Search

Jumat, 11 Desember 2009

Diposting oleh santri kuliah

Episode 1
Di Kaki Bukit Cibalak


Dulu, jalan setapak itu adalah terowongan yang menembus belukar puyengan. Bila iring-iringan kerbau lewat, tubuh mereka tenggelam di bawah terowongan semak itu. Hanya bunyi korakan yang tergantung pada leher mereka terdengar dengan suara berdentang-dentang, iramanya tetap dan datar. Burung-burung kucica yang terkejut, terbang mencicit. Mereka tetap tidak mengerti mengapa kerbau-kerbau senang mengusik ketenteraman belukar puyengan tempat burung-burung kecil itu bersarang. Meskipun kerbau-kerbau itu telah jauh memasuki hutan jati Bukit Cibalak, suara korakan mereka masih tetap terdengar. Dan bunyi korakan adalah pertanda yang selalu didengarkan oleh majikan. Para pemilik kerbau di sekitar kaki Bukit Cibalak tidak menggembalakan ternak mereka. Binatang itu bebas berkeliaran mencari rumput, mencari umbut gelagah, atau berkubang di tepi hutan jati. Sering kali kerbau-kerbau itu tidak pulang ke kandang. Artinya, mereka tidur di hutan atau sedang berahi pada pejantan milik tetangga di sana. Pernah tedadi kerbau Mbok Sum tiga hari tidak pulang. Pada hari keempat binatang itu muncul bersama anaknya yang baru lahir di tengah hutan. Pada waktu itu masih banyak harimau Jawa berke?liaran di hutan jati Cibalak. Tetapi binatang buas itu lebih suka menerkam monyet atau lutung, apa?lagi celeng pun masih banyak terdapat di sana.

Sekarang terowongan di bawah belukar pu?yengan itu lenyap, berubah menjadi jalan setapak. Tak terdengar lagi suara korakan kerbau karena binatang itu telah banyak diangkut ke kota, dan di sana akan diolah menjadi daging goreng atau ma?kanan anjing. Di sekitar kaki Bukit Cibalak, te?naga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Burung-burung kucica yang telah turun-temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya. Orang-orang yang biasa memburuh dengan bajak, kemudian berganti pekerjaan. Pak Danu misalnya, yang dulu dikagumi orang karena kecakapannya memainkan bajak, kini bekerja pada Akiat. Ia menjadi tukang timbang ampas singkong. Gajinya berupa makanan yang ia terima pada hari itu plus sedikit uang. Dua orang anak gadis Pak Danu dibawa oleh makelar, menjadi babu di Jakarta, empat ratus kilometer jauhnya dari Desa Tanggir.

Bekas telapak kerbau yang mengukir jalan-jalan setapak telah terhapus oleh gilasan roda-roda sepe?da atau sepeda motor. Dari sebuah lorong setapak yang sempit kini terciptalah sebuah jalan kampung yang agak lebar. Orang-orang pulang-pergi me?lewati jalan itu. Pagi-pagi mereka pergi ke pasar membawa apa-apa untuk dijual di sana. Biasanya mereka menjual akar kayu jati yang mereka gali dari lereng-lereng Bukit Cibalak. Atau daun pohon itu meskipun mereka memperolehnya dengan mencuri. Tinggal beberapa puluh batang pohon jati di Cibalak, di dekat rumah scorang mandor hutan. Pulang dari pasar orang-orang yang tinggal di sekitar bukit itu membawa keperluan hidup me?reka. Barang-barang plastik: ember, tali jemuran, stoples, atau payung. Tempat tembakau yang biasa mereka anyam dari jenis rumput telah mereka singkirkan. Dompet plastik ternyata lebih menawan hati mereka. Oh, mereka orang-orang Tanggir ti?dak merasa terganggu oleh banyaknya sampah plastik dalam pawuan mereka. Mereka punya ke?sabaran yang luar biasa untuk menjumputi sam?pah-sampah pabrik itu bila mereka hendak men?jadikan isi pawuan mereka sebagai pupuk kompos.

Suatu siang Pak Danu pulang dari rumah tau?kenya. Ia sengaja singgah beberapa kali ke rumah orang-orang yang dikenalnya. Pak Danu ingin me?mamerkan sebuah tabung yang dicurinya dari ru?mah Akiat, sambil berpropaganda dengan bangga, “Ya, inilah obat semprot ketiak yang sering disiar?kan oleh radio dan televisi. Inilah barangnya. Ka?lian baru melihat gambarnya atau mendengar na?manya saja, bukan? Tetapi aku kini telah me?milikinya! Di kampung ini pastilah aku yang per?tama kali memiliki barang mahal ini.”

Orang-orang memandang Pak Danu dengan ka?gum. Kuli Akiat itu membusungkan dadanya ka?rena merasa telah naik derajatnya. Di hadapan orang-orang yang mengelilinginya Pak Danu me?nambahkan, “Seandainya kedua orang anak gadis?ku tidak keburu menjadi babu, pasti barang ini akan menolong mereka. Akan kusemprot sekujur tubuh mereka. Ketiaknya, punggungnya, dan pan?tatnya. Bau siput busuk akan lenyap seketika dan, nah... jodoh mereka akan segera datang. Sayang, sayang benar.” Dan... cret! Pak Danu memijit tom?bol kecil pada ujung tabung itu. Bau asing ter?cium. Bukan bau kembang kemuning, bukan bau daun sirih, juga bukan bau kubangan kerbau. Orang-orang makin terpesona melihat benda di tangan Pak Danu. Namun tak seorang pun dapat membunyikan sebuah aksara di sana.


Pagi hari pada musim tanam ladang. Tegalan yang telah tercangkul dan berbongkah-bongkah ke?ring, tersiram hujan. Wanginya tanah. Pada masa yang silam, burung srigunting yang hitam dan berekor panjang akan muncul. Biasanya burung-burung itu terbang di antara pohon-pohon randu dan baru hinggap bila sudah ada laron atau be?lalang di paruhnya. Musim seperti saat itu amat disukai oleh burung-burung srigunting untuk me?mamerkan kicaunya yang khas. Sering kali mereka terbang hanya beberapa jengkal dari para petani yang sedang menanam bibit. Nannum srigunting-srigunting telah lama punah dari wilayah Bukit Cibalak. Yang induk ditangkapi, dimasukkan ke dalam kotak-kotak kaca menjadi pajangan. Anak-anak mereka dikurung menjadi hiasan halaman orang-orang yang tidak senang melihat unggas itu menikmati kebebasannya. Di Desa Tanggir kicau burung telah diganti dengan suara motor dan mo?bil, radio dan kaset, atau disel penggerak gilingan padi.

Dua orang gadis tanggung sedang berjalan me?nuju Balai Desa. Mereka adalah Sanis dan Jirah. Sanis adalah anak modin di Tanggir. Ayah Sanis tidak memiliki tanah sedikit pun, kecuali sedikit tanah bengkok yang ia terima sebagai gaji seorang modin. Tugas ayah Sanis adalah segala sesuatu yang menyangkut upacara keagamaan, dan men?jaga surau di desa itu. Aneh, hal yang demikian amat baik bagi pertumbuhan badan Sanis. Karena ayahnya tidak memiliki tanah itulah, gadis itu ti?dak pernah naik-turun lereng Cibalak. Sanis me?miliki tungkai yang lurus, tidak bengkok seperti kebanyakan perempuan Tanggir. Pancuran air be?ning di samping surau membasuh muka Sanis setiap hari. Mukanya bersih. Dan gadis Pak Modin itu mempunyai pembawaan yang menawan; bila ia hendak menoleh, Sanis selalu menggulirkan bola matanya lebih dulu ke arah orang yang memang?gilnya.


Episode 2
Di Kaki Bukit Cibalak


Selama perjalanannya ke Balai Desa, Jirah yang paling banyak berbicara. Mula-mula ia bercerita tentang pengalamannya menggunakan sampo yang terbaru. Kemudian bercerita tentang sabun yang mengandung minyak zaitun. Jirah tidak perlu merasa bodoh walaupun ia tidak tahu apa itu zaitun. Yang penting ia dapat menirukan kata-kata tukang iklan di radio atau televisi. Dengan sungguh-sungguh Jirah berkata kepada Sanis, “Tadi malam televisi Mbok Sum menawarkan obat baru yang luar biasa, pil pelangsing. Aku mempunyai usul agar si Katam segera diberi obat itu supaya beri-berinya cepat kempes.”

Di halaman Balai Desa telah berkumpul banyak sekali warga Desa Tanggir. Lurah baru akan di?pilih hari itu, karena lurah yang lama telah me?letakkan jabatan. Tepatnya, lurah yang lama telah menandatangani surat pernyataan berhenti. Ia tidak bisa berbuat lain sebab surat itu konon dibuat dan disodorkan oleh Sekda Kabupaten. Alasannya, Lu?rah bertanggung jawab atas terjualnya sapi pejan?tan milik desa. Alasan itu sangat patut dan kebe?tulan nyata. Nanum sebab yang sebenarnya adalah perselisihan yang terjadi antara Lurah dan seorang warga Tanggir yang ternyata saudara dekat Bupati.

Penduduk Desa Tanggir adalah keturunan dari dua kelompok orang yang berlainan. Kaum kawula yang dulu dipaksa oleh Raja Mataram untuk mem?buka tanah-tanah rawa di sekitar kaki Bukit Ci?balak, adalah nenek moyang kebanyakan orang Tanggir. Seperti nenek moyangnya, orang Tanggir masih berjiwa kawula. Falsafah hidupnya, nrimo-pandum. Mereka itulah orangtua para pelayan rumah tangga di kota-kota, atau tukang-tukang hari?an di proyek pembangunan. Yang tetap tinggal di Tanggir kebanyakan menjadi petani tanpa tanah garapan atau pedagang kecil. Dalam perkembang?annya memang terjadi kekecualian-kekecualian. Seperti Mbok Sum, misalnya. Ia memiliki sawah dan ladang yang luas. Uang yang masuk ke Desa Tanggir sebagian besar melalui tangannya. Perempuan yang sudah janda itu menjadi perantara tauke-tauke dari kota yang menguasai perdagangan gula kelapa, hasil utama yang dikeluarkan oleh Desa Tanggir.

Betapa pentingnya peran Mbok Sum di desa kecil itu, kalau roman mukanya saja sering di?jadikan pertanda baik atau buruk. Apabila pagi-pagi wajahnya bening, biasanya Mbok Sum akan melayani para penjual gula kelapa dengan ramah, penuh basa-basi yang akrab. “Hari ini gula kalian kubeli tujuh ratus per kilo. Naik lima puluh ru?piah, bukan? Bagi yang telah mengebon uang, gula kalian kubeli enam ratus rupiah.”

Para petani gula kelapa itu tidak pernah mem?beri tanggapan apa pun kecuali anggukan kepala. Mereka kawula, mereka nrimo pandum. Juga me?reka tidak akan berkata apa pun bila beberapa hari kemudian roman muka Mbok Sum berubah. “Wah, hari ini ada kabar buruk. Tadi malam tauke datang dan mengatakan bahwa truknya yang nomor se?belas terguling di Tanjakan Sengkala. Enam ton gula masuk ke kali. Jadi aku tak bisa membeli gula kalian kecuali dengan harga lima ratus ru?piah.”

Mbok Sum memperkuat dongengnya dengan sumpah. Sebenarnya ia tidak usah berbuat demikian karena tak seorang pun dari para petani gula kelapa itu yang akan minta bukti kebenaran kisah di Tanjakan Sengkala. Mereka tidak tahu apakah ada jalan yang terjal dan bernama Tanjakan Seng?kala.

Nenek moyang sebagian kecil penduduk Tang?gir adalah kerabat ningrat yang menyingkir dari istana Mataram. Mereka adalah para pembangkang atau kelompok yang kalah dalam perselisihan di kalangan istana. Di Desa Tanggir mereka menu?runkan priyayi-priyayi kecil: opas Kantor Keca?matan, mantri pasar, atau guru-guru sekolah. Ciri mencolok kelompok ini adalah rendahnya penghar?gaan mereka pada pekerjaan-pekerjaan kasar, serta kuatnya mereka memegang garis keturunan. Mere?ka berkelompok-kelompok dalam lingkaran ikatan trah. Trah Dipayudan misalnya, adalah perkum?pulan orang yang mengaku keturunan Ki Demang Dipayuda. Ada lagi trah Pancawangen yang mengaku keturunan Raden Mas Pancawangi, se?orang prajurit Pangeran Diponegoro yang me?nyingkir dan beranak-pinak di Tanggir. Konon. Semuanya konon.

Di pagi itu baik mereka yang keturunan kawula maupun yang mengaku keturunan kerabat ningrat sudah berkumpul di halaman Balai Desa. Banyak orang yang akan memberikan suara kepada calon yang disukainya dengan ikhlas. Tetapi banyak juga yang bersedia menjual suaranya dengan berbagai cara yang dirahasiakan. Perdagangan suara ini acap kali membuat suasana seperti dalam perang dingin. Seorang pemilih berkata dengan enaknya, “Toh hanya sehari ini kita mempunyai harga. Be?sok, seorang yang terpilih akan berubah sikap dari ramah-tamah kepada semua orang menjadi acuh tak acuh kepada siapa pun. Tadi malam semua jago menjamu kita sekenyang-kenyangnya. Jangan harap besok pagi kita akan dipersilakan duduk kalau kita bertamu ke rumahnya. Kedatangan kita sesudah hari ini akan ditanggapi dengan dingin. Salah-salah kita disangka akan minta ini, minta itu. Percayalah.”

Matahari telah naik setinggi bubungan Balai Desa. Orang yang berkumpul makin banyak, tetapi suasana tidak hiruk-pikuk. Peluh telah membasahi kening dan punggung, namun tidak terdengar suara orang mengeluh. Mereka berkelompok-kelompok membicarakan siapa kiranya yang akan terpilih. Setiap orang menghendaki jagonya yang jadi. Se?cara umum mereka menghendaki lurah yang baru nanti baik orangnya. Tidak menjual sapi milik desa, tidak memungut iuran irigasi. Lurah yang baru juga diharapkan mau menutup-nutupi pen?duduk yang pekerjaannya mencuri kayu angsana yang baru saja ditanam di tanah-tanah milik Pe?merintah. Dan ada lagi, hendaknya lurah yang baru nanti segera mengganti istrinya. Yang meng?inginkan demikian ialah orang yang merasa punya anak gadis yang pantas dipanggil Bu Lurah. Se?orang yang memakai caping lebar berbisik kepada temannya bahwa ia ingin saudaranyalah yang ter?pilih supaya ia dapat nunut kamukten.

Hampir semua orang menyatakan harapannya dengan berbisik-bisik, malah banyak pula yang hanya dapat menyimpannya dalam hati. Tetapi seorang muncikari yang membedaki mukanya tebal-tebal berkata dengan lantang, “Siapa pun yang bakal menjadi lurah Tanggir, bagiku sama saja. Seorang lurah adalah laki-laki dengan cucuk emas. Baik janda atau gadis, bahkan seorang ibu rumah tangga akan sulit menolak kehendak seorang laki-laki cucuk emas. Saya paling berpengalaman tentang masalah itu. Oh...”

Germo itu berhenti berbicara ketika ia sadar pidatonya tidak diperhatikan orang. Ia lupa, pada siang hari seperti itu semua laki-laki ingin dikatakan “tidak pernah kenal dengan seorang germo”.

Episode 3
Di Kaki Bukit Cibalak


Dan tiba-tiba perhatian semua orang tertuju ke bawah pohon johar di sudut halaman Balai Desa. Di sana seorang kakek sedang membaca mantra. Tentu ia telah dibayar oleh seorang calon agar “wahyu” datang kepada calon yang telah memberinya uang. Seutas rotan diputar-putar di atas kepalanya. Kakek itu terus berbuat demikian sampai ada orang yang melapor kepada hansip. Kemudian si kakek dituntun keluar dari halaman Balai Desa.

Tiap-tiap calon mempunyai beberapa orang botoh yang mempunyai tugas sebagai pengumpul suara. Soal cara, tidak diperhatikan benar. Maka para botoh inilah yang hampir selalu mendatangkan onar pada setiap pelaksanaan pemilihan pamong desa. Sesungguhnya para botoh itu tidak pantas mendapat kepercayaan apa pun. Mereka mau bekerja dengan satu tujuan, uang! Mereka bisa berkhianat kepada calon yang telah membayarnya bila ia melihat uang yang lebih banyak. Maka para botoh mempunyai pasangan yang amat cocok, para petaruh.

Siapa pun yang ingin menjadi lurah Desa Tanggir tidak boleh sayang terhadap uang dua, tiga, atau empat puluh juta rupiah. Kelima orang calon yang hendak dipilih pagi itu telah mengeluarkan uang banyak sekali, dari uang pendaftaran, uang ujian sampai kepada uang yang harus dikeluarkan untuk para botoh dan dukun. Tetapi yang paling besar jumlahnya adalah biaya untuk perjamuan. Setiap calon berusaha menjamu seluruh warga Desa Tanggir dengan makan-minum yang hampir tanpa batas. Biaya besar itu akan membawa akibat yang menyulitkan calon yang menang, apalagi yang kalah. Jadi ada benarnya bila seseorang mengatakan bahwa tugas pertama seorang lurah baru adalah menata kembali perekonomian rumah tangganya. Bila usahanya gagal, berarti cikal bakal kesulitan tugas sudah dimulai. Kecurangan para lurah biasanya bermula dari titik ini.

Meskipun ada lima orang calon, kebanyakan orang mengatakan hanya dua orang yang memiliki peluang. Satu di antaranya adalah Pak Badi. Ia memang patut merasa berbesar hati, karena di Desa Tanggir ia mempunyai nama yang baik. Orang Tanggir belum pernah mendengar Pak Badi terlibat dalam perbuatan curang, apalagi perjudian dan pelacuran. Sifat dermawannya amat menonjol. Juga semua orang Tanggir tahu, Pak Badi memiliki ijazah SMEP. Sekiranya kelima calon itu masing-masing memegang buku rapor, pastilah angka tertinggi untuk mata pelajaran budi pekerti ada pada rapor Pak Badi.

Calon lain yang keadaannya mengimbangi Pak Badi adalah calon yang memegang lambang dengan gambar pedang. Dia berpakaian adat Jawa dengan belangkon, jas hitam wungkal gerang, dan kain batik sida mukti. Kumis tebal yang sengaja dipeliharanya mengingatkan orang akan Aria Panangsang, adipati Pajang dalam ketoprak. Calon yang gagah itu bernama Dirgamulya, dan terkenal dengan sebutan Pak Dirga. Di dalam pergaulan Pak Dirga lebih populer daripada keempat calon lainnya. Ia luwes, pandai bermain bola, pandai berjudi, dan gemar berganti istri.

Selain Pak Badi dan Pak Dirga semuanya calon-calon lemah. Barangkali mereka mencalonkan diri karena didorong oleh perasaan ingin menjadi seorang lurah semata-mata. Atau benar kata sementara orang, bahwa ketiga calon yang lemah itu hanyalah boneka-boneka yang sengaja dipasang oleh Pak Dirga untuk mengurangi suara yang berpihak kepada Pak Badi. Siang itu penduduk Tanggir menentukan siapa yang akan menjadi lurah mereka. Dan ternyata keluhuran budi, kearifan, serta kejujuran Pak Badi tidak memberikan nasib baik. Ia kalah, karena Pak Dirga-lah yang terpilih.

Pambudi merasa masygul dan kecewa karena calon yang dijagoinya kalah. Ia menginginkan Pak Badi yang terpilih sebab Pambudi menyenangi wataknya. Pambudi yang berusia 24 tahun itu bekerja mengurus lumbung koperasi Desa Tanggir. Sudah dua tahun ia bekerja di sana, dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa badan usaba itu tidak mungkin terus ditungguinya. Sebenarnya Pambudi ingin menjadikan lumbung koperasi yang diurusnya sebagai tempat ia membuktikan kecakapannya. Ia ingin membuat badan sosial itu sungguh-sungguh merupakan sebuah koperasi, yang akan banyak faedahnya bagi segenap penduduk Tanggir. Tetapi lurah yang lama tidak demikian pendapatnya. Pak Lurah sering melanggar ketentuan-ketentuan perkoperasian yang selalu ia pidatokan sendiri. Tidak jarang Lurah memberi perintah menjual padi lumbung koperasi tanpa melalui ketentuan yang benar. Maka ketika terjadi pergantian lurah, Pambudi menjagoi Pak Badi. Ia yakin, orang sejujur Pak Badi mempunyai rasa tanggung jawab dan ingin memajukan desanya, oleh karena itu tidak akan seenaknya menjual padi milik rakyat Tanggir. Ke?kalahan Pak Badi menambah rasa kecil hati pada Pambudi. Dan benar juga, Pak Dirga sebagai lurah baru sama saja dengan yang digantikannya. Sebu?lan sesudah pengangkatannya, Pak Dirga memulai dengan kecurangannya.

Terkadang Pambudi bertanya kepada diri sen?diri, mengapa ia tidak berbuat seperti Poyo, teman sejawat dalam pengelolaan lumbung desa itu. Poyo hidup dengan sejahtera bersama istri dan anak-anaknya. Rumah mereka sudah ditembok. Belum lama ini Poyo membeli sebuah sepeda motor. Pambudi tahu persis mengapa sejawatnya bisa memperoleh semua itu. Ia bekerja sama dengan Lurah, misalnya memperbesar angka susut guna memperoleh keuntungan berton-ton padi. Atau me?reka bersekongkol dengan para tengkulak beras dalam menentukan harga jual padi lumbung ko?perasi. Dengan cara ini saja mereka akan menda?pat keuntungan berpuluh ribu rupiah, karena me?reka dapat mencantumkan harga penjualan semau mereka sendiri, dan dari tengkulak padi mereka mendapat semacam komisi. Pambudi tahu, sama sekali tidak sukar berbuat demikian karena badan koperasi itu tanpa pengawasan, apalagi penelitian. Dan, kebanyakan penduduk Tanggir adalah anak-cucu kaum kawula. Mereka nrimo, sangat nrimo.

Hati Pambudi makin lama makin resah. Rasanya ia takkan bisa berbuat banyak dengan lumbung koperasi Desa Tanggir. Pak Dirga, lurah yang baru, berbuat tepat seperti yang diramalkan Pam?budi. Curang! Aneh, pikir Pambudi, aku hanya ingin bekerja menurut ukuran yang wajar. Me?ngembangkan lumbung koperasi untuk kebaikan bersama. Memang aku akan memperoleh keun?tungan pribadi bila tujuanku berhasil. Mungkin pendapatan pribadiku akan naik. Dan siapa yang akan mengutukku bila aku dibayar karena tenaga yang telah kuberikan kepada koperasi? Bukan ha?nya aku yang akan beruntung bila lumbung ko?perasi Desa Tanggir menjadi badan usaha yang bonafide. Tidak, aku tidak berlebih-lebihan dalam bercita-cita ini. Koperasi untuk kepentingan ber?sama, tetapi alangkah sulit mengusahakan kema?juannya.


Episode 4
Di Kaki Bukit Cibalak


Karena merasa menemukan jalan buntu, Pam?budi mulai berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Dan keputusannya untuk meninggalkan pekerjaan?nya yang lama datang dua bulan kemudian. Se?orang perempuan datang menemui Pambudi. Ia mengajukan permohonan agar diberi pinjaman padi. Mula-mula perempuan itu tidak menyebutkan tujuan peminjaman padi itu sebelum Pambudi ber?tanya.

“Untuk apa padimu nanti, Mbok?”

“Akan kujual. Uangnya akan kupergunakan untuk berobat, Lihatlah, leherku membengkak. Sakit sekali rasanya.” Mbok Ralem, demikian nama pe?rempuan itu, memperlihatkan lehernya yang meng?gembung seperti leher ular koros.

“Berapa luas sawah yang kaugarap, Mbok?”

“Oalah, Nak, aku tak mempunyai sawah sedikit pun. Biasanya aku menggarap sawah tetangga. Tetapi musim ini tidak. Aku tak menggarap sawah.”

“Kalau begitu kau takkan mendapat pinjaman lebih dari 25 kilo. Apakah jumlah itu cukup?”

“Pasti tidak cukup, Nak, sebab kata Pak Mantri, aku harus berobat ke Yogya.”

“Aku tidak dapat memutuskannya kalau begitu. Mari kuantar menghadap Pak Lurah.”

Ternyata Pak Dirga belum ada di kantornya. Sambil menunggu kedatangan kepala Desa Tanggir itu, Pambudi dan Mbok Ralem duduk di sebuah bangku panjang. Perempuan itu bercerita bahwa ia sudah tiga kali berobat kepada dukun dan sekali kepada seorang mantri kesehatan.

“Aku ingin segera sembuh, Nak. Leherku makin lama makin tercekik rasanya.”

“Ya, aku mengerti. Kukira kau memerlukan biaya yang agak banyak, sebab untuk ongkos perjalanan ke Yogya saja tidak akan cukup dengan uang dua-tiga ribu rupiah.”

“Memang demikian, Nak. Seandainya masih ada sesuatu yang dapat kujual, pasti aku takkan meminjam padi di sini. Aku takut nanti tak mampu mengembalikannya.”

Setelah Pak Dirga datang, Pambudi membawa tamunya masuk ke kamar kerja Kepala Desa. Dengan suara lirih dan gemetar, Mbok Ralem mengutarakan maksudnya kepada Pak Dirga. Selama berbicara perempuan itu tidak sekali pun menatap wajah lurahnya. Pak Dirga tidak segera memberi jawaban. Ia hanya melihat sepintas saja pada leher Mbok Ralem. Kemudian dengan pandangan mata lurus Pak Dirga berkata, “Mbok Ralem, sebenarnya seorang seperti kamu tidak bisa mendapat pinjaman. Aku tahu, banyak peminjam yang mengembalikan pinjamannya saja tidak dapat, apalagi bersama bunganya. Jawablah sekarang dengan jujur, apakah dulu kau pernah meminjam padi dari lumbung?”

Wajah Mbok Ratem pucat mendadak. Betul, dua tahun yang lalu ia meminjam sepuluh kilo padi dari lumbung. Dua panenan berikutnya hama wereng memusnahkan padinya selagi masih hijau. Jadi ia tidak bisa mengumpulkan bawon. Jangankan untuk mengembalikan pinjaman, untuk makan bersama dua orang anaknya saja sudah tidak ada. Perempuan itu terkejut ketika Pak Dirga mengulangi pertanyaannya. Dengan suara yang bergumam di tenggorokan, Mbok Ralem mengakui dakwaan lurahnya.

“Pambudi,” kata Pak Dirga. “Hitung sekarang berapa pinjaman perempuan ini berikut bunganya sekarang.”

“Dua puluh tujuh setengah kilo,” jawab Pambudi dengan suara setengah tertahan.

“Nah, itu. Utangmu dua tahun yang lalu belum bisa kaubayar kembali. Sekarang kau mau pinjam lagi, bagaimana?”

Mbok Ralem meremas-remas jarinya sendiri. Benjolan di lehernya terasa menggigit. Bibirnya gemetar mau berbicara, tetapi tidak sepatah kata pun berhasil diucapkannya. Sebagai gantinya air matanya mengalir dengan deras. Kemudian Mbok Ralem bangkit karena merasa tidak mampu lagi berkata walau hanya sepatah. Apalagi kalau ia teringat kepada kedua anaknya yang ditinggal di rumah, yang disuruh menjaga ubi yang sedang direbus dalam kuali. Sebelum berjalan Mbok Ra?lem memandang kepada Pambudi. Sebuah batu besar terasa jatuh menimpa hati anak muda itu. Pandangan mata Mbok Ralem, pandangan seorang perempuan Tanggir yang takkan dapat dilupakan oleh Pambudi sepanjang hidupnya. Mata orang yang tak berdaya. Mata yang cekung, merah, dan basah. Pandangan yang mewakili kegetiran yang mutlak, yang akan menarik hati nurani siapa pun dari persembunyiannya.

“Nanti dulu, Pak. Jadi orang ini tidak akan diberi kesempatan untuk berobat ke Yogya?” kata Pambudi seraya bangkit dari duduknya.

“Lho, kenapa kau bertanya begitu? Sudah lama kau mengurus lumbung, bukan? Tentu kau sudah hafal ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh seorang peminjam, bukan? Mbok Ralem tidak menggarap sawah sedikit pun. Mbok Ralem bah?kan masih menangguhkan utangnya. Tapi baiklah, beri ia pinjaman dua puluh kilo. Dengan hanya bertindak demikian sesungguhnya aku telah me?nempuh risiko.”

“Padi sejumlah itu takkan ada artinya untuk perawatan penyakit yang diderita Mbok Ralem. Saya mempunyai sebuah usul, Pak.”

“Cepat katakan!”

“Sepantasnya Mbok Ralem diperlakukan secara khusus. Ia sakit. Wajarlah bila ia diberi pinjaman sebesar yang ia perlukan untuk biaya penyem?buhan penyakitnya itu. Apa artinya ia diberi pin?jaman bila jumlahnya tidak cukup sehingga pe?nyakitnya tidak diapa-apakan?”

“Perihal sakitnya, itu terserah kepadanya dan kepada sanak familinya. Atau ia dapat mengajukan permohonan bantuan kepada kas Lembaga Sosial Desa. Aku ketua lembaga itu, dan tahu benar kasnya melompong.”

“Ya, Pak, tapi maaf. Saya mengingatkan Bapak akan sebuah pasal dalam peraturan perlumbungan. Bahwa sepertiga keuntungan lumbung koperasi ter?sedia bagi pengeluaran-pengeluaran darurat yang harus dipikul oleh desa, seperti bila ada bencana banjir, kebakaran, dan sebagainya. Bagaimana bila Mbok Ralem kita beri uang berobat dari dana darurat itu. Saya tahu, dana itu ada dan pasti cukup.”

“Dengar. Apa yang terjadi pada Mbok Ralem adalah sakit. Bukan bencana banjir, bukan bencana kebakaran. Pokoknya aku tak bisa memberi pin?jaman sebesar yang ia perlukan. Apalagi dana darurat yang kaumaksud itu harus kita berikan cuma-cuma. Tidak mungkin. Aku telah mempunyai rencana besar yang pelaksanaannya akan dibiayai dengan dana darurat itu.”

“Apa lagi rencana Bapak itu?”

“Kau tak perlu tahu! Oh, maksudku kau belum saatnya kuberitahu.”

Episode 5
Di Kaki Bukit Cibalak


“Kali ini saya harus tahu. Soalnya, saya ingin tahu, penting mana rencana Bapak itu dengan keharusan kita menolong Mbok Ralem. Maaf, Pak, sesungguhnya saya merasa masygul. Untuk membiayai pelantikan Bapak beberapa bulan yang lalu, kas dana darurat susut 125.000 rupiah. Sebaliknya Bapak tidak merelakan sedikit pun uang dana darurat itu untuk menolong Mbok Ralem. Sekarang katakan terus terang, apalagi rencana Bapak dengan uang milik bersama itu?”

Pak Dirga menyembunyikan kagetnya dengan cepat-cepat menyalakan rokok. Ia tidak mengira akan dikejar dengan pertanyaan yang menyelidik seperti itu. Mentang ia telah menyuruh Poyo mengeluarkan uang dari kas dana darurat untuk membiayai pelantikannya beberapa bulan yang lalu. Bayangkan, pikirnya, Bu Camat wanti-wanti berpesan agar pelantikan itu dimeriahkan dengan pergelaran wayang kulit dengan dalang yang dipesan sendiri oleh Bu Camat. Tarifnya bukan main. Untuk membeli rokok yang disuguhkan kepada para tamu saja Pak Dirga harus membayar 30.000 rupiah. Tadinya ia akan menyerah, kalau kas dana darurat tidak boleh dibobolnya. Dan si Pambudi ini, bocah nakal yang sangat berbeda dengan Poyo. Apa maunya? Oh, tetapi Pak Dirga merasa pasti, ia dapat menjinakkan hati anak yang masih ingusan seperti Pambudi ini. Maka ia segera mengendurkan urat-urat di wajahnya. Senyumnya terkembang, ramah tetapi jelas licik.

“Wah, nanti dulu, Pambudi. Bicaralah pelan-pelan. Mbok Ralem sendiri mungkin masih mendengarnya. Rencana yang kumaksud hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja, termasuk kau. Barangkali kau belum tahu, Pemerintah akan melebarkan jalan yang melewati desa kita ini. Karena pelebaran jalan itu, kira-kira lima ratus batang pobon kelapa akan tergusur. Para pemilik pohon kelapa akan menerima ganti rugi. Pambudi, kau anak yang pinter. Tahukah kau, ada rezeki yang dapat kita ambil?”

“Oh, tidak, Pak. Tetapi apa hubungannya dengan uang dana darurat milik koperasi kita?”

Sebuah senyuman belut putih tergambar pada bibir Pak Dirga. Ia tertawa pelan, penuh arti. Sikapnya amat lunak sekarang, seperti seorang ayah yang sedang mengakali anak yang merajuk. Kepada Pambudi, Pak Dirga menawarkan rokok. Tetapi pemuda itu menyulut rokoknya sendiri.

“Dengarlah, anak muda. Pertama-tama kukatakan kepadamu bahwa inilah kesempatan yang dapat kauambil untuk mendapat keuntungan yang besar. Marilah kita bekerja sama. Kau tahu, uang yang dijanjikan Pemerintah sebesar 2.000 rupiah untuk tiap batang kelapa yang tergusur, akan lambat datangnya. Uang milik koperasi dapat kita pakai dulu untuk membayarkan ganti rugi kepada pemilik pohon kelapa. Kita tidak akan membayar 2.000 tiap batang, tetapi cukup 1.000 saja. Jadi apabila uang ganti rugi yang dijanjikan Pemerintah keluar, kitalah pemiliknya. Sementara kita me?nunggu, kita tebang pohon-pohon kelapa yang su?dah kita bayar itu. Bayangkan, pemborong yang sedang membangun jembatan Kali Benda itu be?rani membayar 2.500 per batang. Wah, Pambudi, apa tidak lumayan? Bila mau, kau dapat juga membeli sepeda motor seperti Poyo. Enak, bukan?”

Entah bagaimana perasaan dan sikap Pambudi saat itu. Boleh jadi ia tersenyum pahit atau tertawa lirih, tetapi ia tidak menyadari semua itu. Yang jelas daun telinganya terasa panas dan napasnya memburu. Tengkuknya merinding. Mulutnya sulit dibuka karena urat-urat pipinya menegang. Pak Dirga tampak tidak sabar menunggu tanggapan Pambudi.

“Bagaimana, Pambudi?”

Yang ditanya kaget. “Oh, maaf, hendaknya Ba?pak jangan mengikutsertakan saya dalam urusan seperti itu.”

“Lho, kenapa? Kau akan mendapat banyak ke?untungan tanpa banyak mengeluarkan tenaga. Se?mua orang menyenangi hal semacam itu, mengapa kau tidak? Lihat, Poyo telah lumayan hidupnya. Sekarang tiba giliranmu, ayolah!”

“Tidak, Pak.”

“Mengapa?”

“Saya tidak bisa menerangkannya mengapa.”

Pak Dirga melepaskan napas panjang lalu menyandarkan diri ke belakang. Dipandangnya Pambudi lama-lama, tetapi pemuda itu tenang saja. Bahkan di dalam hatinya Pambudi merasa lega. Ia merasa telah menuruti suara hati nuraninya untuk tidak turut melakukan kecurangan bersama Pak Dirga. Memang hanya satu yang terasa olehnya pada saat itu: Lega. Lega!

Pak Dirga sebaliknya, kulit mukanya terasa se?perti dijerang di atas api. Panas, malu. Ia tidak berhasil menundukkan Pambudi, padahal rencana yang dirahasiakan sudah telanjur diberitahukan ke?pada anak muda itu. Bagaimanapun ini berbahaya. Tetapi kepala desa itu terpaksa juga harus mena?ruh hormat pada keteguhan sikap Pambudi. Karena itu, ia tidak meneruskan pembicaraan itu lebih lan?jut. Pak Dirga hanya mengangguk-angguk tanpa arti. Dan ia diam saja ketika Pambudi pamit dan pergi.

Pada hari berikutnya Pambudi tidak berangkat kerja. Selesai sembahyang subuh ia bemyanyi-nyanyi kecil. Terkadang ia menyanyikan kidung ciptaan para empu, kidung tentang “zaman edan”. Lalu disambungnya dengan lagu-lagu keras nya?nyian anak-anak muda yang merasa menjadi kor?ban kepalsuan.

Pambudi tidak bisa mengatakan mengapa di pagi hari itu, ia merasa begitu tenteram. Padahal tadi malam ia telah menulis surat kepada Pak Dirga. Pambudi menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan lumbung koperasi desa.



Episode 6
Di Kaki Bukit Cibalak


Alangkah nyaman hari-hari berikutnya terasa oleh Pambudi. Kenyataan bahwa sekarang ia menjadi penganggur, tidak mengurangi cerahnya perasain. Pambudi benar-benar menikmati suasana yang sulit digambarkan. Satu-satunya yang mengganggu ke?tenteraman hatinya adalah kenyataaan bahwa antara dirinya dan Pak Dirga telah terbentang garis ketidak?cocokan. Pak Dirga pasti sadar bahwa rahasianya turut dibawa ke luar olehnya. Tidak mustahil pada akhirnya hal ini akan membawa akibat tidak baik. Di sebuah desa kecil seperti Tanggir, orang akan me?rasa gelisah bila ternyata lurah membencinya.

Untuk mengisi waktunya Pambudi melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil. Memperbaiki kandang ayam yang membuatnya bisa menabung dengan teratur selama ini, menyulami dinding bambu yang telah lapuk, atau menggali parit-parit sekitar pe?karangan rumah. Hari itu Pambudi telah membuat adonan kapur untuk memutihkan dinding-dinding. Tetapi ia tidak segera melakukan niatnya. Hatinya dikacau oleh perasaan kasihan terhadap Mbok Ralem. Adalah pantas bila aku berbuat sesuatu untuk menolong perempuan yang sakit itu, tapi apa? pikirnya. Berjam-jam Pambudi merenung. Dide?ngarkannya dengan sungguh-sungguh suara hatinya sendiri. Kemudian datanglah tekadnya.

Sepedanya dikayuh melalui jalan-jalan kecil yang menyelinap di bawah rumpun-rumpun bam?bu. Tidak lama, sampailah ia ke halaman sebuah rumah kecil, tanpa pintu. Dipanggilnya penghuni rumah itu. Mbok Ralem keluar sambil membopong anaknya yang pucat dan batuk. Perempuan itu terkejut melihat siapa yang datang. Darah lenyap dari wajahnya, bibirnya bergetar. Pambudi duduk di balai-balai bambu.

“Mbok Ralem, kau tak perlu takut seperti itu.”

“Anu, anu... anu, Nak.”

“Anu apa, Mbok?”

“Aku takut kau membawa perintah dari Lurah untuk menghukumku. Kemarin dulu sebelum aku meninggalkan Balai Desa kudengar Pak Lurah marah-marah. Pastilah gara-gara aku, bukan?”

“Oh, lupakan hal itu. Aku datang kemari atas kehendakku sendiri. Akan kutanyakan apakah kau masih tetap ingin berobat ke Yogya.”

Mbok Ralem terpukau. Ia tidak percaya pada apa yang baru didengarnya. Roman muka Mbok Ralem menggambarkan dengan jelas wajah se?orang yang sedang bingung. Ketika Pambudi mengulangi pertanyaannya, Mbok Ralem terperan?jat. Dengan menempelkan wajah si kecil ke dada?nya, perempuan itu berkata terputus-putus, “Oalah, Nak, aku memang ingin sembuh. Bagaimana kalau aku mati padahal ayah anak-anak tidak pernah datang lagi? Tapi kau kan tahu, aku tak bisa mencari uang untuk membiayai perawatanku.”

“Kalau begitu kita akan berangkat ke Yogya. Bila mungkin besok pagi.”

“Oh, Pengeran, apakah akhirnya Lurah memberi pinjaman juga?”

“Tidak. Pak Dirga tetap pada pendiriannya. Kau bisa berangkat bersamaku, tetapi ada syaratnya. Kau harus meminta surat keterangan ke Balai Desa.”

“Ke Balai Desa? Keterangan apa, Nak?”

“Keterangan yang menyatakan bahwa kau benar-benar miskin sehingga tidak mampu mem?bayar biaya pengobatan.”

“Tetapi, Nak, aku takut datang ke Balai Desa. Sungguh, aku takut datang ke sana. Lagi pula kita masih harus menyediakan uang, paling tidak untuk membayar ongkos perjalanan.”

“Kalau kau ingin sembuh, janganlah ada rasa takut di hatimu, sekalipun terhadap Pak Dirga. Tentang biaya perjalanan, serahkan kepadaku. Nah, usahakanlah surat keterangan hari ini juga selagi masih pagi. Apabila Pak Dirga bertanya dari mana kau mendapat uang jalan, katakan saja sanak fa?mili telah memberikan bantuan kepadamu. Aku tidak ingin kausebut-sebut, mengerti, Mbok?”

Perempuan itu termenung lama sekali sebelum mengiyakan kata-kata Pambudi. Kemudian ia ma?suk. Anaknya yang terbesar disuruhkan menjaga si Bungsu selama ia pergi ke Balai Desa. Setelah memakai baju, Mbok Ralem melangkah ke pintu. Ia tercengang melihat Pambudi masih duduk di balai-balai. Mbok Ralem hendak mengatakan se?suatu, tetapi Pambudi mendahuluinya.

“Segeralah berangkat, Mbok, aku akan menung?gu di sini sampai kau pulang.”

“Baik, Nak.”

Dengan mengangkat kain tinggi-tinggi Mbok Ralem berangkat. Pambudi mengikuti perempuan itu dengan matanya. Kedua anak Mbok Ralem duduk diam, hanya pelupuk matanya saja yang bergerak-gerak. Perutnya buncit. Sedikit makanan yang masuk ke perutnya hanya menghidupkan cacing-cacing. Tulang belakang kedua anak itu menyembul di bawah kulitnya yang hampir biru.

Tidak ada bilik-bilik dalam rumah Mbok Ralem. Di sudut bagian timur ada tungku dan tempayan. Beberapa perkakas dapur, cerek, kuali, dan gayung di atas tungku itu. Pambudi yakin, tungku itu jarang dinyalakan, karena hanya terdapat sedikit abu di dalamnya. Barangkali tadi pagi Mbok Ra?lem sekeluarga sarapan singkong bakar. Kulitnya berserakan di bawah satu-satunya tempat tidur tan?pa tikar di dalam rumah itu.

Ternyata Mbok Ralem tidak memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh surat keterangan yang diminta oleh Pambudi. Bukan main senang hati perempuan itu ketika ia kembali. Seakan-akan benjolan di sisi lehernya sudah lenyap. Sambil menangis Mbok Ralem menyerahkan kertas yang digenggamnya kepada Pambudi. Perempuan lugu yang amat miskin itu terharu. Ternyata ada se?seorang yang mau menganggapnya sama dengan orang-orang lain, dan mau menolong.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali, Mbok Ralem tampak berdua dengan Pambudi di depan pasar Desa Tanggir. Kedua anak Mbok Ralem dititipkan kepada salah seorang bibinya.

Sebuah bus bermesin disel membawa kedua orang itu ke Yogya. Perjalanan akan memakan waktu empat jam. Perempuan yang tak pernah mengenal kendaraan itu terus-menerus mabuk se?lama dalam perjalanan. Ia tidak muntah, karena tak ada sesuatu yang dapat dimuntahkan dari perutnya yang kosong. Namun ketika sampai di Pur?worejo Pambudi meminta kepada sopir agar ber?istirahat lebih lama dari biasanya. Pambudi ingin memberi kesempatan kepada Mbok Ralem untuk mengisi perutnya dengan tiga buah lontong.

Tengah hari mereka sampai di kota tujuan dan langsung menuju rumah sakit dengan naik andong. Sebelum Pambudi mendaftar di loket, Mbok Ra?lem disuruhnya duduk di bangku tunggu bersama calon pasien lain.



Episode 7
Di Kaki Bukit Cibalak


Ketika nama Mbok Ralem disebut, Pambudi ikut masuk ke ruang periksa. Surat keterangan dari Tanggir diperlihatkan kepada mantri yang meme?riksa Mbok Ralem. Pegawai itu kemudian meneliti benjolan yang membuat leher Mbok Ralem meng?gembung. Ia tampak ragu-ragu. Maka dipanggilnya rekannya yang berada dalam kamar periksa itu.

Mereka berbicara sebentar, kemudian Pak Mantri bertanya kepada Pambudi.

“Apakah Anda anak ibu ini?”

“Bukan, tetapi segala sesuatu yang menyangkut perawatan pasien ini dapat dibicarakan dengan saya.”

“Menurut surat keterangan yang Anda tunjuk?kan, pasien mengharapkan perawatan gratis. Baik?lah, asal bengkak di lehernya itu bukan kanker. Apabila terbukti penyakit yang diderita pasien ini kanker, kami tidak bisa merawatnya dengan cuma-cuma. Begitu peraturan yang berlaku di sini. Anda pun sudah mengetahui, bukan, bahwa biaya pe?rawatan penyakit itu sangat tinggi.”

“Ya, saya tahu maksud Anda. Saya tetap ber?tanggung jawab meskipun misalnya penyakit ibu ini ternyata kanker.”

“Nah, baiklah. Sekarang kami hanya akan meng?ambil contoh jaringan pada benjolan itu. Besok pagi kira-kira pukul sebelas siang Anda sudah dapat mengambil surat hasil pemeriksaan laboratorium.”

Dalam waktu hanya seperempat jam Pak Mantri sudah dapat mengambil secuil jaringan dari ben?jolan di leher Mbok Ralem. Bekasnya diplester. Kemudian kedua orang warga Tanggir itu keluar. Mbok Ralem mengira hanya sampai di situlah perawatan yang harus dialaminya. Pambudi harus menerangkannya panjang-lebar. Dikatakannya bah?wa baru besok pagi ada kepastian lama-tidaknya mereka harus tinggal di Yogya. Mendengar kata-kata Pambudi, Mbok Ralem melelehkan air mata.

Terbayang olehnya kedua orang anaknya yang ditinggal di Tanggir. Mbok Ralem sadar, adiknya yang dititipi kedua anak itu culas wataknya. Na?lurinya sebagai seorang ibu sudah memberi firasat, pasti anaknya tidak terurus.

Mereka menginap di losmen yang amat murah tarifnya. Hampir semalaman Pambudi tidak dapat tidur. Ia tak henti-hentinya membayangkan ke?mungkinan yang baru dapat diketahuinya besok. Mudah-mudahan bukan kanker yang bercokol di leher Mbok Ralem. Perawatannya akan lebih mudah dan gratis pula. Tetapi kemungkinan itu hampir tidak dipikirkan oleh Pambudi. Yang dikhawatirkannya adalah kemungkinan yang lain. Ia pernah mendengar bahwa tidak gampang menyembuhkan kanker, dan biayanya amat besar. Terpaksalah Pambudi meng?hitung-hitung uang tabungannya. Kira-kira ada 70.000 rupiah. Dan apakah uang sejumlah itu cukup? Sesungguhnya pemuda Tanggir itu sudah memikirkan cara lain untuk memperoleh dana bagi perawatan Mbok Ralem. Tetapi rencana itu masih berupa angan-angan dalam benaknya.

Pagi-pagi sekali mereka sudah bangun. Mereka sarapan dengan sebungkus nasi rames yang di?jajakan orang di depan penginapan. Selesai makan Pambudi berjalan-jalan seorang diri melihat-lihat pemandangan kota. Di depan sebuah toko yang tutup ia melihat seorang pedagang pakaian bekas. Pambudi ingat, Mbok Ralem tidak membawa pa?kaian ganti barang sepotong pun. Bukan lupa, tetapi Mbok Ralem tidak mempunyai pakaian yang lain. Maka Pambudi membeli dua helai kain batik bekas dan sepotong kebaya yang masih baik.

Sebelum pukul sebelas, Pambudi telah berdiri di dekat jendela laboratorium. Surat keterangan yang ditunggu segera diterimanya. Ia segera menemui Pak Mantri yang kemarin memeriksa Mbok Ralem dan menyerahkan surat yang baru diterimanya itu. Betul, ternyata Mbok Ralem mengidap kanker. Pambudi mengernyitkan keningnya. Wajahnya tampak tegang.

“Nah, bagaimana?” tanya Pak Mantri. “Mau masuk mulai hari ini?”

“Ya. Tetapi saya akan mengajak pasien itu keluar sebentar. Ada urusan kecil yang harus kami selesaikan lebih dulu.”

Mbok Ralem tidak tahu apa dan bagaimana penyakit yang diidapnya. Perempuan dusun itu berjalan mengikuti Pambudi tanpa ada perubahan pada sikapnya.

Pambudi membawa Mbok Ralem ke sebuah toko potret. Pasfoto Mbok Ralem siap seketika. Kemudian Pambudi membuat fotocopy surat ke?terangan dari desa dan surat pemeriksaan labo?ratorrum. Selesai urusan di toko potret, mereka kembali ke rumah sakit.

Pak Mantri mengatakan bahwa diperlukan waktu beberapa hari untuk mengembalian kekuatan tu?buh Mbok Ralem sebelum operasi bisa dilaksana?kan. Perempuan itu menderita kekurangan gizi yang parah. Dari Pak Mantri pula Pambudi tahu perkiraan besarnya biaya yang diperlukan. Tidak akan kurang dari 500.000 rupiah.

Lima ratus ribu? Pertanyaan ini berulang-ulang mengusik hatinya ketika Pambudi berjalan mening?galkan rumah sakit seorang diri. Lima ratus ribu! Aku harus menjual sepedaku. Dengan demikian akan tercapai jumlah sebesar itu bila kutambah dengan uang tabungan, pikir Pambudi. Sejak semula pemuda itu telah bertekad hendak me?nolong Mbok Ralem sampai sembuh. Jadi jauh-jauh sebelumnya ia sudah memperkirakan akan mengeluarkan banyak uang. Namun sesungguhnya Pambudi telah siap mencari dana dengan cara lain. Uangnya sendiri akan diserahkan dengan ikhlas apabila usahanya yang lain benar-benar gagal. Pas?foto dan fotocopy yang dibuatnya akan menjadi modal untuk mengumpulkan dana.

Sesudah menghabiskan sepiring nasi, Pambudi membeli surat kabar. Sengaja ia memilih koran terbitan Yogya. Pambudi segera mengetahui alamat harian yang bernama Kalawarta itu. Pukul sepuluh pagi hari berikutnya, Pambudi menjadi tamu Pak Barkah, pemimpin redaksi dan pemilik penerbitan Kalawarta. Mula-mula pemuda Tanggir itu men?dapat sambutan yang biasa saja; sikap Pak Barkah seperti sedang menghadapi seorang pelamar peker?jaan. Namun kemudian sikapnya berubah menjadi penuh perhatian setelah Pambudi menerangkan mak?sudnya dengan jelas. Uraian Pambudi selalu ditanggapinya dengan anggukan kepala. Bahkan laki-laki dengan kacamata berlensa tebal itu masih mengangguk-angguk meskipun Pambudi telah selesai menerangkan semuanya. Sambil menatap datar, Pak Barkah mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

“Jadi pertama-tama Anda meminta kesediaan kami untuk memasang iklan. Selanjutnya Anda meminta supaya Kalawarta membuka dompet sumbangan untuk menghimpun dana bagi pera?watan Mbok Ralem. Begitu, bukan?”



Episode 8
Di Kaki Bukit Cibalak


“Ya, benar, Pak. Dan iklan yang saya kehendaki harus memuat foto Mbok Ralem beserta fotocopy surat-surat keterangan ini. Sekarang saya dapat menyerahkan uang 40.000 rupiah sebagai uang muka pembayaran iklan itu.”

Empat lembar puluhan ribu itu tergeletak di atas meja. Pak Barkah tidak melihat uang yang telah diletakkan oleh Pambudi itu. Ia tampak gelisah dalam duduknya. Beberapa kali ia mengepulkan asap rokoknya dengan embusan yang panjang.

“Dik Pambudi, tidak gampang bagi saya me?nerima uang pembayaran iklan yang Anda pesan. Saya harus bergelut dengan perasaan saya sendiri. Tetapi bagaimana, ya, kemarin pesuruh kantor kami meminta persekot gaji. Jadi dengan berat hati saya terima uang Anda.”

“Wah, tak seorang pun akan menyalahkan Ba?pak. Bahkan saya tahu, Bapak akan kehilangan banyak ruangan dalam harian Kalawarta karena harus membuka ‘Dompet Mbok Ralem’.”

“Oh, rupanya saya sedang berhadapan dengan seorang jentelmen muda. Baiklah, akan saya susun naskah iklan itu, tunggu sebentar di sini.”

Suara mesin tik terdengar dari kamar kerja Pak Barkah. Para pegawai penerbitan tidak menarik perhatian Pambudi, karena ia sedang teringat akan Mbok Ralem. Perempuan dusun itu pasti merasa asing dengan lingkungan rumah sakit. Ia tidak memakai alas kaki. Tetapi masih untung, Pambudi membelikan pakaian bekas untuk perempuan itu kemarin. Teringat pula oleh Pambudi kedua orang anak Mbok Ralem yang ditinggal di Tanggir. Me?mang keduanya dititipkan kepada bibi mereka. Te?tapi si bibi itu keadaannya sama dengan Mbok Ralem. Di rumahnya tidak ada makanan. Maka dalam hati Pambudi berjanji, besok pagi ia akan pulang dulu ke Tanggir. Bagaimanapun ia harus mengambil uang tabungannya untuk berjaga-jaga. Dan yang terpenting, ia akan melihat sendiri ke?adaan kedua anak Mbok Ralem.

Naskah iklan itu selesai dibuat oleh Pak Barkah, kemudian diperlihatkan kepada Pambudi. Ternyata bunyinya singkat saja.

S-O-S. MBok Ralem berada di telapak tangan kanker.
Ia tak mampu berobat kecuali kalau ada sedikit percikan semangat kemanusiaan yang diberikan kepadanya.
Anda yang akan menunaikan seruan manusiawi ini.
Redaksi Kalawarta bersedia menampung sum?bangan Anda.
Amanat Anda akan kami pertanggungjawabkan kepada Tuhan
dan kepada Anda pribadi. S-O-S.

“Bagaimana, Dik Pambudi? Anda setuju?”

“Wah, Bapak jangan meminta persetujuan saya. Tentang iklan saya tak tahu apa-apa, meskipun se?tiap saat saya mendengarnya dari radio dan televisi.”

“Oh, baiklah, baiklah. Sekarang serahkan pada saya foto Mbok Ralem dan fotocopy itu. Besok pagi iklan itu sudah tercetak dalam harian Kalawarta.”

“Terima kasih, Pak. Sekarang saya minta diri.”

Pak Barkah membukakan pintu untuk Pambudi. Sepeninggal anak muda itu Pak Barkah termenung, masygul. Tak ada yang istimewa dalam urusan dengan Mbok Ralem ini, pikir pemimpin Kalawarta itu. Seorang pemuda bernama Pambudi sedang menolong sesamanya menuruti suara hatinya. Te?tapi, mengapa aku begitu terkesan? Apakah karena semangat fitrah seperti yang sedang diperlihatkan oleh Pambudi kini hampir musnah? Benarkah de?mikian? Atau kepalsuan dan kemunafikan telah membawa harkat kemanusiaan terjun ke dalam jurang. Atau hiruk-pikuk kehidupan sekarang telah memekakkan telinga banyak orang, sehingga sulit mendengarkan suara hati nuraninya sendiri. Atau...

Dan Pak Barkah sungguh-sungguh terkejut. Di dalam sakunya ada uang 40.000 rupiah berasal dari Pambudi. Malu dan rikuh. Pak Barkah cepat-cepat memanggil pesuruh kantor. Yang dipanggil datang tergopoh-gopoh, kemudian tertawa lebar karena ada empat lembar puluhan ribu disodorkan kepadanya. Selamatlah sepedaku dari jangkauan tangan tukang gadai yang tengik itu, pikir si pesuruh kantor.

Malam itu Pambudi menginap di sebuah losmen lainnya di depan pasar. Para penyewa kamar ke?banyakan pedagang di pasar itu. Dari pembicaraan mereka Pambudi tahu, mereka adalah penyewa-penyewa tetap. Kalau aku menghendaki suasana yang tertib, mestinya tak kupilih losmen ini, pikir Pambudi. Benar, memang keadaan di losmen itu mirip suasana pasar. Anak-anak berkeliaran dan berhiruk-pikuk di mana-mana. Yang tua-tua berceloteh tentang dagangan mereka. Dan satu hal sangat mencolok: di situ tinggal terlalu banyak perempuan.

Setelah bersembahyang di atas sehelai koran, Pambudi merebahkan diri hendak tidur. Sebelum?nya ia menyalakan obat pengusir nyamuk yang ia beli sendiri. Ketika itu ia melihat dua ekor kepin?ding merayap di dinding papan. Serangga pengisap darah itu digilasnya dengan jari.

Pambudi sedang mencantelkan baju ketika pintu kamarnya diketuk orang. Dibukanya daun pintu yang terbuat dari dempetan papan murah itu. Se?orang pemuda yang sebaya dengan dirinya berdiri di sana. Rambutnya lebih gondrong. Di mulutnya ada rokok yang belum dinyalakan. Maka yang pertama-tama dimintanya dari Pambudi adalah ko?rek api. Sikapnya begitu sopan, sehingga Pambudi gagal menolak rokok yang ditawarkannya.

“Belum ngantuk to, Mas?” tanya si Sopan itu.

“Bukan hanya ngantuk, tetapi juga lelah.” Se?ngaja Pambudi berkata blak-blakan agar yang di?ajak bicara mengerti kehadirannya kurang disukai.

Tetapi luput. Si Sopan malah tersenyum-senyum dengan kemanisan seorang wiraniaga.

“Oh, rupanya Anda orang penting yang sangat sibuk hari ini. Tetapi maafkan saya yang tidak tahu adat. Sebenarnya saya hanya ingin mengata?kan kepada Anda, di luar sana ada seorang maha?siswa, eh, mahasiswi maksud saya. Ia hendak ber?malam di sini, tetapi semua kamar sudah penuh.”

“Lho, kamar yang di ujung kosong tampaknya.”

“Kamar itu malah sudah dikontrak. Oh, anu, barangkali genting di atas kamar itu bocor. Pokok?nya mahasiswa, eh, mahasiswi yang tampaknya masih sangat hijau itu tidak mau tidur di kamar ujung itu. Boleh jadi ia penakut, soalnya ia masih kekanak-kanakan.”

“Lalu mengapa Bung mengetuk kamar saya? Mengapa tidak mencari penginapan lain?”



Episode 9
Di Kaki Bukit Cibalak


“Oh, anu. Begini, ya, Mas, losmen dan hotel di kota ini sedang penuuuh semua. Dan gadis itu hanya ingin Anda perbolehkan menggelar tikar di lantai kamar Anda. Jelasnya ia ingin tidur di atas tikar di bawah dipan Anda. Cuma itu, bagaimana?”

“Bukan main! Ini baru luar biasa namanya. Mari kita lihat mahasiswi yang kesasar itu. Akan Bung lihat apakah saya dapat menolongnya atau tidak.”

Si Sopan berjalan di depan. Melompat-lompat seperti anak kambing melihat tetek induknya me?rekah. Sampai di pintu depan mereka berhenti. Sambil merangkul pundak Pambudi, pemuda itu menunjuk ke arah sebuah becak yang diparkir di pinggir halaman. Di samping kendaraan itu berdiri seorang gadis berambut pendek, menyandang se?buah tas sekolah. Tubuh bagian atasnya terbung?kus jaket berwarna tanah. Ada emblem di kedua lengan jaket itu. Dia menghamburkan senyum ke arah Pambudi. Tingkah lakunya mirip kurcaci. Yang kontan membuat Pambudi tidak percaya ada?lah cara gadis itu memandangnya. Sinar lampu listrik di atas pintu membuat Pambudi yakin. Ga?dis itu mengecat alis palsunya tebal-tebal. Alis aslinya sudah masuk ke dalam cekung rongga mata, seperti alis perempuan tua yang sudah beranak-pinak. Pambudi berbalik dan berjalan langsung masuk ke kamarnya. Pintunya dikunci sekali. Dengan sebal Pambudi merebahkan diri di atas kasur yang dingin. Ia tidak tahu, berpuluh-puluh kepinding mulai menggerak-gerakkan cucuk?nya karena mencium bau manusia.

Entah mengapa pikiran Pambudi langsung ter?bang ke Tanggir. Karena melihat sundal di ha?laman losmen itu, ia jadi teringat kepada seorang gadis kecil di kampungnya. Meskipun baru duduk di kelas dua SMP, Sanis pasti lebih cantik. Pam?budi tersenyum ringan bila teringat cara Sanis menggulirkan bola matanya. Namun tiba-tiba Pam?budi mengutuki dirinya, “Tolol dan naif aku ini. Sanis, betapapun juga masih tetap seorang bocah. Ia masih pantas, amat pantas, berlenggak-lenggok di atas sepeda jengkinya. Sanis masih senang bergerombol dan berebut jambu bol bersama teman-temannya. Mengapa aku ini?”

Harian Kalawarta memasang iklan yang dipesan Pambudi pada halaman pertama. Hal itu menun?jukkan minat Pak Barkah terhadap usaha yang sedang dilakukan oleh anak muda dari Tanggir itu. Ternyata iklan itu diberi ukuran yang cukup besar. Foto Mbok Ralem dengan tonjolan di sisi lehernya tampak jelas. Begitu juga kedua surat keterangan yang ikut terletak dalam iklan itu.

Pada hari pertama Pak Barkah menerima tele?pon dari beberapa orang. Semuanya menanyakan soal-soal yang ada hubungannya dengan Mbok Ralem. Ada yang menanyakan apakah surat-surat yang tertera pada iklan itu autentik. Ada lagi yang memuji kejelian Kalawarta yang telah menemukan seorang yang menderita dan tidak berdaya di tem?pat yang terpencil, Tanggir. Orang yang bertanya demikian pasti tidak mengetahui peran Pambudi dalam urusan Mbok Ralem ini. Dari sekian banyak penelepon itu tak seorang pun yang tegas-tegas berjanji akan memberi bantuan. Walaupun demikian Pak Barkah tidak berkecil hati. Paling tidak sekian orang telah mendengar imbauannya.

Kepala rumah sakit yang sedang merawat Mbok Ralem juga menghubungi Kalawarta. Ia menyatakan menyesal karena tidak dapat merawat pasien dari Tanggir itu dengan cuma-cuma. “Karena hal itu menyangkut banyak peraturan dan ketentuan lainnya,” begitu kata pejabat yang sudah dikenal oleh Pak Barkah itu.

Harian Kalawarta hanyalah sebuah koran daerah. Wilayah peredarannya tidak akan melewati batas-batas provinsi. Oplahnya hanya 12.000 kurang-lebih. Dari pembaca Kalawarta yang sekian banyaknya itu, seorang di antaranya adalah pensiunan penjaga SD di Wonogiri. Weselnyalah yang pertama kali tiba di meja Redaksi Kalawarta, nilainya lima ratus rupiah. Masih pada hari yang sama datang sumbangan uang kontan. Pengirimnya para jemaat Gereja Sukmasuci di Yogyakarta, yang telah berhasil mengumpulkan uang 9.250 rupiah. Hari-hari berikutnya selalu ada satu-dua kiriman yang datang.

Pambudi, yang sudah datang kembali dari Tanggir, kemudian berembuk dengan Pak Barkah. Keduanya merasa gembira dan yakin usahanya bakal berhasil. Bahkan Pambudi sudah mengusulkan untuk menentukan kapan “Dompet Mbok Ralem” ditutup. Usul itu sangat dihargai oleh pemilik harian Kalawarta itu. Menurut Pak Barkah, tidaklah terpuji mengumpulkan sumbangan masyarakat melebihi keperluan.

“Kepercayaan masyarakat terhadap keutamaan pengumpulan dana semacam ini jangan sampai kita rusakkan,” kata Pak Barkah.

“Ya, kita hanya memerlukan suatu jumlah tertentu. Kurang sedikit akan lebih baik daripada terlalu banyak lebihnya,” sambung Pambudi pula.

Nanum keinginan kedua orang itu untuk membatasi sumbangan sampai pada jumlah yang patut, tidak terlaksana. Pada hari kesepuluh datang kiriman cek bernilai seratus ribu rupiah. Penyumbangnya menyembunyikan nama dan alamatnya. Tetapi Pak Barkah sudah hafal nomor rekening giro pada cek itu. Memang, bisa jadi surat berharga itu telah jatuh ke tangan pihak lain. Soalnya Pak Barkah tahu betul tanda tangan siapa yang terdapat pada kertas itu. Tanda tangan Haji X, pedagang batik yang sering memesan iklan pada Kalawarta. Pak Barkah yakin, sahabatnya itulah yang memberi sumbangan yang paling besar itu.

Pada hari itu “Dompet Mbok Ralem” dinyatakan ditutup. Wesel yang telanjur diposkan oleh pengirimnya masih berdatangan sampai lima hari kemudian. Berdua Pambudi, Pak Barkah menghitung jumlah uang yang masuk. Rp. 2.162.375,00. Uang sebanyak itu berasal dari 49 orang dermawan, ditambah dengan mereka yang berderma secara berkelompok. Misalnya penyumbang yang menyebut diri Anak-anak Terminal, mereka adalah ketompok kuli pasar, kernet, dan sopir di Terminal Bus Purwokerto.

Pak Barkah diminta memegang uang sumbangan itu sampai datang tagihan dari rumah sakit.

***

Sudah dua belas hari Pambudi meninggalkan Tanggir. Dan sekarang untuk kedua kalinya ia hendak kembali ke sana. Sanak famili Mbok Ra?lem serta kedua orang anaknya pasti menunggu-nunggu kabar dari Yogya. Pikiran Pambudi terasa enteng. Mbok Ralem sudah dioperasi. Biaya sudah tersedia. Munculnya Pak Barkah dalam urusan ini menambah semangat di hati anak muda itu.


Episode 10
Di Kaki Bukit Cibalak


Tiba di Tanggir, Pambudi menemukan kedua anak Mbok Ralem tinggal bersama bibi mereka. Dua minggu ditinggal oleh emaknya, kedua anak itu semakin layu. Pipi mereka tembem dan amat pucat. Pelupuk mata bengkak seperti mengandung air. Melihat Pambudi datang, si Bungsu menangis per?lahan. Anak selemah itu pasti tidak bisa menangis keras-keras. Dia dan kakaknya tidak tahu apa-apa tentang emak mereka. Mereka hanya tahu, karena Pambudi-lah emak mereka sekarang lenyap. Dan dua pasang mata itu. Apakah di dunia ini ada sesuatu yang lebih jujur, lebih kuat untuk menampilkan perasaan manusiawi selain sepasang mata? Dengan bola mata yang pucat beku kedua anak Mbok Ralem memandang Pambudi. Pandangan dua pasang mata yang sedang menagih janji kemanusiaan. Pandangan dua pasang mata yang tidak lagi mampu menyatakan penderitaan, karena penderitaan sudah merupakan warna hidup bagi mereka.

Dari saku celananya Pambudi mengambil uang receh. “Belilah beberapa bungkus meniran,” kata?nya kepada anak Mbok Ralem yang besar. Anak itu berangkat sambil menggendong adiknya. Pam?budi tidak ingin batinnya terguncang oleh peman?dangan di depannya. Karena itu ia cepat-cepat berbalik pulang.

Hari Jumat, Pambudi masih berada di Tanggir. Siang itu ia mengenakan kain sarung baru. Ko?piahnya disikat licin hingga tak sebutir debu pun melekat padanya. Ia hendak bersembahyang Jumat di surau ayah Sanis. Andaikata pahalanya nanti dikurangi, Pambudi rela. Sebab ia bukan hanya hendak beribadat semata, tetapi ia juga sengaja hendak melihat Sanis. Apa boleh buat! Dan Pam?budi benar-benar melaksanakan kehendaknya.

Selesai bersembahyang Pambudi tidak segera pu?lang. Untung banyak orang merubungnya dan ber?tanya macam-macam tentang Mbok Ralem. Dengan demikian maksudnya untuk lebih lama duduk-duduk di surau itu terselubungi. Walaupun mulutnya men?jawab pertanyaan-pertanyaan, tapi matanya diam-diam memperhatikan Sanis yang sedang menjemur irisan ubi gadung. Kepada orang-orang yang mengelilinginya, Pambudi menunjukkan sehelai harian Kalawarta. Hanya dua orang yang tahu aksara tetapi mereka semua kagum. Mereka melihat foto Mbok Ralem dalam koran itu. Luar biasa, Mbok Ralem masuk koran, pikir mereka.

Satu per satu jemaah surau itu bangkit dan pulang. Hanya Pambudi yang masih tinggal. Ia sedang terpesona. Apalagi pandangan Pambudi dibalas dengan senyuman oleh Sanis. Yang terse?nyum malu-malu itu seorang gadis kecil, tidak lebih. Boleh jadi Sanis tidak memberi arti apa-apa pada senyumannya itu, tapi oleh Pambudi telah diterima selain dengan matanya, juga dengan hati?nya, bahkan dengan denyut jantungnya. Pemuda itu hampir saja mengumpat dirinya, tapi tidak. Bukankah semua gadis di Tanggir ini menjadi dewasa begitu haidnya yang pertama hadir? pikir Pambudi membela pikirannya yang mulai munafik. Beberapa orang teman Sanis sudah bersuami. Tak lama lagi mereka akan menggendong anak mereka masing-masing, bukan lagi adiknya.

“Mampir, Kak,” kata Sanis yang terdengar bagaikan suara getaran dawai di telinga Pambudi.

“Terima kasih. Lain kali sajalah, siang ini aku harus kembali ke Yogya.”

Asem! kata Pambudi dalam hati. Mengapa aku tidak mau mampir? Pikiran tolol mana yang telah mendikteku berkata demikian?

“Oh, ya. Kau sedang menunggu Mbok Ralem di rumah sakit, bukan? Semua orang membicarakan hal itu. Kau hebat, Kak.”

“Tidak ada yang hebat. Mbok Ralem atau siapa saja pantas mendapat pertolongan bila mendapat kesulitan. Kebetulan yang turun tangan mengantar?kan Mbok Ralem ke rumah sakit adalah aku. Apanya yang luar biasa?”

Gadis itu terdiam. Ia tak dapat mengikuti jalan pikiran Pambudi, karena otaknya masih terlampau muda. Sanis hanya bisa merasakan kelebihan Pambudi karena hampir semua orang di Tanggir mem?bicarakannya. Itu saja. Ketika Sanis mengangkat muka, pipinya menjadi merah. Ia menjadi salah tingkah. Sesungguhnya Sanis tersenyum ketika Pambudi berpamitan, tetapi seonggok irisan ubi gadung tumpah ke tanah.

***

Harian Kalawarta bertambah laris, paling tidak dalam lingkungan rumah-rumah sakit di Yogya, terutama di rumah sakit yang merawat Mbok Ra?lem. Dari direktur sampai para dokter, para pera?wat, dan para pegawai lainnya, semuanya memba?ca Kalawarta. Sementara itu Mbok Ralem sendiri tidak tahu bahwa dirinya sedang menjadi bahan berita yang hangat. Yang diketahuinya hanyalah bahwa para perawat sungguh-sungguh memperhati?kan segala keperluannya, bahkan hampir meman?jakannya. Bayangkan, seorang seperti Mbok Ralem dimandikan oleh perawat yang cantik-cantik, me?makai sabun entah apa namanya yang wanginya belum pernah masuk ke hidung perempuan dusun itu. Wah, handuk itu putih, lebih putih dari ampas kelapa. Mbok Ralem merasa seolah-olah sedang bermimpi. Ia menurut, kecuali ketika ia disuruh memakai sandal. Ia tidak bisa berjalan dengan alas kaki, betapapun mahalnya sandal yang dihadiahkan oleh Ibu Kepala Rumah Sakit.

Waktu baru masuk Mbok Ralem ditempatkan di sal kelas tiga. Sesudah Kalawarta memuat berita?nya, ia dipindahkan ke sal kelas dua. Dan be?berapa hari kemudian Mbok Ralem pindah lagi ke kelas utama karena seorang pejabat Kantor Sosial akan menjenguknya. Di sal yang paling mahal itu Mbok Ralem hampir menolak menyentuh kasur yang disediakan baginya. Seorang perawat mem?bujuknya agar Mbok Ralem mau tidur di atas kasur itu. Sebelum naik perempuan itu berbisik kepada seorang perawat yang terdekat, “Mas Ajeng, saya belum mandi keramas hari ini. Apa?kah bantal dan seprai itu tidak akan kotor nanti?”

Pakaian yang dipakai Mbok Ralem sudah berganti semua. Kain dan kebaya lusuh yang dibawanya dari Tanggir sudah disingkirkan oleh para perawat. Cara?nya, setiap kali Mbok Ralem hendak berpakaian ia diberi kain dan baju baru. Sebenarnya perempuan itu enggan memakai pakaian lain selain miliknya. Te?tapi para perawat banyak akal. Pasien itu selalu ditipu. “Semua pakaian yang baru ini dibelikan oleh Pambudi untukmu. Kau harus mau memakainya. Dengar, nanti sore ada priyayi yang mau menjenguk?mu. Kau harus berpakaian yang baik.”

Episode 11
Di Kaki Bukit Cibalak


Keadaan tubuh perempuan Tanggir itu cepat berubah, bersih dan gemuk. Ransumnya bergizi baik dan selalu dimakannya habis. Hanya sekali waktu Mbok Ralem termenung menghadapi hi?dangannya. Perawat bertanya mengapa dia berlaku demikian. Yang ditanya membisu. Ketika didesak, dari mulutnya terdengar suara memelas, “Mas Ajeng, saya teringat pada kedua orang anak saya. Di sini saya makan serba enak dan serba cukup. Tetapi kedua anak saya, saya yakin, mereka telan?tar bersama bibi mereka. Maka kalau boleh, saya akan membawa pulang makanan-makanan itu un?tuk anak-anak saya.”

Perawat itu menggigit bibir karena hatinya ter?sapu rasa iba. Walaupun masih seorang gadis, nalurinya sebagai calon seorang ibu berdenyut ke?ras. Ia tidak merasa malu menangis di depan Mbok Ralem. Tidak, ia tidak malu. Mengapa ha?rus malu kalau ia hanya menuruti kejujuran pe?rasaannya. Namun ia harus berkata kepada pasien?nya itu bahwa paru goreng, gulai telur, dan buah apel itu tidak tahan lama. Padahal masih sepuluh hari lagi Mbok Ralem tinggal di rumah sakit.

Pada hari ke-36 Mbok Ralem diizinkan pulang. Bukan main senang hatinya. Pambudi membawa?kan kantong-kantong plastik, bungkusan-bungkusan, dan sebuah dos besar. Semua milik Mbok Ralem, berisi macam-macam hadiah. Tetapi Mbok Ralem keluar dengan pakaian aslinya, tidak bersandal. Betapapun, ia merasa lebih leluasa de?ngan keasliannya.

Dari rumah sakit Mbok Ralem berdua dengan Pambudi naik becak menuju ke kantor Redaksi Kalawarta. Ketika becak itu berhenti, Mbok Ralem terheran-heran. Ini bukan terminal bus, pikirnya. Ia bertambah bingung karena beberapa orang keluar menyambut mereka di depan pintu. Hanya seorang yang sudah pernah dilihat oleh Mbok Ra?lem, yaitu laki-laki yang berkacamata tebal. Memang Pak Barkah pernah menengoknya berdua dengan Pambudi.

Seluruh anak buah Pak Barkah berkumpul memenuhi ruangan tamu yang sempit. Pemimpin Kalawarta itu mengambil tempat sedemikian rupa, sehingga Mbok Ralem diapit oleh dirinya dan Pambudi. Pemuda dari Tanggir itu yang memulai percakapan.

“Mbok, ini adalah Pak Barkah beserta anak buahnya. Bapak ini telah berbuat banyak sekali untuk membantumu. Biaya perawatanmu bisa ter?kumpul berkat bantuan bapak kita ini.”

Perempuan itu terbelalak. Dengan kemampuan pikirannya ia mencoba mengerti apa yang baru saja dikatakan Pambudi. Kemudian ditatapnya yang hadir satu per satu. Seperti orang yang bi?ngung ia bertanya, “Bapak ini yang telah memban?tuku? Nak Pambudi, aku tak mengerti maksudmu. Berarti aku berutang kepada beliau?”

“Oh, tidak begitu, Mbok,” ujar Pak Barkah sambil tertawa. “Saya hanya membantu Pambudi me?ngumpulkan uang dari para dermawan. Uang yang terkumpul cukup untuk membayar ongkos pera?watan Anda, bahkan lebih. Nah, inilah sisa uang itu. Ambillah.”

Seumur hidupnya Mbok Ralem belum pernah melihat tumpukan uang sebanyak yang disodorkan oleh Pak Barkah ketika itu. Ia menggigil karena bingung, karena tidak mengerti, Pambudi juga bingung bagaimana harus menerangkannya kepada Mbok Ralem. Perempuan itu takkan bisa mema?hami apa itu iklan, atau apa yang disebut dompet sumbangan. Akhirnya Pak Barkah yang menerang?kan kepada perempuan itu bahwa uang yang terkumpul berasal dari orang-orang yang merasa ka?sihan kepada Mbok Ralem.

“Jadi begitulah, Anda tidak berutang kepada sia?pa pun. Ambillah uang sisa itu. Oh, nanti dulu, saya lupa! Ada sebuah surat yang saya terima kemarin. Hanya Mbok Ralem yang berhak mem?bukanya.”

Pak Barkah bangkit dan berjalan ke mejanya. Dari dalam laci ia mengeluarkan sebuah amplop yang masih tertutup rapat. Benda itu kemudian diserahkannya kepada Mbok Ralem. Perempuan itu menoleh kepada Pambudi dan menyerahkan amplop yang baru saja diterimanya. Mata semua yang hadir tertuju kepada Pambudi yang sedang membuka sampul itu. Isinya lima lembar puluhan ribu, honorarium dua orang dokter yang mena?ngani operasi kanker di leher Mbok Ralem. Rupa?nya kedua orang dokter itu merasa sulit untuk menerima bayaran dari seorang janda miskin dari Desa Tanggir.

Tumpukan uang di hadapan Mbok Ralem ber?tambah tinggi. Kalau dihitung uang itu berjumlah satu juta lebih. “Itu uangmu, Mbok, ambillah,” desak Pambudi karena melihat Mbok Ralem tetap mematung.

Hening sebentar. Kemudian dari ruang tamu kantor Redaksi Kalawarta itu terdengar isakan. Makin lama makin keras dan memelas. Mbok Ralem memeluk Pambudi tanpa rasa rikuh sedikit pun.

“Oalah, Gusti, apa yang sedang kualami ini? Oalah, Pengeran, apa yang sedang terjadi dalam hidupku ini? Sakitku telah sembuh. Itu sudah cu?kup, cukup. Aku datang dari jauh ke kota ini untuk berobat, bukan untuk menerima uang se?banyak itu. Bapak, serahkan saja uang itu kepada bocah bagus ini. Ia telah mengeluarkan uang ba?nyak sekali karena harus membawa saya kemari. SekaraDg hanya satu keinginan saya. Cepat antar?kanlah saya pulang. Anak-anak saya pasti setiap hari menunggu saya. Anakku, oalah, anakku, ka?lian pasti ingin makan...”

Dua orang anak buah Pak Barkah tertunduk. Yang seorang mengeluarkan saputangan. Seorang lagi cepat-cepat memasang kacamata. Pak Barkah sendiri batuk karena tenggorokannya mampat. Tak lama kemudian tangis Mbok Ralem mereda. Se?sungguhnya Pak Barkah yakin, pada akhirnya nan?ti Mbok Ralem akan bersedia menerima uang itu. Penolakannya sekarang hanya bersifat emosional belaka. Tetapi laki-laki itu tidak lagi meminta Mbok Ralem segera menyimpan uangnya. Ia ha?nya memberi isyarat kepada Pambudi.

“Baik, Mbok, uang ini kusimpan dulu. Bila kita sudah sampai di rumah uang ini akan kuserahkan kepadamu. Kau harus menerima uluran tangan pada dermawan, dosa kalau menolaknya. Dan de?ngan uang ini kau akan dapat membeli padi. Ke?dua anakmu akan kenyang setiap hari. Sekarang kita berpamitan kepada Pak Barkah dan yang lain?nya. Kita pulang.”

Mendengar ajakan pulang Mbok Ralem cepat-cepat bangkit. Ketika berjabatan tangan dengan Pak Barkah ia membungkuk dalam-dalam. Bibirnya gemetar karena tak sepatah kata pun berhasil diucapkannya. Tetapi air mata keluar melalui hi?dungnya.



Episode 12
Di Kaki Bukit Cibalak


“Selamat jalan, Mbok, Pambudi, aku berterima kasih kepada kalian. Karena kalianlah Kalawarta berkesempatan menunaikan misinya yang paling berarti. Juga karena kalianlah aku merasa yakin bahwa tidak sesuatu pun telah hilang dari diri kita sebagai manusia. Memang, si Anu itu jarang hadir di antara kita. Dia jarang muncul di jalan-jalan, pasar, atau pabrik, bahkan kantor-kantor sekalipun. Tetapi bagaimanapun juga si Anu masih ada. Kita sendiri yang baru saja membuktikannya: Kemanusiaan.”

“Ya, Anda benar, Pak Barkah. Si Anu masih ada. Kemanusiaan masih ada. Sekarang kami mo?hon diri. Sungguh, rasanya sulit bagi saya melupa?kan Bapak dan Kalawarta. Saya percaya, Kala?warta akan menjadi bacaan semua orang. Selamat tinggal.”

Tidak hanya Pak Barkah yang terkesan oleh perpisahan itu. Para pegawai Kalawarta pun ikut merasa kehilangan. Anak muda dari Tanggir itu telah meninggalkan kesan yang amat berarti. De?ngan jujur Pak Barkah mengakui, bahwa sudah lama ia tidak menemukan seorang muda dengan kepribadian seperti Pambudi. Seorang yang ber?sedia menolong sesamanya tanpa mengharapkan balas jasa apa pun.

Biasanya Balai Desa Tanggir sudah kosong pada pukul dua siang. Tetapi hari itu masih ada dua orang di sana walaupun hari sudah pukul tiga lewat. Poyo sedang menekuni buku administrasi lumbung koperasi. Ia bukan menjadi sibuk lantaran Pambudi, sejawatnya, telah keluar. Bukan pula ka?rena kegiatan perlumbungan meningkat. Tetapi ka?rena Pak Dirga menghendaki perombakan total pada tata pembukuan koperasi itu, tak peduli wa?laupun angka-angka di sana akan membuktikan kebohongan yang lebih gila.

Pak Dirga duduk gelisah. Sudah empat kali ia bangkit, berdiri di depan jendela dan duduk lagi. Asbak di depannya sudah penuh dengan puntung rokok yang hanya diisap separonya. Terkadang ia mematikan rokok yang baru saja disulutnya.

“Tak kusangka, Pambudi akan bertindak sedemi?kian jauh,” kata Pak Dirga sambil berjalan ke arah Poyo yang masih tetap menulis. “Boleh saja ia membantu Mbok Ralem sampai uangnya habis, asal jangan membawa segala urusan itu sampai termuat di surat kabar. Aku menjadi repot, dan serba salah. Kau mengerti, Poyo, mengapa ke?marin aku berdua dengan Pak Camat dipanggil Bupati?”

“Tidak, Pak.”

“Kami datang ke sana menghadap Bupan dan Kepala Kantor Sosial. Mereka berdua marah besar. Kami berdua dikatakan teledor. Semua lantaran ulah Pambudi yang telah menyiarkan aib. Kata Bupati, Bapak Gubernur sendiri menegurnya de?ngan keras, mengapa urusan Mbok Ralem itu sam?pai ditangani oleh pihak lain, bukan oleh pemerin?tah setempat. Mengapa kita sampai dilangkahi. Itulah soalnya.”

“Bapak membela diri, bukan?” tanya Poyo.

“Tentu. Kukatakan bahwa Mbok Ralem datang kepada kita hanya untuk minta surat keterangan bahwa ia miskin, agar ia dapat memperoleh peng?obatan cuma-cuma. Selebihnya aku tidak tahu. Bila ternyata masalahnya berkembang sedemikian jauh, itu ulah si Pambudi. He, Poyo, aku juga berkata kepada Bupati dan Kepala Kantor Sosial bahwa kita di Tanggir sedang menghadapi kesibukan yang luar biasa; membuat kentongan-kentongan, membuat bangkolan-bangkolan, sebab siapa tahu Desa Tanggir akan dilanda kebakaran besar. Bukankah itu yang dimaksud dengan ke?siapsiagaan yang dianjurkan Bupati sendiri?”

Poyo berhenti menulis karena mulutnya masam. Ia ingin merokok sambil beristirahat sebentar.

“Seumpama kita membuat laporan tentang Mbok Ralem sebelum ia berangkat ke Yogya, barangkali Kantor Sosial mau turun tangan. Sa?yang hal itu sudah terlambat.”

“Kantor Sosial man turun tangan?” kata Pak Dirga dengan beringas. “Mungkin, dan kau bisa mengira-ngira besarnya kemungkinan itu? Atau bila benar mau mengurusi orang sakit seperti Mbok Ralem itu, pasti mereka akan memberi surat kepadaku lebih dahulu. Bunyinya, ‘Cepat, cari dana secukupnya guna membiayai suatu proyek yang penuh dengan jiwa peri kemanusiaan!’ Nah, Poyo, toh akhirnya kembali juga masalahnya ke?pada kita. Paling-paling kita hanya bisa mendapat uang dari pos keuntungan koperasi kita. Tetapi yang demikian, nanti dulu...”

“Jadi menurut Bapak bagaimana sebaiknya mengatasi masalah Mbok Ralem itu?”

“Oh, anak muda. Aku sama sekali tidak bingung menghadapi masalah seperti ini andaikata Pambudi belum telanjur turun tangan. Aku akan menolong atau tidak menolong perempuan itu. Titik! Dan yang jelas aku tidak senang masalah Mbok Ralem tersebar sebagai berita yang hebat; menyebabkan aku dan Pak Camat kena marah Bupati, menyebabkan Bupati ditegur oleh Gubernur. Nah, kau tahu siapa yang telah membuat kekacauan ini. Akan kuuji sampai di mana kekuatan otaknya, kekuatan ngelmu-nya. Jelas?”

“Ya. Dan Bapak tidak ingin keuntungan koperasi dipakai oleh orang lain. Artinya Bapak setuju andaikata Mbok Ralem terkubur bersama masalah dan kankernya, begitu?”

“Lho, tidak lain maksudku supaya kau dapat membeli TV.”

“Dan Bapak bisa menjadi makelar penjual ba?tang kelapa?”

Ada suara ledakan tawa yang tertahan. Poyo dan Pak Dirga bangkit. Mereka kembali kepada peker?jaan masing-masing. Poyo menyelesaikan urusannya dengan buku administrasi lumbung itu. Atasannya duduk kembali dan memejamkan mata. Hujan yang turun di siang hari itu membuat suara berisik pada atap seng gedung Balai Desa itu. Aneh, dengan adanya suara hujan itu Pak Dirga benar-benar ter?tidur. Ia baru bangun sejam kemudian ketika Poyo sengaja menggeser kursi keras-keras. Pekerjaannya telah siap. Ia ingin segera menyerahkan buku itu kepada Pak Dirga lalu pulang.

“Bagaimana?” tanya Pak Dirga sambil menerima buku itu dari tangan Poyo. “Tidak ada lagi lubang-lubang yang lemah?”

“Kukira sudah cukup, Pak. Tak ada pengeluaran yang tidak dapat kita buktikan kesahannya. Penge?luaran untuk biaya pelantikan Bapak sebelas bulan yang lalu sudah dihapuskan.”

“Hanya dihapuskan?”

“Ya, Pak. Tetapi dalam buku yang kedua ada pengeluaran sebesar 125.000 atas tanggung jawab seseorang.”

“Pambudi.”

“Ya.”

Episode 13
Di Kaki Bukit Cibalak


“Jempolan! Simpan buku yang kedua itu. Nanti pada saat yang tepat kita akan menyebarluaskan isinya. Semua warga Tanggir akan mencap Pam?budi sebagai ‘kelilip’ desa.”

***

Hari Anggara Kasih adalah sebutan mistik bagi hari Selasa Kliwon. Senin malamnya dianggap se?bagai saat yang baik oleh penduduk sekitar Bukit Cibalak guna memasang sesaji atau guna-guna. Mereka yang masih percaya pada takhayul merasa yakin bahwa membakar kemenyan dan memasang sesaji pada malam itu akan mendatangkan rupa-rupa kebaikan, gampang menemukan jodoh, dekat rezeki, atau terhindar dari guna-guna yang jahat. Juga arwah leluhur akan tetap mengayomi, begitu keyakinan mereka. Tapi sebaliknya, orang yang hendak memasang guna-guna atau melakukan maksud jahat lainnya pun menganggap hari Ang?gara Kasih sebagai saat yang baik.

Di rumah Eyang Wira yang terletak di sebuah pedukuhan kecil, seseorang sedang bertamu. Pemi?lik rumah beserta tamunya duduk di ruang dalam. Malam hari di pedukuhan yang sepi membuat alam kelihatan akrab. Bulan mendaulat langit de?ngan latar belakang kedipan bintang-bintang. Awan yang melayang rendah membuat bayang-bayang raksasa di atas tanah. Bila tidak ada yang mengalingi, sinar bulan mencapai tanah dengan daya pantul yang penuh.

Dari atas pohon rasamala, anak burung hantu memanggil-manggil induknya dengan suara berat. Kambing Eyang Wira mengembik karena melihat dua ekor anjing berjalan beriringan di luar kandang. Ada pohon jambu mente di halaman rumah Eyang Wira. Kalong dan kampret berebut buahnya yang telah masak.

Ketika bulan mencapai tengah langit, Eyang Wira bangkit, masuk ke dalam bilik di belakang?nya. Ketika keluar lagi ada gulungan tikar pandan di tangannya, yang kemudian digelar di tengah ruangan. Dari sebuah lemari bambu Eyang Wira mengeluarkan jimat: sebuah keris yang tak ber?tangkai, tungku pedupaan, dan kantong kain entah apa. Benda-benda itu ditata di atas tikar. Pedupaan dinyalakan. Sesudah asap kemenyan mengepul, Eyang Wira memanggil tamunya. Mereka ber?hadap-hadapan. Tamu itu duduk dengan takzim, menunduk, dan kesepuluh jarinya tersusun ber?kaitan. Kakek yang mempunyai telinga mirip milik sang Buddha itu memejamkan mata sebentar.

“Jadi sampean hanya menginginkan orang yang menjadi ‘kelilip’ Desa Tanggir itu menyingkir dari sana, begitu?”

“Ya, hanya itu, Eyang.”

“Namanya?”

“Pambudi.”

“Hari lahirnya?”

“Kamis, pasarannya Pahing. Begitu menurut orang yang dapat saya percaya.”

“Nah, orang kepercayaanmu itu tidak lagi bisa dipercaya. Yang bernama Pambudi tinggal di se?buah rumah yang menghadap ke utara. Matanya bulat tajam, jakunnya menonjol seperti Petruk. Ke?dua orangtuanya masih hidup, tetapi ayahnya sakit-sakitan. Di samping rumahnya ada pohon manggis yang besar. Iya, bukan?”

“Kalau begitu Eyang sudah mengenalnya?”

“Kenal? Mengapa aku harus mengenal seseorang kalau hanya ingin tahu keadaan orang itu sekarang.”

“Oh, maafkan saya, Eyang. Kalau demikian Eyang telah tahu hari lahir Pambudi.”

“Tentu. Ia lahir hari Ahad Pon. Takkan salah lagi.”

“Ya, Eyang.”

“Dan sampean beruntung. Setiar untuk menyingkirkannya dari Desa Tanggir dipermudah oleh keadaan Pambudi sendiri. Mantraku akan merasuk ke dalam jiwa anak muda itu dengan mudah karena sekarang ia sering melamun. Pambudi sedang kas?maran dengan pisang apupus cinde yang sedang tumbuh di Desa Tanggir. Sampean tahu pisang apupus cinde?”

“Tidak, Eyang.”

“Itu adalah pohon pisang yang berkuncup sutra. Itu kiasan. Di desamu ada seorang gadis muda yang cantik tetapi orangtuanya miskin. Itu dia cinde yang muncul dari batang pisang. Artinya, gadis cantik yang lahir di tengah keluarga tak punya. Zaman dulu gadis semacam itu menjadi hak para demang, setidaknya lurah.”

“Siapa nama gadis itu, Eyang?”

“Lho... lho, sampean datang kemari untuk apa? Tetapi baiklah, Eyang tidak akan menyebut nama gadis itu. Kukatakan padamu, umumya menjelang bulan purnama, empat belas tahun.”

“Terima kasih, Eyang.”

“Ya. Sekarang tata kembali rasa dan hatimu. Mantapkan! Tujuan untuk menyingkirkan ‘kelilip’ desa itu harus menjadi pusat kekuatan jiwamu. Dan, bila mantra sedang kubacakan, tahan napas?mu sampai aku selesai.”

Kakek itu menaburkan serbuk kemenyan ke da?lam pedupaan. Asap yang putih mengambang membawa bau yang khas. Suasana khidmat. Keris tak bertangkai itu dijarang dalam kepulan asap. Ada sehelai kain mori selebar saputangan. Di atas?nya terletak tiga tangkai bunga mawar. Kain mori itu terbeber persis di hadapan Eyang Wira. Kemu?dian kakek itu mengambil sikap bersemadi. Dari mulutnya terdengar mantra yang disuarakan de?ngan irama magis.

“Hum,
Plas plas pias
Dudu bumi sing kaidek
ngidek geni, genine Mbah Singayuda

Plas plas keplas
Payone susuh tawon
Tawone Mbah Singayuda

Bur bur mabur
Abure emprit putih
Bur bur kabur
Kabure kapuk tapak angin
Hum....”

Episode 14
Di Kaki Bukit Cibalak


Satu menit yang hening. Tak terlihat gerakan sedikit pun pada tubuh Eyang Wira. Orang tua itu bahkan tetap tidak menarik napas, sampai tubuhnya bergetar dan bergetar. Ketika tenang kembali keningnya basah oleh keringat.

“Nah, Nak, keperluan sampean sudah kucukupi. Kalau sampean dapat memenuhi syarat-syarat selanjutnya, kujamin keinginan sampean dapat terlaksana. Pertama, usahakan kembang yang kubungkus kain mori ini terlangkahi oleh Pambudi. Kedua, sampean harus mengambil segenggam tanah kuburan. Cabutlah sebuah nisan, kemudian masukkan tangan ke dalam lubang bekas nisan itu. Ambil tanah segenggam, dari dasar lubang. Tanah yang telah sampean ambil itu taburkan ke atas genting kamar tidur Pambudi. Sudah jelas?”

“Ya. Dan apakah saya sendiri yang harus mengambil tanah di pekuburan?”

“Betul. Tetapi untuk pelaksanaan selanjutnya, suruhlah seorang yang biasa keluar malam. Apalagi sampean seorang lurah, bukan?”

“Benar, Eyang.”

Larut malam, tamu itu minta diri kepada Eyang Wira. Ketika bersalaman, ada selembar lima ribuan dalam tangannya. Tiba di halaman laki-laki itu terkejut. Bulan menghilang, bahkan gerimis sudah jatuh. Padahal sore tadi bulan amat terang meskipun ada gumpalan-gumpalan awan di langit. Pak Dirga berjalan sambil berkudung kain sarung. Lampu senter baru dinyalakan setelah ia berjalan jauh meninggalkan pedukuhan Eyang Wira.

Di pinggir tegalan jagung, lampu senter Pak Dirga menyorot dua ekor anjing yang sedang kawin. Oh, sekarang mongso kasongo, musimnya anjing berahi, gumam laki-laki itu. Timbul pikiran yang konyol di otaknya, bagaimana kalau manusia bersyahwat pada bulan-bulan tertentu saja, seperti anjing itu. Boleh jadi tugasku sebagai kepala Desa Tanggir menjadi lebih ringan. Tidak selalu dibikin pusing oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para petugas program KB. “Apa yang paling disukai oleh warga Desa Tanggir: kondom, pil, atau spiral?”

Pada sebuah perempatan jalan kecil, laki-laki itu berhenti. Bila mengambil jalan lurus, ia akan lebih cepat sampai ke Desa Tanggir. Tetapi laki-laki itu berbelok ke kiri, menuju Pekuburan Ampeljajar.

Dari seberang kali terdengar orang memukul kentongan. Pukul tiga dini hari. Gerimis masih telaten. Bunyi tetesan-tetesan air di atas daun keletak-keletik seperti suara hantu. Jangkrik dan gangsir berbunyi ramai sekali. Belalang anggas menggesek-gesekkan bulunya dari tempat persembunyiannya di lereng Kuburan Ampeljajar. Suaranya halus, membuat kelengangan makin mencekam. Ketika laki-laki itu memasuki gerbang pekuburan, angin bertiup dari selatan. Kembang puring dan dahan kemboja bergoyang. Di tepi Kuburan Ampeljajar itu, sebuah pelepah pinang yang kering luruh ke tanah. Kekuatan terakhir yang menahan?nya dikalahkan oleh tiupan angin. Sebutir buah beringin jatuh ke pundak laki-laki itu. Ia terkejut dan langsung terjungkal karena kakinya terbentur pada sebuah nisan.

Beberapa langkah di depannya, laki-laki itu melihat sebuah keranda bambu yang biasanya hanya dipakai sekali saja. Itu dia, pasti di bawahnya ada mayat yang baru ditanam, pikirnya. Laki-laki itu mendekat ke sana. Dipegangnya nisan yang terbuat dari batu itu. Didorongnya ke depan, dan ditarik ke belakang. Digoyangkan ke kiri dan ke kanan. Kemudian ia mencabut tonggak batu itu dengan sedikit tenaga. Tangan kanannya merogoh lubang bekas nisan itu. Seekor tikus keluar dan menerjang lengannya. “Celurut busuk, kau!” desis Pak Dirga.

Bukit Cibalak. Daya pikir manusia dapat membuktikan bahwa dulu, bukit itu adalah lapisan ke?rak bumi yang berada di dasar laut. Alam yang perkasa, dengan kekuatan tektonis mengangkat la?pisan kerak bumi itu ke atas permukaan laut dan lebih tinggi lagi. Sisa-sisa koloni binatang karang yang dulu hidup subur di bawah air laut, memberi bahan dasar bagi terbentuknya lapisan kapur yang mewarnai Cibalak.

Setelah melewati masa berjuta-juta tahun, datanglah lumut kerak yang membuat kulit tipis di sekujur tubuh Bukit Cibalak. Tumbuhan pionir ini memungkinkan tumbuhnya lumut, kemudian bang?sa pakis. Masing-masing memerlukan kurun waktu jutaan tahun. Hutan pakis yang menutupi Cibalak beribu-ribu abad lamanya meninggalkan lapisan humus yang tebal, tempat tanaman yang lebih tinggi tingkatannya menancapkan akar.

Manusia pertama yang memasuki wilayah Bukit Cibalak, melihat hutan belantara tropis merimbuni bukit itu sampai ke kakinya. Munyuk dan lutung bergelayutah di atas pohon. Primata itu sering bercengkerama dan berkejaran di antara kerimbunan pohon. Apabila ada seekor yang jatuh, di bawah sana ada macan tutul yang siap menangkap mangsa yang dijatuhkan alam baginya. Seekor lutung sudah cukup bagi si macan untuk bekal sepanjang hari.

Dataran yang mengelilingi Cibalak menjadi tempat satwa pemakan rumput. Kijang dan menjangan dua kali setahun melahirkan anak-anaknya. Satu-dua ekor anak mereka akan mati dimakan gogor, sejenis kucing hutan yang besar. Tetapi induk mereka terus beranak sampai menjadi tua atau menjadi mangsa macan kumbang. Sementara itu jumlah anak mereka terus berkembang, dalam keimbangan harmonis yang langsung diatur oleh alam. Alam yang perkasa bisa dengan lembutnya menyantuni Cibalak dengan segala binatang dan benda hayati lainnya, bahkan juga semua benda mati yang dipangkunya.

Tekukur dan balam tidak takut kehabisan jenisnya meskipun di atas pokok randu hutan bersarang burung elang cokelat berkepala putih. Rajawali kecil ini dapat meremukkan kepala burung lain dengan cakarnya, tetapi alam telah berbisik, “Kau jangan terlalu sering bertelur agar burung lain tidak habis olehmu dan jenismu!”

Sekarang, hampir semua satwa yang tinggal di Bukit Cibalak hanya hidup dalam dongeng para kakek dan nenek. Bahkan guru-guru yang masih muda akan pening bila seorang murid bertanya tentang trenggiling atau landak.

Awal abad kesembilan belas orang Belanda menanam kayu jati dari kaki sampai ke puncak Cibalak. Mandor-mandor berkelewang dan berkumis panjang menjaga hutan buatan yang amat subur itu. Mereka berdisiplin. Bila ada seorang penduduk yang didapati menyimpan seserpih jati, bahkan arangnya, akan dihukum. Ia akan dihukum, tidak kurang atau lebih. Pencurian kayu jati menjadi sesuatu yang aneh saat itu. Maka para gubernur jenderal dipuji oleh Sri Ratu, karena dari hasil hutan jati saja kas negara selalu penuh. Dan, moyang penduduk Tanggir mandi di pancuran sejuk yang mengucur sepanjang tahun.

Episode 15
Di Kaki Bukit Cibalak


Kemudian terjadi Perang Pasifik yang mengubah kehijauan Bukit Cibalak. Kapal-kapal Angkatan Laut Dai Nippon gampang diintai dengan radar karena dibuat dari baja. Orang Jepang hendak membuat kapal perang dari kayu jati. Mereka menebangi kayu-kayu yang ditanam oleh orang Belanda itu. Sebenarnya tidaklah seberapa banyak kayu yang ditebang oleh orang Jepang itu, tetapi akibatnya luar biasa. Perang selesai. Penduduk mendapat pelajaran baru. “Kalau orang Jepang menebangi pohon jati, kenapa kami tidak,” demikian kata mereka.

Hasilnya lumayan juga. Banyak rumah penduduk menjadi kokoh, perabotan rumah tangga kokoh. Tetapi memanjat Bukti Cibalak dan menebang apa yang tumbuh di sana kemudian menjadi bagian hidup mereka.

Di awal tahun 1965 beberapa politikus mengajari penduduk bagaimana cara membakar habis hutan jati yang masih tersisa di ubun-ubun Ci?balak.

Warisan si perkasa alam mati. Tinggal gumpalan batu kapur dan batu cadas di sana. Cibalak kembali seperti ketika ia baru muncul dari dasar laut jutaan tahun yang lalu. Tak ada tanaman, satwa, bahkan air.

Pernah ada serombongan mahasiswa dari Bogor datang memberi ceramah kepada para penduduk. Mereka menerangkan dasar-dasar pengertian eko?logi dan ekosistem dengan cara yang paling mu?dah dimengerti. Tetapi orang-orang Tanggir yang datang menghadiri ceramah itu hanya berangkat karena dipaksa oleh Lurah. Dan mereka tak akan mengerti mengapa mahasiswa-mahasiswa itu mela?rang mereka mengumpulkan daun angsana kering dari hutan milik Negara di seberang sungai itu. Padahal daun angsana kering dapat menjadi bahan bakar yang baik.

Rumah Pambudi berbatasan dengan sawah yang luas di sebelah barat. Sore itu ia dapat menikmati senja yang bagus. Matahari turun sambil meng?ubah warna sinarnya menjadi kuning kemerah-merahan. Burung bluwak dari jenisnya yang ter?akhir terbang beriringan ke selatan. Dari jendela kamar, Pambudi dapat melihat sosok Bukit Ciba?lak seutuhnya. Memang, pemuda itu sedang mengarahkan matanya ke sana. Seolah-olah Pambudi sedang terpesona oleh pergelaran alam yang se?dang berubah dari siang ke rangkulan malam.

Tetapi sesungguhnya Pambudi hanya memandang datar. Lensa matanya tidak difokuskan kepa?da suatu objek tertentu. Pambudi sedang dikuasai lamunan.

Dua hari yang lalu Pambudi pergi ke pasar hendak membeli makanan ayam, naik sepeda. Sebelum sampai ke tujuan ia harus melewati sebuah bulak yang hampir dua kilo panjangnya. Di bulak itulah Pambudi melihat seorang gadis dari kejauhan, ber?jalan ke arahnya. Ia tidak pangling, gadis yang baru pulang sekolah itu tentu Sanis. Sebuah andong menyusul gadis itu, tetapi Sanis tidak menghentikan?nya. Pambudi heran, karena rumah Sanis masih sangat jauh. Boleh jadi ia tidak punya sisa uang jajan untuk ongkos naik andong. Pambudi turun dari sepedanya ketika ia berpapasan dengan Sanis.

“Kenapa kau berjalan kaki, mana sepedamu?”

“Di bengkel, Kak, rantainya putus,” jawab Sa?nis. Pipinya merah oleh terik matahari. Bintik-bin?tik keringat tampak di ujung hidung dan di atas bibirnya.

“Kalau begitu pakailah sepedaku dulu. Nanti aku pulang dengan sepedamu. Kau bisa sakit bila berjalan amat jauh, di bawah panas terik pula.”

Mula-mula Sanis tidak mau menerima usul Pambudi. Malu kelihatannya. Tetapi kemudian ia percaya akan keikhlasan Pambudi. Matanya ber?kata banyak ketika Sanis menerima sepeda itu. Tas sekolahnya disampirkan pada setang. Senyumnya segar sebelum ia naik ke atas sadel sepeda Pam?budi.

Pulang dari pasar, Pambudi segera pergi ke rumah Sanis hendak menukarkan sepeda. Di sana ia menjumpai anak Pak Modin itu dalam dandanan yang kenes. Bajunya merah dan amat manis. Dahinya hampir tertutup poni, tetapi bedak di wajah Sanis tidak rata. Walaupun begitu Sanis cantik seperti boneka. Anehnya, ia sangat membatasi kata-katanya. “Terima kasih,” itulah ucapan yang selalu diulang-ulangnya. Selebihnya ia hanya tersenyum dan menggigit bibir. Sikap Sanis yang demikian mengundang berbagai perasaan di hati Pambudi. Rasanya, Sanis menyimpan sesuatu. Atau ia mungkin tersinggung karena aku telah meminjaminya sepeda? Tak masuk akal, keluh Pambudi. Kegelisahannya membuat pemuda itu tidak lama duduk di rumah Sanis. Ia segera minta diri.

Sampai di rumahnya kembali, Pambudi baru yakin bahwa Sanis tidak marah kepadanya. Pambudi menemukan sebuah bandul pada kunci sepedanya, sebuah biji kenari yang terukir rapi. Nama Sanis terpahat di situ. Rupanya hal itulah yang membuat Sanis bersikap malu-malu ketika kutemu tadi, pikir Pambudi. Tak lama kemudian seorang anak kecil membawa sebuah majalah remaja dan menyerahkannya kepada pemuda itu. Pambudi segera tahu, pengirimnya Sanis. Di dalam majalah itu terselip sebuah surat, singkat sekali dan diakhiri dengan “Salam sayang!”.

Jadi anak gadis Pak Modin itu sama saja dengan semua gadis Tanggir. Cepat masak, matang sebelum tua. Toh Pambudi tersenyum. Toh sejenak kesejukan singgah di hatinya. Dan tidak lama. Pemuda itu langsung bergelut dengan keyakinannya sendiri.

“Umurku 24 tahun, pantas bila aku mencintai seseorang. Tetapi Sanis baru kelas dua SMP. Aku mau apa dengan si boneka yang sangat ayu tetapi masih bocah itu. Memang, di Tanggir bukan hal yang aneh bila seorang pengantin perempuan baru pertama kali memakai kutang sesaat sebelum menghadap penghulu. Gadis seperti itu akan segera menjadi seorang istri selagi usianya baru tiga belas, selagi dadanya masih rata. Nah, aku sendiri menganggap perkawinan kanak-kanak seperti itu tidak berbeda jauh dari perkosaan. Bagaimana bisa jadi, seorang anak yang juga masih berjiwa anak-anak dapat langsung mengambil peran seorang perempuan dewasa, seorang ibu rumah tangga. Pokoknya demi kewajaran, aku setuju pada perkawinan antarorang dewasa bukan antaranak-anak.

“Nyatanya,” sambung Pambudi, “aku sudah terjebak dalam sikap munafik. Sanis itu! Aku selalu teringat padanya, aku menyenanginya dan dia sama sekali belum dewasa. Sekarang aku harus memilih: melepaskan keyakinan buruknya kawin muda atau sebaliknya, melepaskan harapan atas Sanis. Kedua-duanya tidak akan kupilih, melainkan mengadakan kompromi antara dua kutub itu. Barangkali itu lebih baik. Aku akan menunggu empat-lima tahun lagi sampai Sanis benar-benar dewasa, kemudian mengawininya. Tetapi sungguh tidak gampang menjaga dan menunggu gadis kecil secantik Sanis sampai ia tumbuh dewasa. Ini Desa Tanggir, dan bukan hanya aku seorang yang senang pada anak Pak Modin itu. Bambang Sumbodo, putra Camat misalnya, sering naik Vespa ke Tanggir karena ingin melihat Sanis. Memang hanya kabar burung, tetapi aku patut memperhitungkannya.”

Di Kaki Bukit Cibalak


Sampai jauh malam pikiran Pambudi masih berputar dalam masalah yang sama. Ia belum dapat tidur meskipun telah mencoba mengundang rasa kantuk dengan memadamkan lampu. Bahkan Pambudi bangkit ketika seekor burung bence terbang di atas rumahnya. Burung malam itu selalu berteriak-teriak bila melihat seseorang berjalan dalam gelap. Ibu Pambudi sengaja batuk, kemudian sepi lagi. Tetapi sebentar kemudian ada keributan kecil di kandang kambing. Pambudi mengintip ke luar melalui celah di dinding papan. Tampaknya tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Ketika Pambudi mengintip untuk yang kedua kalinya ia melihat seseorang berjalan mendekati lampu ting, lalu meniupnya. Kecurigaan Pambudi sudah mempunyai alasan yang kuat. Orang baik-baik takkan seenaknya mematikan lampu ting tetangga. Ia mengambil lampu senter dan berjingkat keluar. Melalui pintu samping, Pambudi segera berada di luar rumah. Diawasinya pendatang yang mencurigakan itu dari balik rumpun kacapiring. Sinar bintang-bintang membantunya mengikuti gerak-gerik si durjana. Ia sedang menanam sesuatu di tengah regol. Kemudian orang asing yang bertubuh kecil itu berjalan ke arah rumah. Hampir saja Pambudi menyorotkan lampu senternya, tetapi urung. Pambudi ingin menangkap orang itu karena yakin mampu melakukannya. Calon lawannya bertubuh kecil, tingginya hanya sampai pundak Pambudi.

Ketika orang itu hanya berjarak sedepa dari Pambudi, pemuda itu menangkapnya. Benar, Pambudi tidak mengalami kesukaran menguasai orang itu. Tanpa ribut-ribut Pambudi membawanya ke dalam. Orangtuanya dibangunkan. Ibu Pambudi keluar membawa lampu.

“Bagol!” kata Pambudi hampir bersaman dengan teriakan ayahnya.

Bagol, maling kambing dan ayam yang terkenal. Dia digeledah. Dari pinggangnya dikeluarkan sebuah pahat. Ada bungkusan di dalam saku maling itu. Ketika dibuka, isinya segenggam tanah.

“Tunggui dia, Ayah. Kulihat tadi Bagol menanam sesuatu di tengah regol.”

Pambudi keluar. Sesaat kemudian masuk kembali sambil membawa kain mori yang tergulung. Isinya tiga tangkai mawar, hampir kering. Ayah Pambudi menggelengkan kepala. Jimat-jimat itu diraupnya lalu dilemparkannya ke luar.

“Kencingi barang-barang itu Pambudi, cepat!”

Pambudi menuruti perintah ayahnya. Orang tua itu tahu apa maksud penerapan jimat-jimat semacam itu: pengusiran dengan jalan halus.

“Siapa yang menyuruhmu?” tanya ayah Pambudi kepada Bagol.

Maling ayam itu diam saja, bahkan ketika pertanyaan itu diulang sampai tiga kali. Ayah Pam?budi marah. Bagol ditamparnya keras sekali. Te?tapi Bagol tetap pada tekadnya, bungkam! Dan tetap bungkam ketika ia diancam hendak dibawa ke kantor polisi. Pambudi yang ternyata lebih sa?bar daripada ayahnya, menemukan cara untuk mendapatkan pengakuan Bagol.

“Dengar, Bagol, pasti semua ini kauperbuat atas perintah seseorang. Orang yang menyuruhmu itu pasti akan marah sekali apabila tahu kau tak ber?hasil melaksanakan tugas. Bukan kami yang hen?dak menghukummu, tetapi orang yang telah mem?berimu uang dan menganggap kau ternyata tak bisa dipercaya. Aku akan membantumu menghin?dari hukuman itu, bagaimana?”

“Aku kurang mengerti maksudmu,” jawab Bagol akhirnya.

“Begini, kita kerja sama. Katakan terus terang siapa yang menyuruhmu, dan aku berjanji akan merahasiakan segalanya. Kau aman, sebab ma?jikanmu tidak tahu bahwa kau telah gagal. Bila kau menolak, akan kusebarkan berita bahwa kau telah mencoba mengguna-gunai kami. Pasti orang yang menyuruhmu akan segera mendengar kega?galanmu. Dan tak pelak lagi kau pasti akan di?hukumnya.”

Bagol termenung sejenak, lalu mengangkat muka ke arah Pambudi. Dari sinar matanya, Pam?budi tahu bahwa maling itu akhirnya setuju atas usulnya.

“Nah, katakan siapa orang itu,” desak Pambudi.

“Pak Dirga,” jawab Bagol singkat.

Ayah Pambudi terkejut. Wajahnya memancarkan kecemasan yang amat sangat. Orang tua itu sungguh-sungguh sadar apa artinya berselisih de?ngan Lurah bagi penduduk Tanggir.

“Siapa yang dituju dengan jahilan itu?”

“Mana aku tahu. Tetapi tanah segenggam itu tadinya harus kutaburkan ke atas genting kamar tidur Pambudi.”

Ayah Pambudi menatap wajah anaknya. Orang tua itu heran karena anaknya malah tersenyum. Apa kataku, keluh Pambudi dalam hati. Kepergianku dari lumbung koperasi Desa Tanggir, perbedaan paham antara aku dan Pak Dirga, mulai tampak ekornya. Tak kusangka lurah yang gagah itu, berhati tempe, tidak mau menghadapiku dari depan.

Bagol disuruh pulang. Pambudi masuk kembali ke kamarnya. Ia menyumpahi dirinya, karena begitu ia menyorotkan senter ke atas meja, tampaklah majalah remaja itu. Kontan ia membayangkan pemiliknya, Sanis. Sadarlah Pambudi bahwa dirinya lemah. Ia tidak bisa berdaulat mutlak atas pribadinya sendiri. Buktinya, Sanis yang masih bocah itu dapat duduk dengan tenang dalam hati Pambudi.

Sebaliknya ayah Pambudi amat cemas setelah adanya kejadian itu. Lurah memusuhi anaknya yang bungsu, yang amat disayanginya. Orang tua itu mencari penawar kebimbangannya dengan du?duk dan bersujud kepada Tuhan. Sampai men?jelang fajar, ayah Pambudi belum melepaskan doa?nya.

Hari yang luar biasa bagi Bu Runtah, istri Pak Dirga, lurah Tanggir. Semenjak pagi, bahkan sejak kemarin sore ia sibuk menyiapkan perlengkapan untuk pekerjaan besar pada hari itu. Bagaimana nanti kalau hasil kerjanya tidak gemilang? Ia bisa ditertawakan oleh sesama istri lurah. Bu Camat tidak mustahil akan berkata, “Ingat Ibu-ibu, apa yang baik pada Anda akan berakibat baik pula pada konduite suami Anda, dan sebaliknya. Jelas?nya, konduite Anda adalah juga konduite suami Anda.”

Pada hari Minggu itu Bu Runtah akan diuji kepintarannya merias pengantin perempuan. Yang akan menguji adalah Bu Camat pribadi. Pelajaran rias-merias itu telah didapat oleh Bu Runtah dalam kursus wajib yang diikuti oleh seluruh istri lurah dalam wilayah Kecamatan Kalijambe. Wah, istri Lurah Tanggir itu hampir panik. Terbayang oleh?nya apabila Bu Camat murka. Minggu kemarin istri Lurah Wadasan dituding-tuding oleh Bu Ca?mat di hadapan orang banyak, “Pantas suami Anda tidak becus bekerja, karena tata tertib pun Anda tidak tahu! Anda tidak bisa bersikap sungkem terhadap atasan. Anda ingat ketika saya dan Bapak berkunjung ke Wadasan, kami mendapat jamuan makan dengan sambal petai. Anda harus, harus tahu bahwasanya Bapak itu mengidap wasir.” Ke?salahan istri Lurah Wadasan yang membuat Bu Camat marah besar pada saat itu, hanya perkara kain batik yang dipakai dengan motif terbalik.

Episode 17
Di Kaki Bukit Cibalak


“Pak, apakah Jirah cocok untuk menjadi model dalam ujian ini?” tanya Bu Runtah kepada Pak Dirga, suaminya.

“Lho, mengapa Jirah? Carilah yang lain saja.”

“Aku tidak bisa menemukan yang lain itu, Pak. Barangkali kau dapat membantuku mencari calon model yang lain. Sekarang sudah pukul setengah tujuh, Pak. Waktunya tinggal sedikit lagi.”

“Wah, aku tidak dapat menunjukkan siapa-siapa?nya, tetapi jelas kau harus menemukan model yang cantik. Kekurangan kecil pada tata rias, akan tertutup oleh kecantikan si model.”

“Kau benar, Pak. Masalahnya ialah siapa model yang cantik itu.”

“Nanti dulu...”

Pak Dirga bingung, karena sebenarnya ia bisa mengatakan kepada istrinya bahwa Sanis amat co?cok untuk berperan sebagai model itu. Namun ia takut didakwa menaruh perhatian khusus terhadap anak gadis Pak Modin itu. Bu Runtah adalah istri Pak Dirga dari perkawinan yang ketujuh. Ia mem?punyai perasaan yang amat peka, terutama tentang kebajulan suaminya. Bahkan Bu Runtah sudah da?pat menangkap isyarat mengapa suaminya tampak salah tingkah.

“Nah, siapa, Pak?”

“Oh, ya, ada perawan cantik di desa ini. Walau?pun belum bisa dibilang dewasa, ia tampak amat manis, namanya...”

“Sanis! Iya, kan?” potong Bu Runtah secepat?nya. Pak Dirga tersenyum. Istrinya tersenyum, tapi dengan makna yang berlawanan. Andaikata bukan untuk kepentingan ujian, andaikata bukan untuk sesuatu yang berhubungan dengan Bu Camat, pasti Bu Runtah akan menolak calon model yang dipilih suaminya. Tetapi kali ini istri Lurah Tanggir itu tidak mempertimbangkan hal lain kecuali daya upaya agar ia lulus ujian. Jadi, bagaimana juga ia menyembunyikan perasaannya.

“Memang ia sudah kupikirkan juga, Pak. Tetapi ayah Sanis alim orangnya, dan Sanis sendiri anak pemalu. Akankah ayah Sanis mengizinkan anaknya kujadikan model?”

“Kalau kau bersedia, masalah lainnya dapat ku?atur. Ayah Sanis sedang mengajukan permohonan kepada Bupati agar langgarnya dipugar dengan biaya Pemerintah. Tanpa aku, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi ia tidak pantas menolak bila kuminta anaknya untuk dijadikan modelmu, paham?”

“Pintar, kau memang pintar, Pak. Nah, terserah padamu sekarang. Pokoknya pukul sepuluh nanti Sanis harus sudah siap berangkat ke Kecamatan. Oh, Pak. Kapas kecantikanku habis. Tolong beli?kan lima bungkus.”

“Tidak bisa. Aku punya tamu penting pagi ini. Suruh saja anak-anak.”

“Jangan begitu, Pak. Kapas itu juga termasuk urusan penting. Atau kau ingin aku dimarahi Bu Camat?”

“Tentu saja tidak. Tapi suruhlah anak-anak.”

“Alaaaah, kau ini, Pak. Kan anak-anak belum pandai naik motor. Ayolah, Pak, ayoooo!”

“Baiklah, tetapi dekatlah kemari. Aku mempu?nyai usul bagus yang harus kautunaikan nanti.”

Suami-istri itu bicara berbisik-bisik, walaupun tak ada orang lain di tempat itu. Bu Runtah mengernyitkan alisnya kemudian tertawa.

“Ini hari Minggu. Kukira Bambang Sumbodo berada di rumah. Maka riaslah Sanis secantik mungkin. Kemudian beri Bambang kesempatan. Kau akan bisa mengaturnya.”

“Wah, aku hendak belajar menjadi comblang. Tapi, Pak, sudah ramai dibicarakan bahwa Sanis berpacaran dengan Pambudi. Bagaimana?”

“Aku juga mendengar kabar angin itu. Tetapi persetan! Kita takkan mendapat keuntungan apa-apa kalau Sanis kawin dengan Pambudi. Sebalik?nya, apabila dengan perantaraan kita Sanis dapat menjadi menantu Pak Camat, untunglah kita. Ke?luarga kita akan bertambah akrab dengan keluarga Camat. Ini penting karena aku menjadi lurah di Tanggir. Kau sendiri pasti akan menjadi kesayangan Bu Camat.”

Alangkah senangnya hati Bu Runtah mendengar uraian suaminya. Ternyata suaminya sangat me?naruh minat pada ujian yang akan ditempuhnya pagi itu. Juga Bu Runtah menjadi lega karena ternyata suaminya tidak terkesan menaruh minat terhadap si cantik Sanis. Buktinya, ia malah me?nyodorkan gadis itu kepada Bambang Sumbodo, putra Camat.

Itu logika Bu Runtah yang tidak pernah dapat menyelami pikiran suaminya. Ia tidak tahu bahwa suaminya sedang melakukan penjajakan, apakah benar Bambang Sumbodo juga tertarik kepada Sa?nis. Kalau benar, Pak Dirga akan memberi bantuan apa pun, karena Bambang putra Camat. Tetapi Pak Dirga sungguh-sungguh berharap agar berita yang menghubung-hubungkan Bambang dengan Sanis hendaknya hanya desas-desus belaka. Ini lebih baik bagi Pak Dirga.

Bu Runtah juga tidak tahu siapa yang disuruh suaminya memberitahu Sanis serta menjemputnya sekalian. Poyo yang ke sana. Sebelum berbicara macam-macam ia telah menyerahkan sebuah amplop kepada Sanis, isinya 50.000 rupiah. “Uang itu dari Pak Lurah untuk ongkos jalan ke Kecamatan nanti. Kau ditunggu oleh Bu Runtah.

Sebelum pukul sepuluh kau harus sudah menemui Bu Runtah. Yang 50.000 itu jangan kaukatakan kepada siapa-siapa, juga kepada Bu Runtah.”

Sesungguhnya Sanis tidak langsung menyatakan kesanggupannya untuk dijadikan model oleh Bu Runtah. Ia juga dapat merasakan ada apa-apa dengan uang 50.000 yang harus dirahasiakannya itu. Namun Sanis tak sempat berpikir panjang karena ayahnya ikut mendesaknya agar segera berangkat. “Kau sudah ditunggu Bu Runtah,” desak ayahnya.

Sebuah andong menggelinding ke timur. Penum?pangnya hanya dua orang. Bu Runtah dan Sanis. Sebuah tas besar dibawa oleh istri Lurah Tanggir itu, berisi segala macam perlengkapan rias-merias. Sanis duduk diam dan membiarkan dirinya ter?ayun-ayun oleh pegas andong. Hatinya berisi macam-macam perasaan. Ia belum pernah menjadi model-modelan semacam itu. “Dan mengapa Bu Runtah memilihku dan bukan Jirah misalnya?” ta?nya Sanis pada dirinya sendiri. “Wah, barangkali benar aku cantik atau agak cantik seperti kata Jirah. Tetapi tumitku kasar dan retak-retak. Ke?sepuluh jari tanganku menebal lantaran aku sering menumbuk dengan alu.”


Episode 18
Di Kaki Bukit Cibalak


Kedua penumpang andong itu turun di depan sebuah rumah gedung besar dengan halaman luas. Itu rumah kediaman Camat. Di ruang depan se?orang opas Kantor Kecamatan sedang menata kursi-kursi. Pasti ia telah kehilangan hak menik?mati hari Minggu sebab harus taat kepada Bu Camat. Opas yang lugu itu hampir tidak tahu lebih penting mana tugas yang diberikan, apakah yang dari Pak Camat atau yang dari Bu Camat.

Sanis dan Bu Runtah dijemput oleh nyonya rumah yang berdandan sangat rapi. Bagaimanapun Bu Camat mempunyai keahlian menyembunyikan usianya yang sebenarnya. Kenes, dan perempuan itu pandai mengatur gerak bibirnya bila berbicara. Pasti ia rajin memperhatikan para penyiar TV.

Seumur bidupnya Bu Runtah, istri Lurah Tanggir itu belum pernah menempuh ujian apa pun. Sehingga tangannya gemetar ketika menyalami tangan Bu Camat, calon pengujinya.

Mata Sanis memperhatikan perabotan dan hiasan-hiasan yang memperindah segenap ruangan. Mewah. Barangkali senang tinggal dalam rumah seperti ini, pikir Sanis. Oh, ya, malahan dalam rumah ini tinggal Bambang Sumbodo, yang selalu menjadi pembicaraan gadis-gadis Tanggir. Jirah yang liar itu pernah berkata, “Seandainya Bambang Sumbodo hanya meletakkan kakinya di pipiku, aku pun sudah merasa senang!”


“Gadis ini yang akan Anda jadikan model?” tanya Bu Camat.

“Ya, Bu.”

Bu Camat pun lalu memperhatikan Sanis lama sekali. Sanis berdebar dan hanya bisa menundukkan kepala. Bu Runtah memperkenalkan gadis modelnya.

“Hanya seorang gadis kampung, Bu. Anak Modin Desa Tanggir.”

Ternyata Bu Camat masih tetap memperhatikan Sanis. Perempuan itu tak peduli yang diperhatikannya telah lama tersiksa. Seperti seorang belantik sedang meneliti seekor kuda. Sanis makin gelisah karena sadar, baju yang dipakainya hanya dijahit dengan tangan.

“Siapa namamu?” tanya Bu Camat.

“Sanis,” jawab gadis itu hampir tak terdengar.

“Sanis, hanya itu? Wah, sesungguhnya kau pantas menyandang nama Endang... ee. Oh, tapi barangkali darah yang mengalir dalam tubuhnya hanya darah biasa saja. Bukan rah adi. Jadi sudahlah, namamu yang sekarang pun cocok.”

Semua istri lurah ditambah beberapa orang istri pejabat Kecamatan akan hadir menyaksikan ujian yang akan ditempuh oleh Bu Runtah itu. Mereka mulai datang. Dan justru pada saat itulah Bu Runtah diperintahkan untuk segera melaksanakan persiapan.

Mula-mula Sanis dimandikan, dikeramasi. Seluruh tubuhnya dilumuri dengan larutan sabun, kemudian digosok dengan karet busa dengan hati-hati sekali. Bukan main kacaunya perasaan Sanis karena Bu Camat berada di situ ketika ia dimandikan.

Ujian yang sesungguhnya memang sudah mulai. Hanya dengan berpinjung kain Sanis dituntun ke luar. Senang juga rasanya dimanjakan seperti itu. Tiba di belakang garasi. Sanis hampir berhenti karena terkejut. Di sana Bambang Sumbodo sedang membersihkan Vespa-nya. “Untung,” pikir Sanis, “Bambang tidak melihatku.” Tetapi beberapa detik kemudian pikiran Sanis berbalik, “Sayang, Bambang tidak melihatku!”

Sementara itu kesepuluh istri lurah dan empat orang istri pejabat Kecamatan telah hadir. Walaupun mereka duduk dengan tertib, pergunjingan mereka terdengar sampai ke kamar tempat Sanis sedang dirias. Pertama-tama rambut Sanis dikering?kan. Lalu sekujur tubuhnya diberi lulur. Masih dalam kain terpinjung, wajah Sanis diolesi ber?aneka krem, yang cair, agak kental, sampai kepada yang berujud pasta. Alis dihitamkan, pipi dan bibir dimerahkan. Kemudian sanggul Sanis mulai di?garap. Bu Runtah sampai bercucuran keringat ke?tika menangani rias ini. Sebelum segala hiasan rambut dipasang, Bu Runtah mencukur rambut-rambut halus yang tumbuh di dahi Sanis. Di dahi itulah Bu Runtah membuat lukisan relung-relung dengan cairan hitam yang pekat. Relung-relung itu sinoman namanya.

Sebelum para juru rias mengenal cat, sinoman dilukis dengan getah pepaya yang dicampur jelaga. Tentang sinoman ini terdapat kepercayaan yang aneh. Apabila ternyata lukisan sinoman itu meleleh pada saat pengantin bersanding di pelaminan, sungguh menjadi pertanda yang buruk. Berarti pengantin perempuan sudah pernah merasakan nik?matnya sesuatu yang meleleh. Ia telah kehilangan kegadisannya. Yang demikian itu dapat dimengerti karena dalam hal ini pengantin perempuan menahan rasa cemas selagi duduk bersanding. Jangan-jangan mata orang-orang jeli dan memper?hatikan perutnya yang mulai membesar. Karena menahan rasa cemas itu, keringat akan membasahi seturuh tubuhnya, juga kening. Schingga sinoman itu leleh.

Selesai merias wajah, Bu Runtah menggarap tangan Sanis. Telapak dan punggung tangan diolesi krem lagi, kuku-kuku dipotong, dikikir, dan dicat. “Alu sialan,” keluh Sanis yang merasa malu karena banyak kulit yang menebal pada kedua telapak tangannya. Kaki Sanis dirawat paling akhir. Gadis itu kembali mengeluh, “Karena terlalu sering terkena air sabun bercampur abu, tumitku retak-retak.”

Sekarang Bu Runtah melilitkan kain batik sida mukti ke tubuh Sanis. “Hati-hati! Polanya jangan sampai terbalik. Ingat peristiwa ketika istri Lurah Wadasan kena marah!” begitu Bu Runtah mem?peringatkan dirinya sendiri. Ketika Bu Runtah hen?dak memasangkan kutang, Sanis tertawa karena geli. Ia merasa risi karena selama ini hanya me?makai singlet sebagai ganti kutang. Teteknya be?lum terbentuk. Menyusul kemudian setagen dan kebaya panjang dari beledu. Sanggul dan hiasan-hiasan rambut ditata kembali. Untaian melati dijuraikan dari sanggul sampai jatuh ke dada. Selop kulit dikenakan.

Tiba-tiba Bu Camat bertepuk tangan. Berdua Bu Runtah mereka menuntun Sanis ke luar. “Pengantin” itu didudukkan di sebuah kursi di hadapan para ibu yang berjumlah empat belas orang itu. Mereka bertepuk tangan. Sanis merasa entah ber?ada di mana dirinya saat itu. Apa yang terasa di hatinya tidak jelas: malu, bangga, dan terharu. Matanya berkaca-kaca.

“Sayang, pinggangnya masih rata,” kata seorang ibu dari belakang.

“Kalau dadanya sudah montok, cantiknya luar biasa,” kata seorang lagi.

“Oh. Bu Runtah beruntung. Tanpa rias pun ga?dis itu sudah cantik. Aku tidak tahu, apakah Bu Runtah yang sungguh-sungguh pandai merias atau gadis modelnya yang memang menarik.”



Episode 19
Di Kaki Bukit Cibalak


Selagi para ibu itu bergunjing tentang Bu Run?tah dengan gadis modelnya, Bu Camat berdiri.

“Para Ibu, yang duduk di hadapan Anda adalah model pengantin perempuan yang telah dirias oleh Bu Runtah. Dengan ini saya nyatakan Bu Runtah lulus dengan pujian.”

Semua bertepuk tangan. Wajah Bu Runtah bi?ngar. Istri Lurah Tanggir itu tertawa dan terharu sehingga air matanya berjatuhan. Namun kebang?gaan yang dirasakan oleh Bu Runtah tidak akan menyamai kebanggaan di hati Sanis. Hati remaja itu mekar. Kejadian di pagi itu takkan terlupakan. Oh, apalagi Bu Camat masuk ke belakang dan keluar lagi bersama Bambang Sumbodo. Pemuda itu membawa perkakas potret. Bagaimanapun Sa?nis berusaha menahan, toh hatinya berdebar keras.

“Nah, itu pengantin laki-lakinya!” terdengar suara dari belakang. Bambang hanya mengangkat pundak. Ia bersiap memotret Sanis yang duduk tegang dan menangis. Bu Runtah cepat maju dan menghapus air mata itu. Sanis merinding ketika melihat bulu-bulu tangan Bambang yang sedang mengatur letak untaian melati di dadanya.

“Ayo, jangan murung. Tarik dagumu dan lurus?kan punggung,” Bu Camat memberi perintah.

“Kalau cemberut begitu dia malah cantik, lho,” ujar istri Lurah Wadasan. Sanis tersenyum sedikit mendengar seloroh itu. Detik yang bagus bagi Bambang untuk memijit tombol tustelnya.

Pertemuan itu usai menjelang tengah hari. Para istri lurah dan ibu-ibu yang lain bubar. Sanis membersihkan diri di kamar mandi kemudian ber?pakaian biasa kembali. Dan Bu Runtah tetap ingat pesan suaminya. Itulah, maka ia tidak buru-buru minta diri kepada Bu Camat. Bersama nyonya rumah, Sanis, dan Bambang, Bu Runtah duduk-duduk di ruang tamu. Dengan alasan ingin melihat kebun anggrek, Bu Runtah minta diantar oleh nyo?nya rumah ke pekarangan samping. Di ruang tamu tinggal Sanis berdua dengan Bambang. Putra Pak Camat itu hampir menamatkan pendidikannya di APDN. Ia sudah dewasa dan sama sekali tidak canggung menghadapi Sanis yang sejak tadi selalu diam dan menunduk. Tentu saja Bambang ingin berbicara dengan gadis di hadapannya. Tetapi ia tidak mempunyai kata-kata untuk mengawali se?buah percakapan. Maka Bambang hanya memper?hatikan Sanis: alisnya, bibirnya, dan betisnya. Pada saatnya nanti, Sanis akan menjadi gadis yang sa?ngat menawan, kata Bambang dalam hati. Kalau benar gadis kecil ini menjadi kesayangan Pambudi, pemuda itu sungguh beruntung. Tetapi Bambang juga merasa masygul, gadis semuda itu sudah di?taksir orang. “Oh, itu bukan urusanku.”

Sesungguhnya Bambang tidak mengenal Pambudi secara pribadi. Ia hanya menaruh hormat kepada pemuda Tanggir itu sejak berita Mbok Ralem mengisi Harian Kalawarta. Bambang tahu betul peran Pambudi dalam usaha menolong Mbok Ralem dari ancaman penyakit kanker. Walaupun kedudukan Bambang sebagai putra Camat bisa membuatnya dihormati oleh sesama pemuda yang sebaya, nyatanya ia merasa kecil bila berhadapan dengan pribadi Pambudi.

Benar, Sanis tidak berani berbicara, bahkan mengangkat wajahnya ke arah Bambang pun tidak. Namun hatinya berbicara macam-macam. Pemuda ini gagah, lebih gagah daripada Pambudi. Keluarganya kaya dan terpandang. Sekolahnya lebih tinggi, dan banyak lagi kelebihannya. Pantas Jirah tergila-gila. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu.

Sanis tidak berani meneruskan lamunannya. Ia teringat anak siapa dirinya. Anak seorang modin di Tanggir, tidak lebih. Maka gadis itu bangkit, dan berjalan tergesa-gesa menyusul Bu Runtah ke kebun anggrek. Bambang tersenyum melihat kelakuan Sanis. Sekali lagi ia berkata dalam hati, “Gadis Tanggir ini memang cantik, bahkan lebih cantik daripada Endah Priastuti. Tetapi Endah bukan lagi anak-anak. Endah sudah pandai bergelayutan di pundakku.”

***

Bagaimana?” tanya Pak Dirga segera setelah melihat istrinya pulang.

“Wah, Pak, aku lulus dengan pujian. Pokoknya Bu Camat puas, sangat puas.”

“Syukurlah. Dan yang itu?”

“Apa? Oh, ya, Bambang Sumbodo, bukan?”

“Ya. Menurut penglihatanmu, benarkah Bambang menaruh minat kepada Sanis?”

“Wah, aku tidak begitu yakin, Pak. Yang jelas Sanis tidak mau duduk berdua terlalu lama dengan Bambang, padahal aku telah memberi kesempatan yang bagus bagi mereka. Tapi, Pak, Bambang-lah yang memotret Sanis setelah ia siap dengan riasnya. Ini gambarnya, cantik, ya? Cantik, ya, Pak? Cantik sekali, bukan?”

Mata istri Lurah Tanggir itu sangat saksama memperhatikan perubahan garis pada wajah suaminya. Tetapi Pak Dirga adalah laki-laki dengan sepikul pengalaman. Ia tahu ke mana arah pertanyaan istrinya. Maka dengan keahlian seorang bajul ia berkata, “Suami gadis ini nanti tentu seorang laki-laki yang mujur. Bambang Sumbodo bisa menjadi pasangannya yang cocok!”

Pak Dirga sengaja memberi tekanan yang nyata pada kata “Bambang”, supaya rasa was-was di hati istrinya lenyap. Padabal batin Lurah Tanggir itu berkata, “Kalau kamu sendiri berkata bahwa Sanis cantik, mestikah aku berkata sebaliknya? Dengar kata Eyang Wira tentang pisang apupus cinde. Sanis adalah pisang apupus cinde itu, dan aku adalah lurah di Desa Tanggir ini.”

Tidak disenangi oleh seorang lurah memang bukan berarti malapetaka yang mematikan, tetapi sangat mengganggu ketenteraman hati seorang petani se?derhana seperti ayah Pambudi. Orang tua itu me?rasa, Lurah membencinya. Bila ada pertemuan di Balai Desa, Lurah selalu membuang muka dengan cara yang amat mencolok. Tetapi itu belum se?berapa. Beberapa hari yang lalu ayah Pambudi pergi ke Balai Desa. Ia hendak meminta surat-surat yang diperlukan untuk mengajukan permo?honan kredit bimas. Orang tua itu dibiarkan me?nunggu lama sekali, sedangkan Pak Dirga enak-enak saja merokok bersama Poyo. Ketika akhirnya Lurah mau melayani ayah Pambudi, ia berkata dengan nada yang amat menyakitkan, “Kenapa sampean minta surat keterangan kepadaku, dan bukan ke Redaksi harian Kalawarta di Yogya?”

Episode 20
Di Kaki Bukit Cibalak


Sikap dan perlakuan semacam itulah yang selalu diterima oleh ayah Pambudi dari lurahnya sendiri. Bahkan ayah Pambudi pun tahu ia sedang di?kucilkan dari sesama warga Tanggir. Demikian, maka orang tua itu mulai merenungkan masalah yang menyebabkan dirinya mendapat perlakuan demikian. Tentu semuanya bermula dari perbedaan pendapat antara Lurah dan anaknya sendiri, Pam?budi. Dua pribadi itu terlalu berbeda, sehingga kerja sama di antara keduanya tidak mungkin ter?jadi. Kalau di Tanggir harus ada Pak Dirga, Pam?budi harus lenyap atau sebaliknya. Melihat ke?nyataan yang ada, Pambudi-lah yang harus menga?lah. Itu hasil renungan ayah Pambudi sendiri.

Apa yang dirasakan oleh ayahnya, dapat dimengerti oleh Pambudi. Maka ia tidak terkejut ketika suatu malam ja diajak oleh ayahnya ber?bicara tentang keruwetan itu.

“Anakku, bagaimana juga kita harus menyadari diri kita yang kecil. Ayah sudah tua. Apa yang paling kuharapkan sekarang adalah ketenteraman lahir dan batin. Pasti kau sudah tahu ke mana tujuan pembicaraan ini. Ayah merasa amat prihatin karena Lurah menganggapmu sebagai orang yang tidak disukai di desa ini. Bahkan karena aku ada?lah ayahmu, Lurah juga menjadi benci padaku. Turutilah tutur kata para orang tua: Wani ngalah, luhur wekasane. Berani mengalah, menjadikan kita luhur pada akhirnya.”

Pambudi diam, merenungkan kata-kata ayahnya. Ada benarnya, tetapi mengapa aku harus menga?lah? pikirnya. Betulkah dalam hal ini harus ada pemenang sehingga harus ada pula yang kalah? Sungguh aku bisa mengerti mengapa Pak Dirga tidak menyukaiku dan kemudian juga membenci ayahku. Urusan dialah! Pokoknya aku bertindak atas keyakinan sendiri, keyakinan dengan dasar yang kuat: kebenaran. Memang aku tidak mampu memaksakan agar kebenaran selalu menang. Na?mun dengan sengaja tunduk kepada kepalsuan sungguh memalukan.

Melihat Pambudi terus diam ayahnya kembali berbicara.

“Ayah tahu, anakku, kau tidak punya salah sedikit pun kepada Lurah atau siapa pun di Balai Desa itu. Sayang, keadaan sudah sangat tidak menguntungkan dirimu sendiri. Ingat, anakku, ini Desa Tanggir. Orang-orang di sini percaya bahwa seseorang tidak mungkin menjadi lurah kalau ia tidak dijatuhi wahyu cakraningrat. Keyakinan itu diperkuat oleh kenyataan kenapa Pak Dirga yang terpilih tahun yang lalu, bukan Pak Badi yang terkenal memiliki keluhuran budi. Jadi dengan keyakinan semacam itu para penduduk akan tetap menjunjung tinggi lurahnya, meskipun lurahnya itu selalu bertindak menurut kemauannya sendiri dan merugikan penduduk.”

Jadi Ayah mengharapkan saya berbuat apa se?karang?” kata Pambudi.

“Dengar, Nak, sudah lama Ayah merenungkan masalah ini. Ayah ingin kau menyingkir dari desa ini untuk kepentinganmu sendiri serta atas ke?putusan dan pertimbangarmu. Bukan lari sebagai orang yang dikalahkan. Dengan demikian sekaligus kau menolong Ayah, sebab Lurah tidak akan membenciku lagi. Sungguh, anakku, aku merasa bukan hanya Lurah yang merasa tidak senang pa?daku. Lama-lama aku merasa terasing di desaku sendiri. Pikirkanlah!”

“Kalau begitu aku harus menentukan motivasi baru dalam hidupku ini,” bisik Pambudi pada hatinya sendiri. “Apa dan bagaimana motivasi yang baru itu, itulah masalahnya. Ayam-ayamku telah memberi enam puluh butir telur setiap hari. Aku memiliki pengetahuan dasar yang lumayan untuk berusaha sebagai petani yang maju. Jadi aku sama sekali tidak berkecil hati terhadap masa depanku sendiri. Dan rasanya, Bukit Cibalak dengan segala kehidupan yang mengelilinginya sudah menjadi sebagian dari hidupku. Bahkan di Tanggir ini hidupku diperenak dengan bumbu kecintaan terhadap – ya – Sanis! Te?tapi aku harus berpikir lebih jauh. Nyatanya keadaan sekarang sangat mengganggu ketenteraman hidup ayahku, dan aku sungguh-sungguh maklum.”

“Bagaimana, anakku, mengapa kau diam?”

“Ya, Ayah, aku tahu perasaan Ayah.”

“Aku juga tahu perasaawnu, Nak, Namun ja?ngan bingung. Kamu masih muda. Tidak akan ter?lambat bila kau hendak menempuh jalan hidup baru, apalagi bila kau yakin bahwa dengan cara itu mungkin keadaanmu akan jadi lebih baik.”

“Tegasnya, Ayah ingin agar aku berangkat dari Tanggir dan kemudian mencari kehidupan di tem?pat lain, bukan?”

“Ya!”

“Apakah Ayah juga tahu bahwa tidak gampang mencari pekerjaan sekarang?”

“Memang Ayah sering mendengar orang bicara tentang sulitnya mencari lapangan kerja. Tetapi Ayah berdoa untukmu, semoga Tuhan memberimu jalan. Dan usaha yang sedang kaulakukan di ru?mah ini bisa kaupercayakan pada Ayah. Percaya?lah, Ayah dapat mengurus ayam-ayammu itu.”

“Baik, Ayah. Tetapi berilah aku kesempatan berpikir dulu barang beberapa hari. Tentu Ayah maklum, apa yang hendak kuputuskan bukanlah perkara sepele. Aku harus mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh.”

Sebelum matanya terpejam, Pambudi mengumbar angan-angannya. Sulit baginya untuk menen?tukan ke mana ia harus mencari tempat yang baru, tempat ia dapat mengembangkan motivasi hidup?nya yang baru. Ia tidak mempunyai saudara yang tinggal di kota atau di mana saja yang kiranya patut ia tuju. Ada seorang pamannya yang tinggal di Sumatra, tetapi Pambudi tidak mau ke sana. Ia tidak berani pergi terlalu jauh, mengingat kedua orangtuanya sudah lanjut usia. Kemudian pemuda itu mulai menghitung-hitung teman sekolahnya dulu. Gatot sudah menjadi letnan dan tinggal di Pangkalan Udara Halim, namun Pambudi tidak yakin apakah ia masih dapat menemukannya. Eng?kos menjadi pegawai Kantor Pos di Cirebon, Yadi menjadi pengusaha penggilingan beras, dan Imam menjadi dokter. Tarso masih tinggal bersama orangtuanya, kerjanya merokok sepanjang hari. Semua bekas teman sekolahnya itu tidak ada yang menarik Pambudi.

Nah, kecuali Topo. Ia masih kuliah di Yogya. Dulu Topo menjadi sahabat karib Pambudi, duduk sebangku. Teman membuat contekan dan teman mencuri pepaya yang tumbuh di belakang gedung SMA. Anak pensiunan polisi itu layak kutemui, pikir Pambudi. Kalau Topo tidak dapat memberi?kan pertolongan, paling tidak ia patut kumintai pandangan-pandangannya.



Episode 21
Di Kaki Bukit Cibalak


Seminggu kemudian Pambudi sudah berada di Yogya. Setelah betisnya pegal karena keluar-masuk jalan dan gang, ia menemukan tempat pondokan Topo, sebuah kamar berdinding bilik di bawah atap emper. Segala perkakas ada dalam kamar itu: kom?por, panci-panci, rentangan tali untuk mencantelkan kolor dan handuk, serta tumpukan buku yang me?nempel ke dinding. Pada ujung dipan satu-satunya ada piring dan cangkir seng. Di ujung lain ada kamus tertindih ensiklopedia. Melihat kedatangan Pambudi, Topo tercengang sejenak, lalu, “Hai, ma?ling pepaya, apa yang kaucari di sini?”

“Yah, aku mencari sesama maling. Kudengar dia di sini, hampir menjadi doktorandus!”

“Dasar kampret kamu. Sudah, sudahlah. Dari mana kau ini?”

“Dari kampung, sengaja hendak menemuimu di sini. Dulu kau sering membantuku dengan melem?par kertas contekan. Semacam itulah yang kuminta dari kau sekarang.”

Kedua sahabat lama itu terlibat dalam suasana kenangan masa bersekolah. Pambudi duduk di atas satu-satunya kursi, Topo bersila di atas dipan.

Habis dengan percakapan senda gurau, Pambudi menerangkan dengan sungguh-sungguh maksud kedatangannya.

“Banyak sekali yang akan saya minta darimu, Kawan, tetapi yang pertama, tampunglah aku di kamarmu yang mewah ini.”

“Seal tidur gampang. Soal makan juga gampang asal kau tidak mengurangi jatahku. Namun yang membuatku tertarik adalah watakmu yang awet. Dulu kau menantang guru civics, yang mendukung adanya presiden seumur hidup, untuk berdebat. Bu Warni kauledek sampai menangis karena dandan?annya telah mengimbau berahimu. Sekarang apa lagi? Kau menjadi pesona nan tidak disenangi oleh para pamong desa di kampungmu. Heibaaat.”

“Wah, doktorandus keong kamu ini. Baik kita tunda diskusi penting ini. Tunjukkan aku di mana biasanya kau membuang sisa-sisa makanan dan kencing. Di mana sumur, karena aku mau mandi, lalu tidur.”

Bilik yang sempit itu kini dijejali lagi dengan sebuah ransel. Penghuni kolong dipan bertambah dengan sebuah jinjingan plastik, sepasang sepatu, dan sepasang sandal jepit. Topo tidak bisa tidur dengan mengangkangkan kaki sekarang.

Lepas magrib Pambudi keluar, kembali lagi dengan sepuluh kilo beras dan sebungkus abon. Te?mannya itu tidak merokok, maka ketika Pambudi menawarkan sebatang kretek Topo menjawab, “Le?bih baik serahkan padaku uang dua ratus perak, aku ingin bakso.”

Malam itu Topo tidak membuka buku. Ia masih dikuasai nostalgia masa bersekolah di SMA ber?sama Pambudi. Pembicaraan mereka berkisar pada masalah yang konyol-konyol, seolah-olah kehidup?an mereka saat itu merupakan periode yang ko?mikal. Ketika Pambudi berkata baftwa Topo dulu sering menipu penjual dage goreng di belakang sekolah, mereka tertawa bersama. “Tetapi kemudian kau yang memasukkan makanan itu ke dalam dompet Astuti, bukan?” Lalu Topo menyambung lagi, “Pam, kauingat Bu Asrifah, guru bahasa In?donesia itu?”

“Ya, aku ingat.”

“Di Yogya ini, bahkan di kota seperti Yogya ini, aku belum pernah melihat seorang perempuan dengan gigi yang gingsul dan secantik Bu Asrifah. Kau percaya?”

Topo tampak sedih, seperti ia sedang menya?yangkan terjadinya sesuatu hal. Tetapi kemudian ia terbahak ketika Pambudi berkata, “Lalu mengapa dulu kau tidak menantang suami Bu Asrifah yang nyinyir dan tua itu berduel?”

Sampai pukul sepuluh malam mereka masih te?rus berbincang. Akhirnya mereka sampai kepada hal yang serius. Topo yang mengalihkan pem?bicaraan itu.

“Pam, kukira banyak anak muda seperti kita ini yang mempunyai semangat Don Quichote, meskipun tarafnya berbeda-beda. Terkadang kita ingin segera mengenakan baju besi, memanggul tombak, dan lari menantang musuh. Tetapi ingat, hanya Arjuna vang kecil yang dapat mengalahkan Nirwatakawaca yang raksasa. Hanya si kecil Daud yang bisa menang atas Goliath. Semuanya cerita lama. Bukti kebenaran kataku itu adalah apa yang telah kaualami sendiri. Aku percaya bulat, kau punya iktikad yang bening di desamu sendiri. Kau menginginkan kemajuan yang sehat, kau memikir?kan perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Kau hendak membawa suara dan nilai-nilai pembaharuan ke tengah kalangan orang-orang yang memiliki pengetahuan dasar tentang pembangunan pun be?lum. Akibatnya kau sendiri yang jatuh, bukan?”

“Benar kau, Sahabat. Toh akhirnya aku diam. Di Tanggir aku tidak menentang apa pun atau siapa pun.”

“Aku percaya. Tetapi Lurah telanjur mengang?gapmu sebagai si kecil yang terlalu banyak tahu. Pengalaman dengan Mbok Ralem yang kaucerita?kan tadi siang, membuat lurahmu waspada. Ternyata kau dapat mengangkat masalah di desamu menjadi bahan berita yang tersebar ke mana-mana. Pasti hal itu sangat tidak disenangi oleh lurahmu, bahkan siapa pun yang sekarang merasa punya wewenang di sana.”

“Nanum sebenarnya aku akan tetap bertahan di desaku bila kedua orangtuaku tidak menjadi me?rana karenanya.”

“Pokoknya sudahlah, Pam. Semuanya telah ter?jadi. Bukan memandang ke belakang yang harus kaulakukan sekarang, tetapi ke depan. Inilah saat?nya kau mempercayai kata-kata seorang admiral yang sedang menghadapi pemberontakan anak buahnya sendiri, ‘I have not begun to fight yet.’ Kau belum cukup mempunyai modal untuk me?nantang berkelahi kepalsuan dan kemunafikan yang terjadi di desamu.”

“Hmm, aku baru saja mendengar ucapan seorang calon doktorandus. Teruskanlah, apa yang mesti aku lakukan sekarang?”

“Masuk kampus! Aku tidak ragu sedikit pun untuk berkata, bahwa apa yang layak kaulakukan sekarang ini adalah bersekolah lagi.”

Pambudi terperangah. Bukan oleh maksud kata-kata Topo, tetapi oleh tekanan dan cara sahabatnya menyampaikan ucapan itu. Begitu tandas dan me?yakinkan. Bukan untuk pertama kali pemuda Tanggir itu menerima anjuran demikian. Bahkan ia sendiri sering memikirkan kemungkinan itu. Na?mun apakah aku mampu membiayai sekolahku? pikir Pambudi. Lagi pula aku yakin, banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang pemuda yang hanya berpendidikan menengah. Dan sesungguh?nya telah terbukti, aku pun dapat hidup meskipun melepaskan keinginan untuk menamatkan pendi?dikan tinggi.

Episode 22
Di Kaki Bukit Cibalak


“Kau ini bagaimana. Kawan, kalau keadaanku memungkinkan, sudah sejak dulu aku meneruskan sekolah,” kata Pambudi.

“Yang kaumaksud pasti soal biaya, bukan?”

“Persis!”

“Itu kekeliruanmu yang lainnya. Kau selama ini tidak mempunyai gambaran yang wajar tentang dirimu sendiri. Percaya atau tidak, yang jelas se?karang kau lebih kaya daripadaku. Lihat baju yang tergantung di paku itu, tidak pangling?”

Pambudi memandang ke arah yang ditunjuk oleh temannya. Sebuah baju dril bekas seragam polisi yang sudah dipakai Topo sejak dia masih di SMA beberapa tahun yang lalu.

Ada keraguan merasuki jiwa Pambudi. Suatu kesadaran yang membawa cakrawala pemikiran yang luas, lebih kritis. Ia sadar, setelah mening?galkan kampungnya, ia menjadi seorang yang sungguh-sungguh tidak memiliki pekerjaan, apalagi jaminan masa depan yang patut. Nah, ia hampir menemukan hal yang amat penting yang sejak semula sudah dipikirkannya; motivasi baru yang akan memberinya semangat hidup. Bila ia mendapat suatu pekerjaan, di situlah ia dapat mengembangkan motivasi hidupnya. Itu baru kemungkinan. Padahal bila ia menuruti anjuran Topo, justru ia sudah memulai dengan motivasi itu. Sambil me?nyelam toh ia bisa mencari siput di bawah air; sambil bersekolah toh ia bisa menunggu sampai buah itu layak dipetik. Ya – Sanis.

Tengah malam Pambudi tertidur. Sebelum melingkarkan badannya dalam kain sarung ia berjanji kepada Topo akan mempertimbangkan usulnya baik-baik. Menjadi mahasiswa! Merdu juga kede?ngarannya, pikir Pambudi sebelum lelap.

Menerima atau tidak menerima usul Topo, jadi atau tidak jadi mahasiswa. Satu di antaranya harus dipilih oleh Pambudi, dan ternyata tidak gampang. Kalau aku menolak usul Topo, berarti aku hanya mengandalkan kemungkinan mendapat pekerjaan. Siapa pun tidak akan berani menjamin bahwa pe?kerjaan yang mungkin kuperoleh nanti dapat men?jadi andalan hidup yang patut, bahkan nyatanya pekerjaan itu sendiri belum kuperoleh. Kalau aku memutuskan bersekolah lagi, banyak kesulitan yang akan kuhadapi. Bagaimanapun tepatnya per?kataan Topo, aku tak bisa meremehkan masalah biaya kuliah itu. Kedua, aku harus menggali kem?bali pelajaran-pelajaran yang sudah bertahun-tahun terpendam. Sungguh, aku sudah lupa apa arti Kempetai atau di mana persisnya letak Pulau Morotai. Lagi pula apakah memasuki sebuah perguruan tinggi begitu gampang, mengingat perban?dingan yang sangat timpang antara jumlah tamatan SLA dan daya tampung perguruan-perguruan ting?gi?

“Pam,” kata Topo pada suatu malam sesudah makan nasi dengan lauk abon dan sambal kecap. “Sudah kukatakan aku lebih miskin daripada kamu. Ternyata aku bisa mencapai tingkat pendidikan yang sekarang. Jadi aku yakin, kau pun akan bisa memperoleh apa yang telah kudapat. Tahun pelajaran baru akan dimulai tujuh bulan lagi. Masih tersedia banyak waktu bagimu untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk. Kalau kau dapat memperoleh nilai ujian yang layak, aku dapat menolongmu. Walaupun dulu aku jago nyontek, pokoknya sekarang aku seorang asisten dosen. Jangan khawatir kau akan terdesak oleh calon lain selama nilaimu patut.”

“Sababatku, sewaktu di SMA dulu pasti kau jauh lebih tolol daripada aku. Namun dengan tulus kuakui sekarang, kau telah memperoleh kemajuan. Kau seorang calon doktorandus, seorang asisten dosen. Layak kalau aku sangat memperhatikan kata-katamu. Di samping itu, setelah beberapa hari aku di sini, kepastian yang jelas sudah datang. Demi masa depanku sendiri, sesuatu yang tepat harus kulakukan. Kau yang menunjukkan kepastian itu, Kawan, kuterima usulmu dengan penuh kesadaran. Terima kasih. Dan bukankah aku tidak terlalu bebal bila memutuskan untuk menjadi seorang mahasiswa?”

Kehidupan yang rutin mulai dilakukan oleh Pambudi. Pagi-pagi menanak nasi dan merebus air untak berdua. Sesudah Topo berangkat ke kampus ia membuka buku-buku pelajaran SMA yang didatangkan oleh sahabatnya itu. Sulit juga memahami kembali pelajaran yang telah lama membeku di otaknya. Bahkan hanya dengan susah payah, atas bantuan Topo, Pambudi dapat mengingat kembali kaidah-kaidah bahasa Inggris. Dua bulan lamanya Pambudi bekerja keras. Kemudian ia mampu menyelesaikan soal-soal ilmu pasti dan ilmu kimia yang rirgan-ringan. Diskusi-diskusi kecil yang dilakukannya bersama Topo membantu Pambudi menghafal kembali pelajaran-pelajaran ilmu sosial.

Selain mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian masuk, Pambudi mulai memikirkan masalah keuangan. Ia mengirim surat kepada orangtuanya, meminta perhatian agar ternak ayamnya dipelihara sebaik-baiknya. Pambudi mengusulkan kepada ayahnya agar orang tua itu menggaji orang untuk mengurus peternakan kecil itu dengan diberi petunjuk yang jelas. “Hasil usaha peternakan itu akan menjadi sumber utama biaya sekolahku,” kata Pambudi dalam suratnya.

Tujuh bulan harus dilalui Pambudi sebelum tiba saatnya menempuh ujian masuk. Waktu sekian lama dirasakan terlalu panjang bila hanya diisi dengan menghafal pelajaran-pelajaran yang justru pernah dikuasainya. Uang 90.000 yang dibawanya dari Tanggir akan terus berkurang bila Pambudi tidak mencari sumber penghasilan baru. Apalagi Topo telah meminjamnya sebanyak 10.000, katanya untuk membeli sebuah buku terbitan luar negeri.

Karena itu Pambudi berusaha mendapatkan pekerjaan sementara. Tiga buah tempat pompa ben?sin telah ia datangi, ketiganya menyatakan tidak bisa menerima tenaga baru. Demikian juga be?berapa perusahaan. Sebuah perusahaan pengiriman barang membutuhkan seorang pengawal truk ang?kutan, tetapi Pambudi tidak mungkin mengisi lo?wongan itu. Seorang pengawal barang harus mau bermalam di sembarang tempat, padahal di malam hari Pambudi harus belajar. Kemudian Topo mem?beri nasihat, “Coba sembunyikan ijazah SMA-mu, barangkali kau akan lebih mudah mendapat peker?jaan sementara itu.” Pambudi menurut. Ternyata manjur, seminggu kemudian dia sudah tampak ber?sama-sama kuli-kuli bangunan melakukan pengecoran di sebuah proyek pembangunan gedung.

Bolehlah, tiga ribu rupiah plus uang makan. Dengan penghasilan itu Pambudi dapat menyela?matkan uang simpanannya dari pemakaian sehari-hari. Bahkan pemuda Tanggir itu mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Ternyata hidup ber?sama kuli-kuli itu menyenangkan hatinya. Mereka hangat dan bersahabat. Istilah “join” di kalangan mereka berarti mengisap sebatang rokok secara berganti-gantian, kadang-kadang sampai empat-lima orang.

Episode 23
Di Kaki Bukit Cibalak


Sayang, hanya satu setengah bulan Pambudi be?kerja bersama kuli-kuli itu. Suatu malam Topo memperingatkan dia bahwa pekerjaan itu terlalu banyak menghabiskan tenaganya. “Bagaimana kau bisa belajar bila sepulang dari kerja badanmu su?dah lelah,” kata Topo. “Kemarin aku telah menelepon Nyonya Wibawa. Kutanyakan padanya apakah dia bisa menerimamu bekerja di sana. Kau bisa diterima di sana. Janda itu memiliki dua buah toko jam tangan, dan aku pernah bekerja setahun pada?nya. Datanglah ke sana besok pagi. Kau sudah kuperkenalkan. Tetapi bekerja pada nyonya itu, bukan hanya melayani toko. Pekerjaanmu nanti termasuk juga tugas-tugas kacung, maaf.”

Penampilan pertama kali harus memberi kesan yang pantas, begitu kata orang. Pambudi memper?cayai hal itu. Maka ketika hendak berangkat me?nemui Nyonya Wibawa, Pambudi mengenakan pa?kaian yang paling baru. Sepatunya disemir, ram?butnya disisir ke belakang supaya tidak tampak terlalu gondrong. Sampai di tempat yang dituju Pambudi tidak menemukan keramahan. Nyonya Wibawa, atau Oei Eng Hwa nama aslinya, me?nyambut Pambudi sambil memberi makan anjing?nya. Karena Topo yang membawa Pambudi, pe?muda itu tidak dimintai keterangan macam-macam. Anak Tanggir itu hanya diberi penjelasan singkat tentang pekerjaan yang harus dilaksanakan. Tetapi perintah pertama yang diberikan oleh Nyonya itu adalah, “Tolong belsihkan sepeda Mulyani itu. Ini sudah ampel jam tuju, ya! Mulyani musti pigi sekola, ya. Toko buka jam delapan, ya.”

Apa yang dikatakan Topo tentang pekerjaan di toko arloji itu benar semuanya. Selain menjadi pelayan toko, Pambudi harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain: menyapu, mengepel, atau mengantarkan babu ke pasar.

Sejak bekerja pada Nyonya Wibawa, Pambudi lebih gampang mengatur waktunya. Ia bisa belajar dengan teratur dalam jadwal yang pasti. Apalagi Topo seorang kutu buku, sehingga Pambudi ikut terbawa ke dalam suasana yang benar-benar efi?sien. Gajinya cukup untuk belanja makan yang sederhana, bahkan Pambudi bisa pergi ke bioskop malam Minggu kalau ia suka. Uang sewa kamar sudah dibayar oleh Pambudi, empat bulan seka?ligus. Setiap bulan tabungannya bertambah dengan kiriman yang in terima dari ayahnya. Jadi ternak ayamku diurus dengan baik oleh Ayah, pikir Pam?budi.

Pada sore hari biasanya Mulyani ikut ke depan melayani para pembeli. Meskipun sudah tiga bulan lamanya Pambudi bekerja di situ, Mulyani belum pernah sekali pun berbicara dengan Pambudi, se?lain mengenai masalah pembayaran dari pembeli misalnya. Di waktu senggang anak Nyonya Wi?bawa itu lebih suka duduk diam menekuni teka-teki silang yang dimuat dalam majalah atau koran. Kemudian Pambudi tahu bahwa Mulyani lebih berminat kepada teka-teki itu daripada berita atau artikel lainnya. Iklan film kungfu pun tidak me?narik hatinya.

Suatu ketika Mulyani tampak gelisah dan kesal. Di depannya terpapar sebuah teka-teki silang yang besar. Ia tidak mampu menjawab semua pertanya?an. Mulyani putus asa, lalu meninggalkan majalah itu di atas kaea etalase. Karena senggang Pambudi mengambil majalah itu dan meneruskan menjawab teka-teki yang tidak terselesaikan oleh anak ma?jikannya. Setelah penuh diam-diam Pambudi me?ngirimkannya kepada redaksi.

Dua minggu kemudian Mulyani menerima wesel sebesar 2.500 rupiah. Rupanya jawaban yang di?kirimkan oleh Pambudi lolos undian. Tentu saja Mulyani terkejut. Dengan malu-malu Pambudi me?nerangkan duduk persoalannya.

“Kalau begitu kau yang berhak atas wesel ini, Pam,” kata Mulyani. Itulah pertama kali dia meng?ajak berbicara pegawainya.

“Oh, tidak. Aku hanya meneruskan pekerjaan-pekerjaanmu. Lagi pula aku tidak merasa memiliki majalah itu. Maka aku mengirimkan jawaban itu atas namamu, dan kaulah yang berhak atas hadiahnya.”

Mulyani tersenyum. Sesungguhnya ia tidak pernah menginginkan hadiah semacam itu. Ia tidak akan mengirimkan jawabannya meskipun ia sering berhasil menjawab seluruh pertanyaan dengan be?tul. Baginya, teka-teki silang hanya hobi belaka.

Keesokan harinya sepulang sekolah, Mulyani menyerahkan sebuah amplop kepada Pambudi.

“Pam, wesel itu telah kuuangkan. Ambillah itu.”

“Lho, tidak, Mul. Sungguh, itu uangmu.”

“Pokoknya ambil uang itu, atau aku akan marah.”

Gadis itu merengut. Pambudi menjadi rikuh. Di sinilah kelemahan laki-laki pada umumnya, bukan, bila berhadapan dengan lawan jenis yang ber?muram. Secara samar Pambudi telah mengetahui adat Mulyani yang selalu merajuk bila kehen?daknya tidak dituruti. Maka Pambudi mengalah.

Sesudah kejadian itu, ada tugas tambahan bagi Pambudi, kalau toko sepi ia membantu Mulyani menyalurkan hobinya mengisi teka-teki silang. Se?ring Mulyani menantang, kalau dapat menjawab penuh sebuah teka-teki, Pambudi boleh menerima sebungkus keripik usus ayam. Mul mulai menge?tahui makanan kegemaran pegawainya itu. Atau untuk menguji ketangkasan otak Pambudi, gadis anak Nyonya Wibawa itu sering membaca soal teka-teki secara cepat dan beruntun. Pambudi ha?rus menjawabnya.

“Yang berpendapat bahwa kekuasaan datang dari laras bedil.”

“Mao Tse Tung.”

“Untuk membabat hutan, harus memegang hak ini.”

“Konsesi.”

“Penulis Mein Kampf.”

“Adolf Hitler.”

“Orang ini terkenal sebagai The Grand Old Man.”

“Agus Salim.”

“X kali X sama dengan semacam persetujuan rahasia.”

Pambudi menepuk dahinya sendiri. Berputar-putar sambil menunduk. Lama sekali ia berpikir, tetapi pertanyaan itu belum juga terjawab.

Mulyani tertawa girang melihat Pambudi kebingungan. Ia mendekati pemuda Tanggir itu, sam?pai dekat sekali. “Kita makan pangsit bersama kalau kau bisa menebaknya,” kata Mulyani.

Panas juga hati Pambudi. Ia menoleh, dan sekali ini ia berani menatap Mulyani dengan jelas. Segar kulit gadis itu. Alis dan matanya khas Mandarin. Tetapi leher itu! Jenjang dan punya kerutan-ke?rutan halus yang melingkar seperti leher Pradnyaparamita, Ken Dedes. Angin semilir di jantung Pambudi. Akhirnya wajah Pambudi menjadi cerah. Masa bodoh dengan teori Sigmund Freud, tetapi karena tatapan Mulyani otaknya seperti dipacu.



Episode 24
Di Kaki Bukit Cibalak


“X kali X sama dengan semacam persetujuan rahasia. Jawabnya, kongkalikong. Nah, seporsi pangsit untukku.”

Seharusnya Mulyani segera menuliskan jawaban itu. Tetapi tidak. Ia menggulung majalahnya lalu memukulkannya ke pipi Pambudi sambil melonjak kegirangan. Ada dua tangan yang saling pegang: yang satu putih kekuning-kuningan, yang satu co?kelat. Ada dua pasang mata yang tiba-tiba saling pandang: yang sepasang redup dan sipit, yang lainnya bulat dan tajam.

Nyonya Wibawa batuk dan meludah, “Cuh!” Anjingnya menyalak, “Hwuf!”

***

Pambudi tidak pernah mengatakan pernah ber?sekolah selain di sekolah dasar. Tetapi Mulyani tidak yakin. Ia tahu Pambudi mempunyai penge?tahuan yang lumayan. Karena merasa penasaran, Mulyani merencanakan suatu saat akan menguji Pambudi. Dengan demikian ia akan lebih mengenal siapa sebenarnya yang menjadi pelayan toko milik orangtuanya itu.

Begitulah, suatu sore Mulyani meminta Pambudi supaya jangan segera pulang setelah toko tutup. “Bantulah aku mengerjakan soal-soal ilmu pesa?wat,” pintanya. Mula-mula Pambudi menolak dengan alasan ia sungguh tidak mengerti apa itu ilmu pesawat. Namun lagi-lagi Pambudi harus me?ngalah setelah melihat Mulyani mulai merengut.

Mulyani duduk di kelas dua SMA. Tentu saja Pambudi dapat menguasai semua mata pelajaran di kelas itu, apalagi sekarang ia seolah-olah menjadi murid kelas tiga SMA yang siap menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Jadi soal ilmu pesawat yang disodorkan oleh anak majikannya dapat dise?lesaikan dengan cepat. Tidak puas dengan satu soal Mulyani menambahnya dengan beberapa soal lagi, semuanya dibereskan oleh Pambudi.

***

Menjelang ulangan umum, Mulyani memintanya membantu belajar. “Daripada mengundang seorang guru les kan bayarannya mahal, Ma,” kata Mulya?ni kepada Nyonya Wibawa, karena ia tahu mama?nya keberatan.

Pada saat belajar bersama itulah kedua anak muda itu saling mengenal lebih baik. Pambudi merasa percuma bersandiwara terus-menerus. Maka ia berkata dengan jujur siapa dia sebenarnya. Dikatakannya pula kepada Mulyani, mungkin hanya tinggal tiga bulan lagi ia bekerja pada orangtuanya.

“Kalau lulus ujian masuk, aku harus berhenti bekerja.”

“Wah, kalau begitu bakal ada yang merasa kehilangan. Maksudku, siapa lagi yang akan mem?bantuku mengisi teka-teki silang?”

“Apa artinya soal tetek bengek itu, Mul. Lagi pula aku masih akan tinggal di kota Yogya ini.”

“Seandainya kau tidak lulus, bagaimana?”

“Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Atau kau berharap aku gagal?”

“Wah, bukan begitu, malah sebaliknya. Kudoa?kan agar kau berhasil. Dan, Pam, mengapa kau harus berhenti bekerja bila menjadi mahasiswa? Seandainya kau tetap bekerja di sini sambil kuliah, bagaimana?”

“Kukira mamamu tidak akan mempekerjakan se?orang yang hanya bisa bekerja setengah hari.”

“Kalau aku yang meminta, bagaimana?”

Pambudi terkejut karena Mulyani mendekatkan mukanya, sehingga kedua pipi mereka hampir ber?sentuhan. Mata Mulyani menatap dalam. Mata yang menunggu jawaban yang pasti.

“Entahlah, Mul, aku tak bisa memutuskannya sekarang. Yang penting, kita telah bersahabat. Persahabatan tidaklah sesempit kotak-kotak teka-teki silang, bukan?”

“Nah, kau mulai berbicara dengan hanya meng?gunakan otak. Aku benci, benci pada orang yang tidak bisa menghargai perasaan. Persahabatan ha?rus juga dihiasi dengan perasaan. Pam, kukira kau tak mempunyai cukup perasaan.”

Pada Hari Raya Imlek, toko tutup dua hari. Pambudi pulang ke Tanggir. Banyak persoalan yang harus ia bereskan dengan orangtuanya. Pertama, ia ingin melihat kesehatan orangtuanya, lalu menyampaikan kepada mereka maksudnya hendak meneruskan sekolah. Ia juga ingin melihat peternakan yang kini menjadi sangat penting artinya. Kalau benar Pambudi dapat menjadi mahasiswa, hasil peternakan itulah yang akan memberinya biaya.

Empat bulan ditinggal oleh Pambudi, Desa Tanggir tidak mengalami perubahan apa-apa. Pagi-pagi orang pergi ke sawah atau naik ke Bukit Cibalak mencari apa saja yang dapat dijual di pasar. Para penderes naik-turun pohon kelapa mengambil dan memasang tabung bambu penadah nira. Mereka hanya bercelana pendek meskipun hari kadang-kadang sangat dingin. Yang punya kegiatan di pasar sudah meninggalkan rumah sebelum matahari terbit. Pukul sembilan mereka pulang. Menjelang tengah hari, istri para penderes telah selesai memasak dan mencetak gula kelapa. Cetakan itu adalah sekerat tabung bambu sepanjang jari telunjuk. Mereka menjual gula kelapa itu kepada Mbok Sum. Bila seorang yang baru berangkat kemudian berpapasan dengan temannya yang sudah kembali dari rumah Mbok Sum, ia akan bertanya. “Berapa harga gula sekarang? Tidak turun lagi?”

Kelihatannya Tanggir hidup dalam tarikan-tarikan napas yang tenang. Tetapi di balik ketenangan itu beberapa orang sedang mengembangkan intrik untuk menjatuhkan Pambudi. Bisik-bisik menjalar di antara penduduk Tanggir yang tidak pernah peduli apakah kabar itu benar atau tidak. Fitnah itu dengan cepat menjalar dari mulut ke telinga, dari kuping ke mulut dan ke telinga lainnya. Hanya beberapa orang yang sejak semula merasa dekat dan percaya kepada Pambudi yang tidak terpengaruh oleh berita itu, bahwa kepergian Pambudi ke Yogya bersangkut paut dengan hilangnya uang lumbung koperasi Desa Tanggir sebanyak 125.000 rupiah. Itulah yang sedang menjadi pokok pembicaraan setiap ada orang yang berkumpul di Tanggir. Orang-orang itu terlalu bodoh untuk menilai berita itu. Mereka pun tidak tahu siapa yang mula-mula meniupkan kabar demikian.



Episode 25
Di Kaki Bukit Cibalak


Kedatangan kembali Pambudi di desanya sendiri mendapat sambutan dingin. Orang Tanggir seakan-akan kehilangan watak aslinya yang peramah. Begitu Pambudi berjumpa dengan seorang tetangga sedesanya ia sudah menerima pandangan mata yang menyelidik dan curiga. Bahkan Pak Danu hanya menjawab tanpa menoleh ketika Pambudi menegurnya.

Setelah beristirahat sebentar, Pambudi bertanya kepada ibunya mengapa orang-orang Tanggir kelihatan lain sikapnya.

Sambil mengusap air mata, ibu yang sudah tua itu menerangkan segalanya dengan jelas kepada Pambudi. “Anakku, kau didakwa melarikan uang milik lumbung koperasi sebanyak 125.000 rupiah. Kata orang, buktinya ada dalam buku lumbung.”

“Kampret!” teriak Pambudi dalam hati. “Ini pasti perbuatan Lurah Tanggir dan Poyo. Pengecut! Akan kubuktikan di depan pengadilan siapa yang menggarong uang itu. Penduduk Tanggir harus yakin bahwa aku masih tetap si Pambudi yang dulu, yang menganggap kejujuran adalah hal yang wajar yang harus dihormati oleh semua orang. Aku bukan hanya menghormati, bahkan sudah dan akan tetap mengamalkannya. Aku harus membela diri, karena tuduhan terhadap diriku sudah keter?laluan. Aku harus menantang mereka sampai ke depan hakim. Harus!”

Dan, angin kemarau datang dari selatan. Menya?pu punggung Bukit Cibalak, menerbangkan serat-serat kapuk dan bunga ilalang. Pohon sentolok menyebarkan bijinya menurut perintah alam; sebu?tir bijinya melekat pada ujung polong. Bila sudah cukup masak polong yang membawa biji itu lepas tertiup angin, berputar dan terbang jauh seperli seekor laron. Biji yang baru akan tumbuh jauh dari induknya. Sayang, angin kemarau juga mem?bawa bau yang khas, sebab penduduk Tanggir belum tahu kebaikan kakus yang tertutup.

Tetapi bagaimanapun angin yang sejuk itu telah membantu Pambudi kembali kepada keseimbangan hatinya. Mula-mula dalam hatinya terdengar gaung suara ayahnya, “Wani ngalah luhur wekasane. Be?rani mengalah luhur akhirnya.” Menyusul suara Topo bergema, “Ingat, hanya Arjuna yang kecil yang dapat mengalahkan Nirwatakawaca yang rak?sasa, hanya si kecil Daud yang bisa mengalahkan Goliath. Toh Don Quichote tidak berhasil menumbangkan sebuah kincir angin meskipun memakai baju besi dan pedang jenawi. Lalu, camkanlah, “I have not begun to fight yet.” Akhirnya Pambudi mendengar suara dirinya sendiri, “Bagaimana de?ngan rencanaku untuk meneruskan sekolah, bila aku direpotkan oleh urusan Lurah Tanggir dan si Poyo itu. Biar, ya, biarlah. Demi kepentinganku sendiri untuk kembali ke sekolah, aku harus diam. Masih ada mahkamah yang lebih tinggi, Tuhan pribadi yang akan menjadi hakim. Mudah-mudah?an saja tidak semua orang Tanggir menganggap diriku sebusuk itu.”

Untunglah, selain kabar busuk itu Pambudi menemukan hal lain yang membesarkan hatinya. Ke?dua orangtuanya sehat. Hasil petemakan ayahnya naik. Sekarang setiap hari ayah Pambudi mengum?pulkan 83 butir telur dari kandang ayam itu.

Sebelum kembali ke Yogya, Pambudi berkun?jung ke rumah Sanis. Yang pertama menemuinya adalah ibu gadis itu. Pambudi tahu, Sanis ada di rumah. Tetapi ia tidak segera keluar meskipun kedatangan Pambudi diketahuinya. Sesudah tiga kali dipanggil oleh ibunya barulah Sanis keluar. Rambutnya acak-acakan, rok dalamnya mengintip keluar. Dan tak tampak rasa kangen sedikit pun pada sikapnya. Boleh jadi Sanis termasuk warga Tanggir yang mendakwaku mencuri uang lumbung koperasi itu, paling tidak mencurigainya, pikir Pambudi.

“Apakah suratku sampai, Kak?” tanya Sanis, suaranya datar dan beku. Bahkan sinar mata Sanis tidak menerjemahkan kejujuran. Kalau Pambudi percaya akan kata-kata orang tua bahwa sikap lahir adalah utusan sikap batin. Kalau Pambudi tahu bahwa sesungguhnya Sanis tidak pernah me?ngiriminya surat. Dan ternyata Pambudi masih mampu menyuarakan kearifan.

“Suratmu belum kuterima. Tak mengapa, ba?rangkali masih dalam perjalanan.”

Ketika berkata demikian Pambudi tersenyum po?los, seperti seorang ayah yang mengetahui kata-kata anaknya adalah palsu. Bagaimanapun Pam?budi tidak akan memojokkan Sanis dengan per?sangkaan yang buruk. Toh ia sudah dapat meraba sikap Sanis sekarang.

Suasana pura-pura itu terus berlangsung sampai saat Pambudi minta diri. Sanis melepas tamunya dengan mengarahkan matanya ke awang-awang. Memang ia menyalami Pambudi, tetapi pada saat yang sama ingatannya justru sedang melayang ke?pada seorang pemuda cakap yang dulu memotret?nya: Bambang Sumbodo!

WAJAR apabila Pak Barkah selalu teringat kepada Pambudi. Semenjak harian Kalawarta mengete?ngahkan masalah Mbok Ralem setahun yang lalu, oplahnya naik dua ribu. Bagi sebuah harian daerah seperti Kalawarta kenaikan sebesar itu sangat be?sar artinya. Rupanya orang Yogya khususnya men?jadi sadar bahwa biarpun alon-alon jalannya, ada penerbitan koran di kota itu. Para pembaca pada umumnya menjadi lebih percaya kepada Kalawar?ta setelah ternyata harian itu mampu membuat misi kemanusiaan yang telah mengangkat Mbok Ralem dari penderitaannya. Juga para pembaca tahu bahwa koran-koran besar di Jakarta scring mengutip berita dari Kalawarta, terutama sepan?jang menyangkut berita daerah Jawa Tengah.

Pemimpin Redaksi melihat saat yang baik untuk melancarkan kampanye pengembangan hariannya. Untuk melaksanakan keinginannya itu Pak Barkah menunjuk Pendi Toba sebagai pelaksana proyek. Tetapi Pak Barkah boleh kecewa, karena Pendi Toba angkat kaki ke Jakarta. Anak Pulau Samosir itu baru menyelesaikan pengumpulan data yang sangat berguna bagi pengembangan Kalawarta ke?tika pergi. Sebuah harian yang besar membutuhkan tenaga anak muda yang sangat aktif dan potensial itu.

Pada saat itu Pak Barkah telah mengetahui Pambudi tinggal di kota yang sama, Yogyakarta, karena pemuda itu sendiri telah dua kali mengun?jungi Pak Barkah. Menurut pendapat pemimpin Redaksi Kalawarta itu, Pambudi tidak terlalu ba?nyak berbeda dengan Pendi Toba. Anak dari Tanggir itu kemauannya keras. Pengetahuan umumnya baik. Kejujurannya sangat tampak. Dan satu hal lain yang tak dapat diungkiri oleh Pak Barkah, Pambudi menyimpan semacam obligasi moral pada harian Kalawarta. Jadi Pambudi sangat patut mengisi lowongan yang ditinggalkan oleh si Pendi itu. Masalahnya, apakah Pambudi suka ber?gabung dengan keluarga Kalawarta atau tidak. Begitulah pikiran Pak Barkah pada akhirnya.



Episode 26
Di Kaki Bukit Cibalak


“Dik Pambudi,” kata Pak Barkah pada suatu malam di rumahnya. “Aku menghendaki hubungan yang lebih hidup di antara kita berdua. Bagaimana kalau kau kuminta menggantikan Pendi Toba?”

“Pak, saya tidak yakin pada kemampuan saya sendiri dalam bidang jurnalistik. Apakah mungkin seorang pelayan toko tiba-tiba berubah menjadi jurnalis? Kedua, sebentar lagi bila lulus saya harus kuliah.”

“Oh, aku melihat pintu perundingan telah ter?buka. Dik Pambudi, sungguh benar kata-katamu tadi. Tidak gampang menjadi seorang wartawan dadakan. Tetapi jangan kaulupakan, bahwa yang membuka pintu bagimu adalah aku sendiri, pe?mimpin Redaksi Kalawarta. Jadi soalnya tinggal padamu, mau atau tidak menerima tawaranku itu. Percayalah, aku telah memikirkan sejauh mungkin sebelum memutuskan tawaran itu padamu. Tugas?mu yang pertama nanti adalah meneruskan peker?jaan yang telah dimulai oleh Pendi Toba. Kau tidak akan bekerja dari nol. Data yang telah ber?hasil dikumpulkan oleh Pendi Toba sudah agak lengkap dan berbobot pula. Nanti kau dapat membacanya sendiri. Dan aku sama sekali tidak mau menghalangimu masuk ke perguruan tinggi. Malah aku akan membantumu sebisa-bisaku. Kuberitahu sekarang, biar bagaimanapun jeleknya, aku ini se?orang sarjana publisistik. Selain memimpin Kala?warta, aku juga mengajar di universitas yang ingin kaumasuki. Seandainya nilai ujianmu bukan yang terburuk, percayalah, tahun pelajaran mendatang kau sudah menjadi mahasiswa. Paham?”

“Ya, Pak,” jawab Pambudi dengan hati ber?debar. Ia melihat harapan yang besar. Tujuannya untuk meneruskan kuliah akan lebih gampang ter?laksana.

“Mudah-mudahan Kalawarta dapat menggajimu sebanyak yang kauterima dari pemilik toko arloji itu.”

“Kalau saya misalnya sudah mulai bersekolah, bagaimana?”

“Yah, yang namanya redaksi harian selalu memiliki staf yang bekerja sore, bahkan malam hari. Aku yang akan mengaturnya nanti, sehingga waktu belajarmu tidak terganggu.”

***

Masa kerja Pambudi pada toko milik Nyonya Wibawa dipersingkat satu bulan. Tak ada ucapan terima kasih yang diterima Pambudi dari majikannya ketika ia berpamitan. Nyonya itu hanya menghitung lalu membayar gaji Pambudi, kemudian kembali mengelus-elus anjingnya. Tetapi ada air mata menitik ke pipi Mulyani.

“Benar, kan, Pam, kau tidak menghargai yang namanya perasaan?” bisik Mulyani sambil menyalami Pambudi. Wajahnya menunduk. Pemuda itu merasakan tangan Mulyani bergetar halus. Ujung jempol kakinya bergerak-gerak di lantai. Sejuk, seolah-olah angin dari Bukit Cibalak meniup hati Pambudi.

“Maaf, Mul, maaf. Aku mengundurkan diri dari sini bukan karena aku ingin mengakhiri persahabatan kita.”

“Aku... aku tahu, Pam. Itulah, sudah kumengerti kau selalu bertindak atas dasar putusan yang logis belaka. Tetapi aku tahu juga sekali ini kau takkan mengalah. Aku akan senang bila sekali-sekali kau berkunjung kemari. Mau, bukan?”

“Sediakanlah sebakul teka-teki silang.”

“Dan segerobak keripik usus ayam.”

“Mul, mungkin pada suatu saat akan muncul gambar seorang gadis dalam harian Kalawarta. Gadis itu langsing, berwajah teduh, dan bermata Mandarin. Akan kutulis, gadis itu mempunyai hobi yang luar biasa: mengisi teka-teki silang!”

Mulyani mencubit punggung Pambudi keras sekali. Pemuda itu meringis kesakitan. Di belakang mereka Nyonya Wibawa memandang dengan benci. “Cuh, cuh,” dia meludah. Anjingnya berbuat sama, “Hwuf, hwuf.”

Tetapi sekali ini Mulyani nekat. Ia tidak peduli, bahkan Mulyani menggandeng Pambudi berjalan ke luar.

“Pam, kalau Mandigo main, kau harus menonton bersamaku. Kukatakan harus, dengar?”

“Dengan senang hati selama mamamu tidak menyuruh anjingnya mcrobek betisku.”

“Kalau Mama tidak ingin aku kabur ke Bandung lagi!”

***

Membaca hasil penelitian Pendi Toba, Pambudi yakin, anak Batak itu encer otaknya, lebar lensa matanya. Telah diselidikinya sejauh mana peredaran Kalawarta. Dicatat pula kelompok masyarakat yang bagaimana kebanyakan pembaca Kalawarta. Diadakannya perbandingan jumlah menurut usia, pekerjaan, bahkan kesukuan. Dengan mengadakan semacam angket kecil Pendi Toba dapat menentukan rubrik mana yang disukai dan yang tidak disukai pembaca. Demikian maka diketahui kelemahan-kelemahan Kalawarta. Dalam hal ini Pendi Toba mengusulkan dibukanya rubrik-rubrik baru dan menghapuskan rubrik yang ternyata kurang menarik minat para pembaca.

Dari data itu dapat diketahui bahwa di dalam masyarakat ada kelompok yang amat patut mendapat perhatian khusus. Kelompok itu berpendidikan menengah atas, jumlahnya banyak serta berpenghasilan tetap pula. Mereka tersebar merata di semua tempat, dari kota sampai ke gunung-gunung. Terutama mereka yang tinggal di tempat terpencil, pasti membutuhkan bahan bacaan yang segar dan ringan serta sesuai dengan kepentingan mereka. Para guru sekolah dasar, itulah mereka.

Sayang, ada satu hal dalam kesimpulan yang dibuat oleh Pendi Toba yang tidak disetujui Pambudi. Menurut Pendi Toba, untuk menjadikan para guru langganan Kalawarta yang setia, harus ada hubungan resmi antara Kalawarta dan Dinas P dan K. “Ini namanya numpang! Aku tidak akan setuju pada hal demikian. Kalawarta harus mempunyai kepribadian. Harus mandiri,” kata Pambudi.

Mengenai kelemahan Kalawarta, Pendi Toba mencatat antara lain, Kalawarta terlalu kejawa-jawaan. Padahal orang sekarang, terutama para pemuda, mempunyai pandangan yang melewati batas-batas kesukuan, bahkan dalam hal-hal tertentu mereka melewati batas-batas kebangsaan. Juga Kalawarta keliru karena mengambil sikap terlalu hati-hati bila berhadapan dengan nilai-nilai baru yang sedang berkembang di tengah masyarakat. Memang, dengan memuji secara apriori nilai-nilai lama, Kalawarta dapat mengharapkan pujian dari orang-orang tua. Ini yang namanya koran yang menjunjung nilai-nilai ketimuran!


Episode 27
Di Kaki Bukit Cibalak


Harus kita sendiri yang memulai, tulis Pendi Toba selanjutnya. Penyalahtafsiran nilai-nilai ketimuran sama jeleknya dengan pameran isi celana dalam yang konon berasal dan kebudayaan Barat. Akhirnya orang harus berpikir kritis dan objektif, misalnya mengapa di negeri ini belum pernah dipentaskan secara utuh cerita Arjuna Wiwaha. Mengapa orang tidak berani menampilkan adegan Arjuna yang sedang digeluti tujuh bidadari bugil yang diamuk syahwat. Tetapi anehnya tak ada orang yang menyangkal Arjuna Wiwaha adalah buatan Indonesia, yang mestinya termasuk bercorak ketimuran.

Dalam melaksanakan rencana pengembangan Kalawarta, Pambudi seakan menggelindingkan sebuah bola dari atas tebing. Hampir semua yang harus dikerjakannya sudah mendapat petunjuk tertulis dari Pendi Toba. Ia hanya mengubah sedikit saja, yaitu yang menyangkut pendekatan terhadap para guru sekolah dasar. Pambudi akan mengusulkan kepada Pak Barkah cara lain untuk mengimbau para calon yang diharapkan akan menjadi langganan Kalawarta itu. “Mencari dukungan ke Kantor P dan K secara resmi terlalu kekanak-kanakan. Membuka rubrik baru ‘Warta Pendidikan’ barangkali akan lebih berhasil,” kata Pambudi kepada Pak Barkah. Sebagai langkah pertama akan diusulkan supaya diadakan sayembara mengarang cerita pendek yang ditujukan kepada para guru sekolah dasar. Dengan demikian perhatian pertama para calon langganan Kalawarta akan timbul.

“Baik, Pam, aku bersedia menangani sendiri rubrik ‘Warta Pendidikan’. Kebetulan aku seorang pengajar pula. Akan kuusahakan agar para guru yang tinggal di tempat terpencil pun merasa memi?liki rubrik itu. Lalu apa rencanamu dengan sayem?bara mengarang cerita pendek itu?”

“Sesuai dengan tujuannya, syarat-syarat yang harus dipenuhi para peserta harus seringan mung?kin. Misalnya naskah-naskah tidak harus diketik, karena kita tahu, tidak semua guru dapat melak?sanakannya.”

“Temanya?”

“Temanya cinta! Percintaan yang mereka alami sewaktu para guru itu menjadi murid SPG. Saya mengusulkan tema itu bukan tanpa alasan. Sewak?tu saya menjadi murid SMA dulu, seorang teman perempuan memberi saya hadiah sebuah kata-kata mutiara: Dalam lintasan cinta, semua orang men?jadi seniman! Tidak peduli siapa yang menemukan kata-kata itu, tetapi kita yakin, percuma saja mem?bantah kebenarannya.”

“Hebat. Memang, aku yang sudah tua ini pun akan sangat bergairah bila disuruh menulis cerita yang berputar-putar di atas gambar panah dan jantung hati. Kau hebat, Pam.”

“Tetapi Bapak jangan lupa, kita harus menye?diakan hadiah serta piagam-piagam. Semua peserta harus mendapat hadiah, paling tidak sehelai pia?gam. Ini penting.”

“Ya, penting untuk mendapatkan sesuatu yang lebih penting. Minat para guru terhadap Kalawar?ta.”

“Masih ada yang lebih penting, uang langganan mereka!”

Seminggu kemudian Kalawarta terbit dengan wajah yang sedikit berubah. Ada beberapa rubrik tetap yang hilang, dan dua rubrik baru muncul. Rubrik “Warta Pendidikan” diurus langsung oleh Pak Barkah. Sekali ini ia mencantumkan gelarnya, menjadi Drs. Barkah. “Aku perlu menggunakan titelku demi kepercayaan dan wibawa,” ujarnya. Orang tidak akan ambil pusing bahwa gelar kesar?janaannya bukan untuk bidang pendidikan, me?lainkan bidang jurnalistik.

“Akan kuberikan hadiah istimewa padamu bila pengikut sayembara ternyata melebihi dua ratus orang,” kata Pak Barkah.

“Tergantung juga pada besarnya hadiah yang tersedia.”

“Kurelakan Vespa tua itu. Kukira masih dapat dijual seharga 600.000.”

“Mari kita tunggu hasilnya, Pak.”

***

Apa yang terjadi di Tanggir dapat dilihat, didengar, bahkan dirasakan oleh Bambang Sumbodo. Meskipun ia kuliah di APDN, Semarang, Bam?bang sangat sering kembali ke rumah orangtuanya, Camat Kalijambe. Kota kecil Kahjambe bahkan sebenarnya terletak dalam wilayah Desa Tanggir. Jadi Bambang juga mendengar desas-desus yang memburuk-burukkan nama Pambudi. Walaupun Bambang hanya mendengar nama itu, tetapi sesungguhnya secara diam-diam ia menghormatinya. Pambudi yang masih semuda itu telah memiliki pribadi yang utuh. Bukan suatu kebetulan kalau Bambang mengagumi pemuda yang mempunyai kepribadian seperti Pambudi itu. Dalam banyak segi sebenarnya mereka mempunyai kesadaran yang sama, terutama yang menyangkut nilai-nilai kemasyarakatan. Tetapi Bambang tidak seleluasa Pambudi dalam mengembangkan kesadarannya, karena bagaimanapun juga ia putra seorang camat. Ia sering merasa masygul apabila ayahnya bertin?dak mewakili suatu nilai yang sebenarnya sangat bertentangan dengan keyakinan Bambang sendiri. Misalnya, mengapa ibunya sendiri menjadi orang kedua yang paling berkuasa di Kecamatan Kali?jambe. Ibunya merasa berhak memberi perintah kepada ibu-ibu lurah, juga para lurah sendiri dan bahkan pegawai-pegawai Kecamatan harus taat ke?pada ibunya.

Tentang Pambudi. Bambang yakin bahwa bisik-bisik buruk yang menjelek-jelekkan pemuda Tang?gir itu palsu belaka. Ia merasa wajib membelanya, setidak-tidaknya ia harus berbicara dengan Pam?budi. Tetapi Bambang tahu, Pambudi sudah berada di Yogya dan alamatnya di sana tidak diketahui. Untuk menjumpai Pambudi di Yogya, Bambang harus menemui orangtua pemuda itu lebih dulu. Tak disangkanya ayah Pambudi terang-terangan menolak memberikan alamat anaknya. Dengan susah payah Bambang meyakinkan orang tua itu bahwa ia sama sekali tidak bermaksud buruk ter?hadap Pambudi. Malah ibu Pambudi menangis ter?isak-isak ketika mengatakan, “Sudahlah, Pak, mau diapakan lagi anak saya itu. Ia sudah menyingkir jauh dari desa ini. Dia sudah mengalah. Anak saya pasti sadar siapa dirinya, anak orang kecil seperti kami ini.”

Bambang pulang. Ia tidak merasa kecewa atas sikap yang ditunjukkan oleh kedua orangtua Pam?budi. Sebaliknya, Bambang dapat memahami mengapa mereka begitu mengkhawatirkan nasib anaknya. Fitnah telah memukul pemuda Tanggir itu dengan telak.

Beberapa saat sebelum sampai ke jalan besar, Bambang teringat kepada Sanis. Pasti gadis itu mengetahui alamat Pambudi di Yogya. Vespa ku?ning itu membelok ke kanan menuju rumah Pak Modin.



Episode 28
Di Kaki Bukit Cibalak


Di halaman samping rumah, Sanis sedang me?nata ikan asin di atas tampah. Ikan-ikan itu baru dibilasnya supaya kadar garamnya berkurang. Sa?nis mendengar sebuah Vespa yang berhenti di depan rumahnya. Matanya terbelalak ketika me?nyadari siapa yang datang. Tampahnya diletakkan?nya sembarangan, lalu ia lari masuk ke numah. Sampai di pintu Sanis menoleh ke belakang. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa pendatang itu adalah pemuda gagah yang dulu memotretnya.

“Bu... Bu... Buuu! Pak... Pak... Paaak!”

Sepi. Di dalam, Sanis mencium telapak tangan. Mestinya semenjak pagi aku memakai gaun kuning itu. Naluri gadis itu menyuruhnya lari ke depan cermin. Ia menyisir rambutnya cepat-cepat, kemudian mencuci tangannya di dapur. Sambil berlari ke luar ia mengelap tangannya dengan kain gorden. Sekarang ia berhadapan dengan Bambang yang sudah lima menit berdiri di luar. Hati Sanis penuh dengan perasaan yang bercampur baur. Dan andaikata ada kalimat yang dapat melukiskan perasaannya dengan lebih tepat, tentu tidak akan terbaca. Saat itu Sanis merasa amat sangat senaaang sekali. Dan salah tingkah!

“Dik, aku datang kemari karena ada hal yang akan kutanyakan.”

“Pada siapa, Kak?”

“Padamu.”

Byar. Sebuah kembang api meletupkan sinar warna-warni menerangi hati Sanis. Jantungnya menekan darah kuat-kuat ke kepala gadis itu. Pipinya merah, bibirnya gemetar. Tangan Sanis berkeringat.

“Aku ingin bertanya padamu, Dik.”

“Tentang apa?”

“Tentang Pambudi. Kau tentu tahu di mana sekarang dia tinggal.”

“Hm, anu. Oh, barangkali dia sekarang di Yogya. Ya, benar, sekarang dia tinggal di Yogya.”

“Maksudku, alamat rumahnya di kota itu.”

“Wah, nanti dulu. Kulihat suratnya.”

Mendadak kembang api itu padam di hati Sanis. Rasa tawar mulai terasa. Gadis itu bangkit, masuk ke dalam. Bambang melihat sepintas Sanis memakai baju yang terlalu pendek. Namun Bambang percaya, gadis itu tidak bermaksud memamerkan tungkainya yang lurus, dan mulai berbentuk sesuai dengan usianya yang sedang meninggalkan masa kanak-kanak. Baju yang dikenakan Sanis sudah lusuh, dua tahun yang lalu baju itu pasti cukup panjangnya.

Di dalam kamar, Sanis tidak segera mencari surat yang diterimanya dari Pambudi. Sudah lama ia tidak ingin menerimanya. Lagi pula Sanis merasa lebih perlu segera bertukar baju selagi masih ada kesempatan. Roknya berwarna merah gelap dengan baju rajutan berwarna kuning tua. Kaus itu ketat sehingga dapat mewakilinya berkata, “BH-ku berukuran 28 sekarang, dan pinggulku mulai tampak, bukan?”

“Apa sebenarnya urusanmu dengan Pambudi, Kak?” tanya Sanis sambil menyerahkan amplop yang bertuliskan alamat Pambudi.

“Agak sulit menerangkannya, Dik. Yang jelas Pambudi adalah seorang pemuda yang baik. Aku mengaguminya dengan sungguh-sungguh.”

“Kemudian?”

“Pasti kau mengerti, Pambudi menjadi korban kabar bohong sekarang. Ada orang yang ingin merusak nama baiknya. Sudah kukatakan Pambudi seorang pemuda yang baik. Aku tak pernah meragukan kejujurannya. Oleh karena itu aku ingin menemuinya di Yogya. Tidak apa-apa, aku hanya akan mengatakan ia tidak perlu berkecil hati oleh kabar buruk yang menyangkut dirinya. Mudah-mudahan simpati yang kuberikan dengan ikhlas, akan mengurangi beban batinnya. Hanya itu.”

“Dalam suratnya yang terakhir Kak Pam menyatakan hendak meneruskan sekolah. Sekarang dia bekerja pada harian Kalawarta.”

“Syukurlah kalau begitu. Pambudi telah menemukan hal yang paling tepat baginya. Kuliah, yah, memang sayang kalau pemuda secakap dia hanya puas dengan pendidikan menengah atas. Nah, kewajiban Dik Sanis adalah memberi semangat kepada Pambudi.”

“Lho, mengapa aku, Kak? Mengapa aku yang harus memberinya semangat?”

“Eh, jangan lupa, ini Desa Tanggir. Sebutir kerikil yang jatuh di lubuk sana akan terdengar suaranya sampai ke mana-mana. Pokoknya, bantulah dia mencapai keinginannya. Aku percaya, Pambudi mempunyai masa depan yang baik. Oh, tentu kalian berdua mempunyai masa depan yang baik.”

Tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulut Sanis. Kosong hatinya. Oh, si gagah ini tidak memberikan apa-apa padaku. Rasanya ia sama sekali tidak tahu bagaimana perasaanku padanya. Bambang, kau tidak tahu bahwa sejak kau memotretku dulu, aku tak dapat melupakanmu. Tapi kau, malah mendorongku agar lebih dekat pada Pambudi. Bambang, apa yang hebat pada Pambudi itu? Tidak sadarkah kau bahwa segala yang ada padamu lebih baik daripada Pambudi?

Bambang Sumbodo pulang. Ada yang luruh di hati Sanis ketika Vespa-nya menghilang di tikungan. Sanis lari ke kamar, tengkurap di kasur, dan menangis. Karena dadanya sesak, ia telentang. Rusuk-rusuk bambu di atasnya seakan membaur, menciptakan bayangan yang aneh-aneh. Mula-mula tampak wajah Bambang yang cakap. Tangan pemuda itu yang penut bulu mendekat ke pipi Sanis, yang kemudian menggigil. Tetapi bayangan itu terhapus oleh munculnya wajah Pambudi. Kumisnya amat jarang dan luar biasa buruknya. Hanya saja Pambudi mempunyai sorot mata yang kuat, mata seorang yang berkepribadian kokoh. Tetapi haruskah aku melupakan Bambang dan mulai lagi membuka hati untuk Pambudi?

Pertanyaan itu takkan mungkin terjawab oleh Sanis sendiri. Usianya yang baru menginjak lima belas tahun takkan memberinya kemampuan untuk menjawab persoalan demikian.



Episode 29
Di Kaki Bukit Cibalak


Laki-laki cucuk emas adalah laki-laki yang mempunyai ujung penis emas. Itu arti harfiah. Yang dimaksud oleh istilah yang masih berlaku di Tanggir itu ialah semacam hak yang dimiliki oleh seorang laki-laki untuk menggauli perempuan yang mana pun. Para dalang menyebutnya wahyu lanang jagat.

Dalam sejarahnya seorang lurah adalah laki-laki yang paling perkasa yang menguasai sekelompok orang. Tentulah ia mempunyai kekuasaan mutlak dalam kelompoknya, karena tak seorang pun yang dapat mengalahkannya. Ia mengawini semua perempuan yang ia kehendaki, dan takkan ada yang menentangnya. Gibon, sejenis kera yang hidup di belantara Afrika, atau rusa kutub misalnya, mempunyai pola hidup demikian. Dan itu bukan karena mereka meniru-niru kelakuan manusia.

Seorang penggembala kambing pun tahu hal itu, “Lihat, bandot yang paling kuat dan paling besar tanduknya, mengawini setiap betina yang ia sukai. Tak ada bandot lain yang berani mengajaknya berkelahi. Dan tampaknya setiap betina lebih se?nang mengandung bayi si perkasa daripada anak bandot yang cacingan.”

***

Atas penelitiannya sendiri Pak Dirga yakin bah?wa Bambang tidak mengharapkan Sanis. Ini dia! Memang benar, Lurah Tanggir itu tahu, Sanis se?ring menerima surat dari Pambudi, tetapi apa arti?nya bocah ingusan yang sudah dienyahkannya itu. Pak Dirga merasa telah mengalahkan Pambudi. Logika yang primitif mengajarkan, milik yang ka?lah menjadi hak si pemenang. Dan Pak Dirga tidak pernah melupakan kata-kata Eyang Wira. “Dulu, para demang atau lurah berhak memetik pisang apupus cinde.” Sanis tumbuh menjadi gadis yang paling cantik di Tanggir. Ia amat layak men?dampingi laki-laki yang paling berkuasa di desa ini: aku! Begitu Pak Dirga membenarkan naluri bajulnya.

Orang Tanggir menyaksikan perkembangan ini. Yang bersembahyang di surau Pak Modin bertam?bah satu orang, Pak Dirga. Selesai sembahyang Pak Dirga selalu singgah ke rumah orangtua Sanis yang memang bersebelahan dengan surau itu. Ke?pada Pak Modin, Lurah Tanggir sekarang memanggil “Pak”, dan sikapnya penuh dengan tata krama. Kalau anak gadis tuan rumah keluar menghidangkan teh dan kue-kue, Pak Dirga berpura-pura bertanya ini dan itu kepada ayahnya. Atau ia mendadak menyalakan rokok. Padahal dengan lirikan sekilas ia menikmati betis dan tengkuk Sanis yang telah mengundang air liurnya.

Ada seorang kebayan tua yang menjadi anak buah Pak Dirga. Ia merasa umurnya sudah terlalu banyak bagi jabatannya sebagai salah seorang pa?mong Desa Tanggir. Tetapi tidak berarti ia telah bosan dengan sawah bengkok yang ia terima ka?rena jabatannya itu. Kebayan tua itu tahu bagai?mana cara agar Lurah tidak segera menghentikan?nya. Kehendak Lurah harus diturutinya. Sekarang orang tua itu sudah arif benar akan hal yang sedang didambakan oleh Pak Dirga. Maka ketika ia menerima perintah untuk menjumpai Pak Mo?din, kebayan tua itu langsung maklum. Tugas yang ia terima untuk melamar Sanis bagi Pak Dirga akan ia tunaikan dengan gemilang.

Begitulah, beberapa saat sebelum penduduk Tanggir meniup lampu-lampu, Kebayan sudah muncul di rumah Sanis. Tata cara melamar se?orang gadis sudah dipahaminya benar.

Selesai mengutarakan maksudnya, Kebayan menyodorkan sebuah bungkusan. Duta Pak Dirga yang membuka bungkusan itu, isinya dibagi men?jadi dua bagian. Yang sebagian jelas berupa tum?pukan uang kontan, lainnya masih terbungkus oleh sebuah saputangan.

Ayah Sanis memandang sejenak bawaan yang terpajang di atas meja itu. Ia belum menjawab sepatah pun kepada utusan Pak Dirga. Pak Modin tampak agak bingung, apalagi sedari tadi istrinya belum juga muncul kembali dari dapur. Entah tenaga apa yang mendorongnya, ayah Sanis bang?kit menuju kamar tidur anaknya. Di sana Sanis nyenyak, tidak mengetahui bahwa sesuatu yang penting sedang terjadi atas dirinya. Rasa haru me?rasuk ke hati Pak Modin ketika memandang wajah Sanis. Dia berusia lima belas, pantas baginya me?nerima lamaran seorang laki-laki, pikir Pak Modin. Aku sering mendengar kata orang bahwa anakku cantik, tetapi aku tak mau mengatakan apa-apa karena aku ayahnya.

Ketika ayah Sanis keluar, istrinya sudah duduk menghadapi Kebayan. Perempuan itu termenung ketika suaminya meminta pertimbangannya. Na?mun akhirnya ibu Sanis berkata, “Pak, sebenarnya kita patut merasa senang mendapat penghormatan ini. Tetapi, Pak, kita kan tahu, Nak Pambudi juga mengharapkan Sanis. Memang benar dia belum datang melamar Sanis kemari. Atau kita bangun?kan saja anakmu itu?”

Yang ditanya hanya mengertakan keningnya. Pak Modin bukan tidak tahu tentang sikap Pam?budi terhadap anaknya. Bahkan ia juga tahu per?kataan istrinya itu hanya merupakan pertanda bah?wa istrinya merasa keberatan Sanis diperistri oleh Pak Dirga. Alasannya mudah dimengerti. Ibu Sanis tidak menyenangi adat lurahnya yang sering ber?ganti istri. Melihat suasana yang tidak jernih itu, Kebayan menyela.

“Keliru sekali bila kalian tidak segera menerima lamaran ini. Pikirlah baik-baik. Gadis bodoh mana yang tidak mau menjadi istri seorang lurah? Ingat, anak kalian akan menjadi perempuan yang paling dihormati di desa ini. Lurah kita baik, amat baik. Umurnya, yah, kalian tahu sendiri. Walaupun sudah beruban Pak Dirga tidak setua aku, misalnya. Ingat juga akan hal ini. Surau kalian sedang diusulkan agar dipugar dengan biaya dari Pemerintah. Siapa yang akan menolong mendatangkan uang sebesar satu juta rupiah sampai ke tangan kalian kalau bukan lurah kita. Satu juta! Dan lupakan pemuda yang bernama Pambudi itu. Ia telah menghilang entah ke mana. Namanya telah cemar. Menurut catatan dalam buku perlumbungan, Pambudi telah melakukan kecurangan. Ia membawa lari uang koperasi sebesar 125.000 rupiah.”

“Tidak mungkin!” tiba-tiba ibu Sanis berkata ketus. “Pambudi anak yang baik. Ia tidak mungkin melakukan pekerjaan sehina itu. Ia difitnah. Sekarang dia berada di Yogya.”

“Bukan saatnya berbicara seperti itu, Bu,” sela ayah Sanis. “Soal Pambudi adalah masalah lain. Kita bicarakan saja apa yang sedang kita hadapi ini.”

Episode 30
Di Kaki Bukit Cibalak


“Betul,” kata Kebayan. “Siapa pun tidak ada yang ingin mencelakakan anaknya. Kalau kalian mengawinkan Sanis dengan lurah kita, kalian telah bertindak sangat bijaksana. Kalian mendudukkan Sanis di atas kursi kemuliaan.”

“Tidak!” kata ibu Sanis tegas.

“Hus! Aku yang akan memutuskannya. Nah, Pak Kebayan, sampai di sini dulu pembicaraan kita.”

“Nanti dulu, aku ini bukan anak kecil. Aku utusan seorang lurah. Aku harus mendapat jawaban yang jelas.”

“Pulanglah, tinggalkan bawaan ini di sini.”

“Artinya kalian menerima lamaran Pak Dirga! Nah, begini. Uang yang saya bawa ini berjumlah 150.000, untuk kalian berdua. Yang berada dalam bungkusan itu adalah cincin, gelang, dan kalung emas untuk Sanis. Masih ada lagi, surat-surat keterangan sebuah sepeda motor atas nama anakmu. Motor itu sekarang masih di toko. Sesudah pernikahan, anakmu akan ke sana kemari dengan motor. Nah...! Aku sendiri akan berkaul berguling dari puncak Cibalak bila anak gadisku dilamar oleh seorang lurah. Sayang, semua anakku kudisan di betis. Kalian lebih beruntung!”

Ibu Sanis sudah tidak lagi mendengar ocehan Kebayan. Ia segera lari ke kamar, menubruk anaknya yang masih terus tidur nyenyak. Ibu Sanis menangis menjadi-jadi. Baginya, apa pun jabatan Pak Dirga, ia tetap seorang laki-laki dengan watak bajul buntung. Ibu Sanis sendiri pernah hampir menjadi mangsanya sewaktu muda dulu. “Oh, anakku, kau yang lahir dari perutku sendiri, kau akan menjadi musuh Bu Runtah. Aku sama-sama perempuan seperti dia. Aku bisa merasakan pahitnya orang dimadu. Getir.”

***

Tanggir kembali hangat oleh pergunjingan. Pak Lurah hendak kawin lagi. Sanis akan menjadi madu Bu Runtah. Ada yang mengatakan Sanis memang layak menjadi istri Lurah. Ada juga yang berpendapat, orangtua Sanis tega terhadap Pam?budi lantaran emas dan pangkat. Tetapi Jirah tidak peduli apa-apa. Ia hanya berjingkrak, melompat-lompat sehingga lupa roknya tersingkap. “Idiiih! Sanis akan segera merasakan tengiknya ketiak se?orang kakek!”

***

Sesungguhnya Bu Runtah sering merasa, suatu saat akan terjadi peristiwa yang sangat menekan batinnya ini. Nalurinya sudah lama memperingat?kannya, bahkan dulu sebelum Bu Runtah memu?tuskan untuk menerima lamaran suaminya yang sekarang hendak menjadikan Sanis sebagai istri mudanya. Bu Runtah sadar sepenuhnya bahwa suaminya telah enam kali menikah sebelum me?ngawininya. Tetapi perempuan itu berharap Pak Dira tidak akan mencari istri yang kedelapan. Dan terbukti sekarang, harapannya kosong belaka. Suka atau tidak suka perempuan itu akan segera memperoleh seorang madu, jauh lebih muda dan jauh lebih cantik, seorang gadis yang pernah di?jadikannya model hampir satu setengah tahun yang lalu. Sejak terbukti bahwa suaminya benar-benar hendak mengawini Sanis, Bu Runtah setiap malam menangis dan menangis. Bukan hanya karena hen?dak dimadu itu saja, tetapi ia pun masih dipersedih pula oleh terjualnya tiga buah gelang, dua buah kalung emas, dan satu hektar sawah. Semua har?tanya itu habis untuk membiayai suaminya, hingga menjadi seorang lurah sekarang.

Perih! Perih yang amat menyakitkan. Hanya itu yang terasa oleh Bu Runtah. Sakit karena dimadu, karena malu, karena hartanya yang harganya ber?juta-juta rupiah telah hilang. Kenapa aku harus menerima ketidakadilan ini? Kenapa suamiku tidak tahu diri, dari mana ia memperoleh biaya untuk menjadi lurah? Oh, Gusti Pengeran, tepatilah janji-Mu untuk mengabulkan doa umat manusia yang teraniaya!

Atas anjuran orang-orang tua yang merasa kasihan terhadap dirinya, Bu Runtah hendak me?lakukan ikhtiar.

Begitulah, di pedukuhan kecil sana, pada suatu malam pedupaan Eyang Wira kembali mengepul. Selain semua jimat yang biasa dikeluarkan, terlihat sebuah ulek. Benda penggilas sambal itu terbuat dari kayu jeruk, dan sekarang terikat dengan se?utas benang hitam.

Menjelang tengah malam, Bu Runtah dipanggil menghadap Eyang Wira. Kemudian dukun itu me?nyuruh tamunya pergi ke sumur, mandi keramas. Selama tamunya ke belakang, kakek itu berjalan mondar-mandir mengelilingi pedupaannya. Bila asap pedupaannya mengecil, ditaburkannya serbuk kemenyan ke dalam tungku.

Eyang Wira berusia tujuh puluhan. Istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Yang melayani makan-minum kakek itu adalah anak perempuan?nya yang bungsu, yang tinggal di belakang rumah Eyang Wira.

Selesai mandi Bu Runtah menyisir rambutnya. Gulungan setagen dimasukkan ke dalam tas tangannya. Sebuah saputangan ikut teranyam dalam sanggulnya, supaya rambut Bu Runtah cepat kering. Kemudian perempuan itu bersimpuh di hadapan Eyang Wira, karena tidak memakai setagen, sebagian kulit perut di bawah kancing kebayanya tampak. Hal ini tampak pula oleh Eyang Wira yang kemudian menjadi gelisah. Tiba-tiba kakek itu mengambil sikap bersemadi. Mulutnya membaca mantra. Kayu penggilas sambal itu diayun-ayunkan di atas atap pedupaan, lalu ditiupi mantra.

“Aku sudah tahu, pada suatu saat kau akan datang kemari. Banyak istri lurah yang datang padaku dengan membawa masalah yang sama.”

“Iya, Eyang, saya minta pertolongan.”

“Kau mau dimadu, bukan?”

“Ya, Eyang sudah tahu.”

“He-he, kalau mendengar hendak dimadu, setiap perempuan menjadi ribut. Kenapa?”

“Entahlah, Eyang, pokoknya saya minta pertolongan.”

“He-he, aku mengerti. Bila sampai dimadu engkau hanya akan menjadi istri pertama, bukan istri utama. Suamimu hanya datang sebulan sekali bila istri mudanya berkain kotor. Kau tidak pernah lagi pergi ke undangan berdua, sebab suamimu lebih bangga menggandeng istri yang muda. Di rumah istri mudanya suamimu baru tidur menjelang pagi, tetapi di atas kasurmu dia sudah mendengkur pada pukul sembilan malam. He-he, dan ini...” – ia mencubit kulit perut perempuan itu – “takkan pernah berisi bayi lagi.”

Episode 31
Di Kaki Bukit Cibalak


“Sudahlah, Eyang, usahakan agar perkawinan mereka batal.”

“He-he, kau mau memberi upah apa?”

Eyang Wira mendekatkan muka, dekat sekali, sehingga istri Lurah Tanggir itu dapat mencium bau busuk yang tersebar melalui mulut Kakek Dukun. Bu Runtah meluruskan punggungnya.

“Eyang minta upah apa?”

“He-he, wong ayu, upah yang kuminta itu sudah kaubawa. Kembang selasih, yah, hanya kembang selasih!”

“Oh, Eyang, saya tak membawa kembang selasih. Yang saya bawa ini kembang setaman.”

“He-he, wong ayu, kau tidak tahu kembang selasih?”

“Tahu, Eyang. Di pasar banyak orang menjual kembang itu. Tetapi yang saya beli kembang setaman.”

“Bukan. Bukan di pasar. Kau membawa kembang selasih itu sekarang.”

Eyang Wira tersenyum. Matanya berbinar. Manik-maniknya turun-naik seperti celeret gombel. Bu Runtah bingung jadinya. Ia tak mengerti apa yang dimaksud oleh kakek dukun itu. Dengan gerakan tangan yang lambat, Eyang Wira meletakkan tangannya pada pundak pasiennya. Matanya hampir tertutup ketika laki-laki tua itu bersenandung.

“Kembang selasih, kembang selasih
tilikana asih,
kinumbaha bersih.

Kembang selasih, kembang selasih
tilikana asih,
kinumbaha bersih...”

“Nah, mengerti, wong ayu? Kalau syarat itu kaupenuhi, hajatmu pasti terkabul.”

Bu Runtah merasa sangat masygul. Sekarang ia tahu apa yang diminta oleh Eyang Wira. Wah, sembrono. Dalam telinganya masih terngiang, “Kembang selasih, kembang selasih. Tilikana asih, kinumbaha bersih.” Ini pameo percabulan. Dukun tua itu mengajaknya berzina! Bu Runtah merasa kepalanya pening. Setelah beberapa saat ia dapat berpikir tenang, lalu menarik napas panjang. Kemudian Bu Runtah termangu-mangu.

Memang, pikir Bu Runtah. Sudah lama sekali aku dibiarkan tidur sendiri. Bahkan suamiku hendak mengambil seorang istri muda. Suamiku sama sekali tidak setia, ia pengkhianat. Kelakuan suaminya patut mendapat balasan yang setimpal, biar adil! Perzinaan pun jadilah, toh suamiku tidak puas dengan seorang istri.

Tidak. Pikiran Bu Runtah cepat berubah. Ia menangis dan eling. Suara dari kebeningan hatinya memperingatkan perempuan itu. Bukankah aku telah berjalan jauh ke rumah dukun ini untuk suatu tujuan, dan bukan percabulan? Aku sedang berikhtiar agar suamiku kembali padaku. Mengapa aku sendiri mau ikut gila? Belum tentu suamiku telah menjamah si Sanis itu. Tidak!

Bu Runtah mengangkat muka, siap menolak syarat yang diminta oleh Eyang Wira. Ketika itulah pandangan mata Bu Runtah ditangkap oleh sepasang mata cokelat yang seakan berpijar. Makin ditatap mata Eyang Wira makin kuat memancarkan daya magis. Perempuan di hadapan kakek itu terisap kekuatannya, lemas, lemas, dan akhirnya lunglai terkulai.

Entah berapa lama Bu Runtah terkena sihir. Entah apa yang terjadi pada dirinya ketika ia sama sekali tidak sadar. Namun yang pertama kali teringat kembali olehnya adalah ketika ia dituntun oleh Eyang Wira keluar dari kamar. Risi di selangkangannya.

“Sudah, tak apa-apa, bukan? Kau telah memberikan apa yang kuminta. Percayalah, kau akan memperoleh kembali setiap tetes yang menjadi hakmu. Sekarang lihat, apa ini?”

“Pisang, Eyang,” suara Bu Runtah kering. Ia menahan tangis.

“Masih kaku dan kencang. Ambillah. Nah, kupas dan makan isinya.”

Bu Runtah patuh.

“Bagaimana kulit pisang itu sekarang?” tanya kakek itu.

“Lemas, Eyang.”

“Ya! Seperti kulit pisang itulah barang suamimu sekarang. Lemas. Maka biarlah dia kawin lagi karena hal itu sudah terlambat untuk dicegah. Kau jangan kecewa sebab madumu akan tetap perawan. Suamimu sudah tidak bisa melepaskan hajat. Barangnya lemas seperti kulit pisang yang baru kaumakan tadi.”

Ketika melihat Bu Runtah termangu-mangu, Eyang Wira cepat tanggap. Maka ia segera menyambung kata-katanya.

“He-he, jangan khawatir, barang suamimu tidak akan terus lemas seperti kulit pisang. Dengar, ulek ini kaugantung di tempat yang tersembunyi. Selama benda ini dalam keadaan tergantung suamimu tetap menjadi laki-laki yang loyo. Kau harus menjaga agar suamimu tidak mengetahui benda yang kaugantung itu. Percayalah, bila sudah tumbuh jamur pada ulek itu, suamimu akan menceraikan istrinya. Kau harus cepat-cepat melepas benda yang kaugantung itu bila kau masih menginginkan malam pengantin yang kedua. He-he...”

Bukan karena benci terhadap Desa Tanggir, Bukit Cibalak, atau orang-orang yang tinggal di wilayah itu. Bukan, meskipun ternyata Pambudi tiga tahun lamanya tidak pulang kampung. Memang, ia pernah beberapa kali menengok orangtuanya, tetapi Pambudi tidak pernah tinggal lebih dari dua hari di Tanggir. Waktu liburan pun dihabiskan Pambudi di Yogya. Buku-buku pelajaran dan pekerjaannya hampir menghabiskan seluruh waktunya. Semua sungguh bukan kesia-siaan bagi pemuda Tanggir itu. Harian Kalawarta berkembang, walaupun lambat tetapi mantap. Pegawainya dapat menikmati gaji yang layak. Dalam perkembangannya Pambudi menjadi tangan kanan Pak Barkah dalam keluarga Kalawarta. Meskipun begitu Pak Barkah memberikan kesempatan yang longgar kepada Pambudi untuk menjadi mahasiswa yang cakap. Pemuda Tanggir itu telah menempuh ujian untuk memperoleh gelar sadana muda.

Episode 32
Di Kaki Bukit Cibalak


Tulisan-tulisan Pambudi dalam Kalawarta sudah dikenal orang secara luas. Ia mempunyai kegemaran mengetengahkan masalah-masalah kemasyarakatan, cara yang khas Pambudi. Bahasanya sederhana, lugas, dan komikal. Orang tidak harus menarik alis kuat-kuat bila membaca tulisan Pambudi, meskipun masalah yang dikemukakannya sensitif, bahkan mungkin mampu memancing suasana panas. Seri tulisannya yang terakhir diberi judul “Kemajuan di Pedesaan Perlu Arah yang Lebih Jelas”, mendapat sambutan yang luas. Hal ini terbukti dari banyaknya surat yang diterima oleh Redaksi Kalawarta dari para pembaca.

Tetapi tentu saja tidak semua orang menyukai pemikiran Pambudi, setidak-tidaknya Camat Kalijambe. Kepala wilayah tersebut merasa tidak enak, sebab Pambudi menjadikan wilayah Kalijambe sebagai objek penelitian untuk seri tulisannya. Andaikata Pambudi hanya mengemukakan segi-segi yang baik, pasti ia malah mendapat hadiah dari Pak Camat. Soalnya Pambudi menulis dengan berpegang pada asas pokok jurnalisme, objektivitas.

“Saya merasa tersinggung,” kata Pak Camat yang sedang dihadapi oleh anaknya sendiri, Bambang Sumbodo. “Seharusnya Pambudi berembuk dulu dengan saya sebelum ia menulis tentang daerah ini. Dengan demikian ia tidak melangkahi tata krama. Lagi pula ia dapat memperoleh data resmi yang ada pada saya. Sungguh saya tidak mengerti mengapa tulisan-tulisan Pambudi begitu kritis, bahkan sinis. Apakah karena ia merasa terbuang dari desanya sendiri? Jangan-jangan karena Lurah Tanggir mengawini kesukaannya, apa pun yang ada di daerah ini tampak buruk di matanya.”

Bambang Sumbodo yang semenjak tadi menekuni tulisan Pambudi dalam Kalawarta, menghentikan bacaannya. Kemudian ia menanggapi ucapan ayahnya.

“Saya kira, urusan antara Sanis, Pambudi, dan Lurah Tanggir adalah perkara kebetulan. Selebihnya saya berpendapat, bagaimanapun tulisan dan pikiran Pambudi patut diperhatikan. Dia memandang kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh daerah ini menurut pandangannya sendiri. Ibarat terhadap sebuah piring, kita selalu memandang bidangnya yang cekung. Kita hampir tidak pernah melihat bagian bidangnya yang cembung. Pambudi mengajak kita melihat kemajuan di sini dari segi yang lain.

Misalnya tulisan Pambudi yang satu ini. Dia berpendapat, hendaknya kita jangan menafsirkan secara tergesa-gesa seolah-olah banyaknya barang konsumsi mahal yang sudah dipunyai oleh orang desa membuktikan desa itu sudah maju. Banyaknya sepeda motor, mobil, TV, atau lainnya bukan menjadi pertanda mutlak adanya kemajuan di desa tersebut. Banyak orang bisa memiliki barang-barang mahal, sebetulnya mereka telah menjual barang modal: sawah, kerbau, atau pohon kelapa. Banyak orang desa yang dapat membangun rumah gedung, tetapi sawahnya bertambah sempit, bahkan habis sama sekali.

Ayah, bukankah tulisan Pambudi itu berdasarkan hal yang nyata? Dan bagaimana tanggapan Ayah atas tulisan Pambudi yang satunya ini: Kita telah lengah membiarkan para pedagang menempa masyarakat yang bodoh menjadi konsumen yang patuh, bahkan fanatik. Contoh yang faktual adalah perbuatan seorang tani miskin yang merasa sangat bangga karena bisa membeli obat semprot nyamuk otomatis seharga seribu rupiah, sementara anak-istrinya makan nasi oyek. Hal demikian bisa terjadi karena iklan-iklan terus-menerus dilemparkan de?ngan gencar ke tengah-tengah masyarakat yang masih terbelakang.”

“Wah, kita harus berhati-hati menilai tulisan seseorang. Apalagi kau seorang mantri polisi yang baru mendapat beslit. Sampai sejauh itu kita bisa menganggap Pambudi sedang menghafal teori-teori ilmu ekonomi. Tak mengapa walaupun tulisannya itu berbau teori pertentangan kelas. Cobalah baca tulisan Pambudi yang menyangkut desanya sendiri, Tanggir. Kau akan menemukan tendensi yang je?lek padanya.”

Pak Camat menyerahkan sehelai Kalawarta yang terbit sehari sebelumnya kepada Bambang. Anaknya menerima lembaran koran itu. Mantri polisi yang masih baru itu membetulkan letak ka?camatanya, lalu mulai,

“Kehidupan kekoperasian di negeri ini dilandasi oleh suatu norma yang tidak tanggung-tanggung: undang-undang dasar negara, ditambah dengan se?perangkat peraturan resmi lainnya. Tetapi keper?cayaan penduduk Tanggir terhadap lembaga koperasi dirusak. Yang namanya koperasi di desa itu lebih tepat dinamakan badan usaha simpan-paksa-pinjam-sulit, dengan bunga pinjaman yang sangat tinggi. Keuntungannya memang besar ka?rena koperasi itu telah meninggalkan asasnya yang utama: pelayanan sosial kepada seluruh anggota, bukan keuntungan semata-mata. Orang yang telah cukup berada malah gampang mendapat pinjaman dari lumbung koperasi. Orang semacam ini pasti akan mampu mengembalikan pinjaman itu dengan bunganya. Tetapi para anggota yang miskin, wa?laupun mereka juga membayar andil, sulit mendapat pinjaman. Adalah nyata bahwa banyak pe?minjam yang tidak mengembalikan pinjamannya. Namun dalam hal ini harus ada penelitian apakah peminjam itu beriktikad buruk atau karena benar-benar tidak mampu membayar kembali pinjaman?nya, dan inilah yang sebenarnya banyak terjadi. Kalau pengurus koperasi dapat mengambil sikap khusus terhadap para peminjam yang kaya, kenapa tidak juga kepada yang miskin, yang seharusnya lebih banyak diperhatikan. Jadilah lumbung kope?rasi di Tanggir suatu badan dagang murni yang telah dikuasai oleh pengurusnya secara mutlak. Pengurusnya sama sekali menutup mata, bahwa modal koperasi itu berasal dari para penduduk Tanggir, yang kaya dan yang melarat. Tentu, orang tidak percaya bahwa biaya pelantikan Kepa?la Desa Tanggir beberapa tahun yang lalu berasal dari uang milik koperasi yang diselewengkan...”

“Stop. Berhenti dulu, Bambang,” sela Pak Camat.

“Tinggal sedikit lagi, Ayah, kita teruskan dulu.

Memang tidak gampang menemukan seorang lurah yang bersih. Sulit juga mencari seorang lu?rah yang mampu mengimbangi gagasan-gagasan pembaruan yang dicanangkan oleh orang-orang pandai di pusat. Lurah Tanggir bukan hanya tidak bersih dan tidak mampu, malah keadaan dirinya menjadi penghalang bagi terlaksananya gagasan-gagasan pembaruan dan pembangunan.

Pembangunan SD baru di Tanggir misalnya, dapat kita pakai sebagai alat peneliti siapa dan bagaimana penguasa di desa itu. Biaya pemba?ngunan sebesar 4,35 juta, ditulis pada papan besar di halaman. Tetapi orang yang tidak terlalu pintar bisa mengatakan bahwa nilai bangunan itu tidak akan lebih dari dua juta. Orang yang tidak terlalu pintar juga dapat memaklumi mengapa Lurah Tanggir begitu royal dengan bekas istri mudanya...”



Episode 33
Di Kaki Bukit Cibalak


“Nah, itulah tulisan yang berisi iktikad buruk dan fitnah!”

“Wah, Ayah. Seorang terpelajar seperti Pambudi pasti tahu bahwa memfitnah seseorang dapat di?pidana. Tentu Ayah pernah mendengar, ada kabar busuk yang pernah tersebar di Tanggir: Pambudi menggelapkan uang koperasi sebanyak 125.000 ru?piah. Dapat kita tebak siapa yang membuat berita itu. Sekarang Pambudi sedang melancarkan se?rangan balasan. Kalau anak itu berbuat demikian, berarti ia sedang mengajak lurahnya berhadap-hadapan di depan pengadilan. Ayah, pertarungan akan menarik, namun Ayah akan terbawa-bawa. Bukan mustahil kalau Gubernur atau orang pusat sekalipun telah membaca tulisan Pambudi ini. Se?andainya mereka turun tangan mendahului tindak?an Ayah, bagaimana? Sekali lagi Ayah akan dicap teledor. Salah-salah Ayah akan didakwa menutup-nutupi kecurangan seorang bawahan.”

Pak Camat termenung, padahal hatinya terkejut. Lama sekali ia berdiam diri. Apa yang diucapkan oleh Bambang Sumbodo, memang benar. Sejak semula ia hendak mengatakan bahwa pendapat anaknya itu tidak salah. “Namun entah mengapa aku ingin menghindar dari kenyataan itu,” kata Pak Camat dalam hati. “Oh, ya, rupanya aku su?dah terbiasa dengan nilai yang mengutamakan ke?lenturan sikap, pragmatis. Akhirnya aku juga ter?biasa membungkam hati nuraniku sendiri.”

Keesokan hari Pak Camat menghadap Bupati. Ternyata atasannya sudah siap menerima laporan dari Camat Kalijambe itu. Sudah dua hari Bupati mengikuti tulisan Pambudi yang memfokuskan ke?adaan daerah yang termasuk wilayah kekuasaannya.

“Jangan sampai terjadi lagi aku ditegur Gubernur. Kita harus segera bertindak!” kata Bupati.

“Bapak menyuruh saya membantah tulisan Pam?budi?”

“Tentu. Kumpulkan data yang resmi. Suruh se?orang yang pandai menyusun suatu pernyataan bantahan, tetapi awas. Ambillah sikap yang tepat sehingga tidak tampak kita membela Lurah Tang?gir. Jadi hati-hati dalam menyusun redaksi pemyataan itu. Kemudian gantilah Lurah Tanggir!”

Pak Camat kaget. Ia tidak mampu mengikuti logika atasannya. Tulisan Pambudi yang menyerang Lurah Tanggir harus dibantah, tetapi kemudian lurah itu harus diganti. Lama sekali Camat Kalijambe itu berpikir. Lalu ia menemukan pengertian jalan pikiran Bupati. Tulisan Pambudi harus dibantah demi kehormatan otoritas Pemerintah Daerah, yang tidak mungkin didikte oleh seorang wartawan harian kecil seperti Kalawarta. Pemecatan Lurah Tanggir juga perlu, sebab lama-lama ia berbahaya juga bagi nama baik Bupati dan segenap bawahannya.

“Ingat, dalam memberhentikan Lurah Tanggir, jangan sampai terkesan bahwa kita sedang menuruti kehendak Pambudi. Kita mempunyai wewenang dan martabat sendiri. Kita tidak usah diajari oleh orang luar. Harap diperhatikan!”

Bupati mengakhiri pertemuan singkat itu. Camat Kalijambe pulang. Sekarang agak bening hatinya. Namun ia harus mencari cara yang sebaik-baiknya untuk mencabut beslit Lurah Tanggir. Sehari penuh, sepulangnya dari Kabupaten, Camat Kalijambe duduk memikirkan bagaimana caranya agar ia mendapat alasan untuk memecat Pak Dirga. Bambang Sumbodo ikut membantu ayahnya.

“Kuakui masalahnya ruwet, seperti masalah Mbok Ralem dulu. Aku terpojok lagi,” kata Pak Camat.

“Ayah, saya mempunyai usul.”

“Bagaimana?”

“Panggil polisi. Laporkan semua tindakan Lurah Tanggir.”

“Ooo, bocah bagus, apa kaukira polisi belum tahu siapa Lurah Tanggir itu?”

“Pokoknya Ayah harus mengambil tindakan menurut hukum, apa lagi?”

“Bukan main! Anakku, kau mau mengatakan bahwa hukum harus ditegakkan meskipun langit jatuh, begitu? Dengarlah, mantri polisi yang masih bau kencur! Urusan hukum itu kan hanya salah satu segi dalam kehidupan kita ini. Seorang pejabat tua seperti Ayah ini harus arif bila hendak menerapkan hukum terhadap suatu masalah. Masih banyak segi lain yang patut kita pertimbangkan sebelum kita memutuskan hendak menempuh jalan hukum. Misalnya Lurah Tanggir kita ajukan ke depan hakim, kemudian ia membela diri, ‘Mengapa lurah itu, lurah sana, lurah anu tidak diperlakukan sama?’ Anakku, Bambang! Bayangkanlah seandainya pengadilan hanya sibuk mengurus perkara para lurah!”

“Dan Lurah Tanggir masih bersaudara dengan Sekda Kabupaten?”

“Itu lagi.”

“Persis! Ayahku telah menjadi veteran tua,” kata Bambang dalam hati.

“Sabarlah, akan kutempuh jalan kebijaksanaan. Sekali lagi kebijaksanaan.”

“Maaf, Ayah, yang namanya kebijaksanaan selalu muncul dari kewenangan. Patokannya sangat subjektif dan baur. Kebijaksanaan tidak akan menyelesaikan masalah itu dengan tuntas. Ia hanya akan menggeser masalah itu ke samping, bukan menyelesaikannya sama sekali.”

Sekali lagi Pak Camat bukan tidak percaya pada pendapat anaknya. Tetapi ia tidak mungkin me?nempuh cara yang diusulkan anaknya. Mengapa demikian, jawabannya akan segudang banyaknya.

Pokoknya, untuk membereskan masalah Lurah Tanggir, Pak Camat akhirnya menemukan sebuah cara: Diam-diam ia menyuruh seseorang menye?lenggarakan meja judi. Dapat dipastikan Pak Dirga akan muncul di arena judi itu. Apalagi dengan bisik-bisik diberitakan, bahwa beberapa perempuan cantik akan melayani meja judi itu. Pada malam kedua Pak Dirga masuk perangkap. Seorang jaksa menangkap basah Lurah Tanggir itu sedang me?ngocok kartu. Memang, siapa pun tahu, bukan baru sekali itu Pak Dirga bermain judi. Ia pejudi. Tetapi hal itu tidak penting. Yang jelas, sekarang ada alasan resmi untuk menjemur Pak Dirga di halaman kantor polisi. Langkah pertama yang telah ditempuh Pak Camat telah berhasil menjatuhkan Lurah Tanggir. Pendapat umum atas tindakan se?lanjutnya telah diarahkan dengan sempurna. Se?sudah dijemur di halaman kantor polisi itu, beslit Pak Dirga dicabut. Gampang, sangat gampang. Diharapkan semua orang akan berkata, “Lurah Tanggir dipecat gara-gara ia bermain judi.” Bukan dengan alasan lain, apa pun bunyinya.

Demikian, ternyata pemecatan Lurah Tanggir itu berbuntut pendek saja. Suatu ketika Pak Camat mendapat pujian Bupati karena prestasi ini.

Episode 34
Di Kaki Bukit Cibalak


Amat banyak yang dialami Pambudi selama ting?gal di Yogya tiga tahun terakhir ini. Tahun per?tama, setelah meninggalkan toko arloji itu ia be?kerja pada harian Kalawarta. Pak Barkah mem?bimbingnya sehingga anak Tanggir itu bisa men?jadi seorang jurnalis tanpa pendidikan formal. Ma?sih dalam tahun pertama, Pambudi masuk ke fa?kultas teknik. Sungguh, tanpa kemauan yang keras ia tidak akan mungkin menjadi mahasiswa yang pintar sebab ia kuliah sambil bekerja untuk Kala?warta. Juga tidak bisa diabaikan sikap Pak Barkah yang tidak hanya menganggap Pambudi sebagai pegawainya. Orang tua itu dengan sungguh-sungguh mengarahkan perkembangan Pambudi. Di samping Pambudi memang menjadi tenaga penting dalam harian Kalawarta, Pak Barkah masih mempunyai alasan moral untuk membina anak Tanggir itu lebih lanjut.

Tahun kedua, Pambudi mendapat pukulan batin yang keras. Sanis, yang sedang dinanti kematang?annya, diambil oleh Pak Dirga. Pambudi tidak malu mengakui bahwa hatinya terguncang. Sakitnya kehilangan seorang kekasih, sakitnya menghadapi kenyataan bahwa dirinya tidak cukup berharga di mata anak Pak Modin itu. Lebih sakit daripada menerima dakwaan melarikan uang milik koperasi Desa Tanggir. Untung, ia berangsur-angsur dapat melupakan kesusahannya dengan bersikap terbuka. Pambudi waktu itu menceritakan dengan terus terang kepada Pak Barkah apa yang baru saja dialaminya. Senyum Pak Barkah, petuah-petuahnya, mampu meyakinkan Pambudi, bahwa bagi seorang laki-laki cinta bukanlah segalanya. Bagaimana Pambudi bisa meyakini kata-kata atasannya, terbukti ketika beberapa bulan kemudian Sanis sudah menjadi janda, Pambudi tidak lagi berminat padanya.

Pambudi naik ke tingkat dua pada fakultas teknik itu. Kejenuhannya sedikit berkurang ketika ternyata Mulyani menyusulnya menjadi mahasiswa pada fakultas yang sama. Mahasiswi yang baru saja dipelonco itu mengetahui keadaan Pambudi, yang baru saja kehilangan Sanis. Dari mana Mulyani tahu soal itu, hanya dialah yang bisa menerangkan. Yang jelas ia selalu berusaha agar Pambudi tidak terus-terusan murung. Mereka sering makan bakso bersama, nonton bersama. Dan yang paling sering mereka duduk-duduk di perpustakaan fakultas sambil menghadapi lembaran teka-teki silang dan keripik usus ayam.

Menjelang ujian kenaikan tingkat, Mulyani makin menyandarkan diri pada Pambudi. Malam-malam ia sering datang menyusul ke kantor Redaksi Kalawarta. Pambudi memang sering tidak pulang, belajar, bahkan tidur di tempat itu. Mulyani tidak peduli pada mamanya yang nyinyir. Paling-paling Mulyani hanya akan menelepon dari tempat Pambudi dan mengatakan kepada mamanya di mana ia saat itu berada. Pak Barkah percaya, kedua orang muda itu sudah dewasa, sehingga ia tidak pernah berkata apa pun selama mereka tahu membawa diri dan tidak mengurangi kelancaran kerja Kalawarta.

Mulyani berhasil naik ke tingkat dua, Pambudi ke tingkat tiga. Ada jam tangan baru di tangan kiri Pambudi. Ada baju baru melekat di badannya. Hanya mereka berdua yang tahu bahwa barang-barang itu pemberian Mulyani.

Tahun ketiga, Pambudi lulus ujian sarjana muda. Ia merasa senang dan bersyukur. Tetapi ia diam saja ketika Mulyani menciumnya. Pambudi bersiap-siap hendak menengok orangtuanya di Tanggir sambil menyampaikan kabar bahwa ia sudah lulus ujian. Ia baru akan berangkat tiga hati lagi karena akan menyelesaikan sebuah artikel yang sudah telanjur ditulisnya. Namun sebuah interlokal datang dari Tanggir. Ayahnya meninggal dengan mendadak karena terjatuh di dekat sumur. Keberangkatan Pambudi ke Tanggir dipercepat saat itu juga. Ia hanya sempat berpamitan kepada Pak Barkah.

Sampai di rumah, kakak perempuan dan ibunya menyambutnya dengan tangis. Tetapi Pambudi tetap tenang. Ia sangat yakin bahwa kematian adalah sekadar proses alami yang langsung dikendalikan oleh Tuhan dari arasy. Pemuda itu segera pergi ke sumur lalu bersembahyang di samping jenazah ayahnya. Kalau Pambudi meneteskan air mata bu?kanlah pertanda ia bersedih. Ia kecewa karena sebenarnya ia ingin memperlihatkan ijazah yang baru diraih kepada ayahnya. Hanya terlambat beberapa jam.

Banyak orang hadir melayat kematian itu. Lurah yang baru tidak ketinggalan. Pengganti Pak Dirga masih sangat muda, belum beristri, Hadi namanya. Pemuda itu berijazah STM. Menurut pandangan sekilas Hadi akan mampu membawa perbaikan-perbaikan di Tanggir. Ia juga sadar apa dan bagai?mana pemuda Tanggir yang bernama Pambudi itu. Maka pada waktu datang melayat kematian ayah Pambudi, lurah baru itu berlaku hormat terhadap tuan rumah. Seolah-olah dengan sikapnya itu ia hendak menyatakan, “Aku berjanji akan bekerja lebih baik, lebih jujur daripada Pak Dirga!”

Sanis juga datang, naik Vespa. Ia makin cantik saja meskipun telah menjanda. Pambudi tahu, Sa?nis ingin berkata banyak, tetapi ia hanya melayani?nya dengan sederhana. Bukan waktunya berbicara yang bukan-bukan selagi jenazah ayahnya terbujur menunggu saat penguburan. Lagi pula Pambudi tidak ingin kenangan lamanya tergelitik dan bang?kit kembali.

Bambang Sumbodo datang tepat pada saat ke?randa diangkat. Pambudi tidak dapat menyantuninya dengan baik, karena ia ikut memanggul je?nazah ayahnya. Syukurlah, Bambang serta Hadi ikut mengantarkan jenazah sampai ke Pekuburan Ampeljajar, di sebelah utara Bukit Cibalak.

Pulang dari pekuburan, tiga orang muda itu berjalan bersama-sama: Bambang Sumbodo, Hadi, dan Pambudi. Mereka sangat akrab bukan karena rasa simpati saja. Baik Bambang Sumbodo, mau?pun Hadi, sudah lama ingin berhadapan muka dengan Pambudi, anak muda Tanggir yang me?miliki kepribadian amat menonjol. Karena rasa akrab itu Bambang lupa bahwa mereka baru saja menguburkan ayah Pambudi. Ia berseloroh.

“Pam, kulihat Sanis tadi di rumahmu. Mengapa kau tidak menahannya sekalian? Kukira mataku tidak salah, aku telah melihat seorang janda yang baru berusia tujuh belas dan sangat cantik.”

“Husy,” desis Pambudi.

Tetapi Bambang mendesak terus dengan gencar. “Alaaah, Pam, aku kan tahu, dulu kau meng?inginkannya. Apa salahnya, tidak kena perawan, jandanya pun jadi.”

“Tidak adil kalau kita tidak menawarkannya ke?pada Hadi, lurah kita yang baru dan masih bu?jangan ini. Seorang janda lurah akan turun derajat?nya bila kemudian dikawim oleh laki-laki yang berpangkat lebih rendah. Ayo, siapa yang berani mendebat pendapatku ini?”



Episode 35
Di Kaki Bukit Cibalak


Sesungguhnya Pambudi hanya berseloroh. Na?mun tak urung Hadi menjadi merah mukanya, karena secara kebetulan perasaan hatinya tertebak. Maka lurah muda itu tidak bisa berbuat lain kecuali celala-celili dengan senyum kecut. Dalam hati Hadi bersorak. Seandainya benar, Pambudi tidak lagi tertarik pada Sanis...

***

Sudah delapan hari Pambudi berada di Tanggir. Sebenarnya ia harus sudah berada di Yogya kem?bali, mengingat Pak Barkah akan terlalu repot bila ditinggalkannya terlalu lama. Namun Pambudi be?lum selesai membereskan segala urusan akibat ke?matian ayahnya. Ibu Pambudi kini tinggal seorang diri dan Pambudi belum memmuskan bagaimana selanjutnya. Kemungkinan yang sudah dipikirkan?nya adalah mendatangkan kakak perempuannya agar tinggal bersama orang tua itu. Dan untuk ini Pambudi belum berbicara dengan yang bersang?kutan. Tetapi Pambudi percaya, kakaknya tidak akan berkeberatan, apalagi bila ia juga diserahi peternakan ayamnya.

Pambudi sedang memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu ketika seorang tamu datang ber?mobil. Menurut penglihatan Pambudi, tamunya tampak bertambah langsing. Bentuk mata Mulyani berubah, ada garis lipatan kecil di atas bulu mata?nya. Seperti bukan mata Mandarin. Lengkung ra?hang gadis itu bertambah lonjong.

“Hanya seorang diri, Mul?” tanya Pambudi setelah mereka duduk berhadap-hadapan.

“Berdua dengan Pak Sopir.”

“Wah, sayang kau datang mendadak. Sebetulnya di samping rumah ini ada pohon manggis, buah?nya masak-masak.”

“Soal itu nanti saja. Terimalah dulu rasa simpatiku atas kematian ayahmu. Aku mendengar hal ini kemarin dari Pak Barkah, ketika aku men?carimu ke sana.”

“Oh, ya, terima kasih, Mul.”

“Kemudian...” Mulyani tidak meneruskan kata-katanya. Dipandangnya wajah Pambudi namun ha?nya sesaat. Yang dipandang menjadi bertanya-ta?nya dalam hati.

“Teruskan, Mul.”

Tetapi Mulyani diam saja. Pambudi teringat ke?tika ia masih bekerja pada mama gadis ini. Mul?yani seorang perajuk.

“Tetapi kau masih berkabung. Bagaimana, Pam?”

“Tak mengapa, katakanlah. Aku telah dapat me?nerima kematian ayahku dengan ikhlas. Sekarang aku tidak berkabung lagi.”

“Liburan masih lima hari lagi, bukan?”

“Benar.”

“Apa rencanamu?”

“Wah, sungguh aku tidak mempunyai rencana apa-apa. Paling-paling aku akan segera kembali ke Yogya, sebab Pak Barkah pasti sudah menunggu?ku. Oh, maafkan sebentar, aku hendak menyuruh anak-anak memetik manggis.”

Mulyani hendak menahan Pambudi agar tetap duduk. Ia merasa belum puas karena belum sem?pat menyampaikan hal yang amat penting baginya. Tetapi terlambat, Pambudi sudah bangkit dan ma?suk ke dalam. Ketika keluar lagi beberapa menit kemudian Pambudi langsung membidik Mulyani dengan tustelnya. Gadis itu kaget oleh sinar lampu blitz.

“Tidak lucu, Pam, sungguh.”

“Memang aku tidak bermaksud membanyol.”

“Bagaimana kalau aku marah?”

“Baru sekali im kudengar seorang yang hendak marah pakai permisi dulu.”

“Tengik kau!”

“Lho, aku sudah mandi dengan sabun yang mengandung parfum Cleopatra. Jangan percaya pada kata-kata tukang iklan sebelum kau menciumnya sendiri.”

Mulyani mencari sesuatu untuk dilemparkan kepada Pambudi. Sehelai saputangan putih melayang ke wajah pemuda itu. Tidak puas, Mulyani hendak menampar pipi Pambudi, tetapi tangannya tertang?kap. Seorang anak kecil melihat adegan ini dan termangu. Ia menjatuhkan keranjang yang berisi buah manggis kemudian berlari cepat-cepat.

“Maaf, Mul. Aku memang keterlaluan. Tetapi cuma olok-olok.”

“Aku marah betul, lho, Pam, aku marah.”

“Ya, maka aku minta maaf.”

“Kaukira segampang itu meminta maaf padaku? Ada syaratnya!”

“Akan kupenuhi apa pun yang kausyaratkan, asal kaumaafkan aku.”

“Betul? Aku khawatir kau akan menolak syarat yang kuminta. Begini, Pam, sebaiknya kita jangan meneruskan pembicaraan ini di sini. Kita pergi ke Bandung. Kalau kau mau menggantikan Pak Sopir, olok-olokmu akan kumaafkan. Hayo, bagaimana?”

“Wah, tawaran ini sangat mendadak. Tetapi tak pantas kutolak. Masalahnya hari sudah terlalu si?ang, Mul, pulangnya malam?”

“Tak usah khawatir, mobilku berlampu, masih baru pula.”

“Ya, aku tahu. Barangkali aku akan menolak ajakanmu bila kau membawa mobil tua.”

“Dasar laki-laki! Pam, kau pasti tak merasa bahwa kata-katamu tadi sangat menyakitkan hati?ku. Kau hanya berminat karena mobitku baru. Seandainya kau tahu bahwa mobil itu hanya ber?harga 50 juta...”

“Maaf, Tuan Putri. Mobil itu hanya berharga 50 juta. Tapi pemiliknya, tak ternilai harganya.”

Kedua pipi Mulyani memerah. Tiba-tiba jan?tungnya terpacu. Dengan gerakan yang kikuk ia membuka dompet dan menarik lima ribuan. Mul?yani kemudian keluar, memberikan uang itu ke?pada Pak Sopir. Laki-laki itu disuruhnya pulang ke Yogya, naik bus.

Pambudi bersiap-siap. Selama ia di kamar, ibu?nya menemani Mulyani di depan. Tetapi perem?puan itu hanya menjadi pendengar. Barangkali ia malu karena logat Tanggir amat jauh berbeda de?ngan logat Yogya. Hanya dalam hati ibu Pambudi bertanya, mengapa anaknya tampak sangat akrab dengan gadis yang kuning dan tampaknya anak orang kaya.

***

Episode 36
Di Kaki Bukit Cibalak


Dalam perjalanan ke Bandung, Mulyani menjadi pendiam. Hanya sekali-sekali ia melirik Pambudi yang duduk di belakang kemudi. Atau ia meng?arahkan pandangannya ke luar jendela. Pambudi menghidupkan kaset, tetapi Mulyani mematikannya segera.

“Wah, aku jadi rikuh. Kau murung saja, Mul?”

“Benar?” tanya Mulyani tanpa menoleh.

“Sungguh, aku bingung. Aku tak mengerti!”

“Mengapa, Pam?”

“Aku yang harus bertanya, mengapa kau mu?rung begitu.”

“Pambudi, kau sungguh aneh. Kau sudah jadi sarjana. Apakah kau lupa bahwa pembicaraan kita di rumahmu tadi belum selesai?”

“Oh, ya...”

“Dengarlah, Pambudi. Sudah kukatakan, selain hendak menyampaikan rasa simpati atas kematian ayahmu, aku membawa masalah lain.”

“Baiklah, sekarang katakan!”

Mulyani menunduk. Tangannya bermain-main dengan sebuah manggis yang dibawa Pambudi dari rumah.

Ini dia! Pambudi hafal benar, bila Mulyani su?dah bersikap demikian, pasti ada sesuatu yang dituntutnya.

“Mul, bagaimana aku dapat mengetahui masalah yang kaumaksud, bila kau sendiri tidak mengatakannya?”

“Benci, benciiii! Sejak pertama kali berbicara padamu empat tahun yang lalu aku sudah benci padamu. Kau tidak menghargai perasaan! Segala?nya kauatasi dengan otakmu! Oh, maafkan aku, Mas Pam, aku telah berbicara kasar. Sekarang hentikan dulu mobil ini.”

Pambudi patuh, menepikan mobil itu kemudian mematikan motornya. Di depan mereka ada tebing melandai yang berakhir pada sebuah sungai kecil. Di kiri-kanan mereka hutan karet. Dalam kesibukannya memarkir mobil, Pambudi merasa ada keanehan. Mulyani memanggilnya dengan sebutan “Mas”. Tak pernah Mulyani berbuat demikian sebelumnya.

“Sungguh, Mas Pam, mestinya kau yang me?ngemukakan masalah yang akan kukatakan berikut ini. Bukan aku. Tetapi karena kau selalu begitu-begitu saja, aku telah melanggar naluriku sendiri sebagai seorang perempuan. Mas Pam, kita harus berbicara sekarang, kita harus berbicara...”

Pambudi menoleh ke samping. Sepasang mata menatapnya. Indra yang sedang tampil mewakili perasaan jiwa yang paling jujur. Hanya beberapa detik sepasang mata Mulyani memancarkan getaran-getaran lembut, pulsa nuraniah yang lang?sung ditangkap oleh jiwa Pambudi. Waktu yang sesingkat itu rupanya telah mengisap habis tenaga Mulyani. Napasnya terengah-engah, menangis, kemudian Mulyani bersandar pada pundak Pambudi.

“Mul,” bisik Pambudi.

“Ya, Mas Pam.”

“Terpaksa aku menerima dakwaanmu sebagai orang yang kelewat egois. Semula aku adalah pe?gawaimu, lalu meningkat menjadi sahabatmu. Yang terakhir aku menjadi kakak kelasmu di fa?kultas. Ketiga peran itu telah kutunaikan dengan baik, bukan? Sampai di titik ini, masihkah ada sesuatu yang dapat kuberikan padamu?”

“Kau bersungguh-sungguh dengan pertanyaan itu, Mas Pam?”

“Tentu!”

“Tak seorang pun mengatakan bahwa kau se?orang pemuda dungu, aku pun tidak mengatakan demikian. Benarkah kau tidak tahu apa yang ingin kudengar darimu?”

“Maksudku, aku ingin mendengar sendiri kau mengatakannya. Jangan kausuruh aku menebak-nebak.”

“Sungguh, Mas Pam, kau laki-laki yang tidak berperasaan.”

Kini Mulyani bukan hanya bersandar kepada Pambudi. Ia memeluk pemuda itu erat-erat. Ta?ngisnya berderai lagi. Dalam hati Pambudi ber?kecamuk peperangan berbagai perasaan. Masing-masing perasaan menuntut Pambudi, mendesak agar dituruti. Ketika segalanya mengendap, Pam?budi dapat berpikir tenang. Kesadaran muncul. Ia tahu siapa dirinya, suatu pengetahuan yang datang bersama kejujuran. Pambudi bercakap-cakap de?ngan dirinya sendiri.

“Aku seorang pemuda biasa yang berumur 27 tahun. Tak ada yang kurang pada diriku, utuh dan sehat. Apa yang dirasakan oleh Mulyani, aku pun merasakannya pula. Rasa cinta tidak mati, meskipun aku telah dikhianatinya. Apa salahnya kalau kuakui bahwa Mulyani segar dan lembut. Apa salahnya kalau aku berkata bahwa sudah lama aku tertarik padanya. Tetapi yang kutampilkan adalah sikap kemunafikan. Tak ada rasa rendah diri padaku terhadap Mulyani karena ia sangat kaya. Tidak ada juga rasa angkuh. Yang ada hanyalah suara akal sehat. Dengan sungguh-sungguh aku berusaha supaya aku tidak jatuh cinta kepada Mulyani, karena tentang cinta aku berpendirian sangat kolot: Rasa cinta hanya tersedia buat bekal perkawinan. Nah, aku hendak mengawini Mulyani? Oh, seribu perbedaan yang harus kusingkirkan sebelum aku memutuskan berbuat demikian. Cinta tidak akan lestari bila berjalan terlalu jauh dari kenyataan. Itulah sebabnya aku mendorong Kho Liong Bun supaya cepat menggandeng Mulyani ketika aku tahu jago bola basket di fakultasku itu tertarik kepada Mulyani. Sayang, Mul tidak melayaninya.”

“Mul, apakah kau tidak sadar ada pemisah di antara kita berdua? Bukankah kita berdua lahir dalam keadaan yang serba berbeda? Apakah...”

“Sudah! Aku benciii! Mas Pam, kau berbicara seperti anak ingusan. Aku sadar dan aku tahu dengan jelas, tak ada beda apa pun antara kau dan aku. Atau setidaknya kau telah mengatakan aku tampak pantas ketika aku berkain kebaya pada saat graduation day dulu. Bahkan kaulihat, mataku telah dioperasi. Kau tak tahu untuk siapa semua itu kulakukan, bukan? Karena pada dirimu tak ada yang namanya perasaan.”

Pambudi terpojok. Ia harus mengakui bahwa percuma saja terus-menerus bermunafik-munafikan. Maka diangkatnya wajah Mulyani. Mereka bertatapan. Hati dan jiwa keduanya bertatapan.

Angin berdesau menembus hutan karet di kiri-kanan mereka. Pambudi hendak menuntun Mulyani keluar dari mobil. Tetapi urung setelah mereka melihat dua orang anak sedang memandikan kerbau di kali kecil di hadapan mereka. Keduanya masuk kembali. Mesin dihidupkan, tetapi Mulyani berbisik, suaranya dalam dan pelan, “Mas Pam, kita tidak jadi ke Bandung. Mari, antarkan aku pulang ke Yogya.”

Mobil itu berbalik, kembali ke timur. Bukit Cibalak ada di samping kanan mereka. Cibalak diam, sabar menanti apa pun yang bakal terjadi pada dirinya. Tetapi seolah-olah Cibalak mengerti, seorang pencintanya sedang pergi meninggalkannya. Seandainya ia bisa bertutur kata, pastilah Cibalak akan berseru, “Karena Mulyani, apakah kau akan meninggalkan aku, Pambudi?” Seruannya tidak pernah terdengar orang. Dan Bukit Cibalak membisu abadi.

0 komentar: