo sebenarnya seorang kader partai komunis? Justru orang Pagetan lebih mengenal pribadi Triman. Karena jabatannya ia sering keluar-masuk kampung. Semua orang tahu Triman ketua Partindo. Bagi orang Pegaten adalah mustahil seorang Partindo mempengarahi Karman agar meninggalkan sembahyang.

Apa yang dijumpai Hasymn ketika ia datang memperingatkan kemenakannya, sangat mengejutkan. “Sungguh kelewatan, rupanya aku datang terlambat,” keluh bekas Laskar Hisbullah itu. Hasyim merasa ngeri bila teringat pembicaraan dengan Karman.

“Karman, aku tak bisa mengerti mengapa kau meninggalkan nikmat itu, nikmatnya orang yang melaksanakan kewajiban. Apakah kau belum bisa merasakan kepuasan jiwa selagi kau bersujud, sehingga kau menganggap kewajiban itu hanya sebagai pikulan yang menindih pundakmu? Atas nama almarhum ayahmu, aku minta kau kembali seperti semula. Kembali menjadi manusia yang menyadari siapa dirinya; yang tak mempunyai andil sedikit pun atas keberadaanmu di dunia ini. Sujudlah kembali kepada yang lebih berkuasa atas dirimu.

Pamanmu ini tahu kau merasa kecewa karena gagal memperistri Rifah, sehingga kau ingin menjauhi Haji Bakir dan keluarganya. Namun kekecewaan ini seharusnya tidak mempengaruhi hubunganmu dengan Tuhan. Dan kurasa Haji Bakir tidak bersalah. Dia berhak menerima lamaran Abdul Rahman bagi anak gadisnya. Haji Bakir berbuat demikian tanpa maksud hendak menyakiti siapa pun, tidak juga engkau.”

Kemenakannya itu diam. Bukan karena hendak menaati nasihat pamannya, melainkan karena ia belum melihat jalan untuk menjawab. Bila kata pertama sudah keluar, pastilah rentetan jawaban akan segera menghambur. Segudang tangkisan sudah siap di otak Karman. Karena melihat Karman terdiam Hasyim menyambung, “Supaya engkau mudah menemukan jalan kembali, perbaiki dulu silaturahmi dengan Haji Bakir. Kau pantas berbuat demikian. Beliau telah memberi kesempatan padamu untuk menamatkan sekolah rakyat. Beliau pula yang mengkhitanmu, bukan?”

Karman gelisah oleh gejolak perasaannya. Sudah terbuka pintu bagi kata-kata tangkisan. Ia mengangkat muka ke arah pamannya, satu tindakan yang baru pertama kali dilakukannya.

“Paman, aku tak mungkin berbaik kembali dengan Haji Bakir, bukan karena hanya soal Rifah. Masih banyak alasan lain bagiku untuk bersikap seperti itu.”

“Lho... kenapa?”

“Karena bersikap baik terhadap haji itu sudah tak perlu lagi. Kalau Haji Bakir merasa telah berbuat kebajikan padaku, ia telah memperoleh kembali imbalan yang lebih.”

Hasyim terkejut mendengar jawaban kemenakannya.

“Sejak kapan kau berpikiran seperti itu, Karman?” tanyanya keras. Tetapi Karman kelihatan siap menghadapi pertanyaan yang betapapun tajamnya. Secara mantap kemenakan itu melanjutkan kata-katanya.

“Siapa pun yang hendak bersikap adil, Paman, tidak boleh ingkar bahwa aku telah membayar tunai tiap butir nasi yang kuterima dari Haji Bakir. Aku bekerja padanya, bahkan ketika aku masih belum pantas bekerja. Hasil kerjaku di sana lebih besar nilainya daripada imbalan yang kuterima. Jadi aku tak berutang apa pun kepada Haji Bakir.”

“Karman! Meskipun ada sedikit kebenaran pada kata-katamu, tetapi setan apa yang sedang mendiktemu? Saya tahu pasti Haji Bakir tidak sekali-kaii memeras tenagamu. Beliau hanya melatihmu mengetahui pekerjaan, agar kau tidak menjadi pengemis! Itu tugas mulia, tahu?

Dan jangan pungkiri kenyataan setiap panenan Haji Bakir membayar zakatnya. Perutmu sendiri sering dibuat kenyang oleh padi zakat beliau!”
Episode 20
Kubah


Kata-kata keras itu disengaja oleh Hasyim untuk menghentikan jawaban kemenakannya yang keji. Dan ia salah perkiraan. Karman malah jadi beringas ketika mendengar ucapan-ucapan keras yang dilontarkan pamannya.

“Nah, Paman,” kata Karman terengah-engah menahan marah, “sesungguhnya aku tak ingin mengatakan, tetapi Paman telanjur menyinggungnya. Seperti Paman juga, orangtuaku mendapat warisan satu setengah hektar sawah. Di mana sawah orangtuaku sekarang? Sawah itu sekarang dikuasai Haji Bakir, bukan?”

Hasyim terbelalak. Samar-samar ia mengetahui ke mana arah pertanyaan Karman.

“Kau ingin tahu, apa kau belum tahu?” jawab Hasyim.

“Saya sudah tahu, Paman...”

“Lalu?” potong paman itu pula.

“Saya ingin Paman yang mengatakan di mana sawah orangtuaku sekarang.”

“Sudah menjadi milik Haji Bakir.”

“Dengan cara bagaimana?” kejar Karman dengan sinis. Seandainya Hasyim tahu, itulah gaya Margo.

“Demi aku hendak menjadi saksi atas kebenaran! Ayahmu sendiri yang mendesak Haji Bakir agar melaksanakan tukar-menukar. Satu setengah hektar sawah milik ayahmu menjadi milik Haji Bakir yang memberikan satu ton padi. Itu terjadi ketika hampir semua orang mati kelaparan. Padi menjadi amat sangat jarang. Bila ada, harganya bukan main mahalnya. Karman, kau bayi ingusan. Mana tahu tentara Jepang merampas semua bahan makanan milik penduduk untuk kepentingan peperangan. Bila orang sedang sekarat karena lapar, maka baginya sepiring nasi lebih berharga daripada sehektar sawah. Sudah kukatakan ayahmulah yang mendesak Haji Bakir. Tukar-menukar itu sah karena telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dari segi apa pun aku tidak melihat kesalahan Haji Bakir. Tapi kalau kau mau terus bertanya, beginilah kalimatnya: Mengapa ayahku tidak tahan makan ubi rebus untuk mengganti nasi, seperti dilakukan semua orang saat itu? Mengapa ayahku mengharuskan dirinya tetap makan nasi sehingga sawah itu terpaksa berpindah tangan?

Jangan menyalahkan orang lain bila sudah nyata ayahmulah yang bertanggung jawab. Kini ayahmu telah meninggal. Tuhan melarang kita mengungkit-ungkit perbuatan orang yang telah selesai melaksanakan tugasnya.”

“Paman, bagaimana aku akan mengatakan adil bila satu setengah hektar sawah hanya ditukar dengan satu ton padi? Pokoknya tidak adil. Sudah bagus bila aku tidak menuntut sawah itu kembali. Mengapa aku harus berbaik terhadap orang yang menyebabkan seisi rumahku sengsara?”

Hasyim menutup muka dengan kedua tangannya. Tiga kah beristighfar, belum cukup menenangkan perasaannya.

“Luar biasa,” pikirnya. “Hati kemenakanku telah penuh dengan keingkaran, hati nurani serta akal budinya telah tertutup. Inilah cikal bakal kesesatan Karman.”

Setelah diam beberapa saat untuk menciptakan suasana yang lebih sabar, Hasyim meneruskan bicaranya.

“Bagaimana juga, Karman, kau adalah anakku. Jangan ajak aku berdebat. Turutilah nasihatku: kembalilah kau ke jalan semula. Paling tidak, kembalilah kepada Tuhanmu. Itu perintah.”

“Biarkan aku pada diriku sendiri, Paman.”

“Hai, Karman! Hanya untuk menjadikan dirimu seperti inikah aku bersusah payah menyekolahkanmu?”

“Aku sudah dewasa, Paman. Benar, aku mengaku telah Paman beri biaya. Kalau Paman menghendaki segala biaya itu kembali, pasti akan kubayar.”

“Laknat...!”

Hasyim bangkit. Badannya menggigil menahan amarah. Keringat di dahinya. Keringat di telapak tangannya. Mata dan seluruh wajahnya merah. “Misalkan aku masih menjadi Laskar Hisbullah. Misalkan masih ada bedil di tanganku, sebutir peluru cukup untuk menutup mulut anak durhaka ini.”

Otak Hayim telah mengirim perintah ke otot tangan. Tetapi batal pada saat terakhir. Saat ketika Hasyim teringat: berwasiatlah dalam kebenaran dan kesabaran.

Paman yang sedih dan masygul itu pulang. Hatinya menangis.

Kamar itu tidak bisa dikatakan sebagai ruang perpustakaan yang baik. Tidak cukup luas, lemari bukunya hanya terbuat dari kayu murahan. Peliturnya sudah botak di sana-sini. Di atas lemari terpasang potret tokoh komunis Rusia; Lenin pada latar belakang merah. Namun orang segera mendapat kesan; si pemilik perpustakaan itu seorang yang gemar membaca. Tak kelihatan sebuah buku pun yang masih bersih. Semuanya sudah berminyak karena sering dijamah oleh tangan pemiliknya. Brosur-brosur stensilan tertumpuk di sebelah bawah, kelihatan sudah lecek.

Dua orang berada di dalam ruangan itu. Margo sedang memberikan laporan rutin kepada atasannya. Sekali ini laporan yang menyangkut Karman menjadi titik pusat pembicaraan. Laki-laki bergigi besi itu seperti biasanya, jarang tersenyum. Ia tidak bergembira meskipun laporan yang sedang dibacanya memuaskan. Bahkan sekali pun ia belum pernah memberi pujian kepada Margo.

Sesungguhnya Margo layak mendapat pujian itu. Karena sebagai kader partai, hasil kerjanya dapat diukur pada peristiwa Pemilihan Umum tahun 1955. Pada saat itu di Pegaten hanya ada tujuh suara yang memilih partainya. Tetapi pada pemilihan untuk penentuan anggota konstituante yang diadakan setahun kemudian, jumlah pemilih partainya menjadi tiga ratus lima puluh tiga. Kenaikan lebih dari lima puluh kali.

“Belum genap dua tahun Kawan Margo membina anak muda itu, dan Kawan telah merasa yakin?”

“Ya, saya sudah merasa yakin. Sudah saatnya Karman disumpah menjadi anggota partai,” kata Margo.

“Tidak terlalu tergesa-gesa?”

“Oh, itu hanya usul saya. Akhirnya Kawan yang akan memutuskan.”

“Nanti dulu,” ujar si Gigi Besi lagi. “Kawan Margo belum melaporkan kelemahan-kelemahan yang ada pada diri Karman. Nah, Bung bisa menyebutkannya sekarang.”

Margo tersenyum teringat keteledorannya. Kemudian ia mengusap dahinya yang lebar.

“Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang terpengaruh, dan sewaktu-waktu bisa marah.”

“Kecakapannya?”

Episode 21
Kubah


“Dia sangat berbakat. Otaknya boleh.”

“Saat ini umurnya menjejang dua puluh dua tahun?”

“Benar.”

Laki-laki itu diam. Urat nadi yang melentang pada dahinya menegang. Sambil menyalakan rokok ia meneruskan, “Masih terlalu muda. Apalagi dengan watak-watak yang kaukatakan tadi. Karman belum bisa kita sumpah. Yang penting, kendalikan selalu anak itu. Dan...”

Si Gigi Besi menjadi bersungguh-sungguh untuk memberi tekanan kepada kalimat yang akan dikatakannya, “Kawan Margo masih ingat Rifah?”

“Ya, dia bekas pacar Karman,” jawab Margo sungguh-sungguh.

“Suaminya meninggal sebulan yang lalu, bukan? Kudengar Harley-nya menabrak pohon.”

“Memang begitu.”

“Sekali lagi Kawan kurang teliti, dan teledor. Triman mengatakan kepadaku bahwa terlihat gejala cinta Karman kepada Rifah kambuh kembali. Bagaimana pendapat Kawan?”

“Terlalu riskan membiarkan Karman berhubungan kembali dengan bekas pacarnya. Memang, partai bisa mengambil keuntungan apabila Karman mampu memberi warna merah pada keluarga Haji Bakir. Tetapi tampaknya mustahil.”

“Bila demikian Kawan telah siap mencegahnya, bukan?”

“Maafkan saya, belum!”

“Oh ya, saya lupa Kawan bujangan. Barangkali Triman lebih cocok untuk menangani masalah ini. Tetapi dengarlah, seorang yang menginginkan sate kambing, keinginannya agak berkurang bila kepadanya kita sodorkan sesuatu sebagai gantinya. Sate daging sapi misalnya. Kawan bisa mengerti apa yang saya maksud?”

Margo tertawa.

“Dan partai mempunyai seorang perempuan yang punya bakat menjadi sate sapi seperti itu.”

***

Kematian Abdul Rahman tidak pernah mengusik hati Karman. Tetapi akibatnya, Rifah menjadi janda. Dan itulah masalahnya.

Sudah dua tahun Karman berusaha keras melupakan anak Haji Bakir itu. Hampir berhasil. Karman sudah mengenal gadis lain yang bila sekaya Rifah pasti ia lebih cantik. Marni mempunyai lekuk di sudut bibir yang amat menarik. Selalu jantung Karman terpacu bila terpandang kelebihan gadis yang ramping, berlengan kecil serta bening suaranya itu. Marni selalu tampak tenang dan lembut.

Karman tidak memutuskan segera mengawini Marni, sebab ia takut mengalami kegagalan untuk kali yang kedua. Atau kalau Karman mau berkata sejujur-jujurnya, ia belum bisa melupakan Rifah sama sekali.

Tetapi bekas pacarnya itu kini menjadi janda. Garis waktu yang dilalui Karman terasa mundur dua tahun. Kenangan dan harapan yang hampir terkubur itu perlahan-lahan tumbuh kembali. Rifah masih tetap menarik meskipun sedang hamil, bahkan kelihatan lebih matang. Karman dapat melihat dengan pasti ketika ia datang melayat almarhum Abdul Rahman. Memang Karman tetap merasa enggan atau malu terhadap keluarga Haji Bakir, sehingga ia tidak mengambil peran apa pun dalam kesibukan merawat jenazah. Namun ia sempat melihat, bahkan berdekatan dengan Rifah, yang berpakaian acak-acakan dan menangis. Pinggulnya rata karena janin yang dikandungnya sudah berusia lima bulan. Tangisnya menyebabkan pipi dan ujung hidungnya merah. Pokoknya pesona masih terkesan kuat pada tiap bagian tubuh Rifah.

“Akan terjadi banyak pemuda berebut melamar janda muda itu,” kata Karman dalam hati. “Lalu, mengapa aku harus diam? Tak ada harta yang dapat kubanggakan memang, tetapi aku dapat memberi kesempatan kepada Rifah bergaul dengan kalangan terhormat. Bila mau jadi istriku, Rifah akan duduk bersama Bu Camat, Bu Wedana, Bu Penilik dalam resepsi tujuh belasan misalnya. Tidak mustahil pada suatu ketika Rifah akan kugandeng sampai ke pendopo Kabupaten untuk ikut menghadiri resepsi para pegawai pamongpraja.”

Kemudian Karman tersenyum sendiri ketika teringat Rifah hanya melirik genit bila dicubit tengkuknya. Itu dulu.

Tetapi lamunan Karman yang melangit selalu dibuat tawar oleh kenyataan yang terpapar di depannya. Bagaimana pun sudah tergelar padang perbedaan di antara dirinya dengan keluarga Haji Bakir. Karman sadar, sudah lama ia membenci keluarga itu. Bukan mengada-ada bila ia menganggap Haji Bakir sebagai orang kaya yang telah menguasai satu setengah hektar sawah orangtuanya secara tidak sah. Seorang tuan tanah yang jahat, penuh kemunafikan. “Contoh nyata dari kelas penindas,” pikir Karman mengulangi ajaran gurunya, Margo.

Berhari-hari Karman terombang-ambing oleh pikiran sendiri. Pergulatan batinnya semakin seru. Namun sampai kelopak matanya cekung karena kurang tidur, Karman belum bisa memutuskan apakah ia akan melamar kembali Rifah atau tidak. Yang jelas, ingatannya kepada anak Haji Bakir itu bukannya semakin surut. Malah sebaliknya.

Pada hari-hari yang membingungkan itu, Triman datang. Sikapnya khas, senyumnya khas, seperti seorang ayah yang sangat bijaksana, yang selalu memahami suasana hati anaknya. Melihat keadaan Karman, Triman tertawa kecil.

“Wah, kau kelihatan amat letih, Karman. Kukira apa yang kauperlukan sekarang adalah istirahat barang beberapa hari. Rupanya kau terlalu banyak melek, bukan? Yah... janda muda itu bekas pacar pula! Aku tahu karena aku pun pernah jadi anak muda.”

Merasa tertebak isi hatinya, Karman tersipu. Ia tertawa meskipun hambar kedengarannya.

“Rupanya tak berguna lagi saya berpura-pura,” katanya.

“Memang kau tak perlu berpura-pura. Masalahnya, mengapa kau sampai membiarkan dirimu menjadi kurus seperti itu. Tenang dan bersabarlah. Kulihat tak ada laki-laki di Pegaten ini yang berani melamar Rifah. Jadi sekali lagi, bersabarlah. Kau takkan ketinggalan kereta!”

“Kesulitan yang saya hadapi bukan hanya masalah sabar atau tidak,” jawab Karman. Mukanya beku.



Episode 22
Kubah


“Ya, saya mengerti. Justru dengan bersikap sabar persoalannya menjadi agak ringan. Jangan paksakan dirimu, sakit kau nanti. Sekarang dengarlah usulku. Ambil cuti tahunanmu supaya kau dapat pergi berlibur bersamaku. Ada sebuah jip pinjaman yang bisa kita bawa ke Semarang. Gunakan kesempatan ini untuk menenangkan pikiranmu. Langkah apa yang akan kauambil terhadap Rifah dapat kautentukan sesudah badan serta pikiranmu segar, sepulang kita dari Semarang. Bagaimana?”

Terlalu mendadak tawaran yang menyenangkan itu schingga Karman memerlukan waktu sesaat untuk memikirkannya. Sementara itu ia bangkit mengambil minuman ke belakang. Bu Mantri mempunyai kecakapan istimewa dalam membuat tepung kopi, seakan-akan ia menyimpan resep rahasia. Triman selalu puas atas hidangan segelas kopi di rumah Karman. Setelah duduk kembali, malah Triman yang menyambung pembicaraan.

“Saya tahu kau hanya mengenal ibu kota propinsi lewat lagu Gambang Semarang, bukan? Seorang pegawai pamongpraja selayaknya mempunyai pengalaman yang nyata atas keadaan pusat pemerintahan Jawa Tengah ini.”

“Besok saya sudah dapat memberi jawaban yang pasti. Mari kita minum kopi ini dulu, nanti dingin.”

Apa yang mendorong Karman memutuskan ikut berlibur ke Semarang, ia sendiri tidak dapat memastikan. Boleh jadi ia benar-benar ingin melihat kota itu, atau karena ia selama ini tidak mampu menolak kehendak Triman.

Jip itu milik Tan Oen Sok, orang Baperki, organisasi kelompok Cina yang prokomunis. Tan mempunyai dua pabrik tapioka dalam wilayah Kecamatan Kokosan. Kegiatan perdagangan serta cadangan modal yang beredar di daerah itu sebagian besar berada di tangan Tan, yang ternyata bisa kebal terhadap peraturan Pemerintah. Tan tetap mempertahankan kewarganegaraan Cina, berarti melanggar ketentuan Pemerintah yang melarang Cina asing tinggal di kota kecamatan. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1958 dilangkahinya. Kelak akan terbukti, beberapa bulan sebelum terjadi geger Oktober 1965, Tan melakukan kegiatan perdagangan yang aneh. Ia membeli mancung dalam jumlah besar dari para penduduk. Bunga kelapa yang belum mekar itu hampir memenuhi gudangnya. Selain bunga kelapa, Tan juga mau membeli jantung pisang yang belum mekar. Pen­duduk memang terlalu bodoh untuk berpikir apa yang dikehendaki oleh Cina itu sebenarnya. Belakangan saja orang sadar bahwa kegiatan tokoh Baperki itu sebenarnya bermakna politis. Dengan membeli mancung dalam jumlah sangat banyak, maka penduduk yang sebagian besar bergantung kepada produksi gula kelapa, akan kehilangan sumber penghasilan. Itulah, Tan ingin melaksanakan politik memiskinkan rakyat agar gampang dihasut. Hebatnya ia mampu hidup di segala zaman. Setelah peristiwa tahun 1965, ia lari ke Bandung dengan meninggalkan banyak harta. Tak apa, pokoknya ia sejahtera di tempatnya yang baru sampai matinya kelak.

Hari Minggu, pagi sekali Karman dijemput. Selain sopirnya, hanya ada Triman di dalam jip itu. Tetapi di luar desa Pegaten, Margo naik bersama seorang perempuan. Karman sudah mengenal Suti, perempuan yang dekat dengan kelompok Margo dan lumayan istimewa. Artinya perempuan itu dikenal pandai menjinakkan suami. Sering suami Suti tinggal di dapur selagi istrinya sibuk berdiskusi dengan para kamerad. Selalu ada acara lain sesudah diskusi itu selesai. Kalaulah Suti bukan perempuan istimewa, tentu suaminya akan membawa pentungan, masuk ke kamar dan menangkap basah istrinya yang sering melayani orang-orang seperti Triman, konon demi partai.

Jadi antara Suti dan suaminya telah terjadi keseimbangan yang aneh. Mereka mempertahankan status quo dalam rumah tangga mereka. Yang tidak tahan melihat maksiat semacam itu adalah mertua Suti sendiri. Perempuan tua itu mati lantaran tekanan batin.

Dalam perjalanan itu Margo dan Triman mengambil tempat di belakang. Di depan Suti mendampingi Karman yang mabuk. Perempuan itu mengolesi tengkuk, dada, serta perut Karman dengan balsem cap Macan. Rabaannya menunjukkan keahliannya. Terkadang ia mencubit paha Karman.

“Ayolah, bocah bagus, jangan mabuk terus.”

Sebelum matahari terbenam rombongan itu tiba di Semarang. Mereka mencari losmen. Malam pertama di kota im tidak menyenangkan Karman. Badannya lesu. Pusing. Lemas. Dan urat-uratnya kaku. Karman masuk angin. Suti menjadi perawat, menyediakan air hangar untuk menyeka dan membelikan Aspirin. “Buka bajumu, kau perlu kerokan.”

Pada malam kedua Karman merasa sehat kembali. Margo memimpin rombongannya menghadiri suatu pertemuan kecil. Diskusi. Kemudian Karman diperkenalkan kepada pengurus partai tingkat propinsi. Agak terkejut juga dia ketika pagi-pagi berikutnya Margo dan Triman pulang ke Pegaten dengan jip itu.

“Kau sebaiknya mengenal kota Semarang ini dengan lebih baik. Suti akan menemanimu,” kata mereka sebelum berangkat.

Suti berusia tigga puluh dua tahun. Di sebuah losmen yang hanya mementingkan banyaknya tamu, ia mendapat mainan sebuah boneka. Segar dan perjaka pula. Suti menggunakan partai untuk berahinya, atau ia menyalurkan berahi demi partai. Sama saja.

Sebatang pohon kopi yang tumbuh di belakang rumah Karman sudah berbunga. Warnanya putih. Harumnya menyebar ke mana-mana, terutama pada pagi dan malam hari. Inilah pertanda awal kemarau. Rumpun bambu menguning, kemudian meranggas. Kebanyakan orang Pegaten mulai bekerja membuat oyek. Panenan baru akan tiba sepuluh bulan kemudian. Anak-anak pergi ke sawah yang telah kerontang. Mereka menangkap belalang, kemudian dibakar dalam bara yang terbuat dari tai sapi kering yang dinyalakan. Atau mereka menaikkan layang-layang daun gadung kering yang diberi kerangka lidi. Talinya serat batang pisang.

Sepulang dari Semarang, kekalutan di hati Karman mereda. Hanya sebentar. Begitu ia menghirup udara Pegaten, ingatannya terhadap Rifah mengusik kembali. Apa yang pernah dikatakan oleh laki-laki bergigi besi itu tentang “sate kambing” tidak mutlak benar. Bahkan Karman tidak bisa mengatakan apa-apa tentang pengalamannya bersama Suti di Semarang kecuali apa lagi kalau bukan berahi semata-mata.

Sudah tiga kali Karman mencoba memberanikan diri menghadap Haji Bakir, dan selalu dibatalkannya. Pada saat seperti itu ia bingung karena menemukan dirinya telah lama memusuhi ayah Rifah itu.



Episode 23
Kubah


Dan sampailah Karman pada puncak kegelisahannya. Malam itu bulan muda hanya sebentar memberikan sinar temaram. Tetapi rasi Bima Sakti tampak jelas seperti gugusan pasir yang bercahaya, menyebar di langit, membujur dari selatan ke utara. Karman tetap duduk sendiri di beranda meskipun malam telah larut dan dingin. Harum bunga kopi tercium oleh pemuda yang sedang resah itu. Kelembutannya memancing perasaan halus Karman. Ia bangkit. Ia mendengar nalurinya berbisik, makin lama makin nyata: “Temui Rifah, temui Rifah! Sekarang, sekarang!”

Karman termangu, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Dipakainya kain sarung, dicarinya kopiah yang sudah lama tersimpan di rak lemari paling bawah. Tiba-tiba ia berhenti bergerak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Kemudian diambilnya sebuah pulpen dan sehelai kertas, dan keluar.

Pegaten sedang tidur lelap. Seekor kampret mengirapkan sayapnya di antara daun-daun jambu. Burung bence melintas dari utara. Suaranya nyaring. Seorang tetangga terbatuk dalam tidurnya.

Karman mengangkat ujung kain sarungnya, lalu berjalan. Sandal yang berlapis karet mentah membuat langkah-langkah Karman hampir tak bersuara.

Tetapi hatinya terasa demikian kacau ketika kakinya mulai menginjak pekarangan rumah Haji Bakir. Karman berhenti, hampir berbalik. Ketika itulah suara dalam dirinya kembali terdengar dengan jelas: “Terus, terus! Kau harus bertemu Rifah sekarang!” Dan Karman kembali melangkah.

Sampai dekat serambi mesjid Karman berhenti, duduk di jenjang tangga. Masa kanak-kanak sebagian besar dilewatkannya di tempat itu. Namun sudah hampir dua tahun ia tidak menginjaknya. “Bagaimanapun mesjid ini adalah tempat yang netral. Misalnya aku kepergok seseorang, aku masih dapat berdalih hendak bersembahyang.”

Lama sekali Karman terdiam di tempat itu. Dari dalam serambi mesjid ia mendengar dengkur anak-anak yang sudah lama lelap dalam tidur mereka.

Semenjak kematian suaminya, Rifah kembali ke rumah orangtuanya. Karman tahu betul letak kamar tidur Rifah. Ya. Dan Karman bangkit perlahan-lahan, berjalan berjingkat menuju arah samping rumah Haji Bakir dari sisi mana ia dapat mendekati kamar itu. Karman harus melewati emper gudang padi dan tempat penimbunan kelapa. Andaikan Hafi Bakir terbangun dan memergokinya, Karman sudah menyediakan jawaban yang gila: ingin bertemu Rifah!

Jadilah. Karman yang sudah nekat kini mencapai jendela kamar bekas pacar yang sedang digilainya. Ia berhenti untuk mengamati keadaan sekeliling. Terdengar ribut-ribut kecil di kandang ayam, dan jantung Karman berdenyut lebih cepat. Nanum suasana jadi lengang kembali. Karman ingin mengintip tetapi ia tidak menemukan seberkas sinar pun yang keluar dari celah jendela. Ah, Karman mujur karena kamar itu masih tetap berdinding papan jati tebal, ciri khas rumah orang kaya di Pegaten. Oh, Karman harus berterima kasih kepada serangga-serangga halus yang telah mengikis sebuah celah sambungan dua buah papan. Hati-hati sekali mata kanan dipasangnya pada celah kecil itu. Napasnya dikendalikan agar tidak menimbulkan suara. Tidak gampang menemukan kalimat yang pantas untuk melukiskan perasaan Karman ketika ia melihat pemandangan di dalam sana. Seorang perempuan muda sedang duduk berdoa di atas sajadah yang digelar di lantai. Rifah masih dalam pakaian sembahyang.

Wajah itu dibatasi oleh kain putih yang melingkari wajahnya dengan ketat. Mata itu setengah terpejam. Bibir kecil itu meruncing di kedua ujungnya, bergerak-gerak menggetarkan doa. Wajah yang damai, alami, nyaris tanpa ekspresi apa pun. Tetapi ada sepasang intan air mata yang membiaskan sinar lampu di depannya.

Hingga beberapa saat lamanya Karman memasang sebelah matanya pada celah itu. Lalu tegak kembali, bersedekap. Kesejukan terasa mengguyur hatinya, setidaknya untuk sementara. Dan setelah detak jantungnya kembali normal, sadarlah ia bahwa sesuatu yang agak luar biasa baru saja dilihatnya. Pasti waktu itu sudah lewat tengah malam, dan Rifah masih duduk berdoa. Karman dapat merasakan kesedihan seorang istri yang ditinggal suami buat selama-lamanya, dengan kandungan lima bulan pula. Kesedihan, doa, dan keheningan tengah malam. Hubungan antara ketiga hal itu terasa begitu kudus dan alami. Karman pun dapat merasakannya, tetapi ia sudah lama tidak berdoa.

Untuk kedua kalinya Karman mengintip. Ia masih melihat pemandangan yang sama. Bahkan ia sekarang merasakan pantulan keikhlasan dan kedamaian dari wajah Rifah. Jiwa Karman tergetar. Kalau boleh rasanya ia mau menangis. Pelan-pelan ia mundur. Terbayang olehnya seorang perempuan lain, Suti. Liarnya. Berahinya. “Kalau Rifah dan Suti sama-sama perempuan, apanya yang beda?” pikir Karman. Ia melihat dan merasakan perbedaan antara keduanya, tetapi ia takkan memperincinya satu-satu. Terlalu banyak.

Akhirnya Karman mengeluarkan pulpen dan kertas. Ditulisnya: Rif, aku Karman. Tolong, bukalah jendelamu, sedikit saja. Aku hanya ingin melihatmu dengan nyata. Percayalah, aku hanya ingin melihatmu. Aku amat rindu padamu.

Tulisan yang dibuat hanya dengan bantuan seberkas sinar itu pasti acak-acakan. Lalu Karman menjepitkan kertas itu pada pulpen Parker-nya. Melalui celah antara lantai dan dinding papan, surat itu diselorokkan ke dalam. Sebelum berbuat demikian Karman menirukan bunyi seekor kucing. Lirih saja. Mudah-mudahan Rifah ingat semasa kecil Karman sering menggodanya dengan suara seperti itu.

Hening. Karman dapat mendengar suara napasnya sendiri. Karman dapat merasakan denyut jantungnya sendiri. Ia hampir jatuh lemas ketika mengintip ke dalam. Rifah tak bergerak sedikit pun, meski ia melihat sesuatu yang diselorokkan ke hadapannya. Rifah juga mendengar suara kucing. Nalurinya sudah memberitahu bahwa Karman ada di luar kamarnya.

Seandainya tidak malu kepada dirinya sendiri, tentu Karman akan berdoa, “Ya Tuhan, suruhlah Rifah memungut surat itu. Mati aku kalau ia diam saja.”

Ternyata Rifah bergerak mengambil surat itu. Dibacanya sejenak, lalu ditatapnya satu-satunya celah yang pasti digunakan Karman untuk mengintip. Walaupun dibatasi oleh dinding kayu jati yang tebal, jantung Karman berdebar keras ketika melihat bola mata Rifah diarahkan kepadanya. Tenang dan sayu.

Kemudian Rifah bangkit dan menulis jawaban. Kertas dan pulpen itu kembali menerobos tampat yang sama di bawah dinding.


Episode 24
Kubah


Masih dengan bantuan sinar seberkas, Karman membaca tulisan Rifah: Tuhan hanya menyuruhku menghormati tamu yang datang dengan cara baik-baik. Bertamulah besok pagi kepada Ayah. Insya Allah aku akan menemuimu juga. Sekarang jangan kauganggu aku. Pulanglah, atau kubangunkan Ayah!

Tiba-tiba Karman merasa dirinya susut menjadi binatang kecil. Malu dan sedih. Anehnya, Karman masih mampu menangkap keanggunan sikap Rifah. Untuk sekian lama Karman termangu. Namun akhirnya ia merasa tak punya pilihan lain kecuali pulang. Di luar, udara makin dingin mencekam. Burung bence kembali melintas di udara malam sambil berteriak-teriak. Kampret-kampret masih mengirapkan sayap mereka di antara daun-daun jambu. Terdengar suara tangis bayi. Barangkali orok itu kedinginan oleh udara musim kemarau atau oleh kencingnya sendiri.

Sampai ke kamarnya Karman tidak segera tidur. Dibacanya kembali tulisan Rifah itu, diciumnya. Sebenarnya ia mengharapkan bau wangi. Tetapi yang masuk ke hidungnya adalah uap tinta yang apek.

Dalam tidurnya yang hanya sesaat, Karman digeluti mimpi yang melelahkan, seakan-akan ia berkelahi dengan kambing Haji Bakir. Bedanya, dalam mimpi itu ada Margo, Triman, dan Suti. Mereka mengepalkan tinju sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Mereka tidak datang menolong. Juga dalam mimpi itu Rifah tidak berterima kasih sama sekali. Ketika terbangun dada Karman terasa sakit, sakit sekali.

Peringatan seratus hari meninggalnya Abdul Rahman sudah lewat. Kandungan Rifah makin besar, makin besar. Ia berharap bulan depan akan melahirkan anaknya yang pertama. “Andaikata anakku lahir laki-laki, tentu ia gagah seperti ayahnya. Hidungnya manis, matanya galak,” demikian harapan calon ibu yang masih amat muda itu.

Bila malam tiba Rifah sudah tidak menangis lagi. Ia sudah dapat menerima ketentuan Tuhan dengan hati ikhlas. Ayahnya selalu berkata, “Takdir Tuhan adalah hal yang paling baik bagimu, betapapun getir rasanya. Bertakwa kepada-Nya akan membuat segala penderitaan ringan.”

Tetapi lepas dari nasihat ayahnya, Rifah merasa ada kekosongan dalam hatinya. Ada sesuatu yang hilang, bukan hanya hilangnya Abdul Rahman dari sisinya. Oh ya, lama-lama Rifah dapat menemukan apa yang hilang itu: suara laki-laki. Jenuh rasanya selalu mendengar kata-kata ibunya, “Hati-hatilah, Nak, ingat kandunganmu.” Atau, “Zamannya Ibu dulu, perempuan hamil harus sangat teliti. Jangan sampai menaruh sesuatu terbalik. Nanti bayi yang dikandung lahir sungsang.”

Tetapi Rifah tidak pernah mendengar suara laki-laki kecuali suara ayahnya, Itu pun jarang. Haji Bakir tidak biasa bercakap-cakap dengan anaknya, apalagi setelah Rifah bersuami.

Dulu ketika Rifah masih kanak-kanak, Karman selalu melayani apa pun yang diinginkannya. Dan mana laki-laki itu sekarang? Mengapa setelah mengintipku ia tidak muncul juga? Karman, aku belum pernah memikirkan kau bakal menjadi suamiku yang baru. Aku belum membutuhkan seorang suami. Tetapi semenjak kecil kau menjadi kawanku, bukan? Selagi aku kecil kau mau pergi ke hutan mencari daun kemangi untuk mengobati kutil di jariku. Sekarang mengapa kau tidak datang melihatku yang ditinggal sendiri dengan perut besar? Kukira tak mengapa kita bercakap-cakap sesaat. Aku ingin mendengar suaramu, suara laki-laki. Abdul Rahman sudah tidak mungkin mengajakku berbicara, bukan?”

Andaikata Karman dapat mendengar keluhan Rifah ini, cerita pun habis. Barangkali ia akan berbaik kembali dengan Haji Bakir meskipun harus berpisah dengan ideologi dan kawan-kawan separtai. Pokoknya demi Rifah, Karman mau melakukan apa saja. Ia tidak akan keberatan kembali menjadi jamaah mesjid. Selesai.

Tetapi kenyataan yang terjadi tidak demikian. Karman ternyata tidak cukup berani bertamu ke rumah Haji Bakir. Ia tidak pernah berhasil mengatasi keraguan yang menggeluti dirinya. Di rumah, di jalan, di kantor, ia selalu bingung. Padahal ia merasa kerinduannya pada Rifah ada pada setiap tarikan napasnya.

Dalam keadaan seperti itu lagi-lagi Karman tidak tahu bahwa seorang yang bergigi besi siap menggerakkan pionnya.

Suti sering berkunjung ke rumah Karman. Memang, bisa saja tidak terjadi kemaksiatan di rumah Bu Mantri itu. Kelompok Margo tidak menghendaki hiruk-pikuk, sebab rumah Bu Mantri dekat mesjid, dekat rumah Haji Bakir. Mereka hanya ingin memberi kesan yang baru tentang diri Karman, terutama kepada keluarga Haji Bakir. Sekali pernah, di hadapan banyak orang Suti mencubit pipi Karman. Pernah juga Suti datang sebelum fajar, dan keluar lagi ketika para tetangga Karman pulang dari mesjid. Tak ayal lagi orang-orang menuduh Karman telah menempuh hidup yang berwarna perzinahan. Walaupun Karman membela diri sekuat tenaga ketika Paman Hasyim menuduhnya demikian, namun sia-sia. Martabat Karman telah jatuh di mata para tetanaga, juga di mata keluarga Haji Bakir.

Tidaklah sekali-sekali Margo menjadi kader partai bila otaknya tidak gemilang. Dalam kemelut ini ia melihat keuntungan yang bisa diperolehnya, dengan menyuruh Karman langsung melamar Rifah! Margo dengan cermat telah menghitung apa jawaban Haji Bakir.

“Wah, Nak Karman,” kata Haji Bakir memulai jawabannya atas lamaran yang diajukan Karman. “Sulit sekali rasanya. Tetapi aku mempunyai pedoman yang teguh; aku hanya rela menjodohkan Rifah dengan laki-laki yang dapat membimbing Rifah di dunia sampai ke akhirat. Kulihat keadaanmu telah jauh berubah. Kini rasanya kau bukan laki-laki yang cocok dengan persyaratan yang kumaksud. Bagiku setiap orang sama derajatnya selagi penilaian itu tidak menyangkut iman dan takwa kepada Tuhan. Orang-orang Pegaten, termasuk diriku, menganggap kau pemuda yang baik. Masih muda dan berpangkat. Tetapi marilah, kita tetap berhubungan baik seperti dahulu, tanpa melalui ikatan perkawinan antara dirimu dengan Rifah. Aku percaya kau dapat menemukan calon istri lain.”

Itulah jawaban Haji Bakir yang telah diramalkan dengan tepat oleh Margo. Dua kali batin Karman dihancurkan oleh orang yang sama. Sempurnalah kebenciannya terhadap Haji Bakir, hal mana sangat diinginkan oleh Margo dan kelompoknya. Dalam perkembangannya nanti, Karman bukan hanya benci kepada ayah Rifah, tetapi juga terhadap para haji dan orang-orang kaya lainnya. Dulu Karman telah diberi buku-buku teori pertentangan kelas. Sekarang Margo ingin memperagakan pertentangan-pertentangan itu dalam kehidupan nyata.

***
Episode 25
Kubah


Dalam wilayah Kecamatan Kokosan, desa Pegaten letaknya paling terpencil. Di sebelah selatan terdapat hutan jati yang luas. Sementara bagian barat dibatasi oleh perkebunan karet dan rawa-rawa. Tanah sawah serta ladangnya subur. Kalaulah sebagian penduduknya hidup miskin, pastilah bukan keadaan tanah Pegaten yang menyebabkannya. Salah satu kenyataan yang telah menyebarkan kesengsaraan di daerah itu adalah pergolakan-pergolakan yang diawali oleh masuknya tentara Jepang. Kemudian menyusul perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang praktis berlangsung sampai awal tahun lima puluhan. Kehidupan yang tenteram hanya berlangsung beberapa tahun, menjelang akhir dasawarsa itu.

Orang yang teliti dan cukup berbesar jiwa, bisa memahami pada saat itu sedang terjadi persaingan antara tiga kekuatan. Masing-masing memiliki laskar bersenjata, masing-masing menaruh kepentingan atas wilayah Pegaten dan sekitarnya. Salah satu kekuatan sedang surut, yaitu kekuatan laskar yang dipimpin oleh Ahmad Juhdi. Pada dasarnya kekuatan itu sudah mundur menyeberang Sungai Citanduy, ke wilayah Jawa Barat. Tetapi topeng Ahmad Juhdi sering dipakai oleh kekuatan kedua yang sedang tumbuh. Kekuatan itu secara rahasia dikendalikan oleh seorang laki-taki ubanan yang bergigi besi. Perampok-perampok itu, yang sering menjarah harta atau membunuh penduduk Pegaten selalu mengaku anak buah Ahmad Juhdi. Mungkin benar, tetapi naiflah orang yang memastikan kebenaran itu.

Rumah Haji Bakir pernah dirampok sampai dua kali. Nyawanya selamat karena Tuhan membutakan mata orang-orang buas itu. Ironisnya keesokan harinya Haji Bakir ditahan dengan tuduhan bersekongkol dengan para perampok itu. Kejadian malam itu didakwakan sebagai semacam permainan sabun. Kelak orang tahu bahwa orang yang mengusulkan penahanan terhadap Haji Bakir adalah seorang pegawai kecamatan yang bernama Karman.

Lebih dari sebulan Haji Bakir tinggal dalam tahanan. Sementara itu terjadi perampokan di tempat lain. Polisi bertindak cepat dan berhasil menguasai para pelaku penggarongan tersebut, yang ternyata dipimpin oleh Riwut. Semua orang tahu siapa Riwut itu. Dia adalah orang yang sangat dekat dengan Margo.

Kekuatan yang ketiga adalah alat-alat keamanan milik negara, polisi, dan tentara. Jiwa-jiwa yang dewasa, yang berani melihat kesalahan masa lalu demi perbaikan masa yang akan datang, akan mampu dengan kepala dingin membicarakan keadaan polisi dan tentara pada waktu itu, terbatas di daerah Pegaten dan sekitarnya. Kepentingan-kepentingan amat bersimpang-siur. Di tempat yang terencil itu, urusan golongan, urusan politik bahkan urusan perorangan dapat mempengaruhi sikap-sikap para petugas keamanan. Urusan semacam itu sering terbaur dalam hutan jati dan hutan karet. Siapa menembak siapa, siapa menuduh siapa, amat sering terjadi.

Kisah-kisah ini akan memperjelas gambaran desa Pegaten pada sekitar tahun 1958 sampai dengan tahun 1960.

Penduduk desa itu, semuanya, pernah menjadi orang-orang kurungan. Sesungguhnya! Untuk mencegah perampok masuk ke Pegaten, desa itu pernah ditutup rapat dengan pagar bambu yang berlapis-lapis. Tingginya tiga meter. Setiap mata pagar merupakan bambu runcing yang tajam. Pada malam hari, seregu OPR atau Organisasi Pertahanan Rakyat menjaga tiap-tiap pintu.

Namum entah bagaimana, tak urung terjadi lagi perampokan di rumah Haji Bakir. Delapan orang anggota OPR yang dipimpin oleh Lurah Pegaten menyiapkan pencegatan. Mereka bersiap di sebuah lorong yang menurut perhitungan harus dilewati para perampok. Benar, beberapa waktu kemudian terdengar letupan-letupan yang ramai. Di pagi hari orang melihat selongsong peluru bertebaran di tempat itu. Kebun kedelai rusak hebat. Tetapi tidak terlihat darah setetes pun, kecuali seekor kambing mati terkena peluru nyasar. Orang Pegaten yang berotak paling degil pun seharusnya mengatakan: mustahil! Pencegatan yang dilakukan di tempat yang sesungguhnya menguntungkan, dengan sembilan batang bedil, tanpa mengena atau dikenai? Namun orang Pegaten segera puas oleh cerita Lurah: “Para perampok itu adalah anak buah Ahmad Juhdi. Mereka mempunyai kekuatan sakti, dapat melompati pagar bambu setinggi tiga meter. Pasti mereka juga kebal terhadap peluru!”

Di lain waktu, dua orang polisi berpatroli malam hari di luar desa Pegaten. Kemudian mereka beristirahat di sebuah rumah yang telah dikosongkan oleh penghuninya. Pemilik rumah itu menyingkir ke Pegaten yang telah dikelilingi pagar bambu. Kedua orang petugas itu sedang memeriksa lampu senter yang macet ketika terdengar beberapa orang yang mengucapkan salam dalam bahasa Arab secara fasih. Tetapi kemudian terdengar suara takbir yang disusul dengan ledakan bedil. Kedua polisi itu tewas seketika.

Seorang tentara anggota BR atau Banteng Raiders mendengar suara tembakan-tembakan itu. Ia lari melalui jalan pintas menuju tepi hutan jati, seorang diri. Beberapa orang yang ingin menemani, ditolaknya. Hasil pencegatan yang dilakukan oleh tentara yang berani itu mengungkapkan siapa yang telah membunuh dua orang polisi. Mereka anggota-anggota OPR desa Cilangit. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak pernah mengucapkan uluk salam. Apalagi takbir. Mereka adalah orang-orang komunis.

Walaupun dalam keadaan surut, laskar-laskar Ahmad Juhdi bukan tidak membutuhkan makanan dan peluru. Untuk memperoleh persediaan makanan mereka tidak mempunyai cara yang lebih mudah daripada menjarah harta penduduk. Rupanya Ahmad Juhdi sudah tidak dapat mengendalikan pasukannya. Jadilah mereka gerombolan-gerombolan yang kehilangan tujuan perjuangan. Sama sekali liar. Pada tahun 1959 mereka mengalami kesulitan besar. Cadangan amunisi habis. Mereka harus mengumpulkan emas permata. Kekerasan meningkat kembali karena laskar Ahmad Juhdi ingin merampas lebih banyak emas milik penduduk. Satu gram emas berarti sebutir peluru. Begitulah para perampok melakukan barter. Emas yang berhasil mereka rampas ditukar dengan peluru. Kepada siapa para petualang itu menyerahkan emas? Kepada siapa saja yang mau memberi mereka peluru. Kata seorang bekas anggota laskar Ahmad Juhdi, “Kemudian terjadilah pertempuran seru antara kami dengan Kompi P, dari batalyon QRS Divisi T. Kami memenangkan pertempuran. Berpeti-peti peluru serta berpuluh-puluh senapan kami dapat, seorang korban pun tak ada, baik di pihak kami atau pihak mereka.”



Episode 26
Kubah


Bila ada yang bertanya tentang kebenaran cerita bekas anak buah Ahmad Juhdi itu, jawabannya sudah tersedia pada hati sendiri, yang harus rela membiarkan sejarah menulis menurut kehendaknya. Kerelaan pula yang diperlukan bila sejarah telanjur mencatat kisah ini:

Letnan D dan Letnan L, yang berperan sangat aktif pada peristiwa Lubang Buaya, Oktober 1965, tentu sudah menjadi anggota tentara pada tahun 1959 itu. Di mana mereka bertugas saat itu, arsip tentara bisa memberi jawaban. Di Pegaten.

Karman menjadi sekretaris Partindo mendampingi Triman. Tentu hanya kalangan mereka yang tahu bahwa hal itu hanya sebuah samaran. Huhungan antara Margo dan Karman tetap terselubung. Orang Pegaten tak ada yang tahu bahwa Karman sering terlibat dalam diskusi-diskusi dengan Margo dan kawan-kawannya. Di kamar Karman tersusun buku-buku yang hampir semuanya didapat secara cuma-cuma. Tiga orang menjadi pemberi bacaan teratur: Triman, Margo, atau orang yang bergigi besi itu.

Sementara itu secara pasti Marni telah mendapat tempat di hati Karman. Pemuda itu tahu sekarang, dunia perempuan ternyata tidak hanya Rifah. Kalau Rifah dibesarkan dalam kalangan yang memanjakannya, tak demikian halnya dengan Marni. Ia anak orang kebanyakan, dan tidak bisa menamatkan SKP karena kekurangan biaya. Ada keuntungan bagi Marni, karena dengan keadaan yang demikian ia bahkan memiliki sikap dewasa. Sepanjang hubungan antara Karman dan Marni, kelompok orang-orang partai itu tidak merasa perlu berbuat sesuatu. Mereka tahu keluarga Marni dalam segala hal tidak sekokoh keluarga Rifah. Karman pasti mampu membuat keluarga Marni menjadi orang-orang yang berpikiran “maju”.

Perkawinan dilangsungkan. Kehampaan di hati Karman cepat terisi oleh sikap istrinya yang mantap, penuh pengertian. Seperti mendapat tempat berteduh, setelah lama berjalan di bawah matahari, demikian perasaan Karman. Karman tidak tahu mengapa Marni mencoba membahagiakan suami dengan menganggapnya sebagai ayah, suami, bahkan anaknya sekaligus. Tidak berbeda dengan garis fitrah setiap laki-laki yang merasa kecil apabila berhadapan dengan kepribadian seorang istri yang matang, Karman tidak hanya mencintai Marni, bahkan menghormatinya.

Pada tahun pertama perkawinan mereka, Rudio lahir. Kehidupan keluarga muda itu mantap. Sebidang tanah dapat mereka beli. Di atas tanah itu, setahun kemudian mereka mendirikan rumah.

Yang tidak bersesuaian di antara mereka hanya satu hal. Sementara Marni merasa tidak bisa meninggalkan ibadahnya, Karman bahkan terang-terangan mengaku sebagai seorang ateis. Maka apabila Marni merasa kebahagiaannya kurang utuh, itulah dia. Sering ia memohon kepada Tuhan agar keberuntungannya disempurnakan. Tidak heran kalau Marni sering bermimpi bersembahyang berjamaah bersama suaminya.

Sekali pernah ketika jiwa dan badan Marni amat berdekatan dengan Karman, ia bertanya,

“Apakah kau tak tahu bahwa apabila kau tidak melupakan kewajiban terhadap Tuhan aku akan sangat bahagia?”

Karman sudah menduga pada suatu ketika pasti istrinya akan bertanya seperti itu. Walaupun begitu ia tidak segera menjawab, bahkan berbalik bertanya, “Jadi dengan keadaanku yang demikian kau merasa kurang beruntung?”

“Tidak sedemikian jauh maksudku, Kak, tetapi...”

“Cukuplah. Cukup bila kukatakan agama adalah urusan pribadi. Seharusnya kau senang aku tidak melarangmu beribadah.”

Marni diam meskipun ada rasa kecewa di hatinya. Tanpa mengurangi kelembutan kata-katanya, ia meneruskan, “Tetapi kau tidak mempunyai maksud pada suatu saat akan memaksaku memutuskan hubungan dengan Tuhan, bukan?”

Suami itu makin kikuk karena istrinya makin rapat memeluknya.

“Oh...”

Dan begitu. Karman tidak pernah melarang istrinya beribadah, meskipun hal yang demikian bertentangan dengan ajaran partainya. Bukan Karman juga tidak ingin mengajak istrinya ingkar, bukan! Karman tidak berani melakukannya! Dari kepribadian Marni, ketenangannya, terpancar wibawa. Seorang revolusioner muda seperti Karman ternyata mandul ketika berhadapan dengan keanggunan istrinya. Karena kelemahan Karman ini, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh banyak orang, Margo pernah menyindirnya dengan tajam.

“Kita heran. Mengapa di antara kita ada yang membiarkan istrinya menjadi pengisap candu, suatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh kaum reaksioner!”

Karman tersentak. Ia tahu apa yang dimaksud dengan mengisap candu seperti yang diucapkan Margo. Ia masih ingat bahwa bagi kaum Marxis, agama adalah candu untuk meninabobokkan kaum tertindas agar tertidur dari rasa ingin menuntut hak-hak mereka. Merah padam mukanya. Karman bangkit menggedor meja. Bangkit untuk membela seorang perempuan yang baginya adalah kesejukan hidup. Bangkit untuk membela seorang perempuan yang mempunyai lekuk ujung bibir paling bagus di dunia. Karman bukan menggedor meja karena ingin berpihak pada kaum reaksioner. Tetapi demi Marni, hanya Marni.

“Kawan Margo! Perjuangan kita belum sampai ke taraf habis-habisan. Itu kenyataan. Apabila Kawan menganggap kehidupan pribadi sebagai kemunafikan terhadap sikap hidup revolusioner, kita semua munafik! Kuakui, istriku tetap taat kepada agamanya hingga kini. Tetapi ingat, Kawan sendiri mempunyai saudara yang jadi tengkulak gula kelapa. Kita semua tahu praktek apa yang dijalankan oleh tengkulak semacam itu. Praktek-praktek kapitalisme murni! Kita tahu juga, bahkan saudara kandung Marx, bapak ideologi komunis, ternyata tinggal di negara kampiun kapitalis: Amerika. Karl Marx sendiri tidak meninggalkan wasiat agar tulang-belulangnya kelak dipindahkan ke negara yang telah menjalankan semua doktrinnya, Rusia misalnya. Ia dikubur di negara cikal bakal imperialisme dan kapitalisme, Inggris!”

“Ya!” jawab Margo tidak kalah keras. “Kawan tidak lupa revolusi akan selalu melalap anak-anaknya?”

“Ingat betul. Siapa yang menjamin kita sendiri tidak akan ditelan oleh revolusi yang ingin kita kobarkan?”

Karman tetap menggigil karena amarah. Tetapi Margo segera sadar debat semacam itu tidak bisa dilanjutkan. Kader partai itu juga amat terkejut karena dibantah dengan cara yang ia sendiri ajarkan. Alis Lenin-nya turun-naik. Jidatnya berkerut-kerut. Kemudian ia tersenyum. Sekali lagi terbukti bahwa ia tidak hanya licik, tetapi juga sabar.



Episode 27
Kubah


“Kawan-kawan,” kata Margo kemudian. “Kita lihat Kawan Karman telah memiliki kecakapan berdiskusi yang luar biasa. Kepandaian semacam itu amat penting. Apa yang baru saja kulakukan hanya sekadar ujian. Ternyata Kawan Karman memang gemilang. Hadiah untuk Karman kali ini adalah tepuk tangan bersama. Mari!”

Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan, sama seperti yang terjadi di mana-mana. Boleh jadi orang tidak senang mengingat masa itu kembali karena kepahitan hidup yang terjadi waktu itu.

Orang Pegaten tidak tahu apa arti inflasi. Mereka hanya bisa merasakan akibatnya yang sangat pahit. Penghidupan sehari-hari pada umumnya dirasakan amat berat. Minyak tanah dijatah, gula pasir diantrekan. Keadaan alam sendiri menambah penderitaan penduduk. Kemarau sering amat panjang. Hama tikus dan walang sangit menggagalkan panen. Tidak sedikit penduduk Pegaten yang terpaksa mengisi perut mereka dengan gaber. Ampas singkong itu dikukus, dan dimakan dengan daun-daunan. Busung lapar berjangkit di Pegaten.

Pencuri-pencuri menjadi sangat berani. Hutan jati di sebelah selatan Pegaten rusak hebat oleh penduduk sekelilingnya. Bahkan para pekerja perkebunan karet mulai melancarkan kerusuhan-kerusuhan. Tanaman karet ditebangi, tanahnya digarap menurut kemauan mereka. Terpaksa polisi didatangkan, tetapi mereka malah melawan para petugas itu sampai ada yang tewas. Di hutan jati, seorang mandor juga meninggal tertindih balok kayu yang besar. Ketika peristiwa itu sampai ke pengadilan, yang menjadi hakim adalah politik. Keputusannya berbunyi: Mandor jati itu sudah menerima hukuman yang patut, karena tidak berpihak pada “rakyat”. Akibatnya, nasib hutan jati itu makin menyedihkan. Penduduk yang termakan hasutan politik membakar hutan milik negara itu.

Ironis memang, dalam keadaan penghidupan yang sulit orang Pegaten sering meninggalkan pekerjaan guna menghadiri rapat-rapat umum. Pawai-pawai sering diadakan dan memakan waktu sehari penuh. Panasnya politik saat itu juga memanggang desa terpencil, Pegaten.

Pada suatu rapat yang penuh hiruk-pikuk, Margo menganjurkan semua orang makan tikus. Memang, saat itu jumlah tikus di sawah-sawah Pegaten puluhan kali lebih banyak daripada jumlah penduduk desa itu. Dari atas mimbar rapat itu, Margo berbicara tentang gizi yang terkandung dalam daging tikus.

“Apa pun yang dapat mengenyangkan perut kita, jadilah! Dan tikus-tikus itu! Rakyat harus tangguh, berbadan sehat, dan kuat untuk memenangkan revolusi!”

Sesungguhnya Margo tidak bermaksud membuat penduduk Pegaten menjadi sehat dengan menyuruh mereka makan tikus. Ia sekadar ingin menghancurkan nilai yang telah mapan. Orang Pegaten mengharamkan tikus. Jadi Margo hanya ingin mengajari orang Pegaten menghalalkan sesuatu yang diharamkan. Tidak lebih. Margo sendiri ternyata lebih suka gulai kambing daripada panggang daging binatang yang menjijikkan itu.

Seperti biasa sehabis rapat orang-orang berpawai. Mereka berteriak-teriak. Dentuman drumband serasa hendak meledakkan telinga. Untung, barangkali tidak ada orang tahu bahwa mars yang dilagukan oleh barisan drumband itu adalah mars-mars marinir... Amerika, sebuah nama yang selalu diteriakkan sebagai musuh urutan pertama.

Hampir dua tahun keadaan demikian berlangsung di Pegaten. Segala hiruk-pikuk itu ternyata berakhir dengan diselenggarakannya sebuah pasar malam di lapangan desa.

Kalau bisa dikatakan sebagai pasar malam. Ada pementasan wayang kulit yang menggelar lakon-lakon gubahan baru yang revolusioner, misalnya si jelata Petruk mengganyang si feodal Dwipayana, dan sebagainya.

Anak gadis Tan Liong Pek menjadi ledhek. Oey Fen Mai malah menjadi ronggeng, mengajak pemuda-pemuda Pegaten berjoget. Tariannya tidak bagus, yang penting erotis. Pegaten panas, dan anehnya Pegaten juga terlena. Ketika terjaga, Pegaten terkejut luar biasa. Sesuatu yang dahsyat telah terjadi pada dini hari menjelang 1 Oktober 1965.

***

Marni baru tiga bulan melahirkan Tono, anaknya yang ketiga. Tubuhnya sudah segar kembali. Bayinya sehat. Apa yang didambakannya sekarang adalah kemesraan suaminya yang baru berumur tiga puluh tahun dan kuat. Sungguh, Marni tidak ingin yang lain. Ia tidak mau tahu bahwa kabar yang besar dan membingungkan telah tersebar ke mana-mana, tak terkecuali di Pegaten. Ia hanya ingin pagi-pagi menyediakan sarapan, lalu melepas suaminya di pintu. Setelah menyiapkan makan siang enam jam kemudian, ia akan duduk membopong Tono sambil menunggu Karman pulang. Biasanya Karman lebih dulu menyentil si Buyung sebelum menaruh sepeda di tempatnya. Atau Karman akan mencubit tengkuk ibu si Buyung.

Tetapi keinginan Marni tinggal menjadi harapan khayali. Sejak tersiar kabar yang dahsyat itu Karman berubah menjadi pendiam. Tampaknya ia tidak tertarik kepada hal apa pun; Tono tidak pernah lagi dibopongnya, senyum Marni tidak lagi dibalasnya. Bahkan sudah tiga kali hidangan makan siang dibiarkan sampai sore. Karman menjadi mudah terkejut. Sebuah sendok yang jatuh dari atas meja sudah cukup membuatnya terperanjat. Pohing yang datang mengetuk pintu hampir saja membuat Karman pingsan ketakutan.

Marni berpikir. Memang sudah banyak orang yang ditangkap. Bahkan ia mendengar ada pula yang dibunuh. Margo dan tiga orang lainnya dikubur dekat jembatan Kali Benda. “Lalu mengapa suamiku menjadi begitu ketakutan?” pikir Marni.

Marni teringat beberapa bulan sebelum terjadi perubahan pada Karman, suaminya itu pernah membuat poster-poster. Merah, dan ada gambar palu-arit. Setahu Marni, suaminya menjadi anggota Partindo. Di saku Karman selalu terdapat kartu tanda anggota partai ini. Maka ia meminta penjelasan.

“Memang. Dan poster-poster itu kukerjakan karena aku senang membuat gambar-gambar.”

“Mendapat upah kalau begitu.”

“Wah, tidak.”

“Aku jadi tidak mengerti. Cobalah terangkan dengan jujur.”

Karman merasa terdesak. Ia ingin tetap bersandiwara, tetapi kemudian didapatnya cara mengelak yang lebih baik.



Episode 28
Kubah


“Marni, kau pernah mendengar samen bundeling van alle revolutionaire krachten?”

“Oh ya, anak-anak sekolah sering berucap demikian.”

“Itulah. Semua kekuatan revolusioner mesti bersatu. Meskipun aku jelas anggota Partindo, tetapi aku juga seorang revolusioner. Jadi aku wajib membantu semua orang yang secita-cita. Yang sedang kukerjakan itu tidak lain kecuali poster-poster revolusioner.”

Marni percaya.

Jadi bagaimanapun suamiku seorang Partindo. Tentu ia tidak tersangkut paut dengan penyebab hura-hara, yang beritanya tersiar sekarang, pikir Marni.

Apabila Karman ikut bergabung dengan orang-orang Pegaten yang tiba-tiba belajar bersembahyang kembali, hal itu pun tidak dapat menghilangkan kegelisahannya. Tetapi Marni merasa bersyukur melihat perubahan suaminya. Bayangkan, Karman bersembahyang – satu hal yang telah lama sekali diinginkan Marni. Namun Marni tidak pernah tahu persis apa yang menyebabkan suaminya tiba-tiba melempar keenganannya datang ke mesjid Haji Bakir. Entahlah, yang jelas Marni senang melihat Karman bersembahyang.

Sementara penangkapan terhadap orang-orang komunis yang telah mendalangi makar berdarah terus berlanjut. Dan polisi serta tentara ternyata tidak bodoh. Yang mereka tangkap bukan hanya orang-orang yang resmi terdaftar menjadi anggota partai komunis seperti Margo dan si Gigi Besi. Tan Cie Hong yang menjadi anggota Baperki dikubur bersama-sama dengan Riwut di pinggir desa Pegaten. Tetapi kakaknya, Tan Oen Sok, lari ke Bandung.

Kegelisahan Karman tidak mungkin tertahan lebih lama. Sudah beberapa malam ia tidak bisa tidur. Bila malam tiba, ia bersembunyi di rumah ibunya atau berkerumun dengan orang lain di mesjid Haji Bakir. Pada saat ia merasa sesuatu yang mengerikan bakal tiba, ia menemui istrinya. Pukul delapan malam saat itu. Suaranya serak, terbata-bata ketika mengatakan, “Marni, aku mau pergi ke rumah Triman. Bila sesuatu terjadi pada diriku, Marni, jagalah dirimu sendiri bersama anak-anak. Kupercayakan Radio, Tini, dan Tono padamu.”

Marni terbelalak sebentar, kemudian tertunduk dan menangis. Ia pun sudah mendapat firasat: sesuatu bakal terjadi. Hatinya kosong dan mengambang. Di dada suaminya ia menghabiskan air mata tanpa sepatah kata pun dapat diucapkan.

Sebelum melepas dekapannya, Karman mencium kening Marni. Tangannya bergetar ketika mengusap kedua belah pipi istrinya, “Cobalah tersenyum, aku ingin melihat lekuk bibirmu.”

Kemudian Karman keluar, naik sepeda.

Marni terkesima, lalu lari ke kamar merangkaki ketiga anaknya sambil menangis.

Rumah Triman satu kilometer jauhnya. Karman harus melewati bulak sebelum sampai ke sana. Ketika Karman membelok ke jalan yang lurus, menuju tujuannya, ia terbelalak. Dari jauh, ia melihat empat-lima lampu senter menyala berganti-ganti. Laki-laki yang berjalan paling depan membawa lampu pompa.

Cepat Karman menuntun sepedanya ke sebuah pekarangan kosong, lalu mencari tempat yang baik untuk bersembunyi sambil mengintip. Rombongan kecil itu lewat. Bunyi langkah sepatu lars. Telinga Karman berdenging. Sesudah dekat benar, Karman melihat jelas siapa yang berjalan di belakang lampu pompa itu. Kepala tertunduk. Tangannya terikat ke belakang. Bajunya bergaris-garis, jalannya bungkuk. Triman!

Karman sungguh-sungguh menggigil. Ingin kencing. Tengkuk berkeringat. Matanya nanar berkunang-kunang. Akhirnya Karman lunglai, terduduk di bawah pohon. Ia berada dalam keadaan antara pingsan dan sadar.

Lengang. Dari jauh terdengar kambing mengembik di kandangnya. Lalu, rentetan tembakan. Seekor gangsir jantan bernyanyi memanggil betinanya, dan diam apabila yang diundang telah tiba. Mereka kemudian masuk ke dalam liangnya untuk bercinta. Sepi. Seekor kelabang merambat ke kaki Karman. Laki-laki itu terkejut dan mengibaskan kakinya. Kesadarannya kembali, tetapi segera melayang pula. Dalam otaknya, segala macam gambaran jungkir-balik, tumpang-tindih tidak keruan, Pertama Karman melihat seolah-olah Paman Hasyim muncul, berkopiah dan berkain sarung. Ia menudingkan tangannya lurus-lurus. “Rasakan, anak durhaka! Kau akan mati seperti matinya seekor kucing!”

Kemudian muncul ingatan itu, ketika ia sendiri menghancurkan bambu pancuran air sembahyang. Bayangan Rifah menyusul. Seakan-akan Karman sedang mengintip melalui celah dinding papan. Wajah Rifah ayu, saleh. Cantik luar biasa.

Tiba-tiba Karman siap berlari ketika bayangan Margo datang sambil berteriak, “Revolusi memakan anak kandungnya! Revolusi melalap anak kandungnya sendiri! Revolusi...!”

Terakhir muncul halimun yang membawa gambar Suti. Perempuan budak berahi itu cantik juga, tetapi dalam puncak syahwatnya ia mengerikan! Menjijikkan! Kemudian Karman benar-benar pingsan ketika dalam khayalannya Marni datang sambil menggendong Tono yang masih bayi. Tini dan Rudio dituntunnya sambil berlari pontang-panting.

Nama istrinyalah yang pertama terlontar dari mulut Karman ketika ia tersadar kembali, “Oh, Marni, pastilah polisi dan tentara sedang menanyaimu di mana aku berada sekarang. Rumah kita digeledah. Marni, barangkali kau sekarang sedang bersimpuh di tanah. Menangis dan digelayuti oleh tiga anak kecil yang belum tahu apa-apa. Katakanlah sejujur-jujurnya. Bahwa aku baru sesaat yang lalu keluar menuju rumah Triman. Katakanlah begitu, karena aku tahu kau adalah perempuan yang paling jujur. Dengar, Marni. Supaya polisi dan tentara tidak usah berlaku kasar kepadamu, jangan kaubela aku, jangan kaututup-tutupi aku. Mungkin dengan demikian aku tertangkap, tak mengapa, asal mereka memperlakukanmu dengan baik.”

Para petugas itu tidak menemukan Karman di rumahnya. Mereka tahu Karman meninggalkan rumah dengan sepeda. Pengejaran mereka lakukan di jalan-jalan yang meninggalkan Pegaten.

Larut malam Karman bangkit dari persembunyiannya. Celananya basah. Sepedanya dituntun melalui jalan setapak yang membelah pekarangan kosong itu. Tiba-tiba ia sadar, sepeda yang dituntunnya tidak ada gunanya lagi. Tetapi dengan meninggalkannya begitu saja, barang ini akan menjadi petunjuk bagi para petugas yang sedang mengejarnya. Karman melihat sebuah sumur. Tentulah milik penghuni rumah yang terdekat itu. Diam-diam ia ke sana. Dengan bantuan tali timba, sepeda Karman tersembunyi di dasar sumur, jaub di bawah permukaan air.



Episode 29
Kubah


Karman meninggalkan tempat itu menurut arah yang makin menjauhi jalan umum. Ya, Karman sadar dirinya kini jadi manusia buruan, sebuah sebutan yang amat rendah dan tak pernah terbayangkan bisa terjadi atas dirinya. Buruan. Dan pelarian yang harus ditempuhnya kini akan menembus kebun singkong, parit-parit kering, dan tanah-tanah kosong yang penuh belukar. Naluri menuntun Karman pergi menuju Lubuk Waru. Lubuk itu terletak dekat hutan jati dan di sana ada makam yang dikeramatkan. Pohon-pohon tua yang besar dan sangat rimbun tumbuh mengelilingi cungkup makam itu. “Aku akan bersembunyi di Lubuk Waru, paling tidak untuk sementara waktu,” pikir Karman sambil terus berjalan.

Setelah berjalan hampir dua jam, Karman sampai ke tujuan. Tenaganya hampir habis. Maka Karman segera merebahkan diri di atas bantaran berpasir di tepi Lubuk Waru. Ia tergeletak menengadah berbantalkan tangan. Malam terasa begitu dingin. Bintang-bintang bertebaran hampir merata di langit. Lengang, sehingga suara berbagai serangga amat jelas terdengar. Juga suara burung celepuk dari atas pohon besar di dekat makam. “Ya, beginilah aku sekarang. Di sinilah aku sekarang,” ujar Karman demi menghayati kesadaran akan dirinya. “Tentara, polisi, apakah kalian sedang mencari seorang yang bernama Karman? Datanglah kemari, ke Lubuk Waru. Aku, Karman, sekretaris Partindo yang sebenarnya anggota partai komunis, ada di sini, terkulai di atas hamparan pasir.”

Mungkin karena kepatuhannya terhadap doktrin partai, Karman ternyata mampu bertahan dua hari dua malam dalam kelebatan tetumbuhan di sekitar Lubuk Waru. Untuk bertahan hidup, Karman makan pisang mentah, jagung, atau apa saja yang bisa dicuri dari ladang penduduk. Bila hendak tidur, Karman keluar dari semak menuju bantaran berpasir di tepi sungai. Di sana ia menggali lubang sedalam tiga jengkal, memanjang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Karman memendam dirinya sendiri dalam pasir yang kering dan hangat, hanya kepalanya yang muncul ke permukaan. Dengan cara itu Karman bisa lelap karena terbebas dari udara dingin serta gigitan nyamuk. Pengetahuan tentang cara tidur yang ganjil itu diperolehnya ketika Karman sering menggembala kambing Haji Bakir pada masa kanak-kanak. Namun pada malam kedua Karman memperoleh pengalaman yang amat mengesankan. Ketika sedang tidur dalam pelukan pasir yang hangat itu Karman merasa ada tiupan napas pada wajahnya. Karman membuka mata dan melihat moncong anjing hanya beberapa senti dari ujung hidungnya. Untung, hanya dengan dengan cara membentaknya anjing liar itu lari menjauh.

Dua hari dua malam. Itulah saat-saat yang paling berkesan dalam hidup Karman. Dalam usianya yang tiga puluhan tahun Karman belum pernah merasa begitu dekat dengan dirinya sendiri seperti saat itu. Demikian, di tempat terpencil sekitar Lubuk Waru pada saat-saat yang lengang, Karman dapat melihat dirinya sendiri dengan jujur dan telanjang. Karman melihat pemutaran rekaman riwayat hidupnya; sejak anak-anak, kemudian ikut menjadi bagian keluarga Haji Bakir, disekolahkan oleh Paman Hasyim, lain ditampik ketika hendak mengawini Rifah, terakhir, menggabungkan diri dengan kelompok orang-orang komunis yang dipimpin Margo. Ya, lintasan panjang dan berliku itu kini berujung di sekitar Lubuk Waru; terpencil, diburu, dan entah apa yang akan terjadi atas dirinya besok atau lusa. Yang jelas, ketika berada dalam persembunyian itu Karman sering mendengar bunyi letusan senjata. Dan mengapa air sungai ini berbau agak anyir? Darah? Apakah semua kawan-kawan separtai seperti Margo, Triman, dan si Gigi Besi sudah dihukum mati? “Dan sesungguhnya aku kini sedang menunggu giliran menyusul mereka?”

Tiba-tiba tiba Karman merasa pertanyaan ini berubah menjadi hantu besar yang amat mengerikan, Karman merinding dan merasakan dirinya susut menjadi makhluk kecil yang tak berguna. Atau malah menyusahkan masyarakat dan karenanya harus diburu dan dihukum?

Atau entahlah. Yang pasti, pada ujung kebimbangannya Karman bertemu dan berhadap-hadapan dengan bayangan dirinya sendiri. Bayangan itu menuding Karman dan kata-katanya sangat jelas terdengar:

“Apa yang terjadi atas diri kamu sekarang merupakan dialektika sejarah, dalam hal ini adalah sejarah politik. Kamu tidak mungkin bisa lari dari cengkeramannya. Kamu akan habis dikoyaknya.”

“Aku tidak ingin membantah kata-katamu. Ya, apa yang sedang kurasakan adalah wujud dialektika sejarah. Tetapi nanti dulu. Sekarang aku sedang bimbang, apakah benar kehidupan ini sepenuhnya berjalan menurut garis dialektika itu. Tentang diriku misalnya; apakah ketakutan yang sedang kurasakan bukan karena kesalahanku juga?”

“Jadi kamu menyesal? Kalau begitu kamu patut mendapat sebutan kader yang tidak bertanggung jawab dan pengecut.”

“Pengecut atau bukan, kini bukan saat yang patut untuk memikirkannya. Aku, Karman, adalah manusia seperti manusia-manusia lain di dunia. Selain punya keyakinan ideologis, aku juga punya rasa, punya ikatan keluarga, punya naluri, dan akal budi. Ya, akal budi. Kini aku ingin mendengar suara akal budiku sendiri.”

“Kini jelas, kamu seorang kader partai yang munafik.”

“Aku tak peduli.”

“Tetapi sejarah telanjur mencatat, kamu adalah pengikut Margo. Kenapa bisa begitu?”

“Pertama, karena sakit hati. Aku jengkel karena Haji Bakir tak rela anaknya kukawini. Kedua, aku jengkel karena sawah orangtuaku dikuasai oleh Haji Bakir dengan cara yang tidak adil. Dengan masuk ke dalam lingkaran Margo aku bermaksud membalaskan sakit hatiku. Atau kalau bisa, aku mendapatkan kembali sawah itu. Ah, aku tidak mengerti bahwa akhirnya aku harus terbawa dalam situasi yang sangat menakutkan ini. Aku tak mengerti. Atau kamu bisa menerkanya?”

Hening. Karman tidak mendengar apa pun dari bayangannya sendiri. Malah dalam rongga matanya Karman melihat Marni berlari kian kemari sambil menangis ketakutan. Sambil bergerak pontang-panting Marni membimbing ketiga anaknya yang juga menjerit dengan wajah penuh kengerian. Karman menangis. Tetapi kelengangan Lubuk Waru tak peduli.



Episode 30
Kubah


Apabila bilik sempit yang bertutup atap ilalang dan tertopang oleh empat tiang bambu itu bisa disebut rumah, maka Kastagethek pernah memilikinya. Rumah kecil yang lebih pantas disebut gubuk itu terletak di tempat terpencil di bantaran Kali Sikura di kampung Pangkalan. Kastagethek menempuh hidup dengan caranya sendiri. Lelaki berperawakan kecil dan berkulit gelap itu mempunyai keahlian membawa puluhan, bahkan ratusan batang bambu yang diikat menjadi gethek, semacam rakit darurat. Dari kampung Pangkalan, lelaki itu menghanyutkan rakit bambunya mengikuti aliran Kali Sikura menuju desa Muara, puluhan kilometer jauhnya di pantai Selatan. Perjalanan di atas air itu bisa ditempuh selama dua hari dua malam. Maka Kastagethek selalu menyediakan perapian di atas rakitnya, lengkap dengan kuali untuk menanak nasi. Sampai di tujuan, rakit dibongkar kembali dan dijual sebagai bambu batangan. Tetapi Kastagethek tak perlu mengurusi penjualannya karena bambu-bambu itu bukan miliknya. Kasta hanya memburuh membawakan dagangan itu dari kampung Pangkalan sampai ke Muara.

Dari Muara, Kastagethek pulang ke Pangkalan dengan berjalan kaki menyusuri bantaran Kali Sikura. Perjalanan itu bisa menghabiskan waktu sampai dua hari. Tetapi sambil berjalan pulang itu Kastagethek melakukan pekerjaan lain, menjala ikan. Menarik rakit bambu dan menjala ikan adalah dua pekerjaan yang telah ditekuninya turun-temurun. Demikian, maka ayah Kasta yang bernama Wirya dan kakeknya yang bernama Truna, semuanya punya sebutan tambahan gethek. Sayang, garis keturunan dinasti gethek tidak akan berlanjut karena Kasta tak punya anak.

Air Kali Sikura sudah lama surut. Inilah masa sulit bagi Kastagethek karena ia tak bisa menghanyutkan lebih dari satu rakit bambu. Perjalanan ke hilir sering mengalami kesulitan ketika rakitnya harus melewati bagian sungai yang dangkal. Tidak jarang Kastagethek harus terjun ke sungai dan mendorong rakitnya yang kandas. Tetapi pada sisi lain musim kemarau juga memberi keuntungan kepada anak Kali Sikura itu. Pada musim ini beberapa jenis ikan mengalami masa-kawin. Menjebak ikan-ikan yang sedang berahi beramai-ramai di malam hari adalah keahlian lain yang dimiliki Kastagethek. Dan hasilnya bisa mencapai belasan kilo ikan segar.

Kehidupan Kastagethek terus bergulir, hilir-mudik sepanjang Kali Sikura antara Pangkalan dan Muara. Demikian, maka hampir semua orang yang tinggal pada lintasan kehidupan Kastagethek mengenalnya. Bagi orang-orang yang gemar mengail di Kali Sikura, Kastagethek pun bukan lelaki asing bagi mereka. Bahkan anak-anak selalu berteriak gembira apabila mereka melihat rakit bambu lewat. Mereka terjun ke sungai dan ramai-ramai naik ke atas rakit. Kasta akan menyambut mereka dengan keramahan seorang ayah yang telah lama merindukan anak. Ya, bagi Kasta, anak-anak adalah manusia-manusia kecil yang manis dan lucu.

Tengah malam, akhir tahun 1965. Bulan yang pucat dan kesepian telah mencapai pertengahan juring langit sebelah barat. Malam yang sepi mencekam. Hampir tak terasa pertanda kehidupan kecuali suara kentongan yang dibunyikan di pos-pos jaga setiap jam. Atau suara langkah-langkah berat para peronda, polisi, dan tentara. Kadang terdengar juga lolongan anjing dan suara burung hantu. Namun di tengah malam yang nyaris mati itu sebuah rakit bambu meluncur lambat mengikuti arus Kali Sikura. Ada perapian berkelap-kelip di atasnya. Dan ada Kastagethek yang sedang duduk mencangkung dan sesekali bangkit untuk mengatur arah rakitnya.

Ketika sampai ke Lubuk Waru, Kastagethek menghentikan rakitnya. Sebatang bambu pengayuh dibuatnya sebagai tambatan. Kasta memang biasa berhenti di tempat itu untuk beristirahat. Namun selama kemarau, Kasta punya acara lain di tempat itu; menjebak gerombolan ikan yang tengah kawin, yang biasanya berlangsung menjelang fajar.

Selesai menambatkan rakitnya Kasta turun ke hilir, agak menjauh dari Lubuk Waru. Pada bagian sungai yang agak dangkal tukang rakit itu menyusun batu-batu kali menjadi pematang yang melingkar dengan garis tengah lima atau enam meter. Masing-masing pada bagian hulu dan hilirnya dibuat pintu-pintu. Dasar sungai yang sudah terkalang itu diratakan. Kemudian Kasta naik ke darat. Dicarinya bongkahan-bongkahan tanah kering, dihancurkan lalu ditebarkan ke tengah kalangan tadi. Entahlah, ikan-ikan mempunyai naluri yang aneh. Mereka lebih tertarik melakukan perkawinan di dalam air yang lapisan dasarnya baru terkena sinar matahari.

Pekerjaan membuat jebakan selesai. Sebelum naik kembali ke rakitnya, Kasta membersihkan badan. Air yang begitu dingin sudah terbiasa baginya. Sebuah lampu kecil dinyalakan. Kini Kasta tinggal menanti fajar setelah bulan tenggelam. Pada saat inilah, seperti telah dialami Kasta selama bertahun-tahun, ikan-ikan akan keluar dan mencari tempat yang baik untuk kawin. Dan Kasta telah menyediakan tempat itu.

Dari kampung, jauh di seberang sungai, terdengar kentongan dipukul dua kali. Fajar akan menjelang dua jam lagi. Bulan hampir tenggelam. Bumi dan seisinya seakan sedang tidur. Langit pun sepi, tak ada sesuatu yang bergerak. Tetapi di atas rakitnya, Kastagethek masih sibuk. Setelah berganti pakaian, Kasta menggelar tikar kecil, lalu berdiri menghadap ke barat. Di puncak malam yang amat hening, seorang diri Kastagethek menegakkan shalat. Zikirnya khusyuk. Dipandang dari ketinggian langit, Kasta larut dalam tasbih semesta. Bersama dengan air Kali Sikura yang mengalir hening, bersama dengan bebatuan yang membisu di tebing lubuk, dan bersama serangga yang berderik hampir tak terdengar, Kastagethek menyekutukan pujian terhadap Gusti Kang Akarya Jagat, Tuhan yang mencipta semesta alam; Gusti, Engkaulah yang terpuji dan suci dari segala prakira dan syak-wasangka.

Masih dalam keheningan yang pekat, di barat bulan sudah menyentuh cakrawala. Tiba-tiba angin bertiup lemah dan hanya mampu menggoyang pucuk-pucuk ilalang di sekitar Lubuk Waru. Dari kesunyian yang temaram, seekor burung hantu muncul tanpa bunyi dan hinggap di pucuk dahan tepat di atas jebakan yang dibuat Kastagethek. Seperti Kasta, burung malam itu datang untuk menangkap ikan. Tetapi karena melihat ada manusia di sana ia terbang kembali dan lenyap dalam kegelapan. Sesaat kemudian terdengar suaranya yang berat dan bergaung seperti hendak menyadarkan alam sekitar Lubuk Waru yang sedang lelap.



Episode 31
Kubah


Dari tempat persembunyiannya yang hanya terpisah jarak beberapa belas meter, Karman dapat melihat seluruh kegiatan Kastagethek. Karman memang tak bisa tidur meskipun malam hampir menjelang fajar. Perutnya terasa sangat lapar dan hatinya amat gelisah. Namun dalam kegelisahan itu Karman merasa terkesan ketika diam-diam ia memperhatikan Kasta bersujud kepada Tuhan. Seorang anak manusia, sendiri di tengah alam terbuka yang sedang lelap dan sunyi, merunduk di hadapan Gusti. Entahlah, kesan itu terasa sangat mendalam. Padahal sebagai orang komunis seharusnya Karman berseru, “Kang Kasta, buat apa kamu lakukan semua itu? Kamu selalu menyembah Tuhan yang konon Mahaadil; tetapi mengapa kamu tetap miskin karena dicengkeram oleh ketidakadilan?”

Tidak. Pada malam yang hening itu Karman tidak bisa bilang apa-apa. Jiwanya telah terguncang oleh peristiwa yang terjadi pada hari-hari terakhir ini; tentang makar berdarah di Jakarta; tentang teman-teman separtai yang dihukum mati; tentang rumah-rumah yang dibakar; atau tentang air Kali Sikura yang bau anyir darah. Demikian dahsyat guncangan itu sehingga Karman tidak bisa lain kecuali justru mempertanyakan nasib dirinya; Apakah ajaran partai akan membawanya juga ke depan regu tembak seperti yang dialami Triman? Karman merinding karena jawaban yang muncul di hati sendiri adalah “Ya” yang amat niscaya.

Dan di sana, Kastagethek masih duduk dengan khusyuk. Dalam kesadaran ketika bayangan regu tembak sudah muncul di depan mata, Karman merasa sangat iri terhadap Kastagethek dengan segala perilakunya yang amat tenang, mengalir, dan pasrah. Karman dapat memastikan bahwa ketenangan hidup Kastagethek berkaitan dengan shalatnya, dengan zikirnya, dengan tasbihnya. “Ah, ketiga ritus itu telah lama kuingkari dan kucampakkan.”

Kastagethek tampak bangkit kemudian menghidupkan perapian. Panci dijerang karena Kasta hendak merebus air untuk kemudian menanak nasi. Perapian di atas rakit itu telah menyala dan di tempat persembunyiannya, Karman menegakkan kepala karena mendengar Kastagethek melantunkan kidung Sangkan-paraning dumadi; dari mana dan mau ke mana segala keterjadian.

Aku mbiyen ora ana
Saiki dadi ana
Mbesuk maneh ora ana
Padha bali marang rahmatullah

Dulu aku tiada
Kini aku meng-ada
Kelak aku lagi tiada
Kembali ke rahmat ilahi

Hanya sebuah syair yang biasa dilantunkan anak-anak ketika menunggu saat sembahyang tiba. Hampir semua anak di Pegaten bisa menyanyikannya. Ketika kecil Karman pun tiap menjelang magrib ramai-ramai melantunkan syair yang menurut Haji Bakir merupakan saduran atas adagium yang berbunyi innalillahi wa innailaihi raji’un.

Ya. Semasa kecil Karman beriman penuh terhadap ajaran bahwa segala yang maujud berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan pula. Namun setelah menjadi orang partai, keimanan semacam itu dibuang jauh atas pengaruh Margo dan kawan-kawan. Bagi Margo, yang kemudian diikuti Karman, segala yang maujud-mengada-memang harus ada, dan sama sekali tak perlu dipertanyakan dari mana datang dan mau ke mana mereka kembali. “Segala sesuatu jadi ada dan kemudian jadi tiada, semuanya karena dialektika sejarah.” Begitu pernah dikatakan Margo. Tetapi malam ini hati dan jiwa Karman terbang kembali ke masa lalu, ketika bersama teman-teman sebaya melantunkan syair itu di mesjid Haji Bakir. Bahkan pada masa anak-anak Karman dapat merasakan kedamaian dan keteguhan hati setiap kali mengucapkan syair pendek itu. Ya, masa-masa indah dan penuh kenangan; dunia damai yang penuh keimanan tetapi telah lama ditinggalkannya dan rasanya sudah terlambat untuk kembali.

Sesungguhnya Karman sudah tidak tahan, ingin segera keluar dari persembunyiannya dan berbicara dengan Kastagethek. Oh, berhari-hari menyembunyikan diri dan tidak berbicara dengan siapa pun sungguh terasa amat menyiksa. Lagi pula perut Karman kosong. Tetapi setiap kali hendak bangkit, rasa takut menahan dia tetap membeku di tempat.

Di atas perapian, air yang direbus Kastagethek telah mendidih. Kasta mengeluarkan sebuah cangkir kaleng. Kemudian Karman mencium bau kopi diseduh. Usus-ususnya terasa menggeliat. Liurnya bangkit. Namun Karman hanya bisa menelan ludah. Karman juga hanya bisa menatap dari jauh ketika Kastagethek memanggang ikan lele di atas perapian. Bau ikan bakar benar-benar menggoda perut Karman yang sudah beberapa hari hanya berisi singkong atau pisang mentah. Dan ketika melihat Kastagethek membuka periuk berisi nasi, Karman tak tahan lagi. Ia bangkit dan berjalan perlahan dalam keremangan. Makin dekat ke rakit yang tertambat itu sosok Karman makin jelas karena tertangkap cahaya lampu. Karman mengeluarkan aba-aba dengan suara seperti orang terbatuk.

“Kastagethek di situ?“ tanya Karman dengan suara ragu dan parau, Kasta menoleh. Lelaki itu menatap arah datangnya suara yang menyerunya. Tetapi sebelum dekat benar Kastagethek tak bisa mengenali siapa yang datang. Ya, meski tidak tinggal sekampung, tetapi siapa yang tidak kenal pegawai kantor Keeamatan yang bernama Karman?

“Lho, Pak Karman? Tengah malam begini sampeyan berada di sini.”

“Biasa, Kang Kasta, mengail ikan moa,” jawab Karman. Entahlah, tiba-tiba rasa lega menyiram hatinya. Karena dari tatapan mata dan gayanya bicara, Kastagethek sama sekali tidak tampak curiga. Ah, seorang penarik rakit bambu seperti Kastagethek mungkin tidak tahu bahwa Karman adalah komunis yang kini harus diburu. Rakit bambu itu sedikit oleng ketika Karman melompat dan naik. Kini ada dua lelaki di atas rakit bambu yang tertambat itu.

“Ya, Pak. Ikan moa memang hanya keluar dan cari makan pada malam hari, terutama pada saat magrib dan menjelang fajar.”

“Itulah, maka saat ini saya berada di sini. Tetapi kali ini sedang sial. Tali kail saya tersangkut dan macet di tengah lubuk. Sudah satu jam saya berusaba mendapatkannya kembali tetapi gagal.”


Episode 32
Kubah


Cerita rekaan Karman termakan sepenuhnya oleh Kasta. Maka kemudian dia menawarkan jasa.

“Itu gampang, Pak. Nanti bisa saya selami. Siapa tahu ikan moa yang membawa kail sampeyan berukuran besar.”

“Wah, tidak usah, Kang. Saya sudah rela kail saya hilang. Dan, Kang Kasta, Lubuk Waru kini seram, bukan?”

“Maksud Pak Karman, mungkin banyak mayat mengendap di dasar lubuk?”

“Ah, kamu pasti lebih tahu.”

“Memang, Pak. Sungai ini sekarang jadi seram. Untung, saya sudah terbiasa. Eh, Pak Karman mau dengar cerita soal hantu?”

“Kang, saya tidak percaya bahwa hantu memang ada.”

“Itu terserah pada sampeyan. Yang jelas kemarin malam saya melihatnya. Kemarin ada sesuatu yang tiba-tiba melompat dari air dan mendarat di rakit ini. Saya kira ikan gabus karena ikan itu memang biasa melompat-lompat seperti itu. Eh, Pak Karman ingin tahu ternyata apa?”

“Apa?”

“Potongan kaki manusia. Darah masih menetes pada bekas potongannya.”

Ketika menceritakan pengalaman itu Kasta tampak tetap tenang, amat tenang. Tetapi Karman mengerutkan kening. Ketakutan muncul jelas pada layar wajahnya.

“Tetapi, Pak, potongan kaki manusia yang semula tampak begitu nyata itu tiba-tiba gaib. Anehnya, kemudian muncul kepala manusia. Hanya kepala dan giginya menyeringai persis orang tertawa. Dan kepala itu tiba-tiba gaib pula. Nah, mau dibilang apa benda-benda tadi kecuali hantu. Iya, kan, Pak?”

Karman membisu dan napasnya tertahan-tahan. Apabila bisa memandang dengan saksama, maka Kastagethek akan melihat wajah Karman yang makin pucat. Tetapi Kasta memang lugu. Kata-kata yang kemudian diucapkan membuktikan Kasta tidak menangkap perubahan pada wajah lawan bicaranya.

“Eh, Pak. Ada untungnya juga di Kali Sikura ini sekarang banyak mayat. Semua ikan jadi tambah gemuk.”

Kastagethek tertawa ringan. Karman juga tertawa, tetapi kemudian tertegun. Aneh, siapa menertawakan siapa?

Kemudian sepi. Mulut Karman bergerak-gerak, namun suaranya tak kunjung keluar.

“Kang Kasta, kamu punya nasi, bukan?” ujar Karman mengalihkan pokok pembicaraan dengan sangat hati-hati. Tiba-tiba lambungnya terasa perih. Kasta menegakkan kepala, mungkin karena merasa ada sesuatu yang mengejutkan dia.

“Oh, nasi? Di atas rakit ini selalu tersedia nasi. Tetapi apakah Pak Karman sudi makan nasi seorang tukang rakit?”

Karman hanya mengangguk dan tersenyum. Lambungnya kembali perih. Rasa lapar menggerus usus-ususnya. Dan Kastagethek sibuk menyiapkan nasi dengan piring seng.

“Dan ini, panggang lele. Sayang bumbunya hanya garam dan cabe. Mari. Wah, tak saya sangka ada priyayi mau dijamu di atas rakit di tengah malam seperti ini. Dan kopi panas, Pak?”

Sekali lagi Karman hanya mengangguk. Kini ada nasi dengan panggang lele serta secangkir kopi di hadapannya. Mula-mula Karman meneguk kopi panas itu. Terasa ada tenaga mengalir ke dalam lambungnya. Kemudian tanpa malu-malu Karman makan nasi yang disuguhkan Kastagethek. Lahap seperti itik dua hari tak diberi makan dan menyerbu jemuran gabah.

Selesai makan, wajah Karman terlihat lebih segar. Lelaki itu berkali-kali mengucapkan terima kasih sehingga Kastagethek merasa sikap Karman berlebihan.

“Yang baru sampeyan santap hanya nasi dan panggang lele. Itulah hidangan yang biasa saya makan karena memang paling mudah diolah di atas rakit ini. Jadi sampeyan tidak perlu merasa berutang budi. Lagi pula sampeyan mungkin lupa, air yang saya rebus untuk menyeduh kopi dan untuk menanak nasi saya ciduk begitu saja dari Kali Sikura ini.”

“Maksudmu, Kali Sikura yang kini sering mengapungkan mayat, bukan? Ah, aku tak peduli. Karena saya lapar dan masakanmu memang enak.”

Bulan sudah tenggelam dan langit hanya diterangi cahaya gemintang. Karman dan Kasta masih asyik bercakap. Mereka menggulung tembakau. Sebenarnya Karman bukan jenis manusia yang pandai bersandiwara. Tetapi entahlah, malam itu Karman bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik. Ia bisa mengajak Kastagethek bicara soal macam-macam.

“Kang, bila kamu sedang menjalankan rakit seperti ini, bersama siapa istrimu di rumah? Apakah dia sendiri?”

“Ah, tentu tidak, Pak. Bila istriku tinggal sendiri di rumah, mana mungkin saya bisa pergi berhari-hari dengan tenang.”

“Tetapi kudengar kamu tak punya anak, bukan?”

“Benar.”

“Lalu?”

“Di rumah, istriku selalu tinggal berdua.”

“Sama?”

“Sama Tuhan,” jawab Kasta sambil tersenyum. “Kutitipkan dia kepada Tuhan sehingga saya bisa pergi cari makan dengan perasaan enak.”

Karman diam dan menelan ludah. Hatinya rasa tersodok.

“Ya, ya. Tetapi bagaimana andai kata istrimu merasa kesepian?”

Kastagethek tertawa. Karman juga tertawa tetapi suaranya hambar.

“Lho bagaimana, Kang?”

“Ah, saya sendiri sering merasa kesepian. Namun saya tidak berbuat macam-macam. Saya menerima keadaan saya ini apa adanya. Lho, kalau nyatanya saya harus jadi tukang rakit, ya, saya menerimanya. Nrimo ing pandum. Dengan cara begitu saya selalu merasa tenang. Dan...”

Tiba-tiba Kastaaethek berhenti, menegakkan kepala dan memasang telinga. Samar-samar terdengar suara air berkecipak. Kastagethek tersenyum dan siap bangkit.

“Pak Karman bisa mendengar suara itu? Ikan-ikan yang kutunggu sudah datang dan mulai ramai-ramai kawin. Saya akan menangkap mereka dengan jala, sampeyan menunggu di sini.”
Episode 33
Kubah


Kasta bergerak cekatan. Kain sarung dilepas lalu disambarnya jala. Bagaimana ahlinya dia terbukti dari caranya melangkah dalam air; tak sedikit pun menimbulkan suara. Sunyi. Dan sesaat kemudian terdengar suara jala ditebarkan.

Ditinggal seorang diri di atas rakit, Karman tiba-tiba diamuk rasa takut. Tengkuknya terasa dingin. Suara tikus busuk yang berlari di atas daun kering terdengar sebagai langkah sepatu tentara. Ya, siapa tahu tiba-tiba muncul orang-orang bersenjata; “Angkat tangan!”

Ketika rasa takut masih mencengkeram hatinya, Karman sempat berpikir tentang Kastagethek. Ketenangannya. Dan keikhlasannya menjalani hidup. Karman iri. Dulu, dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh partai, orang seperti Kastagethek sering dipakai sebagai contoh manusia yang tertidas oleh kelas pengisap. Aku dapat mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami Kasta dan jutaan orang seperti dia disebabkan oleh sistem kemasyarakatan yang tidak adil. Karena miskin, mereka jadi lemah dan bodoh. Selanjutnya, kebodohan kembali melahirkan kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan, kebodohan, serta kelemahan telah membentuk rantai tertutup sehingga terjadilah lingkaran setan yang tidak bisa lagi dilihat ujung-pangkalnya. Dan kelas penindas menggunakan agama sebagai candu untuk meninabobokkan orang-orang tertindas agar terlena dan tidak menuntut hak-hak sosial mereka.

“Aku juga sudah mempelajari teori-teori yang membicarakan bagaimana cara menghapus kemiskinan di tengah masyarakat. Kuncinya, keadilan harus ditegakkan. Dan caranya, menurut ajaran partai, masyarakat miskin harus bersatu dan merebut kendali atas sistem yang mengatur mekanisme kehidupan masyarakat. Dan, kira-kira itulah yang telah dilakukan oleh kawan-kawan separtai di Jakarta awal Oktober lalu. Aku tahu, meskipun untuk mencapai tujuannya partai membenarkan segala cara, namun usaha itu ternyata gagal. Dan penggunaan cara yang tidak mempertimbangkan harkat kemanusiaan itu, sebenarnya kesadaranku tak bisa menerimanya. Andaikan sejak semula aku menyadari bahwa partai bisa melakukan makar yang begitu berlumuran darah seperti yang terjadi kemarin, sekali-kali aku tak ingin jadi anggota.”

“Ah, aku mengerti kesadaran ini datang terlambat. Masalahnya aku takut menghadapi regu tembak. Aku...”

“Alhamdulillah, Pak Karman,” tiba-tiba suara Kastagethek menghancurkan lamunan Karman. Kasta muncul dengan jala penuh ikan. “Tuhan bermurah dengan rezeki-Nya malam ini. Lihat, paling tidak tiga kilo ikan yang saya dapat. Nah, Pak Karman tidak mendapat seekor pun ikan moa, bukan? Tak usah takut dimarahi istri. Bawalah barang beberapa ekor ikan yang saya jala ini, yang besar-besar. Itu rezeki Pak Karman.”

Karman terdiam karena bingung. Dan juga terkejut. Untung Kastagethek sedang sibuk membenahi ikan-ikannya, sehingga ia tidak melihat perubahan pada wajah Karman. Tetapi Karman hampir gagal menguasai diri ketika Kastagethek berkata, “Pak Karman, kukira sebentar lagi akan terdengar ayam berkokok. Maaf, sebaiknya Pak Karman segera pulang. Tentu istri Pak Karman sudah menunggu. Saya sendiri akan tidur sebentar di sini sampai subuh. Selanjutnya saya akan meneruskan perjalanan ke Muara. Nah, sarapan Pak Karman besok pagi pasti enak. Pasti istri Pak Karman pintar membuat pecak ikan kuah santan, bukan?”

Tanpa kesadaran penuh, Karman menerima lima ekor ikan yang direnteng dengan tali. Mulutnya bergumam. Barangkali Karman bermaksud mengucapkan terima kasih, tetapi suara yang keluar tidak jelas. Kemudian Karman menjabat tangan tukang rakit itu, lalu berbalik. Tetapi baru beberapa langkah menjauh Karman kembali.

“Dengar, Kasta. Kamu tahu, aku seorang pegawai kantor Kecamatan. Malulah rasanya bila sampai ada orang tahu aku mengail ikan sampai hampir pagi seperti ini. Jadi kuminta kamu rahasiakan perjumpaan kita. Ingat, ini amanat yang kupercayakan kepadamu!”

“Oh, ya. Setiap amanat, bagaimanapun kecilnya harus ditunaikan dengan sempurna. Begitu perintah Tuhan. Percayalah.”

Selagi tubuh Karman masih terkena sinar lampu kecil di atas rakit, sosoknya masih tampak. Lama-lama lenyap. Kastagethek bernapas lega. “Malam ini aku telah membagi rezekiku dengan seorang priyayi. Semoga istri Pak Karman dapat menyenangkan suaminya dengan membuat sarapan pagi yang hebat besok. Oh, memang tidak pantas seorang seperti Pak Karman mencari ikan sampai dini hari. Dan aku bersyukur telah membuat Pak Karman tidak pulang dengan tangan hampa.”

Lepas dari pandangan Kasta, Karman berhenti termangu-mangu. Ia sudah mendengar ayam jantan berkokok. Karman makin termangu. “Mau ke mana aku sekarang?”

Untuk sekian lama tetap terpaku di tempatnya. Kokok ayam makin ramai. Ketika menengok ke timur, Karman melihat langit mulai terang. Dan ia merasa ada sesuatu yang amat mengerikan sedang mengejarnya.

Waktu sudah amat mendesak, maka Karman harus segera memutuskan ke mana ia harus bersembunyi lagi.

Astana Lopajang. Sebuah makam yang dikeramatkan dan terletak di atas sebuah bukit kecil yang dikelilingi hutan puring. Cungkupnya tidak pernah dibuka orang kecuali setahun sekali pada bulan Maulud. Pada bulan tersebut, makam dan tanah di sekelilingnya dibersihkan. Kelambu yang mengelilingi pesarean diganti atau hanya dicuci.

Karman teringat tempat yang sangat baik untuk bersembunyi itu, dan bergegas ke sana. Kalau ia berjalan cepat, dalam waktu satu jam saja ia akan sampai ke tujuan.

Kunci cungkup selamanya ada pada juru kunci. Oh, Karman tidak akan mencoba merusak kunci itu. Dengan tenaga tangannya ia dapat membuka dinding bambu bagian belakang cungkup makam. Menutupnya kembali baik-baik, dan masuk. Yang pertama dikerjakannya di dalam cungkup itu adalah menyalakan geretan. Seekor tikus lari ketakutan. Disingkapnya kelambu dan: ini dia! “Kukira aku tidak akan lagi sempat tidur di suatu tempat dengan kelambu,” pikir Karman.

Di samping depan batu nisan sebelah selatan, bekas kemenyan menggumpal sebesar kelapa. Tetapi di dekat nisan sebelah utara, seekor ular sanca sebesar lengan sedang bergelung nyenyak. Dengan kakinya Karman mengusir binatang itu yang kemudian menggeliat pergi. “Jangan jauh-jauh! Besok atau lusa bila aku masih hidup kau akan kupanggang,” ujar Karman dalam hati.


Episode 34
Kubah


Tidak terpikirkan sebelumnya, ternyata Karman dapat bersembunyi di tempat itu selama tiga puluh empat hari. Ia hanya keluar di waktu malam untuk mencari makanan dan air. Kadang-kadang mandi. Di siang hari ia tidur atau memikirkan cara untuk melarikan diri lebih lanjut. Atau lagi, berperang dengan sekuat tenaga untuk mengusir kenangan pada istri dan ketiga anaknya. Hal ini yang dirasakan amat berat olehnya, karena dalam mimpinya Marni selalu hadir, tersenyum. Lekuk ujung bibirnya masih tetap indah.

Lari ke kota besar adalah rencana yang sudah dipikirkannya dengan sungguh-sungguh. Beberapa cara untuk sampai ke kota dipelajarinya, dengan tidak melupakan teori-teori yang telah diterimanya dari Margo almarhum. Sekarang Karman hanya tinggal menunggu saat yang baik. “Satu atau dua bulan lagi tentulah keadaan sudah agak mereda. Aku bisa berjalan mengikuti bantaran Kali Sikura, sepanjang malam. Di Muara ada truk-truk yang selalu mengangkut buah kelapa ke Bandung atau Jakarta. Bila aku mau mencuci ban-ban kendaraan itu, sopir tentu bisa kumintai tolong. Wah, pelarian menjadi aman bila aku dapat memiliki kartu bukti diri palsu. Tetapi siapa yang tahu aku akan memperolehnya.”

Rencana pelarian Karman terus dikembangkan dengan penuh optimisme. Tetapi sejarah menuntut lain. Karman tidak pernah bisa melaksanakan rencana pelariannya. Keadaan hidupnya selama tinggal di cungkup itu amat buruk. Apa yang dimakan, diminum, semuanya kotor dan mentah.

Mula-mula Karman terserang malaria. Masih untung, malam hari ia dapat menemukan buah oyong yang kering. Bijinya bisa menggantikan pil kina, bahkan rasanya lebih pahit. Hilang penyakit yang pertama, datang penyakit lainnya. Karman terkena sakit perut. Diare. Suatu ketika di siang hari Karman diamuk rasa haus. Tetapi air yang biasa ditampungnya dengan daun keladi telah habis. Haus, sangat haus. Maka dikumpulkan sisa kekuatannya, lalu ia keluar merangkak menuruni bukit. Sampai di tepi Kali Sikura ia minum seperti kambing.

Dan tamat sudah kisah pelariannya, karena seorang gembala kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang tidak tega menghabisi nyawanya.

Dari dulu desa itu bernama Pegaten, juga pada bulan Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi. Tadi malam ada hujan walaupun sebentar. Cukuplah untuk melunturkan debu yang melapisi dedaunan. Tanah berwarna cokelat kembali setelah beberapa bulan memutih karena tiada kandungan air.

Tini bersama Jabir keluar dari rumah Bu Mantri. Mereka baru menjemput Karman dari kota. Ayah Tini yang baru pulang dari Pulau B itu sekarang berada di rumah Bu Mantri, nenek Tini.

“Pantas ada gadis manis di Pegaten ini,” kata Jabir memulai urakannya. “Ternyata ayahmu gagah juga.”

Tini tersenyum ketika mendengar pujian Jabir. Namun ia tetap menunduk. Jalannya diperlambat.

“Nah, kamu sekarang tahu ayahku seorang bekas tahanan. Kamu tidak malu menghadapi kenyataan ini?”

“Kok kamu bertanya seperti itu? Malah aku senang dan harus berterima kasih kepada ayahmu. Tetapi tadi mulutku sulit dibuka.”

“Berterima kasih?”

“Iya, bukankah karena ayahmu itu maka lahir si manis yang bernama Tini?”

“Ah, kamu terlalu. Eh, tetapi benar juga, ya? Bila tak ada Ayah, aku juga tidak akan pernah ada.”

“Yang kedua; aku merasa malu kepada ayahmu karena sebuah cerita lama. Dengar, kamu tidak melupakan nama calon ibu mertua kamu?”

Yang ditanya diam sebentar, malu dan gondok. Calon mertua?

“Nggak pakai sebutan calon mertua; pokoknya saya tahu nama ibu kamu. Syarifah.”

“Betul. Lain kamu juga tahu dulu ibuku hampir jadi istri ayahmu?”

Tini tertawa lirih. Jabir gemas, karena tawa itu membuat Tini tambah manis saja.

“Kira-kira aku tahu juga. Mengapa?”

“Keterlaluan kalau kamu tidak mengerti ada hal yang lucu. Bukankah kita mau kawin? Kalau kelak ibuku bertemu dengan ayahmu, apa mereka tidak akan salah tingkah?”

Kedua anak muda itu tertawa.

“Ah, mereka sudah tua. Kita menganjurkan agar ibumu dan ayahku sama-sama merasa malu kepada kita.”

“Kalau mereka tidak malu kepada kita, kita akan berpura-pura malu kepada mereka,” sambung Jabir.

Tini menghentikan pembicaraan itu. Perubahan wajahnya membuktikan ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Ia berjalan sambil menggigit sapu tangan. Ketika Jabir bertanya mengapa, Tini terisak. Jabir jadi kikuk.

“Ibuku,” kata Tini akhirnya. “Kamu dapat membayangkan perasaan ibuku sekarang. Ibu sering berkata kepadaku bahwa sesungguhnya ia belum pernah bercerai dengan Ayah dalam arti yang lumrah. Orangtuaku bercerai karena keadaan yang memaksa. Ibu juga mengaku dengan jujur, sesungguhnya ia tidak bisa melupakan Ayah. Tetapi, oh Ibu, ketika Ayah pulang sekarang ini, Ibu telah bersuami. Bahkan sudah beranak dua orang.”

Jabir membisu dan membiarkan Tini melangkah sambil menghapus air matanya. Mereka mencoba kekuatan akal masing-masing untuk memahami masalah yang rumit itu. Jabir menggeleng­gelengkan kepala.

“Tini, aku bisa mengira-ngira bagaimana perasaan ibumu. Tetapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Siapa pun tak bisa berbuat apa-apa. Jadi biarlah apa yang telah terjadi.”

“Tak salah kamu berkata demikian. Tetapi lain halnya denganku. Apa ada anak yang tidak menginginkan kedua orangtuanya bersatu dalam sebuah rumah tangga yang rukun dan utuh? Mana mungkin aku tega melihat Ibu berperang dengan perasaan sendiri ketika ia meladeni suami baru sementara ia masih selalu teringat kepada suami pertama, ayahku. Ketika Ayah tidak tampak di mata, masalahnya mungkin lain. Tetapi sekarang?”

“Apakah ayahmu juga masih ingin kembali kepada ibumu?”

“Tadi, Ayah tidak terang-terangan berkata demikian. Tidak akan pernah. Namun dapat kita duga apa yang paling diinginkan oleh seorang yang pulang dari pengasingan selama dua belas tahun. Atau, tak tahulah. Boleh jadi Ayah telah dapat menguasai perasaannya, dengan demikian ia tabah.”



Episode 35
Kubah


“Bukan main, kalau begitu. Namun, Tini, paling tidak aku berani minta kepadamu; janganlah memaksakan keinginanmu agar ayah dan ibumu bersatu kembali.”

“Yah, aku sendiri bisa mengerti masalahnya sudah sulit. Aneh pula, aku merasa kasihan kepada kedua adik tiriku. Mereka manis-manis, mereka anak-anak ibuku juga. Jadi sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk mendesak Ibu bercerai dengan suami yang sekarang. Rumit?”

“Ya, rumit. Sebaiknya kita jadi penonton saja.”

“Hanya menonton?” tanya Tini bersungguh-sungguh.

“Habis mau apa lagi?”

“Maksudku, paling tidak kita harus mengambil pelajaran dari kisah kedua orangtuaku ini. Supaya hal yang sama tidak terjadi pada kita. Kau setuju?”

“Hm, seperti seorang ibu yang arif kau ini, tapi...” Jabir merasa sulit meneruskan kata-katanya.

“Tapi apa?” desak Tini.

“Kalau aku yang mengalami nasib seperti ayahmu?”

“Oh, aku tahu. Seandainya kamu harus pergi selama dua belas tahun atau seratus tahun, aku... Atau sebaliknya tak usah berkhayal yang bukan-bukan. Aku takut.”

Dalam hati Jabir tersenyum. Ketika mengucapkan aku takut, Tini menggoyangkan kedua pundaknya. Gerakan yang biasa saja seandainya Jabir tidak sedang dirayapi rasa cinta. Ternyata gerak sederhana yang dilakukan Tini telah membuat ombak besar dalam jantung Jabir.

Mereka sampai ke depan rumah Tini. Atau persisnya rumah Parta, tempat Tini ikut tinggal bersama ibunya. Gadis itu menghambur meninggalkan Jabir di belakang. Sampai di dalam Tini terus memeluk dan mencium ibunya. Kata-katanya berhambur seperti buah duku tumpah dari keranjang.

“Ibu. Benar Ayah telah pulang! Sekarang Ayah ada di rumah Nenek. Wah, Bu. Orangnya tegap dan gagah meski agak kurus. Ada kumis, ada jenggot, ada cambang. Pokoknya banyak bulunya. Pokoknya aku senang, ternyata aku mempunyai seorang ayah yang gagah. Dan tidak setua seperti yang kuduga semula. Eh, Bu, kapan Ibu bisa menemui Ayah?”

Marni tegak terpaku. Pandangannya menerawang dan kosong. Ia tetap diam meskipun Tini menggoyang-goyangkan tangannya. Kemudian Tini sadar, ia tak boleh terus mendesak ibunya yang sedang bimbang. Apalagi kemudian ia melihat ada genangan di mata ibunya.

“Tini, aku pasti menengok ayahmu. Besok atau lusa, sekarang aku belum bisa.”

“Wah, besok atau lusa, Bu? Tidak pantas. Semua orang sudah kelihatan datang ke rumah Nenek. Bahkan Haji Bakir suami-istri sudah di sana. Ibu sebaiknya ke sana sekarang.”

Marni termangu lagi.

“Kalau begitu, kau bisa tinggal di rumah menjaga adik-adik?”

“Wah, aku harus ikut, Bu. Di sana banyak orang dan tak ada yang mengurus minuman. Masa Nenek yang setua itu seorang diri harus mengurus para tamu?”

“Tetapi kamu kan sedang punya tamu?”

“Oh, tak mengapa, Bu,” kata Jabir dari ruang tamu. “Saya hanya mengantar Tini. Sekarang saya siap pulang.”

Marni masih ragu-ragu juga, sehingga Tini merasa perlu meyakinkannya.

“Ayolah, Bu, anak-anak kita bawa.”

Akhirnya Marni bergerak masuk ke kamarnya. Di sana Parta terbaring lemah karena bengeknya kambuh. Kata orang, pengidap sakit bengek seperti Parta pantang mengalami tekanan perasaan. Memang tak ada orang yang sengaja menekan perasaan laki-laki itu, tidak juga Karman. Bahwa kedatangan Karman di Pegaten membuat Parta gelisah dan sangat tertekan adalah perkara lain.

Ketika Marni minta izin hendak menengok bekas suaminya, Parta diam. Melihat pun tidak. Namun ketika ia mendengar Marni terisak, Parta menoleh. Kemudian dengan aba-aba anggukan yang lemah, Parta mengabulkan permintaan Marni.

Masih dengan mata basah, Marni berganti pakaian. Kerudungnya biru muda. Tetapi kalung dan giwang dilepasnya. Sekali lagi ia minta diri kepada suaminya, lalu berangkat bersama Tini dan kedua anaknya. Mereka tidak tahu bahwa beberapa saat kemudian Parta turun dari tempat tidur. Pelan-pelan ia juga berganti pakaian dan menyusul istrinya. Sepanjang jalan ia bersusah payah menata napasnya.

Di rumah orangtuanya, Karman sedang dirubung oleh para tamu, tetangga-tetangga yang sudah amat lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pegaten tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersaudara, dan yang penting: gampang melupakan kesalahan orang lain. Padahal yang sangat dikhawatirkan oleh Karman adalah sikap membenci dan dendam yang mungkin diterimanya begitu ia muncul kembali di Pegaten. Haji Bakir datang berdua dengan istrinya meski­pun ia harus dibantu dengan tongkat yang menopang tubuhnya yang sudah bungkuk. Apabila Karman menyambut tamu-tamu yang lain secara wajar, tidak demikian halnya ketika ia menerima kedatangan haji yang sudah sangat tua itu.

Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Karman memeluk orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya.

Marni yang muncul bersama Tini dan kedua adik tirinya sudah sampai ke halaman rumah Bu Mantri. Ia berjalan menunduk. Marni segera menjadi pusat perhatian. Semua orang yang berada di sana diam. Hening. Dan suasana tiba-tiba berubah mencekam. Seolah-olah mereka menunggu sesuatu yang luar biasa akan terjadi.

Di pintu Marni mengucapkan salam. Pelan sekali. Kemudian matanya berkeliling mencari laki-laki yang baru pulang dari pengasingan di Pulau B itu. Karman bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang saja, tetapi nyata sekali tangannya bergetar. Perempuan yang selama dua belas tahun dirindukan sekarang berada di hadapannya. Yang selama itu pula menjadi angan-angannya. Yang tanpa dia Karman hampir bertekad memusnahkan dirinya sendiri. Di mata Karman Marni tetap cantik, atau bahkan lebih cantik karena kini sudah matang.

Apa yang sedang menyapu perasan Karman demikian pula yang dirasakan oleh Marni. Dan apabila Karman berhasil menguasai perasannya, Marni tidak. Bagaimana juga ia seorang perempuan. Ada sesuatu yang terasa mendidih dan meluap dalam dada Marni. Tubuhnya bergoyang. Lalu ia bergerak ke arah Karman. Mulutnya terbuka. Tetapi ada kekuatan yang mencegahnya bergerak lebih lanjut. Dari mulut Marni terdengar suara tertahan, “Mas... Mmmmas Karman!”



Episode 36
Kubah


Hanya itu. Karena kemudian Marni tidak lagi bergerak. Ia berhenti dalam keadaan yang ganjil. Tangannya seakan-akan hendak menggapai ke depan, tetapi tubuhnya condong ke belakang. Beberapa detik Marni tetap demikian. Lama-lama tubuhnya goyang. Karman cepat menangkap tubuh Marni sebelum perempuan itu roboh ke tanah.

Orang tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena yang kemudian terjadi memang sulit dilukiskan dengan bahasa. Perempuan-perempuan yang menahan isak. Lelaki-lelaki yang tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana yang mendadak bisu tetapi penuh haru-biru.

Tubuh Marni diangkat ke atas balai-balai. Banyak perempuan yang tak tahan melihat adegan itu, lain menangis dan menyingkir ke belakang, lebih-lebih Tini. Gadis itu menelungkupi tubuh ibunya sambil menjerit-jerit. Tangis kedua adik tirinya menambah suasana di rumah Bu Mantri itu makin membingungkan. Seorang perempuan melonggarkan pakaian yang dikenakan Marni, dan ia mengalami kesulitan ketika berusaha melepas setagen.

Yang pingsan belum siuman ketika Parta tiba di tempat itu. Dari jarak beberapa langkah orang sudah mendengar suara napasnya. Kedua bahunya turun-naik dengan berat. Sebelum masuk ia berhenti, bertelekan pada daun pintu. Siapa pun tidak dipedulikannya. Parta sedang berusaha agar tidak kehabisan udara. Wajahnya sudah merona biru. Tetapi ketika mendengar ribut-ribut di dalam, Parta masuk. Tergagap-gagap manakala ia tahu siapa yang tergeletak tak sadarkan diri. Suaranya terputus-putus antara tarikan napasnya.

“Oh... kenapa istriku? Diapakan dia? Kenapa...?”

“Bersabarlah Parta, sabar,” sela Haji Bakir. “Istrimu pingsan. Nanti ia segera siuman.”

Tetapi orang tua itu tidak berhasil menahan Parta yang terus berkata-kata seperti orang kesurupan.

“Marni itu istriku. Bagaimana juga ia istriku. Sah! Kami menik... ah di hadap... an penghu... lu.”

“Yah, Marni adalah istrimu tentu saja,” kata Karman. “Tetapi bersabarlah sampai dia siuman kembali.”

“Tetapi diapakan dia? Diapakan? Marni... Mmmmmari pulang! Ini buk... an rumahmu. Mmmmmari pulang!”

Seorang laki-laki bangkit dan memaksa Parta duduk di sebuah kursi. Sesungguhnya laki-laki itu tidak perlu bertindak sekasar itu. Parta sudah lemas kehabisan tenaga. Ia terkulai, hanya bola matanya yang bergulir-gulir melihat kesibukan yang sedang terjadi.

Melihat Marni tidak juga siuman, Karman mengambil sebaskom air hangat. Kaki Marni direndamnya. Kemudian perlahan-lahan mata Marni terbuka. Berangsur-angsur napasnya normal kembali.

“Astaghfirullah,” desis Marni. Orang-orang yang merubungnya menarik napas lega. “Syukurlah, Marni sudah siuman,” ujar seorang perempuan.

Sambil duduk kembali, Marni membenahi pakaiannya. Meskipun air matanya menetes kembali, tetapi ia kelihatan lebih tenang. Dipandangnya Karman yang masih berdiri di ujung dipan. Keduanya saling tatap dengan mata, dengan hati masing-masing. Pada saat seperti itu baik Karman maupun Marni, tak mungkin berbohong dan memungkiri perasan masing-masing. Namun keduanya hanya bisa menekan perasaan yang tiba-tiba menusuk dada. Dan menelan ludah.

Melalui tatapan dan air matanya, sejuta pesan hendak disampaikan Marni kepada Karman. “Oh, kau laki-laki yang pernah mengisi kesejukan di waktu mudaku. Dulu ketika aku menyerahkan diri­ku padamu, kamu telah membayarnya dengan kehangatan hidup yang membuatku merasa sangat beruntung. Kauikatkan diriku kepadamu dengan tiga orang anak, dengan tawa riang, dengan kedamaian. Oh, Karman, aku tahu kau tak pernah menginginkan perpisahan. Aku pun tidak, tetapi kita telah berpisah sekarang. Bahkan aku tidak bisa menyambut kepulanganmu kecuali dengan keadaanku yang memalukan, yang hanya menambah kegetiran hatimu. Maafkan aku, Karman, seperti dulu kau selalu berlaku demikian kepadaku. Maafkan aku.”

Sekali lagi Marni menatap bekas suaminya. Meskipun jantung Karman terpacu, tetapi ia dapat menangkap ucapan Marni.

“Kau baik-baik saja, Paknya Tini?”

“Hm? Yah seperti yang kaulihat, aku sehat. Oh ya, kau keliliatan awut-awutan. Pergilah sebentar ke sumur, bersihkan dirimu.”

Karman terkejut sendiri. Mengapa ia bisa memberi perintah kepada Marni yang bukan lagi istrinya. Ia lupa dirinya sudah tidak berhak mengatur perempuan itu. Tetapi Karman tidak meralat tindakannya, malah mengikuti Marni dengan tatapan matanya.

Kepanikan sudah mereda. Marni sudah bercakap-cakap dengan Bu Mantri di ruang tengah. Ia menoleh kepada bekas suaminya yang datang mendekat.

“Marni, kulihat suamimu sakit. Tidak baik ia terus berada di tempat yang banyak orang seperti ini. Kukira lebih baik bila ia kauantarkan pulang dulu. Kapan-kapan aku akan datang ke rumahmu.”

***

Sudah tiga bulan desa Pegaten menerima kembali seorang warganya yang selama dua belas tahun tinggal di pengasingan. Pegaten yang lugu, Pegaten yang tidak mengenal rasa kesumat. Dia membuka pintu yang lapang bagi Karman untuk menata kembali martabat dirinya di tengah pergaulan sesama warga desa. Dalam upaya ini Karman hampir tak mendapat kesulitan. Apalagi Haji Bakir, orang yang terpandang di Pegaten, tidak berubah sikap.

Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan tiap gerak kehidupan di Pegaten. Ia tampak pada tiap kenduri yang diadakan orang, ia ikut kerja bakti membersihkan saluran irigasi yang sudah dibangun di desa itu. Dan Karman merasa bangga sekali ketika ia diberi kesempatan memperbaiki sumur masjid Haji Bakir.



Episode 37
Kubah


Ada sebuah berita yang makin lama makin makin santer diterima Karman. Tini, anaknya yang dulu baru berusia lima tahun ketika ditinggal ke tanah pengasingan, akan dilamar oleh Jabir. Bukan karena Jabir adalah cucu Haji Bakir yang membuat Karman termenung-menung. Tetapi karena Jabir adalah anak Syarifah dengan almarhum Abdul Rahman. Sesungguhnya Karman ingin memperoleh penjelasan. Setidak-tidaknya ia dapat menanyakan hal itu kepada bekas istrinya. Namun ia malu. Di Pegaten, pihak calon pengantin perempuan hanya layak menunggu berita dari pihak laki-laki.

Ketika orang-orang Pegaten selesai panen, kepastian yang ditunggu-tunggu Karman datang juga. Suatu malam Marni datang ke rumah Bu Mantri bersama Tini dan kedua adiknya. Agak terkejut juga Karman menerima kedatangan mereka. Namun Marni segera menerangkan.


“Tadi siang Haji Bakir menyuruh seseorang ke rumahku. Malam ini kami dimintanya berkumpul di rumah Bu Mantri ini. Sebentar lagi beliau menyusul kemari. Paknya Tini, kamu mau menata kursi-kursi?”

“Soal menata kursi adalah pekerjaan gampang. Masalahnya...”

Karman tidak meneruskan kata-katanya. Naluri menyuruhnya melihat anak gadisnya yang sudah menginjak usia delapan belas tahun. Tini menunduk, di punggung ibunya ia menangis. Mengertilah Karman sekarang. Mendadak ia merasa umurnya maju puluhan tahun ke depan. Marni memandang bekas suaminya yang sedang terpana. Perempuan itu merasa ada kekuatan batin yang mendekatkan dirinya dengan Karman. Walaupun ia berusaha keras, tak urung air matanya menetes juga.

“Ya, ya. Baiklah, kita tunggu kedatangan mereka. Tini yang harus pergi ke dapur. Oh ya, harus tersedia kopi yang enak untuk Haji Bakir. Kalau tak salah, beliau gemar kopi pahit. Di sini belum tersedia apa pun.”

“Aku telah membawa segala keperluan.” kata Marni.

“Juga sirih dan pinang?” tanya Bu Mantri kepada bekas menantunya.

“Ya, Bu.”

Kesibukan kecil terjadi di rumah itu. Karman masuk ke kamar. Ia merasa perlu bertukar pakaian yang agak pantas. Mana? “Untung istri Gono memberiku baju dan kain sarung, meskipun bekas, tetapi lumayan.”

Marni membersihkan meja. Karman menata kursi-kursi. Dan yang paling bingung adalah Tini. Memang ia sudah berdiri di dapur, namun ia ragu-ragu. Akhirnya ia mengambil seikat daun kelapa kering untuk menyalakan tungku. Tangannya yang gemetaran menumpahkan minyak tanah.

Seandainya Haji Bakir masih setia dengan terompah kayunya, kehadirannya dapat segera dikenali. Tetapi sudah lama terompah ber-bungkul kuningan yang dibubut halus itu tergeletak di bawah lumbung padi. Sepasang sandal jepit yang terbuat dari karet menggantikannya. Maka langkah-langkah Haji Bakir bersama istrinya tak dapat didengar sebelum ia mengucapkan,

“Assalamualaikum.”

Seisi rumah menghentikan pekerjaan masing-masing. Karman dan Marni keluar menjemput tamunya. Bu Mantri masih berdiam diri. Nenek itu sedang mengingat-ingat bagaimana sikap yang anggun yang harus dilakukannya. “Tak pernah kulupakan, bagaimana juga aku bekas istri seorang mantri,” bisik Bu Mantri meyakinkan diri sendiri.­

Ternyata Paman Hasyim beserta istrinya menyusul di belakang Haji Bakir. Rupanya dia juga diundang oleh Haji Bakir. Maka makin sibuklah keadaan di rumah Bu Mantri.

Di dapur, dekat tungku api, Tini duduk diam menggigit bibir. Matanya basah. Ia mendengar kedatangan para tamu, dan tahu betul maksud kedatangan mereka. Jadi Tini gemetar. Denyut nadinya cepat. Dan berkeringat. Keringat di pipi, keringat di ujung hidung. Pokoknya Tini gerah. Se­cangkir kopi telah tumpah. Sebelumnya, secara tak sadar Tini memegang cuping panci yang panas.

Di ruang depan, Haji Bakir dihadapi olah Karman dan Paman Hasyim. Mereka berbincang-bincang dari masalah panen yang kurang menguntungkan sampai ke cerita ketika Haji Bakir masih muda. Dengan gaya berseloroh Hasyim bertanya kepada Haji Bakir apa syaratnya agar orang dapat mencapai usia setua dia. “Soal umur semata-mata urusan Tuhan. Usiaku pasti sudah lewat delapan puluh tahun sekarang, karena ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 1901 aku sudah ingat. Cicitku sudah empat orang. Boleh jadi Jabir sebentar lagi akan menambah jumlah cicitku.”

Percakapan mereka terhenti sojenak ketika Tini keluar membawa makanan dan minuman. Sesungguhnya ia sudah sering menghadapi Haji Bakir. Tetapi saat itu Tini menganggap Haji Bakir seorang kaisar yang sedang membawa pesan cucunya, seorang pangeran. Tini merasa dirinya menjadi sebutir debu di hadapan kakek Jabir itu. “Jangan-jangan kopi itu berbau sangit karena kuseduh dengan air panas yang kumasak dengan api daun kelapa. Jangan-jang­an tempe goreng itu terlalu kering, terlalu keras bagi Haji Bakir. Jangan-jangan...”

Bila kemudian Haji Bakir mengutarakan maksudnya dengan gaya bahasa lama, itu karena ia tidak tahu cara yang lain. Ia hanya tahu begitulah bahasa yang dipakai orang Pegaten sejak dulu bila hendak melamar seorang gadis. Kalimat-kalimatnya berbumbu, bersayap di samping, beremper di depan, dan berekor di belakang. Karman sendiri pasti tidak bisa menirukan gaya bahasa Haji Bakir yang digunakan malam itu.

“Tuan rumah sekalian, serta segenap yang hadir di sini. Adalah kami berdua telah berjalan terlunta-lunta meninggalkan gubuk kami demi hendak menghadap Tuan-Tuan sekalian. Di tempat yang penuh hikmah ini, di hadapan Tuan-Tuan sekalian, kami ingin mengutarakan maksud kandungan kami. Benarlah, kami bukan seorang lurah apa pula seorang mantri juru periksa. Tetapi bolehlah kami bertanya mengapa pagar pekarangan di rumah ini dibiarkan rusak-rusak. Atau mengapa dinding lumbung itu dibiarkan menjadi lapuk dan tidak diganti. Apakah belum ada seorang bujang yang datang meminta atau menawarkan diri hendak membereskan semua yang tampak kurang rapi itu? Bilamana belum ada bujang yang datang, bilamana Tuan-Tuan berkenan di hati, kami ada mempunyai seorang cucu yang buruk rupa, Jabir namanya. Dapatlah kiranya cucu kami itu Tuan jadikan bujang di rumah ini. Dia sudah menginjak usia dua puluh dua tahun, Selasa Wage adalah hari kelahirannya. Demikian, kami telah sampaikan maksud kehadiran kami. Maka sekarang giliran kami yang menanti kata apa yang hendak Tuan jatuhkan kepada kami.”


Episode 38
Kubah


Sepi. Karman kelihatan tegang. Paman Hasyim senyum-senyum. Bu Mantri dalam posisi duduknya yang anggun kelihatan menghitung dengan cara melipat-lipat jemarinya. Dicegahnya Karman yang tampak ingin berkata sesuatu. Lalu Bu Mantri menoleh kepada Paman Hasyim, adiknya. “Wah, baik sekali hasil perhitungannya. Ketemu pendaringan penuh. Jabir sangat cocok buat Tini.”

Semua yang hadir tersenyum melihat tingkah Bu Mantri. Karman menegakkan punggung dan siap menjawab lamaran yang diucapkan Haji Bakir.

“Terima kasih atas segala hal yang telah disampaikan oleh Pak Haji. Selanjutnya, karena yang mewakili pihak lelaki adalah kakek Jabir, maka pihak kami akan diwakili Paman Hasyim. Dia kakek Tini juga.”

“Kok saya?” kata Paman Hasyim agak terkejut.

“Memang harus Paman Hasyim. Kalau tidak, siapa?”

“Baiklah. Tetapi saya tidak bisa berbicara dalam bahasa tinggi. Bagaimana kalau saya bicara seperti biasa?”

“Jangan!” potong Bu Mantri. “Kamu harus mengimbangi tata cara yang sudah dilakukan oleh Pak Haji.”

“Baik, akan saya coba sebisa-bisanya. Bapak dan Ibu Haji, adalah sudah tersedia pada kami: kayu dan bambu, serta segala alat pertukangannya. Tetapi keadaan di rumah ini masih kacau-balau, sebab belum ada seorang anak muda yang datang untuk membereskan segala yang tidak rapi itu. Kami sedang menanti ibarat orang memasang bubu, ikan apa gerangan yang bakal masuk. Itulah keadaan kami yang sebenarnya.”

“Wah, syukurlah,” timpal Haji Bakir, “Apabila demikian maka cucuku si Jabir yang akan datang, bila Tuan-Tuan sudi menerimanya. Suruhlah anak gadis di rumah ini menyediakan makan dan minumnya. Kami melihat anak gadis itu sudah cukup usia dan cantik pula.”


“Sesungguhnya tiada keberatan pada pihak kami. Masalahnya, apakah sudah diketahui bahwa tidak ada anak gadis di rumah ini kecuali dia yang lahir dari kedua orangtua yang tidak bermilik tanah barang sejengkal atau padi barang seikat? Lagi pula, rupanya anak gadis itu belum pandai masak-memasak bahkan mencuci periuk-belanga?”

Tengah malam perundingan itu berakhir. Semua pihak bangkit dari tempat duduk dengan rasa lega dan puas. Sebelum meninggalkan rumah Bu Mantri, Ibu Haji Bakir menyerahkan kain kebaya untuk diberikan kepada Tini sebagai tanda pengikat. Telah disepakati pula hari dan bulan untuk melaksanakan perkawinan antara Tini dan Jabir.

Setelah semua tamu pergi, Karman tidak segera masuk ke kamar tidur. Ia duduk seorang diri dengan perasaan yang galau. Karman merasa senang karena anak gadisnya akan menikah dengan perjaka dari keluarga baik-baik. Tetapi Karman juga merasa gelisah. Ia teringat masa belasan tahun lalu ketika ia bersama ajaran partainya menganggap Haji Bakir adalah manusia penindas yang jahat, sekaligus menjadi musuh kaum progresif-revolusioner. Dan kini ternyata orang tua itu akan menjadi besannya. Dan lebih dari itu, Karman sungguh tidak lagi bisa melihat sesuatu pada Haji Bakir

yang membuatnya pantas dibenci. Bahkan Karman merasa kecil dan hina ketika kelak, sesudah perkawinan itu diselenggarakan, Haji Bakir memberi hadiah kepada Tini.

“Tini, untuk bekal hidupmu bersama Jabir, kuberikan kepadamu sawah yang terletak di sebelah utara Kali Mundu itu. Luasnya satu setengah hektar. Peliharalah baik-baik pemberianku itu. Barangkali engkau tidak tahu bahwa dahulu sawah itu adalah milik nenekmu.”

Mesjid Haji Bakir makin tua seperti usia pemiliknya. Temboknya rapuh dan tampak retak-retak di sana-sini. Ubin di serambi banyak yang lepas. Langit-langit yang terbuat dari bilik bambu banyak yang sudah kendur, keropos oleh air yang menetes dari genting yang pecah. Serta kubah mesjid itu. Bila angin bertiup, akan terdengar suara derit seng yang saling bergesekan. Rupanya seng yang membentuk kubah banyak yang lepas dari patrinya, atau aus termakan karat.

Para jamah sepakat hendak memugar mesjid itu. Pikiran demikian makin mendesak karena jumlah jamaah terus bertambah hanyak.

Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang mendapat bagian menurut kecakapan masing-masing. Karman memberanikan diri meminta bagiannya. Ia menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan dan perkakasnya. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah belajar mematri dan mengelas.

Keinginan Karman mendapat sambutan. Hasyim menjual tiga ekor kambing untuk membeli bahan-bahan pembuat kubah serta biaya sewa alat-alat las dan patri.

Hanya membuat sebuah kubah yang tidak terlalu besar. Berkerangka besi pelat, berkulitkan seng tebal. Semua orang tahu bagaimana bentuk sebuah kubah. Dengan upah tak seberapa besar, seorang las di pinggir jalan dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Bilamana upah yang diterimanya lebih banyak, ia akan bekerja lebih hati-hati, lebih saksama. Jika kubah itu sudah dipasang menjadi mahkota mesjid, habislah segala urusan. Orang tak akan membicarakannya lagi, tidak juga tukang las itu.

Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa. Sesen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali bagian yang hilang itu. Bila ia dapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang-orang Pegaten, ia berharap akan memperoleh apa yang hilang itu. Atau setidaknya Karman bisa membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politik seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu!

Maka Karman bekerja dengan sangat hati-hati. Ia menggabungkan kesempurnaan teknik, keindahan estetika, serta ketekunan. Hasilnya adalah sebuah mahkota mesjid yang sempurna. Tidak ada kerutan-kerutan. Setiap sambungan terpatri rapi. Kerangkanya kokoh dengan pengelasan saksama. Leher kubah dihiasi kaligrafi dengan teralis. Empat ayat terakhir dari Surat Al Fajr terbaca di sana: Hai jiwa yang tentram, yang telah sampai kepada kebenaran hakiki. Kembalilah engkau kepada Tuhanmu. Maka masuklah engkau ke dalam barisan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah engkau ke dalam kedamaian abadi, di surga-Ku.

“Luar biasa bagusnya,” kata seseorang ketika kubah mesjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan mesjid.

“Beruntung,” sambung yang lain, “kita mendapatkan Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita tidak bisa bersembahyang di dalam mesjid sebagus ini.”

Karman mendengar puji-pujian itu. Rasanya dia yakin bahwa dirinya tidak berhak menerima semua pujian itu. Tetapi wajah orang-orang Pegaten yang berhias senyum, sikap mereka yang makin ramah, membuat Karman merasa sangat bahagia. Karman sudah melihat jalan kembali menuju kebersamaan dan kesetaraan dalam pergaulan yang hingga hari-hari kemarin terasa mengucilkan dirinya. Oh, kubah yang sederhana itu. Dalam kebisuannya, mahkota mesjid itu terasa terus mengumandangkan janji akan memberikan harga asasi kepada setiap manusia yang sadar akan kemanusiaannya. Dan Karman merasa tidak terkecuali.

0 komentar: