Search

Selasa, 24 November 2009

Diposting oleh santri kuliah

Episode 1
Bekisar Merah
Dari balik tirai hujan sore hari pohon-pohon kelapa di seberang lembah itu seperti perawan mandi basah; segar, penuh gairah, dan daya hidup. Pelepah-pelepah yang kuyup adalah rambut basah yang tergerai dan jatuh di belahan punggung. Batang-batang yang ramping dan meliuk-liuk oleh embusan angin seperti tubuh semampai yang melenggang tenang dan penuh pesona. Ketika angin tiba-tiba bertiup lebih kencang pelepah-pelepah itu serempak terjulur sejajar satu arah, seperti tangan-tangan penari yang mengikuti irama hujan, seperti gadis-gadis tanggung berbanjar dan bergurau di bawah curah pancuran.
Pohon-pohon kelapa itu tumbuh di tanah lereng di antara pepohonan lain yang rapat dan rimbun. Kemiringan lereng membuat pemandangan seberang lembah itu seperti lukisan alam gaya klasik Bali yang terpapar di dinding langit. Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut, batang sengon yang lurus dan langsing menjadi garis-garis tegak berwarna putih dan kuat. Ada beberapa pohon aren dengan daun mudanya yang mulai mekar; kuning dan segar. Ada pucuk pohon jengkol yang berwarna coklat kemerahan, ada bunga bungur yang ungu berdekatan dengan pohon dadap dengan kembangnya yang benar-benar merah. Dan batang-batang jambe rowe, sejenis pinang dengan buahnya yang bulat dan lebih besar, memberi kesan purba pada lukisan yang terpajang di sana.
Dalam sapuan hujan panorama di seberang lembah itu terlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari barat. Lukisan besar di seberang lembah mendadak mendapat pencahayaan yang kuat dan menjadikannya lebih hidup. Warna-warninya muncul lebih terang, matra ketiganya makin jelas. Muncul pernik-pernik mutiara yang berasal dari pantulan sempurna cahaya matahari oleh dedaunan yang kuyup dan bergoyang. Dari balik bukit, di langit timur yang biru-kelabu, muncul lengkung pelangi. Alam menyelendangi anak-anak perawannya yang selesai mandi besar dengan kabut cahaya warna-warni.
Ketika dengan tiba-tiba pula matahari lenyap, suasana kembali samar. Apalagi hujan pun berubah deras menyusul ledakan guntur yang bergema di dinding-dinding lembah. Angin kembali bertiup kencang sehingga pohon-pohon kelapa itu seakan hendak rebah ke tanah. Ketika itulah dada Darsa terasa berdenyut. Darsa yang sejak lama memandangi pohon-pohon kelapanya di seberang lembah itu, hampir putus harapan. Bila hujan dan angin tak kunjung berhenti Darsa tak mungkin pergi menyadap pohon-pohon kelapanya. Sebagai penderes, penyadap nira kelapa, Darsa sudah biasa turun-naik belasan pohon dalam hujan untuk mengangkat pongkor yang sudah penuh nira dan memasang pongkor baru. Namun hujan kali ini disertai angin dan guntur. Penderes mana pun tak akan keluar rumah meski mereka sadar akan akibatnya; nira akan masam karena pongkor terlambat diangkat. Nira demikian tidak bisa diolah menjadi gula merah. Kalaupun bisa hasilnya adalah gula gemblung, yakni gula pasta yang harga jualnya sangat rendah. Padahal, sekali seorang penyadap gagal mengolah nira, maka terputuslah daur penghasilannya yang tak seberapa. Pada saat seperti itu yang bisa dimakan adalah apa yang bisa diutang dari warung.
Dari emper rumah bambunya Darsa kembali menatap ke timur, menatap pohon-pohon kelapanya yang masih diguyur hujan nun di seberang lembah. Darsa gelisah. Kesejatian seorang penyadap serasa tertantang. Bagi Darsa, bagi setiap lelaki penyadap, pohon-pohon kelapa adalah harapan dan tantangan, adalah teras kehidupan yang memberi semangat dan gairah hidup. Tetapi karena hujan dan angin yang belum juga mereda, Darsa tak berdaya mendekati pohon-pohon kelapa yang terasa terus melambaikan pelepah-pelepah ke arahnya.
Guntur kembali bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. Hati Darsa makin kecut. Mungkin sore ini Darsa harus merelakan niranya berubah menjadi cairan asam karena tidak terangkat pada waktunya. Darsa hampir putus asa. Tetapi pongkor, seruas bambu penadah nira yang bergantungan pada manggar-manggar kelapa, terus memanggil dan mengusik hatinya minta diangkat. Manakala hujan agik surut, harapannya muncul. Namun bila hujan kembali deras dan guntur meledak-ledak, harapan itu lenyap. Sementara suara beduk dari surau Eyang Mus sudah terdengar, sayup menyelinap ke hujan. Asar sudah lewat dan senja hampir tiba. Makin kecil saja kemungkinan Darsa bisa mengangkat niranya sore ini, karena belum juga tampak tanda-tanda cuaca akan berubah.
Sambil menjatuhkan pundak karena merasa hampir kehilangan harapan, Darsa membalikkan badan lalu masuk ke rumah. Berdiri di ruang tengah Darsa melihat Lasi, istrinya, sedang merentang kain basah pada tali isisan di emper sebelah barat. Lasi selesai mandi. Rambutnya basah tergerai, terjun ke belakang telinga kanan, melintir ke depan dan terjumbai di dada. Sekejap Darsa terbayang akan pohon-pohon kelapanya yang sedang disiram hujan. Dan karena Lisi berdiri membelakang, Darsa dapat melihat punggung istrinya yang terbuka. Juga tengkuknya. Ada daya tarik yang aneh pada kontras warna rambut yang pekat dengan kulit tengkuk Lasi yang putih, lebih putih dari tengkuk perempuan mana pun yang pernah dilihat oleh Darsa. Penyadap muda itu tak habis merasa beruntung punya istri dengan kulit sangat putih dan memberi keindahan khas terutama pada bagian yang berbatasan dengan rambut seperti tengkuk dan pipi. Apalagi bila Lasi tertawa. Ada lekuk yang sangat bagus di pipi kirinya.
Di mata Darsa, pesona dan gairah hidup yang baru beberapa detik lalu direkamnya dari pohon-pohon kelapa di seberang lembah, kini berpindah sempurna ke tubuh Lasi. Sama seperti pohon-pohon kelapa yang selalu menantang untuk disadap, pada diri Lasi ada janji dan gairah yang sangat menggoda. Pada Lasi terasa ada wadah pengejawantahan diri sebagai lelaki dan penyadap. Pada diri istrinya juga Darsa merasa ada lembaga tempat kesetiaan dipercayakan. Dan lebih dari pohon-pohon kelapa yang tak putus meneteskan nira, Lasi yang sudah tiga tahun menjadi istrinya, meski belum memberinya keturunan, adalah harga dan cita-cita hidup Darsa sendiri.
Lasi selesai mengisis kain basahan. Ketika hendak masuk ke dalam matanya bersitatap dengan suaminya. Entah mengapa Lasi terkejut meski ia tidak merasa asing dengan cara Darsa menatap dirinya. Ia pun kadang-kadang mencuri pandang, memperhatikan tubuh suaminya dari belakang; sebentuk tubuh muda dengan perototan yang kuat dan seimbang, khas tubuh seorang penyadap yang tiap hari dua kali naik-turun belasan atau bahkan puluhan pohon kelapa. Dalam gerakan naik-turun pada tatar-tatar batang kelapa, seluruh perototan seorang penyadap digiatkan, terutama otot-otot tungkai, tangan, dan punggung. Hasilnya adalah sebentuk tubuh ramping dengan otot liat dan seimbang. Bila harus dicatat kekurangan pada bentuk tubuh seorang penyadap, itu adalah pundaknya yang agak melengkung ke depan karena ia harus selalu memeluk batang kelapa ketika memanjat maupun turun.
Lasi dan Darsa sama-sama tersenyum. Di luar, hujan masih deras. Rumah bambu yang kecil itu terasa sepi dan dingin. Hanya terdengar suara hujan dan tiupan angin pada rumpun bambu di belakang rumah kecil itu. Atau suara induk ayam dan anak-anaknya di emper belakang. Dari satu-satunya rumah yang dekat pun, rumah orangtua Lasi, tak terdengar kegiatan apa-apa. Lasi dan Darsa kembali berpandangan dan kembali sama-sama tersenyum.
“Las, apa aku harus tidak berangkat?”
“Kan masih hujan.”
“Bagaimana bila aku berangkat juga?”
“Terserah, Kang. Tetapi kurang pantas, dalam cuaca seperti ini kamu bekerja juga.”
“Berasmu masih ada?”
“Masih, Kang. Uang juga masih ada sedikit. Kita besok masih bisa makan andaikata nira sore ini terpaksa tidak diolah.”
“Tapi sayang sekali bila pongkor-pongkor dibiarkan tetap bergantungan dan niranya masam. Manggar bisa busuk.”
“Ya. Soalnya, hujan masih lebat, Kang.”
“Hujan masih lebat ya, Las?”
“Ya...”
Lasi tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba suasana berubah. Darsa memandang Lasi dengan mata berkilat. Keduanya beradu senyum lagi. Darsa selalu berdebar bila menatap bola mata istrinya yang hitam pekat. Seperti kulitnya, mata Lasi juga khas; berkelopak tebal, tanpa garis lipatan. Orang sekampung mengatakan mata Lasi kaput. Alisnya kuat dan agak naik pada kedua ujungnya. Seperti Cina. Mungkin Darsa ingin berkata sesuatu. Tetapi Lasi yang merasa dingin masuk ke bilik tidur hendak mengambil kebaya. Dan Darsa mengikutinya, lalu mengunci pintu dari dalam. Keduanya tak keluar lagi. Ada seekor katak jantan menyusup ke sela dinding bambu, keluar melompat-lompat menempuh hujan dan bergabung dengan betina di kubangan yang menggenang. Pasangan-pasangan kodok bertunggangan dan kawin dalam air sambil terus mengeluarkan suaranya yang serak dan berat. Induk ayam di emper belakang merangkul semua anaknya ke balik sayap-sayapnya yang hangat. Udara memang sangat dingin.
Episode 2
Bekisar Merah
Darsa hampir terlelap di samping istrinya ketika suasana di luar tiba-tiba berubah. Hujan benar-benar berhenti, bahkan matahari yang kemerahan muncul dari balik awan hitam. Semangat penyadap sejati membangunkan Darsa. Ia segera bangkit dan keluar dari bilik tidur. Lasi pun mengerti, suaminya terpanggil oleh pekerjaannya, oleh semangat hidupnya. Penderes mana saja akan segera pergi mengangkat pongkor pada kesempatan pertama. Sementara Darsa pergi ke sumur untuk mengguyur seluruh tubuhnya, Lasi menyiapkan perkakas suaminya; arit penyadap, pongkor-pongkor dan pikulannya, serta caping bambu. Kemudian Lasi pun menyusul ke sumur, juga untuk mengguyur seluruh tubuhnya. Lasi mandi besar lagi meski rambutnya belum sempat kering.
Tanpa kata sepatah pun Lasi melepas Darsa berangkat. Terdengar kelentang-kelentung suara tabung-tabung bambu saling beradu ketika sepikul pongkor naik ke pundak Darsa. Seorang penyadap muda melangkahkan kakinya yang ramping dan kuat di atas tanah basah yang di sana-sini masih tergenang air hujan. Darsa terus melangkah menuju tanah lereng di seberang lembah. Sisa air hujan menetes dari dedaunan, beberapa tetes jatuh menimpa caping bambu yang menutup kepalanya. Gemercik air dalam parit yang tertutup berbagai jenis pakis-pakisan yang basah dan hijau segar. Darsa melintas titian dua batang bambu. Ketika tepat berada di tengahnya ia melihat setangkai pelepah pinang kuning tiba-tiba runduk lalu lepas dari batang dan melayang jatuh ke tanah. Pelepah itu terpuruk menimpa rumpun nanas liar. Di atas sana pelepah pinang itu meninggalkan mayang putih bersih dan masih setengah terbungkus selubung kelopak. Darsa merasa seakan baru melihat sebuah kematian setangkai pelepah pinang datang hampir bersamaan dengan kelahiran sejumbai mayang.
Lepas dari titian bambu Darsa menelusur jalan setapak yang naik bertatar yang dipahat pada lereng cadas. Turun lagi, melintas titian kedua, dan di hadapan Darsa terhampar sawah yang menjadi dasar lembah. Di ujung lembah adalah tanah lereng. Di sanalah pekarangan Darsa dan di sana pula pohon-pohon kelapanya tumbuh.
Darsa menurunkan pikulan dari pundaknya, mengambil dua pongkor. Sisa air hujan masih meluncur sepanjang batang kelapa yang hendak dipanjatnya. Sambil naik ke tatar pertama, Darsa mengikatkan ujung tali kedua pongkor pada kait logam yang terdapat pada sabuk bagian punggung. Maka ketika memanjat tatar demi tatar kedua pongkor itu seperti ekor yang berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Arit penyadap terselip di pinggang. Tetes air berjatuhan ketika pohon kelapa bergoyang oleh gerakan tubuh Darsa yang mulai naik. Darsa terus memanjat dengan semangat yang hanya ada pada seorang penyadap.
Selalu eling dan nyebut, adalah peringatan yang tak bosan disampaikan kepada para penyadap selagi mereka bekerja di ketinggian pohon kelapa. Darsa pun tak pernah melupakan azimat ini. Seperti semua penyadap, Darsa tahu apa akibat kelalaian yang dilakukan dalam pekerjaannya. Terjatuh dari ketinggian pohon kelapa adalah derita yang sangat niscaya dan dalam musibah demikian hanya sedikit penyadap yang bisa bertahan hidup. Maka Darsa tahu bahwa ia harus tetap berada dalam kesadaran tinggi tentang di mana ia sedang berada dan apa yang sedang dilakukannya serta keadaan apa yang berada di sekelilingnya. Ia harus eling. Untuk mengundang dan menjaga taraf kesadaran seperti itu diajarkan turun-temurun kepada para penyadap: nyebut, ucapkan dengan lidah dan hati bahwa pekerjaanmu dilakukan atas nama Yang Mahaselamat.
Tetapi ketika duduk ngangkang di atas pelepah sambil mengiris manggar kesadaran Darsa tidak terpusat penuh pada pekerjaan yang sedang dilakukannya. Saat itu Darsa merasa sangat sulit melupakan keberuntungan yang baru dikenyamnya beberapa saat lalu di rumah. Anehnya, sulit juga bagi Darsa meyakinkan diri bahwa sumber keberuntungan itu, Lasi, adalah istrinya yang tak kurang suatu apa. Bukan karena Darsa tidak percaya akan keabsahan perkawinannya. Bukan pula karena Darsa meragukan ketulusan Lasi. Keraguan Darsa datang karena banyak celoteh mengatakan bahwa Lasi yang berkulit putih dengan mata dan lekuk pipi yang khas itu sesungguhnya lebih pantas menjadi istri lurah daripada menjadi istri seorang penyadap. Darsa juga pernah mendengar selentingan yang mengatakan bahwa rumah bambunya yang kecil adalah kandang bobrok yang tak layak ditempati seorang perempuan secantik Lasi. Lalu, Darsa sendiri sering melihat bagaimana mata para lelaki tiba-tiba menyala bila mereka memandang Lasi.
Turun dari pohon kclapa pertama, kedua pongkor yang bergdantungan pada sabuk Darsa sudah bertukar. Kini kedua tabung bambu itu berisi nira. Sebelum sampai ke tatar terendah, Darsa mencabut tali pongkor dari kaitnya lalu meletakkan keduanya dengan hati-hati di tanah. Diambilnya dua pongkor baru dan Darsa siap memanjat pohon kelapa berikut. Entah mengapa Darsa sangat senang menyadap pohon kedua ini. Barangkali karena dari atas pohon ini pemandangan ke barat lebih bebas. Dari ketinggian Darsa dapat melihat rumahnya. Bahkan Darsa dapat juga melihat istrinya, meski samar, apabila Lasi kebetulan keluar. Atau karena kelapa ini tumbuh sangat dekat dengan sebatang pohon pinang. Pucuk pohon pinang itu berada di bawah mata ketika Darsa duduk di antira pelepah-pelepah kelapanya. Dan di sela-sela ketiak pelepah pinang itu ada sarang burung jalak. Anak-anak burung yang masih terpicing mata itu selalu menciap minta makan bila ada gerakan di dekatnya. Mulut mereka merah. Mereka kelihatan sangat lemah, tetapi menawan. Darsa biasa berlama-lama menatap anak-anak burung itu. Ia juga senang memperhatikan betapa sibuk induk jalak pergi-pulang untuk mencari makanan bagi anak-anaknya. Tetapi karena anak-anak burung itu Darsa jadi sering berkhayal, kapan Lasi punya bayi? Bila ada keindahan tercipta ketika seekor induk jalak menyuapi anaknya, betapa pula keindahan yang akan menjelma ketika terlihat seorang ibu sedang meneteki bayinya, apalagi bila si ibu itu adalah Lasi?
Tiga tahun usia perkawinan tanpa anak sering menjadi pertanyaan berat bagi Darsa. Ada teman, meski hanya dalam gurauan, mengatakan Darsa tidak becus sehingga sampai sekian lama Lasi belum juga hamil. Gurauan ini saja sudah sangat menyakitkan hatinya. Apalagi ketika ia menyadari sesuatu yang lebih gawat dan justru khih mendasar; anak adalah bukti pengejawantahan diri yang amat penting sekaligus menjadi bubul perkawinannya dengan Lasi. Sebagai bukti perkawinan, surat nikah boleh disimpan di bawah tikar. Tapi anak? Bila Lasi sudah membopong bayi, Darsa boleh berharap segala celoteh segera hilang. Kukuh sudah kedaulatannya atas Lasi. Orang tak usah lagi berkata bahwa sesungguhnya Lasi lebih pantas menjadi istri lurah karena dia adalah ibu yang sudah melahirkan anak Darsa.
Pasangan induk jalak datang. Keduanya membawa belalang pada paruh masing-masing. Tetapi mereka tak berani mendekat sarang selama Darsa masih bertengger di atas pelepah kelapa. Anak-anak jalak menciap karena mendengar suara induk mereka. Darsa menghentikan kegiatan dan mengarahkan pandang ke pucuk pinang di sebelahnya. Anak-anak burung itu membuka mulutnya yang merah segar. Namun dalam pandangan Darsa, anak-anak burung itu adalah seorang bayi yang tergolek dan bergerak-gerak menawan dalam buaian. Darsa menarik napas panjang.
Di rumah, Lasi menyiapkan tungku dan kawah untuk mengolah nira yang sedang diambil suaminya. Senja mulai meremang. Setumpuk kayu bakar diambilnya dari tempat penyimpanan di belakang tungku. Sebuah ayakan bambu disiapkan untuk menyaring nira. Pada musim hujan Lasi sering mengeluh karena jarang tersedia kayu bakar yang benar-benar kering. Mengolah nira dengan kayu setengah basah sungguh menyiksa. Bahkan bila tak untung, gula tak bisa dicetak karena pengolahan yang tak sempurna.
Pernah, karena ketiadaan kayu kering dan kebutuhan sangat tanggung, Lasi harus merelakan pelupuh tempat tidurnya masuk tungku. Tanggung, karena sedikit waktu lagi nira akan mengental jadi tengguli. Dalam tahapan ini pengapian tidak boleh terhenti dan pelupuh tempat tidur adalah kemungkinan yang paling dekat untuk menolong keadaan. Meskipun begitu tak urung Lasi ketakutan, khawatir akan kena marah suaminya karena telah merusak tempat tidur mereka satu-satunya. Untung, untuk kesulitan semacam ini emak Lasi mempunyai nasihat yang jitu: segeralah mandi, menyisir rambut, dan merahkan bibir dengan mengunyah sirih. Kenakan kain kebaya yang terbaik lalu sambutlah suami di pintu dengan senyum. Nasihat itu memang manjur. Darsa sama sekali tidak marah ketika diberitahu bahwa tempat tidur satu-satunya tak lagi berpelupuh. Daripada melihat tempat tidur yang sudah berantakan, Darsa lebih tertarik kepada istrinya yang sudah berdandan. Malam itu lampu di rumah Darsa padam lebih awal meski mereka harus tidur dengan menggelar tikar di alas lantai tanah.
Beduk kembali terdengar dari surau Eyang Mus. Magrib. Pada saat seperti itu selalu ada yang ditunggu oleh Lasi; suara “hung”, yaitu bunyi pongkor kosong yang ditiup suaminya dari ketinggian pohon kelapa. Untuk memberi aba-aba bahwa dia hampir pulang. Darsa biasa mendekatkan mulut pongkor kosong ke mulut sendiri. Bila ia pandai mengatur jarak pongkor di depan mulutnya, “hung” yang didengungkannya akan menciptakan gaung yang pasti akan terdengar jelas dari rumah. Setiap penyadap mempunyai gaya sendiri dalam meniup “hung” sehingga aba-aba ini gampang dikenali oleh istri masing-masing.
Api di tungku sudah menyala. Tapi Lasi masih meniup-niupnya agar yakin api tidak kembali padam. Pipi Lasi yang putih jadi merona karena panas dari tungku. Ada titik pijar memercik. Dan Lasi menegakkan kepala ketika terdengar suara “hung”. Wajahnya yang semula tegang, mencair. Tetapi hanya sesaat karena yang baru didengarnya bukan “hung” suaminya. Tak salah lagi. Lasi mengenal aba-aba dari suaminya seperti ia mengakrabi semua perkakas pengolah nira.
Episode 3
Bekisar Merah
Lasi kembali jongkok di depan tungku. Wah, kawah yang masih kosong sudah panas, sudah saatnya nira dituangkan. Tetapi Darsa belum juga muncul. Di luar sudah gelap. Lasi bangkit ingin berbuat sesuatu.
Ketika yang pertama terlihat adalah lampu minyak tercantel pada tiang, Lasi sadar bahwa yang harus dilakukannya adalah menyalakan lampu itu. Malam memang sudah tiba. Diraihnya lampu minyak itu, dibawanya ke dekat tungku untuk dinyalakan. Cahaya remang segera terpancar memenuhi ruang sekeliling. Lasi mengembalikan lampu ke tempat semula. Dan pada saat itu ia mendengar suara langkah berat mendekat; langkah lelaki yang membawa beban berat dan berjalan di tanah basah. Apa yang biasa dilakukan Lasi pada saat seperti itu adalah menyongsong suaminya, membantunya menurunkan pikulan, kemudian segera menuangkan nira dari pongkor-pongkor ke dalam kawah yang sudah panas.
Tetapi pada senja yang mulai gelap itu Lasi malah tertegun tepat di ambang pintu. Samar-samar ia melihat sosok lelaki yang mendekat dengan langkah amat tergesa. Lelaki itu datang bukan dengan beban di pundak melainkan di gendongannya. Beban itu bukan sepikul pongkor melainkan sesosok tubuh yang tak berdaya. Setelah mereka tertangkap cahaya lampu minyak segalanya jadi jelas; lelaki yang membawa beban itu bukan Darsa melainkan Mukri. Dan Darsa terkulai di punggung lelaki sesama penyadap itu. Ada rintihan keluar dari mulut yang mengalirkan darah.
Lasi beku. Jagatnya limbung, berdengung, dan penuh bintang beterbangan. Kesadarannya melayang dan jungkir balik.
“Katakan, ada kodok lompat!” ujar Mukri dalam napas megap-megap karena ada beban berat di gendongannya. “Jangan bilang apa pun kecuali ada kodok lompat,” ulangnya.
Lasi ternganga tanpa sepotong suara pun keluar dari mulutnya. Bahkan Lasi hanya memutar tubuh dengan mulut tetap ternganga ketika Mukri menyerobot masuk dan menurunkan Darsa ke lincak bambu di ruang tengah. Darsa langsung rebah terkulai dan mengerang panjang. Dan tiba-tiba Lasi tersadar dari kebimbangannya. Lasi hendak menubruk suaminya tetapi Mukri menangkap pundaknya.
“Tenang, Las. Dan awas, jangan bilang apa-apa kecuali, ada kodok lompat!”
Wajah Lasi tergetar menjadi panggung tempat segala rasa naik pentas. Kedua bibirnya bergetar. Air mata cepat keluar. Cuping hidungnya bergerak-gerak cepat. Kedua tangannya mengayun ke sana kemari tanpa kendali. Tenggorokan rasa tersekat sehingga Lasi belum bisa berkata apa pun. Dan ketika Lasi benar-benar sadar akan apa yang terjadi, tangisnya pecah.
“Innalillahi... ada-kodok-lompat?”
“Ya! Bukan apa-apa, sekadar kodok lompat,” jawab Mukri dengan pembawaan tenang. Tetapi Lasi menjerit dan terkulai pingsan. Separuh badannya tersampir di balai-balai dan separuh lagi selonjor di tanah. Darsa kembali mengerang panjang.
Wiryaji dan istrinya segera datang karena mendengar jerit Lasi. Wiryaji adalah ayah tiri Lasi dan juga paman Darsa. Menyusul kemudian tetangga-tetangga yang lebih jauh. Eyang Mus, orang yang dituakan di kampung itu dijemput di rumahnya dekat surau. Seseorang disuruh segera memberitahu orangtua Darsa di desa sebelah. Semua yang berkumpul tahu apa yang terjadi dan semua hanya berkata ada kodok lompat. Kata ‘jatuh’ amat sangat dipantangkan di kalangan para penyadap kelapa. Dengan kepercayaan semacam itu para penyadap berusaha menampik sebuah kenyataan buruk dengan mengundang sugesti bagi kembalinya keadaan yang baik.
Orang-orang perempuan mengurus Darsa dan Lasi. Celana pendek Darsa yang basah dilepas dengan hati-hati. Ada yang memaksa Darsa menenggak telur ayam mentah. Mereka lega setelah menemukan tubuh Darsa nyaris tanpa cedera kecuali beberapa luka goresan pada tangan dan punggung. Tetapi bau kencing terasa sangat menyengat. Lasi pun siuman setelah seorang perempuan meniup-niup telinganya. Selembar kain batik kemudian menutupi tubuh Darsa dari kaki hingga lehernya. Lasi menangis dan menelungkup dekat kaki Darsa yang tampak sangat pucat. Namun seseorang kemudian menyuruhnya berbuat sesuatu: menyeduh teh panas untuk menghangatkan tubuh suaminya.
Tergeletak tanpa daya, Darsa sesekali mengerang. Tetapi Mukri terus bercerita kepada semua orang ihwal temannya yang naas itu. Dikatakan, ia sedang sama-sama menyadap kelapa yang berdekatan ketika musibah itu terjadi.
“Aku tidak lupa apa yang semestinya kulakukan. Melihat ada kodok lompat, aku segera turun. Aku tak berkata apa-apa. Aku kemudian melepas celana yang kupakai sampai telanjang bulat. Aku menari menirukan monyet sambil mengelilingi kodok yang lompat itu.”
“Bau kencing itu?” tanya entah siapa.
“Ya. Tubuh Darsa memang kukencingi sampai kuyup.”
“Mukri betul,” ujar Wiryaji. “Itulah srana yang harus kalian lakukan ketika menolong kodok lompat. Dan wanti-wanti jangan seorang penyadap pun boleh melupakannya.”
Wiryaji terus mengangguk-angguk untuk memberi tekanan pada nasihatnya. “Untunglah kamu yang ada di dekatnya waktu itu. Bila orang lain yang ada di sana, mungkin ia berteriak-teriak dan mengambil langkah yang keliru. Mukri, terima kasih atas pertolonganmu yang jitu.”
“Ya. Tetapi aku harus pergi dulu. Pekerjaanku belum selesai.”
“Sudah malam begini kamu mau meneruskan pekerjaanmu?”
Pertanyaan itu berlalu tanpa jawab. Mukri lenyap dalam kegelapan meski langkahnya masih terdengar untuk beberapa saat. Kini perhatian semua orang sepenuhnya tertuju kepada Darsa. Lasi tak putus menangis. Orang-orang tak henti menyuruh Darsa nyebut, menyerukan nama Sang Mahasantun.
Dari cerita Mukri orang tahu bahwa Darsa jatuh dari pohon kelapa yang tinggi. Bahwa dia tidak cedera parah, arit penyadap tidak melukai tubuhnya, bahkan kata Mukri sejak semula Darsa tidak pingsan, banyak dugaan direka orang. Bagi Wiryaji, kemenakan dan sekaligus menantu tirinya itu pasti habis riwayatnya apabila Mukri salah menanganinya. Tetapi semuanya menjadi lain karena Mukri tidak menyimpang sedikit pun dari kepercayaan kaum penyadap ketika menolong Darsa. Atau, lebih kena adalah perkiraan lain; ketika melayang jatuh tubuh Darsa tersangga lebih dulu oleh batang-batang bambu yang tumbuh condong sehingga kekuatan bantingan ke tanah sudah jauh berkurang. Dan hanya Eyang Mus yang berkata penuh yakin bahwa tangan Tuhan sendiri yang mampu menyelamatkan Darsa. Bila tidak, Darsa akan seperti semua penderes yang tertimpa petaka jatuh dari ketinggian pohon kelapa; meninggal atau paling tidak cedera berat.
Pada malam yang dingin dan basah itu rumah Lasi penuh orang. Sementara Darsa diurus oleh seorang perempuan tua, Wiryaji minta saran para tetangga bagaimana menangani Darsa selanjutnya. Ada yang bilang, karena Darsa tidak cedera berat, perawatannya cukup dilakukan di rumah. Yang lain bilang, sebaiknya Darsa segera dibawa ke rumah sakit. Orang ini bilang, sering terjadi seorang penyadap jatuh tanpa cedera tetapi keadaannya tiba-tiba memburuk dan meninggal.
“Wiryaji,” kata Eyang Mus. “Keputusan berada di tanganmu. Namun aku setuju Darsa dibawa ke rumah sakit. Betapapun kita harus berikhtiar sebisa-bisa kita.”
Semua orang terdiam, juga Wiryaji. Lasi yang diminta ketegasannya malah menangis. Dan Darsa kembali mengerang.
“Eyang Mus, kami tak punya biaya,” kata Wiryaji setelah sekian lama tak bersuara. Semua orang kembali terdiam. Eyang Mus menyandar ke belakang sehingga lincak yang didudukinya berderit. Suasana pun cepat berubah dari kecemasan menghadapi seorang kerabat yang kena musibah menjadi kebimbangan karena tiadanya biaya untuk berobat. Dan bagi para penyadap, hal seperti itu bukan pengalaman aneh atau baru sekali mereka hadapi.
“Las,” kata Wiryaji dengan suara rendah. “Kamu punya sesuatu yang bisa dijual?”
Semua mata tertuju kepada Lasi. Dan jawaban Lasi hanya gelengan kepala dan air mata yang tiba-tiba kembali mengambang.
“Bagaimana jika pohon-pohon kelapa kalian digadaikan?”
“Jangan,” potong Eyang Mus. “Nanti apa yang bisa mereka makan?”
Mbok Wiryaji, emak Lasi, berjalan hilir-mudik di ruang yang sempit itu.
“Kalau sudah begini,” kata Mbok Wiryaji, “apa lagi yang bisa kita lakukan kecuali datang kepada Pak Tir. Lasi selalu menjual gula kepadanya.”
Semua yang hadir diam. Mereka membenarkan Mbok Wiryaji tetapi mereka juga tahu apa artinya bila Lasi meminjam uang kepada Pak Wir. Nanti Lasi tak boleh lagi menjual gulanya kepada pcdagang lain dan harga yang diterimanya selalu lebih rendah. Malangnya bagi istri seorang penyadap kepahitan ini masih lebih manis daripada membiarkan suami tak berdaya dan terus mengerang.
Wiryaji, atas nama Lasi, pergi ke rumah Pak Tir. Meski tahu Pak Tir biasa menolak meminjamkan uang pada malam hari, Wiryaji berangkat juga dengan keyakinan apa yang sedang menimpa Darsa bukan hal biasa. Sementara Wiryaji pergi, orang-orang sibuk mengurus Darsa. Ada yang menyeka tubuhnya dengan air hangat agar lumpur serta bau kencing Mukri yang membasahi tubuhnya hilang. Darsa mengerang lebih keras ketika luka-luka di kulitnya terkena air. Beberapa lelaki mempersiapkan usungan darurat. Dua-tiga obor juga dibuat dari potongan hambu.
***
Episode 4
Bekisar Merah
Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik. Sisa-sisa kegiatan gunung api masih tampak pada ciri desa itu berupa bukit-bukit berlereng curam, lembah-lembah atau jurang-jurang dalam yang tertutup berbagai jenis pakis dan paku-pakuan. Tanahnya yang hitam dan berhumus tebal mampu menyimpan air sehingga sungai-sungai kecil yang berbatu-batu dan parit-parit alam gemercik sepanjang tahun. Karena banyaknya parit alam yang selalu mengalirkan air, banyak sekali titian yang menyambungkan jalan setapak di Karangsoga. Pipa-pipa bambu dibuat orang untuk menyalurkan air dari tempat tinggi ke kolam-kolam ikan, pancuran, atau sawah-sawah yang tanahnya tak pernah masam karena air selalu mengalir dan mudah dikeringkan. Bila hujan turun, air cepat terserap ke dalam tanah sehingga tak ada genangan dan sungai-sungai tetap jernih.
Kecuali di sawah dan tegalan yang merupakan bagian sempit desa Karangsoga, sinar matahari sulit mencapai tanah. Kesuburan tanah vulkanik membuat semua tetumbuhan selalu hijau dan rindang. Rumpun bambu tumbuh sangat rapat. Pekarangan-pekarangan yang sejuk kebanyakan berbatas deretan rumpun salak. Anehnya, pohon kelapa tidak tumbuh dengan baik. Ada orang bilang Karangsoga terlalu tinggi dari permukaan laut sehingga udaranya agak dingin, kurang cocok untuk tanaman dari keluarga palma itu. Tetapi ada pula yang bilang, Karangsoga terlalu subur untuk tanaman selain kelapa sehingga yang terakhir itu tak berpeluang mengembangkan pelepah-pelepahnya. Di Karangsoga, pohon kelapa tumbuh dengan pelepah agak kuncup, karena tak sempat mengembang dalam bulatan penuh sehingga tak bisa menghasilkan buah yang banyak. Boleh jadi karena keadaan itu orang Karangsoga pada generasi terdahulu memilih menyadap pohon-pohon kelapa mereka daripada menunggu hasil buahnya yang tak pernah memuaskan. Apalagi tupai yang berkembang biak dalam rumpun-rumpun bambu yang tumbuh sangat rapat menjadi hama kelapa yang tak mudah diberantas.
Dahulu, sebelum mengenal pembuatan gula kelapa, orang Karangsoga menyadap pohon aren. Nira aren adalah bahan pembuat tuak yang sudah sangat lama dikenal orang. Namun sejak dianjurkan tidak minum tuak, orang Karangsoga mengolah nira aren menjadi gula untuk kebutuhan sendiri. Ketika gula aren mulai berubah menjadi baban perdagangan, orang mulai berpikir tentang kemungkinan pembuatan gula dari nira kelapa. Di Karangsoga penyadapan pohon kelapa berkembang sangat cepat karena, meski subur dan tak pernah kurang air, tanah datar yang bisa digarap untuk sawah dan tegalan terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang terus meningkat.
Malam itu ada usungan dipikul dua orang keluar dari salah satu sudut Karangsoga. Iring-iringan kecil itu dipandu oleh sebuah obor minyak, diikuti oleh seorang lelaki dan dua perempuan. Satu obor lagi berada di ekor iring-iringan. Barisan itu menyusur jalan setapak, naik tataran yang dipahatkan pada bukit cadas, turun, menyeberang titian batang pinang, lalu hilang di balik kelebatan pepohonan. Muncul lagi di jalan kecil yang berdinding tebing bukit, melintas titian kedua, kemudian masuk membelah pekarangan yang penuh pohon salak. Asap obor mereka menggelombang warna kelabu, ekornya terburai, dan makin jauh makin samar tertelan gelap malam. Seekor kelelawar terbang mendekat dan tertangkap cahaya obor, berbalik dengan gerakan tak terduga dan lenyap. Tetapi seekor belalang hijau meluncur langsung menabrak nyala obor. Sayap arinya yang tipis terbakar dalam sekejap dan serangga malang itu jatuh ke tanah. Pepohonan bergoyang oleh tiupan angin dan sisa hujan tadi siang berjatuhan seperti gerimis.
Lima orang yang beriringan itu hampir tak pernah berbicara. Lebih sering terdengar suara erangan Darsa yang tergeletak dalam usungan darurat yang ditutup kain. Atau sesekali isak Lasi yang berjalan tepat di belakang usungan. Senyap. Hanya suara langkah. Hanya suara berbagai serangga atau bunyi katak hijau dari balik semak di lereng jurang. Dan desau api obor yang terayun-ayun seirama dengan langkah orang yang membawanya.
Melewati titian ketiga mereka menempuh tanjakan terakhir sebelum masuk ke lorong yang lebih lebar dan berbatu-batu. Dari rumah-rumah di tepi lorong itu muncul penghuni yang kebanyakan sudah mendengar tentang musibah yang menimpa Darsa. Mereka melipat tangan di dada, komat-kamit membaca doa bagi keselamatan kerabat yang sedang menanggung musibah. Mereka sadar bahwa nasib serupa bisa juga menimpa suami, anak lelaki, atau saudara mereka.
Malam makin dingin ketika usungan dan pengantarnya itu memasuki jalan besar. Dari titik masuk itu mereka berbelok ke barat dan akan berjalan lima kilometer menuju poliklinik di sebuah kota kewedanan. Mereka mempercepat langkah karena ada pertanda hujan akan kembali turun. Kilat makin sering tampak membelah langit. Ketika langit sedetik benderang terlihat awan hitam mulai menggantung. Lasi mengisak karena mendengar dari jauh suara burung hantu. Orang Karangsoga sering menghubungkan suara burung itu dengan kematian. Untung, pada saat yang sama terdengar Darsa mengerang. Jadi bagaimana juga keadaannya Darsa masih hidup. Dan Lasi melangkah lebih cepat mengikuti iring-iringan yang sedang berkejaran dengan turunnya hujan, berkejaran dengan keselamatan Darsa.
***
Bagi siapa saja di Karangsoga berita tentang orang dirawat karena jatuh dari pohon kelapa sungguh bukan hal luar biasa. Sudah puluhan penderes mengalami nasib yang jauh lebih buruk daripada musibah yang menimpa Darsa dan kebanyakan mereka meninggal dunia. Si Itu patah leher ketika jatuh dan arit yang terselip di pinggang langsung membelah perut. Si Ini jatuh terduduk dan menghunjam tepat pada tonggak bambu sehingga diperlukan tenaga beberapa orang untuk menarik tubuhnya yang sudah menjadi mayat. Si Pulan bahkan tersambar geledek ketika masih duduk di atas pelepah kelapa dan mayatnya terlempar jatuh ke tengah rumpun pandan. Mereka, orang-orang Karangsoga, sudah terbiasa dengan peristiwa seperti itu sehingga mereka mudah melupakannya.
Namun tidak demikian halnya ketika mereka mendengar malapetaka semacam menimpa Darsa. Orang-orang Karangsoga membicarakannya di mana-mana dengan penuh minat, penuh rasa ingin tahu. Dan hal ini terjadi pasti bukan karena Darsa terlalu penting bagi mereka melainkan karena istrinya, Lasi! Lasi akan menjadi janda apabila Darsa meninggal. Orang banyak mengatakan, Karangsoga akan hangat kembali oleh bisik-bisik, celoteh, dan gunjingan tentang Lasi seperti ketika dia masih gadis. Lasi akan kembali menjadi bahan perbincangan, baik oleh lelaki maupun perempuan. Bahkan orang juga menduga cerita tentang asal-usul Lasi dan perkosaan yang pernah dialami emaknya akan merebak lagi. Atau tentang ayah Lasi yang menyebabkan istri Darsa itu memiliki penampilan sangat spesifik, tak ada duanya di Karangsoga.
Karangsoga, 1961, jam satu siang. Bel di sekolah desa itu berdering. Terdengar ramai para murid memberi salam bersama kepada guru. Sepuluhan anak lelaki dan perempuan keluar dari ruang kelas enam. Lepas dari pintu kelas mereka bersicepat menghambur ke halaman dan langsung diterpa terik matahari. Anak-anak lelaki terus berlari meninggalkan sekolah, melesat seperti anak-anak kambing dibukakan kandang. Tetapi tiga murid perempuan berjalan biasa sambil bersenda gurau. Ketiganya berambut ekor kuda dan bertelanjang kaki. Buku tulis dan kayu penggaris ada pada tangan masing-masing.
Keluar dari halaman sekolah mereka melangkah menyusur jalan kampung yang berbatu-batu, menaiki tanjakan terjal, turun lagi, lalu masuk lorong di bawah rimbun pepohonan dan rumpun bambu. Pada sebuah simpang tiga, seorang di antara ketiga gadis kecil itu memisahkan diri. Lasi dan seorang temannya meneruskan perjalanan. Namun tak jauh dari simpang tiga itu teman Lasi yang terakhir membelok ke halaman rumahnya. Sebelum berpisah, teman ini mencubit pipi Lasi dengan nakal. “Pantas, Pak Guru suka sama kamu, karena kamu cantik!” Teman itu kemudian lari. Lasi hanya meringis dan mengemyitkan alis. “Betul? Aku cantik?”
Kini Lasi tak berteman. Berjalan seorang diri, Lasi mempercepat langkah karena ingin segera sampai ke rumah. Ketika melintas titian batang pinang pun Lasi tidak memperlambat langkahnya. Tetapi Lasi mendadak berhenti sebelum kakinya menginjak titian yang kedua. Di atas titian yang mclintas kali kecil itu Lasi biasa berdiri berlama-lama menatap ke bawah. Karena air sangat jernih, Lasi dapat melihat kepiting-kepiting batu yang merayap-rayap di dasar parit. Binatang berkaki delapan itu senang berkumpul di sana, boleh jadi karena ada anak suka berak di titian. Karena terbiasa dengan tinja yang jatuh, kepiting-kepiting itu segera muncul dari tempat persembunyian bila ada benda dilempar ke dalam air.
Episode 5
Bekisar Merah
Lasi menjatuhkan sebutir tanah. Seperti yang ia harapkan, serempak muncul empat atau lima kepiting besar dan kecil. Dan Lasi sangat senang kepada salah satu di antara binatang air itu. Kepiting kesukaan Lasi bukan yang paling besar, tetapi ia punya tangan penjepit sangat kukuh dan hampir sama besar dengan ukuran tubuh binatang itu. Semua kepiting bergerak menuju benda yang dijatuhkan Lasi namun dengan gerak yang perkasa Si Jepit Kukuh mengusir yang lain. Lasi meremas-remaskan jarinya dan tanpa disadari mulutnya bergumam, “Tangkap dan jepit sampai remuk!”
Tak ada yang tertangkap, tak ada juga yang terjepit sampai remuk. Tetapi Lasi puas dan kepiting-kepiting itu kembali bersembunyi. Lasi ingin mengulang pertunjukan yang sama. Tetapi ia mengangkat muka karena mendengar suara langkah dari seberang titian. Empat anak lelaki sebaya cengar-cengir, bersipongah. Tiga di antara mereka adalah teman sekelas Lasi sendiri dan yang paling kecil dan kelihatan sebagai anak bawang adalah Kanjat, anak Pak Tir. Ketiga teman sekelas itu biasa menggoda Lasi, baik di dalam kelas apalagi di luarnya. Kini ketiganya cengir-cengir lagi dan Lasi menatap mereka dengan mata membulat penuh. Pipinya serta-merta merona. Ada ketegangan merentang titian pinang sebatang. Kanjat yang kelihatan hanya ikut-ikutan, memandang silih berganti dengan wajah cemas. Tetapi ketiga temannya terus cengar-cengir dan mulai mengulang kebiasaan mereka menggoda Lasi.
“Lasi-pang, si Lasi anak Jepang,” ujar yang satu sambil memonyongkan mulut dan menuding wajah Lasi. Seorang lagi menjulurkan lidah.
“Emakmu diperkosa orang Jepang. Maka pantas, matamu kaput seperti Jepang,” ejek yang kedua.
“Alismu seperti Cina. Ya, kamu setengah Cina.”
“Aku Lasiyah, bukan Lasi-pang,” teriak Lasi membela diri.
“Lasi-pang.”
“Lasiyah!”
“Lasi-pang! Lasi-pang! Lasi-pang! Si Lasi anak Jepang!”
“Emakmu diperkosa Jepang. Emakmu diperkosa!”
Dan Lasi mencabut kayu penggaris dari ketiaknya, lari menyeberang titian dan siap melampiaskan kemarahan kepada para penggoda. Di bawah kesadarannya Lasi merasa jadi kepiting batu jantan dengan tangan penjepit kukuh perkasa. Ia takkan segan menggunting hingga putus leher ketiga anik lelaki itu. Tetapi yang ada bukan tangan penjepit melainkan kayu penggaris. Dua penggoda lari dan seorang lagi tetap tinggal, bahkan membiarkan punggungnya dipukul Lasi dengan kayu penggaris. Dia hanya meringis sambil tertawa. Malah Lasi yang menangis.
Puas karena yang mereka goda sudah menangis, ketiga anak lelaki itu lari menghilang. Tetapi Kanjat tak bergerak dari tempatnya. Matanya yang bulat dan jernih terus memandang Lasi yang masih berurai air mata. Lama-lama mata Kanjat ikut basah.
“Las, aku tidak ikut nakal,” ujar Kanjat yang tubuhnya lebih kecil karena usianya dua tahun lebih muda. “Kamu tidak marah padaku, bukan?”
Lasi mengangguk dan berusaha tersenyum. Tanpa ucapan apa pun Lasi sudah mengerti Kanjat tidak ikut nakal. Bahkan di mata Lasi, Kanjat adalah anak kecil sangat lucu; matanya bulat dan tajam, tubuhnya gemuk dan bersih. Baju dan celananya bagus, paling bagus di antara pakaain yang dikenakan oleh semua anak Karangsoga. Pak Tir, orangtua Kanjat, adalah pedagang pengumpul gula kelapa dan dialah orang terkaya di Karangsoga.
Masih dengan mata basah, Lasi meneruskan perjalanan. Kanjat mengikutinya dari belakang dan baru mengambil jalan simpang setelah Lasi sekali lagi mencoba tersenyum kepadanya. Lasi berjalan menunduk. Langkahnya menimbulkan bunyi sampah daun bambu yang terinjak. Bayang-bayang ranting bambu seperti berjalan dan menyapu tubuhnya. Menyeberang titian terakhir, naik tatar yang dipahat pada tanjakan batu cadas, lalu simpailah Lasi ke sebuah rumah bambu dengan pekarangan bertepi rumpun-rumpun salak. Lasi langsung masuk kamar dan tidak keluar lagi. Panggilan Mbok Wiryaji, emaknya, yang menyuruh Lasi makan, juga diabaikan.
Dalam kamarnya Lasi duduk dengan pandangan mata kosong. Lasi masih tercekam oleh pengalaman digoda anak-anak sebaya. Meskipun godaan anak-anak nakal hampir terjadi setiap hari, Lasi tak pernah mudah melupakannya. Bahkan ada pertanyaan yang terus mengembang dalam hati; mengapa anak-anak perempuan lain tidak mengalami hal yang sama? Mengapa namanya selalu dilencengkan menjadi Lasi-pang? Dan apa itu orang Jepang? Itu yang paling membingungkan Lasi; apa sebenarnya arti diperkosa? Emaknya diperkosa? Juga, mengapa banyak orang melihat dengan tatapan mata yang aneh seakan pada dirinya ada kelainan? Apa karena dia anak seorang perempuan yang pernah diperkosa?
Pertanyaan panjang itu membaur dan berkembang sejak Lasi masih bocah. Selentingan lain yang samar-samar pernah didengarnya juga tak kurang meresahkannya; bahwa Wiryaji adalah ayah tiri bagi Lasi. Bahwa ayah kandungnya adalah orang Jepang yang hilang sejak lama, sejak Lasi masih dalam kandungan. Selentingan lain lagi menyebut tentang perkosaan atas diri emaknya dan dirinya adalah anak haram buah perkosaan itu. Tetapi apa itu perkosaan? Dan hasrat sangat kuat untuk mengetahui cerita mana yang benar selalu membuat hati Lasi panas. Dalam keadaan demikian hanya satu keinginan Lasi; menjadi kepiting jantan dengan jepitan perkasa untuk menggunting leher semua orang Karangsoga, juga leher emaknya kerena perempuan itu belum pernah menjelaskan banyak hal yang selalu meresahkan hatinya.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Mbok Wiryaji masuk. Wajah perempuan itu langsung suram ketika melihat Lasi duduk termenung dengan wajah tegang dan mata berkaca-kaca. Bukan baru sekali Mbok Wiryaji mendapati anaknya dalam keadaan seperti itu. Namun mendung di wajah Lasi kali ini sungguh gelap. Emak dan anak saling tatap dan Mbok Wiryaji melihat sinar kemarahan dan kekecewaan terpancar dari mata Lasi. Mbok Wiryaji tertegun. Ingin dikatakannva sesuatu kepada Lasi namun ucapan yang hendak keluar teredam di tenggorokan. Ia hanya menelan ludah dan berbalik hendak keluar. Tetapi tanpa disangka Lasi memanggilnya. Anak dan emak kembali bersitatap.
Mbok Wiryaji menunggu apa yang hendak dikatakan anaknya. Namun Lasi hanya menatap lalu menunduk dan mulai terisak. Napas yang pendek-pendek menandakan ada gejolak yang tertahan dalam dada Lasi.
“Anak-anak mengganggumu lagi?”
“Selalu!” jawab Lasi tajam. Sinar kemarahan masih terpancar dari matanya. Terasa ada tuntutan yang runcing dan menusuk diajukan oleh Lasi; mengapa dia harus menghadapi ejekan dan celoteh orang setiap hari. Dan Mbok Wiryaji seakan mendengar anaknya berteriak, “Kalau bukan karena engkau, takkan aku mengalami semua kesusahan ini!”
Mbok Wiryaji mendesah dan melipat tangan di dadanya. Perempuan itu paham dan menghayati sepenuhnya kesusahan yang selalu mengusik hati Lasi. Mbok Wiryaji juga sadar, amat sadar, kesusahan Lasi adalah perpanjangan kesusahan Mbok Wiryaji sendiri; kesusahan yang sudah puluhan tahun mengeram dalam jiwanya.
Sesungguhnya Mbok Wiryaji sudah bertekad menanggung sendiri kesusahan itu. Tak perlu orang lain, apalagi Lasi, ikut menderita. Namun orang Karangsoga gemar bersigunjing sehingga Lasi mendengar rahasia yang ingin disembunyikannya. Bahkan cerita yang sampai ke telinga Lasi ditambah atau dikurangi, atau sama sekali diselewengkan untuk memenuhi kepuasan si penutur. Mbok Wiryaji juga tidak habis pikir mengapa orang Karangsoga terus mengungkit cerita memalukan yang sebenarnya sudah lama berlalu. Atau, inikah yang dimaksud oleh kata-kata orang tua bahwa akan datang suatu masa ketika sedulur ilang sihe, persaudaraan tanpa kasih? “Apakah mereka tak ingin aku dan anakku hidup tenteram? Atau karena Lasi cantik dan sesungguhnya mereka iri hati?”
Mbok Wiryaji bergerak perlahan dan duduk di sebelah Lasi. Dengan mata sayu dipandangnya anaknya yang tetap membisu. Dalam hati Mbok Wiryaji bangga akan anaknya; kulitnya bersih dengan rambut hitam lurus yang sangat lebat dan badannya lebih besar daripada anak-anak sebayanya. Tungkainya lurus dan berisi. Dan siapa saja akan percaya kelak Lasi akan tumbuh jadi gadis cantik. “Lalu mengapa anakku harus menjadi bahan olokan orang setiap hari?”
Ketika Lasi melirik, Mbok Wiryaji tersentak, karena merasa ada tusukan ke arah jantungnya. Ya. Mbok Wiryaji tahu dengan cara itu anaknya minta penjelasan banyak hal yang menyebabkan anak-anak dan juga orang-orang dewasa sering mengejeknya. Ya. Dan Mbok Wiryaji merasa tak perlu lagi merahasiakan sesuatu. Ia ingin membuka semuanya. Mbok Wiryaji siap membuka mulut tetapi tiba-tiba ada yang mengganjal niatnya. Bukankah Lasi baru tiga belas tahun? Pantaskah anak seusia itu mendengar pengakuan tentang sesuatu yang memalukan seperti tindak rudapaksa berahi? Mbok Wiryaji surut. Ada pikiran baru yang mencegahnya berterus terang karena ia merasa saatnya belum tiba. Mungkin kelak, bila Lasi sudah berumah tangga, semua bisa dibuka untuknya.
Mungkin karena lama ditunggu emaknya tak berkata sepatah pun, Lasi jadi gelisah. Dan tanpa mengubah arah wajahnya, sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya.
“Apa betul Wiryaji bukan ayah saya?”
Mbok Wiryaji terkejut dan mendadak meluruskan punggung.
“Ya, Las. Dia bukan ayah kandungmu,” jawab Mbok Wiryaji agak terbata.
“Jadi siapa ayah saya yang sebenarnya? Orang Jepang?”
“Ya.”
Mbok Wiryaji menelan ludah.
“Kok bisa begitu?”
“Dulu di sini banyak orang Jepang. Mereka tentara.”
“Kata orang, Emak diperkosa orang Jepang. Diperkosa itu bagaimana?”
Mbok Wiryaji menelan ludah lagi. Dan gugup, sangat gugup. Bibirnya gemetar.
Episode 6
Bekisar Merah
Kabut pagi yang tipis memberi sapuan baur pada lembah dan lereng-lereng bukit di sekitar Karangsoga. Namun karena kabut itu pula muncul tekanan pada matra ketiga pemandangan di sana. Karena sapuan kabut, makin jelaslah lereng atau bukit yang dekat dan yang lebih jauh. Di timur sinar matahari menyemburat dari balik bayangan bukit. Puncak-puncak pepohonan mulai tersapu sinar merah kekuningan. Dari sebuah sudut di Karangsoga pemandangan jauh ke selatan mencapai dataran rendah yang sangat luas. Karena letaknya yang tinggi, dari tempat ini orang Karangsoga setiap pagi dapat melihat iring-iringan burung kuntul terbang di bawah garis pandang mata. Dengan cara menunduk pula mereka dapat melihat hamparan sawah dan ladang. Kota kewedanan kelihatan seluruhnya dan berbatasan dengan cakrawala adalah garis pantai laut selatan.
Pagi ini Lasi berangkat hendak menjenguk Darsa di rumah sakit kecil di kota kewedanan itu. Lasi sengaja memilih jalan pintas agar tidak bertemu dengan orang-orang yang hendak pergi ke pasar. Mereka terlalu ingin tahu dan Lasi sudah bosan menjawab pertanyaan mereka. Dalam keremangan pagi Lasi melihat banyak pohon kelapa bergoyang karena sedang dipanjat oleh penyadap. Tetes-tetes embun berjatuhan membuat gerimis setempat. Kelentang-kelentung suara pongkor yang saling beradu ketika dibawa naik. Ketika melintas titian Lasi tertegun sejenak, heran mengapa dulu ia sering berlama-lama melihat kepiting batu di bawah sana. Ada burung paruh udang terbang menuruti alur jurang, suaranya mencicit lalu hilang di balik rumpun salak. Suara tokek dari lubang kayu memecah keheningan pagi yang masih sangat berembun. Seekor burung ekor kipas berkicau meriah, lalu melesat ketika melihat lalat terbang. Tubuhnya yang kecil tampak berkelebat bila unggas itu melompat dari dahan satu ke dahan lain dalam rimbunan semak. Dengung kumbang yang terbang-hinggap pada bunga bungur. Sepasang kadal bekejaran melintas jalan setapak di depan Lasi. Dan bunyi riang-riang mulai menggoda kelengangan pagi.
Lasi terus berjalan cepat tanpa menoleh kiri kanan. Sampai di mulut jalan kampung Lasi naik delman yang sudah berisi beberapa penumpang. Kini Lasi tak bisa menghindar dari pertanyaan penumpang lain yang semuanya orang Karangsoga. Ldsi hanya menjawab seperlunya karena hatinya sudah sampai ke kamar Darsa di rumah sakit. Sudan seminggu Darsa dirawat di sana dan luka-luka di kulitnya berangsur pulih. Tubuh seorang penyadap muda selalu punya daya sembuh yang kuat. Darsa juga sudah doyan makan. Dan Lasi sudah bertanya kepada perawat tentang jumlah binya yang harus dibayarnya. Dari jawaban perawat Lasi dapat menghitung uang yang dipinjamnya dari Pak Tir hanya cukup untuk merawat Darsa selama sepuluh hari. Tetapi Lasi mendengar bisik-bisik di antara para perawat bahwa mungkin Darsa perlu perawatan di rumah sakit besar karena sampai demikian jauh masih ada yang tak beres pada tubuhnya; kencingnya terus menetes tak terkendali. Para perawat itu berbicara juga tentang kemungkinan bedah syaraf atas diri Darsa.
Bedah syaraf? Apa itu? Lasi pening memikirkannya dan sangat takut bila perawatan semacam itu mengancam jiwa suaminya. Lagi pula berapa biayanya? Dan pagi ini Lasi mendapat jawaban atas semua pertanyaan itu. Dokter kepala poliklinik memanggilnya untuk mendapat penjelasan tentang Darsa.
“Suamimu sudah lepas dari bahaya. Tetapi dia harus dibawa ke rumah sakit yang besar agar bisa dirawat dengan sempurna,” kata dokter yang masih muda itu. “Kamu tahu, bukan, pakaian suamimu masih terus basah. Suamimu masih terus ngompol.”
Lasi tak berani mengangkat muka. Rasa cemas mulai membayang di wajahnya.
“Apakah nanti Kang Darsa membutuhkan biaya besar?” tanya Lasi dengan bibir gemetar.
“Saya kira begitu. Mungkin puluhan, atau malah bisa ratusan ribu.”
Lasi menelan ludah dan menelan ludah lagi. Dia merasa ada dinding terjal mendadak berdiri di depan wajahnya. Pandangan matanya buntu dan kosong. Pada wajahnya tidak hanya tergambar kecemasan melainkan juga ketidakberdayaan.
“Nanti akan saya bicarakan dengan orangtua saya,” kata Lasi setelah lama terdiam, kemudian berlalu dari hadapan dokter.
Di kamar perawatan Darsa, Lasi berusaha menyembunyikan kebimbangannya. Sambil duduk di tepi dipan ia berusaha tersenyum, memijit-mijit lengan Darsa lalu bangkit untuk menukar kain sarung yang dikenakan suaminya itu. Bau sengak menyengat. Selesai menukar kain sarung Lasi membuka bungkusan makanan yang dibawanya dari rumah. Tetapi Darsa tak tertarik melihat lontong dan telur asin yang di bawa Lasi.
Sesungguhnya Lasi ingin menyampaikan kata-kata dokter Yang diterimanya beberapa menit berselang. Tetapi niat itu urung setelah Lasi menatap wajah suaminya yang masih pucat dan kelihatan sangat tertekan. Maka Lasi membuka pembicaraan lain sekadar untuk mencairkan suasana.
“Kang, bila malam rumah kita kosong. Aku tidur di rumah Emak.”
Darsa hanya mengangkat alis.
“Sekarang Mukri yang menyadap kelapa kita,” kata Lasi lagi, “sampai kamu sembuh.”
“Berapa harga gula sekarang?” Suara Darsa serak.
“Enam rupiah, tidak cukup untuk satu kilo beras.”
Darsa mengangkat alis lagi. Tetapi dia tidak kaget. Seorang penyadap sudah terbiasa bermimpi tentang harapan yang tetap tinggal harapan. Mereka, para penyadap, punya harapan mendapatkan harga gula seimbang dengan harga beras; sebuah harapan bersahaja namun jarang menjadi kenyataan. Berapa harga gula, adalah pertanyaan sehari-hari para penyadap. Celakanya mereka selalu cemas ketika menanti jawabnya. Harga gula adalah pertanyaan kejam yang tak pernah mempertimbangkan betapa besar risiko yang harus dihadapi para penyadap. Suami bisa jatuh dan istri bisa terperosok ke dalam tengguli mendidih. Untuk kedua risiko ini nyawalah yang menjadi taruhan. Tetapi harga gula jarang mencapai tingkat harga beras.
“Kang, aku pulang dulu, ya. Pakaianmu harus dicuci. Besok pagi aku datang lagi.”
Darsa hanya mengangguk. Lalu dipandangnya Lasi yang sedang membungkus pakaian kotor dan baunya amat menyengat. Ketika Lasi berangkat sekilas tampak tengkuknya yang putih. Mata Darsa menyala dan jantungnya terbakar. Angan-angannya melayang tetapi segera terpupus ketika ia menyadari tubuhnya masih lemah dan kencingnya masih terus menetes. Sejak mendapat kecelakaan seminggu yang lalu Darsa bahkan mcrasa mengalami gejala yang sangat dibenci oleh setiap lelaki: lemah pucuk.
Tiba di Karangsoga, Lasi langsung menuju rumah orangtuanya. Belum lagi melangkahi ambang pintu air matanya sudah berderai. Suami-istri Wiryaji yang mengira keadaan Darsa bertambah buruk, segera menjemput Lasi.
“Bagaimana suamimu?” tanya Mbok Wiryaji memburu.
“Masih seperti kemarin, Mak,” jawab Lasi sambil mengusap air matanya. Tetapi kala dokter, Kang Darsa harus dibawa ke rumah sakit besar karena dia masih terus ngompol. Mak, kata dokter biayanya besar sekali. Bisa ratusan ribu.”
Lasi terisak. Suami-istri Wiryaji terpaku di tempat duduk masing-masing. Dan keduanya terkejut ketika Lasi tiba-tiba bertanya.
“Kita harus bagaimana, Mak?”
Pertanyaan pendek itu lama tak berjawab. Puluhan atau bahkan ratusan ribu? Uang sebanyak itu tak pernah terbayang bisa mereka miliki. Tak pernah.
“Kita harus bagaimana?” ulang Lasi. Wiryaji terbatuk. Istrinya mendesah. Lasi yang melihat orangtuanya bimbang makin terisak. Pikirannya kacau dan hatinya gelap. Suasana rumah pun mati dan mencekam karena Lasi dan kedua orangtuanya sama-sama merasa tak punya kata-kata untuk diucapkan. Namun kesunyian cair kembali ketika Mukri, Eyang Mus, dan beberapa tetangga masuk. Mereka juga ingin tahu kabar terakhir tentang Darsa. Dan penjelasan yang diberikan Lasi membuat mereka tercengang.
“Kami bingung. Uang sebanyak itu hanya bisa kami miliki bila rumah dan pekarangan yang ditempati Lasi kami jual,” ujar Wiryaji sambil menunduk. “Lalu, apakah hal itu harus kulakukan? Kalaupun ya, siapa yang bisa membelinya dencan cepat?”
“Kang, soal membeli dengan cepat Pak Tir bisa melakukannya,” ujar Mbok Wiryaji. “Masalahnya, tanpa pekarangan dan rumah anakku mau tinggal di mana? Beruntung bila Darsa sembuh, bila tidak? Apakah ini bukan taruhan yang terlalu mahal dan sia-sia?”
“Mak, tapi kasihan Kang Darsa,” sela Lasi. “Saya ingin dia dirawat sampai sembuh. Untuk Kang Darsa, apakah kebun kelapa saya tidak bisa dijual?”
“Jangan, Las,” potong Mak Wiryaji. “Tanah adalah sumber penghidupanmu dan juga persediaan bagi anak-anakmu kelak. Tanah itu, meski hanya secuil, adalah masa depanmu dan keturunanmu. Aku tak akan membiarkan kamu main-main dengan tanah.”
“Tetapi, Mak, kasihan Kang Darsa,” ulang Lasi.
“Las, siapa yang tak kasihan kepada Darsa? Tapi puluh-puluh Nak, kita tak punya biaya. Kita hanya bisa pasrah.”
Episode 7
Bekisar Merah
Kabut pagi yang tipis memberi sapuan baur pada lembah dan lereng-lereng bukit di sekitar Karangsoga. Namun karena kabut itu pula muncul tekanan pada matra ketiga pemandangan di sana. Karena sapuan kabut, makin jelaslah lereng atau bukit yang dekat dan yang lebih jauh. Di timur sinar matahari menyemburat dari balik bayangan bukit. Puncak-puncak pepohonan mulai tersapu sinar merah kekuningan. Dari sebuah sudut di Karangsoga pemandangan jauh ke selatan mencapai dataran rendah yang sangat luas. Karena letaknya yang tinggi, dari tempat ini orang Karangsoga setiap pagi dapat melihat iring-iringan burung kuntul terbang di bawah garis pandang mata. Dengan cara menunduk pula mereka dapat melihat hamparan sawah dan ladang. Kota kewedanan kelihatan seluruhnya dan berbatasan dengan cakrawala adalah garis pantai laut selatan.
Pagi ini Lasi berangkat hendak menjenguk Darsa di rumah sakit kecil di kota kewedanan itu. Lasi sengaja memilih jalan pintas agar tidak bertemu dengan orang-orang yang hendak pergi ke pasar. Mereka terlalu ingin tahu dan Lasi sudah bosan menjawab pertanyaan mereka. Dalam keremangan pagi Lasi melihat banyak pohon kelapa bergoyang karena sedang dipanjat oleh penyadap. Tetes-tetes embun berjatuhan membuat gerimis setempat. Kelentang-kelentung suara pongkor yang saling beradu ketika dibawa naik. Ketika melintas titian Lasi tertegun sejenak, heran mengapa dulu ia sering berlama-lama melihat kepiting batu di bawah sana. Ada burung paruh udang terbang menuruti alur jurang, suaranya mencicit lalu hilang di balik rumpun salak. Suara tokek dari lubang kayu memecah keheningan pagi yang masih sangat berembun. Seekor burung ekor kipas berkicau meriah, lalu melesat ketika melihat lalat terbang. Tubuhnya yang kecil tampak berkelebat bila unggas itu melompat dari dahan satu ke dahan lain dalam rimbunan semak. Dengung kumbang yang terbang-hinggap pada bunga bungur. Sepasang kadal bekejaran melintas jalan setapak di depan Lasi. Dan bunyi riang-riang mulai menggoda kelengangan pagi.
Lasi terus berjalan cepat tanpa menoleh kiri kanan. Sampai di mulut jalan kampung Lasi naik delman yang sudah berisi beberapa penumpang. Kini Lasi tak bisa menghindar dari pertanyaan penumpang lain yang semuanya orang Karangsoga. Ldsi hanya menjawab seperlunya karena hatinya sudah sampai ke kamar Darsa di rumah sakit. Sudan seminggu Darsa dirawat di sana dan luka-luka di kulitnya berangsur pulih. Tubuh seorang penyadap muda selalu punya daya sembuh yang kuat. Darsa juga sudah doyan makan. Dan Lasi sudah bertanya kepada perawat tentang jumlah binya yang harus dibayarnya. Dari jawaban perawat Lasi dapat menghitung uang yang dipinjamnya dari Pak Tir hanya cukup untuk merawat Darsa selama sepuluh hari. Tetapi Lasi mendengar bisik-bisik di antara para perawat bahwa mungkin Darsa perlu perawatan di rumah sakit besar karena sampai demikian jauh masih ada yang tak beres pada tubuhnya; kencingnya terus menetes tak terkendali. Para perawat itu berbicara juga tentang kemungkinan bedah syaraf atas diri Darsa.
Bedah syaraf? Apa itu? Lasi pening memikirkannya dan sangat takut bila perawatan semacam itu mengancam jiwa suaminya. Lagi pula berapa biayanya? Dan pagi ini Lasi mendapat jawaban atas semua pertanyaan itu. Dokter kepala poliklinik memanggilnya untuk mendapat penjelasan tentang Darsa.
“Suamimu sudah lepas dari bahaya. Tetapi dia harus dibawa ke rumah sakit yang besar agar bisa dirawat dengan sempurna,” kata dokter yang masih muda itu. “Kamu tahu, bukan, pakaian suamimu masih terus basah. Suamimu masih terus ngompol.”
Lasi tak berani mengangkat muka. Rasa cemas mulai membayang di wajahnya.
“Apakah nanti Kang Darsa membutuhkan biaya besar?” tanya Lasi dengan bibir gemetar.
“Saya kira begitu. Mungkin puluhan, atau malah bisa ratusan ribu.”
Lasi menelan ludah dan menelan ludah lagi. Dia merasa ada dinding terjal mendadak berdiri di depan wajahnya. Pandangan matanya buntu dan kosong. Pada wajahnya tidak hanya tergambar kecemasan melainkan juga ketidakberdayaan.
“Nanti akan saya bicarakan dengan orangtua saya,” kata Lasi setelah lama terdiam, kemudian berlalu dari hadapan dokter.
Di kamar perawatan Darsa, Lasi berusaha menyembunyikan kebimbangannya. Sambil duduk di tepi dipan ia berusaha tersenyum, memijit-mijit lengan Darsa lalu bangkit untuk menukar kain sarung yang dikenakan suaminya itu. Bau sengak menyengat. Selesai menukar kain sarung Lasi membuka bungkusan makanan yang dibawanya dari rumah. Tetapi Darsa tak tertarik melihat lontong dan telur asin yang di bawa Lasi.
Sesungguhnya Lasi ingin menyampaikan kata-kata dokter Yang diterimanya beberapa menit berselang. Tetapi niat itu urung setelah Lasi menatap wajah suaminya yang masih pucat dan kelihatan sangat tertekan. Maka Lasi membuka pembicaraan lain sekadar untuk mencairkan suasana.
“Kang, bila malam rumah kita kosong. Aku tidur di rumah Emak.”
Darsa hanya mengangkat alis.
“Sekarang Mukri yang menyadap kelapa kita,” kata Lasi lagi, “sampai kamu sembuh.”
“Berapa harga gula sekarang?” Suara Darsa serak.
“Enam rupiah, tidak cukup untuk satu kilo beras.”
Darsa mengangkat alis lagi. Tetapi dia tidak kaget. Seorang penyadap sudah terbiasa bermimpi tentang harapan yang tetap tinggal harapan. Mereka, para penyadap, punya harapan mendapatkan harga gula seimbang dengan harga beras; sebuah harapan bersahaja namun jarang menjadi kenyataan. Berapa harga gula, adalah pertanyaan sehari-hari para penyadap. Celakanya mereka selalu cemas ketika menanti jawabnya. Harga gula adalah pertanyaan kejam yang tak pernah mempertimbangkan betapa besar risiko yang harus dihadapi para penyadap. Suami bisa jatuh dan istri bisa terperosok ke dalam tengguli mendidih. Untuk kedua risiko ini nyawalah yang menjadi taruhan. Tetapi harga gula jarang mencapai tingkat harga beras.
“Kang, aku pulang dulu, ya. Pakaianmu harus dicuci. Besok pagi aku datang lagi.”
Darsa hanya mengangguk. Lalu dipandangnya Lasi yang sedang membungkus pakaian kotor dan baunya amat menyengat. Ketika Lasi berangkat sekilas tampak tengkuknya yang putih. Mata Darsa menyala dan jantungnya terbakar. Angan-angannya melayang tetapi segera terpupus ketika ia menyadari tubuhnya masih lemah dan kencingnya masih terus menetes. Sejak mendapat kecelakaan seminggu yang lalu Darsa bahkan mcrasa mengalami gejala yang sangat dibenci oleh setiap lelaki: lemah pucuk.
Tiba di Karangsoga, Lasi langsung menuju rumah orangtuanya. Belum lagi melangkahi ambang pintu air matanya sudah berderai. Suami-istri Wiryaji yang mengira keadaan Darsa bertambah buruk, segera menjemput Lasi.
“Bagaimana suamimu?” tanya Mbok Wiryaji memburu.
“Masih seperti kemarin, Mak,” jawab Lasi sambil mengusap air matanya. Tetapi kala dokter, Kang Darsa harus dibawa ke rumah sakit besar karena dia masih terus ngompol. Mak, kata dokter biayanya besar sekali. Bisa ratusan ribu.”
Lasi terisak. Suami-istri Wiryaji terpaku di tempat duduk masing-masing. Dan keduanya terkejut ketika Lasi tiba-tiba bertanya.
“Kita harus bagaimana, Mak?”
Pertanyaan pendek itu lama tak berjawab. Puluhan atau bahkan ratusan ribu? Uang sebanyak itu tak pernah terbayang bisa mereka miliki. Tak pernah.
“Kita harus bagaimana?” ulang Lasi. Wiryaji terbatuk. Istrinya mendesah. Lasi yang melihat orangtuanya bimbang makin terisak. Pikirannya kacau dan hatinya gelap. Suasana rumah pun mati dan mencekam karena Lasi dan kedua orangtuanya sama-sama merasa tak punya kata-kata untuk diucapkan. Namun kesunyian cair kembali ketika Mukri, Eyang Mus, dan beberapa tetangga masuk. Mereka juga ingin tahu kabar terakhir tentang Darsa. Dan penjelasan yang diberikan Lasi membuat mereka tercengang.
“Kami bingung. Uang sebanyak itu hanya bisa kami miliki bila rumah dan pekarangan yang ditempati Lasi kami jual,” ujar Wiryaji sambil menunduk. “Lalu, apakah hal itu harus kulakukan? Kalaupun ya, siapa yang bisa membelinya dencan cepat?”
“Kang, soal membeli dengan cepat Pak Tir bisa melakukannya,” ujar Mbok Wiryaji. “Masalahnya, tanpa pekarangan dan rumah anakku mau tinggal di mana? Beruntung bila Darsa sembuh, bila tidak? Apakah ini bukan taruhan yang terlalu mahal dan sia-sia?”
“Mak, tapi kasihan Kang Darsa,” sela Lasi. “Saya ingin dia dirawat sampai sembuh. Untuk Kang Darsa, apakah kebun kelapa saya tidak bisa dijual?”
“Jangan, Las,” potong Mak Wiryaji. “Tanah adalah sumber penghidupanmu dan juga persediaan bagi anak-anakmu kelak. Tanah itu, meski hanya secuil, adalah masa depanmu dan keturunanmu. Aku tak akan membiarkan kamu main-main dengan tanah.”
“Tetapi, Mak, kasihan Kang Darsa,” ulang Lasi.
“Las, siapa yang tak kasihan kepada Darsa? Tapi puluh-puluh Nak, kita tak punya biaya. Kita hanya bisa pasrah.”
Lasi kembali terisak. Eyang Mus terbatuk. Mbok Wiryaji menarik napas panjang. Selebihnya adalah kelengangan yang mencekam. Eyang Mus terbatuk lagi. Lelaki tua itu tahu dirinya adalah rujukan dan nara sumber untuk dimintai pendapat. Maka Eyang Mus ingin berkata sesuatu. Namun lidahnya terasa kelu karena Eyang Mus teringat musibah sama yang menimpa Parja setahun yang lewat. Parja pun jatuh ketika sedang menyadap nira. Melihat cederanya parah, keluarga Parja tidak mau membawanya ke rumah sakit. Mereka tak mau menggali utang untuk membiayai pengobatan Parja karena usaha semacam itu terasa hanya sebagai kerja untung-untungan. Waktu itu Eyang Mus bersikeras meminta orangtua Parja membawa anaknya ke rumah sakit meskipun harus mencari pinjaman uang untuk biaya.
Ternyata nyawa Parja tak dapat dipertahankan. Parja meninggal dan keluarganya menanggung uang yang tak kunjung lunas. Anak dan istri Parja jatuh dan dua kali menderita. Sampai sekarang Eyang Mus sangat menyesal, apalagi bila kebetulan bertemu dengan anak-anak Parja yang yatim dan kurang terurus. Untuk ketiga kali Eyang Mus terbatuk dan gagal mengucapkan sesuatu. Bahkan orang tua itu hanya termangu ketika Wiryaji jelas-jelas minta nasihatnya.
Suasana masih hening. Kecuali desah-desah panjang. Atau burung-burung yang terus berkicau di atas pepohonan. Mereka tak mengenal duka. Dari jauh terdengar ceblak-cebluk suara orang mengaduk tengguli yang siap naik cetakan. Baunya yang harum merambah ke mana-mana menjadi ciri utama kampung penghasil gula kelapa, ciri utama Karangsoga.
“Rasanya kami sudah berusaha semampu kami,” ujar Wiryaji mencairkan kebisuan. “Utang sudah kami gali dan tentu tak akan mudah bagi kami mengembalikannya. Bila usaha kami ternyata tak cukup untuk menyembuhkan Darsa, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kami tinggal pasrah.”
“Ya,” sambung Mbok Wiryaji. “Kami pasrah. Besok Darsa kami jemput dan akan kami rawat di rumah. Siapa tahu, di rumah Darsa bisa sembuh. Kita percaya, bila mau menurunkan welas-asih Gusti Allah tak kurang cara. Iya, kan, Eyang Mus?”
Eyang Mus tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Namun warna getir muncul di wajahnya. Lasi bangkit dan pergi ke sumur. Di sana Lasi mencuci pakaian suaminya yang bau sengak. Air matanya terus menetes. Mukri dan para tetangga pulang sambil menundukkan kepala. Matahari hampir mencapai pucuk langit dan angin yang lembut menggoyang pohon-pohon kelapa di Karangsoga.
Episode 8
Bekisar Merah
Musim pancaroba telah lewat dan kemarau tiba. Udara Karangsoga yang sejuk berubah dingin dan acap berkabut pada malam hari. Namun kemarau di tanah vulkanik itu tak pernah mendatangkan kekeringan. Pepohonan tetap hijau karena tanah di sana kaya akan kandungan air. Suara gemercik air tetap terdengar dari parit-parit berbatu atau dari dasar jurang yang tertutup rimbunan pakis-pakisan. Kemarau di Karangsoga hanya berarti tiadanya hujan dalam satu atau dua bulan. Alam sangat memanjakan kampung itu dengan memberinya cukup air dan kesuburan. Lalu, mengapa para penyadap kelapa di Karangsoga hidup miskin adalah kenyataan ironik, yang anehnya tak pernah dipermasalahkan apalagi dipertanyakan di sana.
Kehidupan di Karangsoga tetap mengalir seperti air di sungai-sungai kecil yang berbatu-batu. Manusianya hanyut, terbentur-bentur, kadang tenggelam atau bahkan membusuk di dasarnya. Tak ada yang mengeluh, tak ada yang punya gereget, misalnya mencari kemungkinan memperoleh mata pencarian lain karena menyadap nira punya risiko sangat tinggi dengan hasil sangat rendah. Atau menggalang persatuan agar mereka bisa bertahan dari kekejaman pasar bebas yang sangat leluasa memainkan harga gula.
Tidak. Karangsoga tetap adhem-ayem seperti biasa, tenang, seolah kemiskinan para penyadap di sana adalah kenyataan yang sudah dikemas dan harus mereka terima. Malam itu pun Karangsoga tenang. Bulan yang hampir bulat leluasa mendaulat langit karena awan hanya sedikit menyaput ufuk barat.
Eyang Mus turun dari suraunya yang kecil setelah beberapa lelaki tua lebih dulu meninggalkannya. Di emper surau Eyang Mus mengangkat muka untuk sejenak menatap langit. Dan cahaya bulan yang menerpa wajah serta-merta menyejukkan hatinya. Bunyi terompah yang teratur mengiringi langkahnya dan segera berganti nada ketika Eyang Mus menginjak lantai rumah.
Pintu berderit ketika Eyang Mus masuk. Mbok Mus sudah menyiapkan teh hangat dan kotak tembakau di meja ruang depan. Pasangan orang tua itu biasa duduk berlama-lama sambil menunggu mata mengantuk. Tak ada kesibukan pada malam seperti itu bagi pasangan yang sudah ditinggal oleh anak-anak. Keempat anak mereka sudah lama berumah tangga dan memisahkan diri.
Namun malam ini Eyang Mus tak ingin duduk termangu. Bulan hampir bulat yang dilihatnya sejenak ketika ia turun dari surau telah mengusik hatinya lalu menuntun langkahnya ke pojok ruang depan. Di sana ada gambang kayu keling yang usianya mungkin lebih tua daripada Eyang Mus sendiri. Eyang Mus yang sering mendapat sebutan santri kuno, mahir memainkan gambang tunggal untuk mengiringi bait-bait suluk yang biasa ditembangkannya dalam irama sinom atau dhandhanggula. Bagi seorang santri kuno seperti Eyang Mus, suluk yang diantar oleh irama gambang tak lain adalah tangis rindu seorang kawula akan Gusti-nya; tangis seorang pengembara yang ingin menyatu kembali dengan asal-mula dan tujuan akhir segala yang ada, sangkan paraning dumadi. Maka bila sudah tenggelam dalam suluk-nya Eyang Mus lupa akan sekeliling, mabuk, keringat membasahi tubuh, dan air matanya berjatuhan. Suaranya ngelangut menusuk malam, menusuk langit. Apalagi bila yang ditembangkannya adalah bait-bait pilihan.
Wong kas ingkang sampun makolih
Hakul yakin tingale pan nyata
sarta lan sapatemone
Pan sampun sirna luluh
tetebenge jagat puniki
Kabotan katingalan
ing wardayanipun
Anging jatine Sanghyang Suksma
Datan pegat anjenengaken mangkyeki
Kang ketung mung Pangeran
Sapolahe dadi pangabekti
Salat daim pan datan wangenan
Pan ora pesti wektune pan ora salat wulu
Tan pegat ing ulat liring
Madhep maring Hyang Suksma
Salir kang kadulu
andulu jatining tunggal
jroning bekti miwah sajabaning bekti
Sampun anunggal tingal
Adalah manusia istimewa yang telah sampai kepada kebenaran sejati; pandangan hatinya menjadi bening begitu ia berhadapan dcngan Tuhan. Luluh lebur segala tabir dunia. Pandangannya larut dalam kebesaran Tuhan-nya. Tak putus menyebut nama-Nya. Baginya yang ada hanyalah Allah.
Semua geraknya menjadi sembah, salat jiwanya tegak sepanjang waktu bahkan ketika raganya dalam keadaan tak suci. Mata hatinya tak putus memandang Allah. Kenyataan yang ada baginya adalah kesatuan wujud baik ketika dalam salat maupun di luarnya. Hasrat manusiawi ‘lah terselaraskan dengan kehendak Ilahi.
Dan semuanya baru berhenti apabila Eyang Mus, oleh matra kemanusiaan sendiri, tersadar dirinya terhadirkan di alam kesehatian.
Orang Karangsoga, bahkan Mbok Mus sendiri tak pernah mengerti betapa jauh jiwa Eyang Mus mengembara ketika lelaki tua itu sedang bersila di depan gambangnya. Mereka tidak tahu, ketika mata Eyang Mus terpejam hatinya malah melihat dunia yang lebih nyata. Namun demikian orang Karangsoga setidaknya mampu menangkap muatan wadhag, muatan lahiriah suara gambang Eyang Mus. Muatan itu adalah irama gambang yang menyapa hati, menyentuh jiwa sehingga mereka betah mendengarkannya. Apalagi ketika tengah malam cahaya bulan membuat bayang-bayang pepohonan di halaman dan udara musim kemarau terasa sangat dingin; orang-orang Karangsoga larut dalam kelembutan suara gambang yang melantun merayapi sudut-sudut kampung, memantul pada lereng-lereng tebing, dan menghilang setelah jauh merayap menyusur lembah.
Eyang Mus bangkit setelah selesai dengan beberapa pupuh suluk lalu duduk di bangku panjang. Lelaki tua itu sedang menggulung rokok dan istrinya sedang membersihkan bibir dengan susur ketika seorang perempuan uluk salam. Eyang Mus dan istrinya sudah kenal suara itu, suara Mbok Wiryaji.
“Aku tak pangling akan suaramu. Bersama siapa?” tanya Eyang Mus sambil membukakan pintu.
“Sendiri, Yang.”
“Suamimu?”
“Di rumah.”
Di bawah sorot lampu gantung tampak wajah Mbok Wiryaji yang gelap. Eyang Mus suami-istri sudah hafal, istri Wiryaji itu selalu datang bila ada kekusutan di rumah.
“Duduklah. Rasanya wajahmu mendung. Cekcok lagi?”
“Biasa, Yang. Mungkin sudah jadi suratan, saya dan suami saya harus sering cekcok.”
“Kalian sudah beruban tetapi belum juga berubah.”
“Yang, pada awalnya saya dan suami saya bicara soal Lasi. Bicara ke sana kemari, eh, lama-lama kami bertengkar. Daripada ramai di rumah lebih baik saya menyingkir ke sini.”
“Cobalah, sesekali kamu datang kemari dengan nasi hangat dan gulai ikan tawes, pasti kuterima dengan gembira. Jangan selalu soal pusing kepala yang kamu sodorkan kepadaku. Sekarang urusan apa lagi?”
“Lasi, Yang. Maksud saya, suaminya si Darsa itu. Sudah empat bulan dirawat di rumah keadaannya tak berubah.”
“Masih ngompol?”
“Ngompol terus, malah perangai Darsa sekarang berubah. Ia jadi suka marah, sepanjang hari uring-uringan. Kemarin Darsa membanting piring hanya karena Lasi agak lama pergi ke warung. Aku kasihan kepada Lasi. Suami seperti kambing lumpuh, pakaiannya yang sengak harus dicuci tiap hari, tapi saban kali Lasi malah kena marah.”
“Siapa yang menyiapkan kayu bakar?”
“Nah, itu! Mengolah nira memang pekerjaan Lasi sejak kecil. Tetapi soal mencari kayu? Eyang Mus, saya tak tega melihat Lasi tiap hari bersusah payah mengambil kayu di hutan. Dan yang membuat saya cemas, apakah penderitaan Lasi bisa berakhir? Bagaimana kalau Darsa tak bisa sembuh?”
“Kamu jangan berpikir seperti itu.”
“Eyang Mus, Lasi masih muda. Apa iya, seumur-umur ia harus ngewulani suami yang hanya bisa ngompol?” Mbok Wiryaji tersenyum pahit.
“Hus.”
“Saya tidak main-main, Eyang Mus. Sekarang Darsa memang hanya bisa ngompol, ditambah perangainya yang berubah jadi pemarah. Dengan keadaan seperti itu, sampai kapan Lasi bisa bertahan, dan haruskah saya diam belaka?”
“Nanti dulu. Kalau perasaanku tak salah, aku menangkap maksud tertentu dalam kata-katamu. Kamu tidak lagi menghendaki Darsa jadi menantumu?”
Mbok Wiryaji terkejut. Wajahnya berubah. Eyang Mus tersenyum karena percaya dugaannya jitu.
Episode 9
Bekisar Merah
“Jangan tergesa-gesa. Sebelum mendapat kecelakaan Darsa adalah suami yang baik. Kini Darsa tak berdaya karena sesuatu yang berasal dari luar kehendaknya. Lalu, apakah kamu mau tega?”
“Aku ikut tanya,” sela Mbok Mus. “Apakah Lasi kelihatin tak suka lagi bersuami Darsa?”
“Tidak juga. Saya kira Lasi tetap setia menemani suaminya yang bau sengak itu. Dan hal itulah yang membuat saya malah jadi lebih kasihan kepadanya. Masalahnya, apakah Lasi harus mendnderita lahir-batin seumur hidup?”
“Sebelum kamu punya pikiran pendek seperti tadi, apa kamu sudah cukup ikhtiar untuk menyembuhkan Darsa?”
“Sudah tak kurang, Eyang Mus. Tidak sembuh di rumah sakit, kemudian segala jamu sudah banyak diminum. Jampi sudah banyak disembur.”
“Ya. Ikhtiar harus tetap dijalankan. Juga doa. Dulu kamu sendiri bilang, bila hendak memberikan welas-asih, Gusti Allah tidak kurang cara. Tetapi mengapa sekarang kamu jadi berputus asa? Kamu tak lagi percaya bahwa Gusti Allah ora sare, tetap jaga untuk menerima segala doa?”
“Iya, Eyang Mus. Semua itu saya percaya. Tetapi...”
“Teruskan, kenapa terputus?”
Mbok Wiryaji kelihatan ragu.
“Eyang Mus, saya berterus terang saja, ya. Kemarin saya mendapat pesan dari Pak Sambeng, guru yang dulu mengajar Lasi. Ketika Lasi masih gadis Pak Sambeng melamarnya tetapi kami tolak karena waktu itu Pak Sambeng masih punya istri. Kini, dia menduda. Dia masih menghendaki Lisi. Katanya, bila tak kena perawan, jandanya pun jadi.”
“Cukup! Rupanya inilah hal terpenting mengapa kamu datang kemari. Rupanya kamu sedang mendambakan punya menantu seorang guru. Sebenarnya kamu harus menolak begitu mendengar pesan Pak Sambeng itu. Satu hal kamu tak boleh lupa: Jangan sekali-kali menyuruh orang bercerai. Juga jangan lupa, Darsa adalah kemenakan suamimu. Salah-salah urusan, malah kamu dan suamimu ikut kena badai. Oh, Mbok Wiryaji, aku tak ikut kamu bila kamu punya pikiran demikian. Aku hanya berada di pihakmu bila kamu terus berikhtiar dan berdoa untuk kesembuhan Darsa.”
“Soal berikhtiar, Eyang Mus, percayalah. Sampai sekarang pun kami terus berusaha. Kini pun Darsa sedang ditangani oleh seorang tukang urut; Bunek.”
“Bunek si dukun bayi?”
“Ya. Bunek memang dukun bayi. Tetapi banyak orang bilang pijatannya terbukti bisa menyembuhkan beberapa lelaki peluh, eh, lelaki yang anu-nya mati.”
“Kamu yang menghubungi Bunek?”
“Bukan. Lasi sendiri yang menyerahkan suaminya untuk ditangani peraji itu.”
“Nah, itu namanya pikiran waras. Aku sungguh-sungguh ikut berdoa semoga ikhtiar kalian kali ini berhasil.”
Mbok Wiryaji hanya mengangguk. Tetapi kesan tak puas masih tersisa pada wajahnya. Emak Lasi itu lalu merebahkan diri di balai-balai yang didudukinya.
“Kamu boleh beristirahat di sini. Tapi jangan menginap. Ora ilok, tak baik meninggalkan suami sendiri di rumah,” dan tangan Eyang Mus meraih kotak tembakau. Sesaat kemudian terdengar bunyi pemantik api serta embusan napas dengan asap rokok. Sepi dari luar merayap masuk. Mbok Mus menyuruh emak Lasi pulang tetapi hanya mendapat jawaban desah napas. Mbok Wiryaji pulas.
***
Orang bilang ciri paling nyata pada diri Bunek adalah cara jalannya yang cepat. Cekat-ceket. Langkahnya panjang dan ayunan tangannya jauh, mungkin karena Bunek biasa tergesa bila berjalan memenuhi panggilan perempuan yang sedang menunggu detik kelahiran bayinya. Namun cirinya yang lain pun tak kalah mencolok. Bunek selalu kelihatan paling tinggi bila berada di antara perempuan-perempuan lain. Tawanya mudah ruah, juga latahnya. Pada saat latah, ucapan yang paling cabul sekalipun dengan mudah meluncur dari mulutnya. Namun dalam keadaan biasa pun Bunek biasa berkata mesum seringan ia menyebut sirih yang selalu dikunyahnya. Wajah Bunek bulat panjang dan semua orang percaya ia cantik ketika masih muda. Kulitnya malah masih lembut meskipun Bunek sudah punya beberapa cucu. Rambutnya yang lebat mulai beruban tetapi Bunek rajin menyisirnya sehingga menambah kesannya yang rapi dan singset. Ia selalu ingin bergerak cepat.
Banyak perempuan menjadi pelanggan Bunek. Konon karena pijatan tangannya yang lembut namun tetap bertenaga. Keterampilan demikian konon tak mudah tertandingi oleh peraji lain. Telapi lebih banyak orang bilang, bukan hanya pijatan Bunek yang disukai melainkan juga suasana cair dan ringan yang selalu dibawanya di mana pun Bunek berada. Bagi Bunek segala masalah boleh dihadapi dengan tertawa, bahkan dengan latah yang cabul. Rasa sakit yang menusuk perut ketika seorang perempuan melahirkan hanya perkara enteng di mata Bunek. “Aku juga pernah melahirkan. Rasa sakit ketika jabang bayi mau keluar bisa membuat aku ingin meremas suami sampai remuk. Namun heran, sungguh heran, aku tidak jera. Aka bunting lagi dan bunting lagi. Aka kecanduan. Eh, apa kamu tidak begitu? Tidak? He-he-he!”
Suatu kali seorang ibu meraung-raung ketika hendak melahirkan. Perempuan itu bersumpah habis-habisan demi langit dan bumi bahwa dia tak sudi hamil lagi. Tak sudi! Tetapi Bunek menanggapinya sambil tersenyum ringan. “Tahun lalu kamu bersumpah demi bapa-biyung, sekarang kamu bersumpah demi langit dan bumi, tetapi aku percaya tahun depan kamu hamil pula. Lalu kamu akan bersumpah demi apa lagi? Ayolah, aku belum bosan mendengar sumpahmu, he-he-he.”
Apabila ada perempuan tidak memilih Bunek, sebabnya mungkin karena kesukaan dukun bnyi itu berterus terang. Bunek biasa blak-blakan menyuruh seorang suami jajan bila tak sabar menunggu istrinya sehat kembali setelah melahirkan. Bila disanggah orang karena nasihatnya yang samin itu dengan enteng Bunek bilang, “Lelaki ngebet itu biasa, wajar. Dan siapa yang bisa menahan diri boleh dipuji. Lho, yang tidak? Jujur saja, apa mereka harus mencari liang kepiting? He-he-he.”
Selama mcrawat Darsa, Bunek tetap membawa suasana yang menjadi cirinya, cair dan enteng. Mula-mula Darsa agak tersinggung karena terasa betul Bunek menyepelekan penderitaannya. Namun lama-kelamaan Darsa menikmati keserbacairin dukun bayi itu. Tentang kemih Darsa yang terus menetes misalnya, Bunek hanya bilang, “Ah, tidak apa-apa. Cuma air yang merembes. Seperti nira yang kamu sadap, kemihmu akan berhenti menetes pada saatnya.” Atau tenting pucuk Dirsa yang lemah, “Itu juga tidak apa-apa. Seperti ular tidur, nanti akan menggeliat bangun bila cuaca mulai hangat.”
Kata “tidak apa-apa” yang selalu diulang dengan senyum Bunek yang ringan akhirnya mampu membangkitkan kepercayaan Darsa, percaya bahwa cacat tubuh yang disandangnya hanya masalah sementara, tidak apa-apa, dan tidak mustahil Bunek bisa mengatasinya. Maka Darsa makin patuh kepada Bunek. Dia serahkan dirinya untuk diurut dari kaki sampai kepala. Bagian pusar dan selangkangannya selalu mendapat garapan khusus.
“Pantas, bocah-mu mati. Urat-urat di selangkanganmu dingin seperti bantal kebocoran,” kata Bunek suatu kali. “Kamu harus banyak bergerak agar urat-uratmu tidak beku.”
Darsa hanya melenguh.
“Tak lupa minum jamu?”
Darsa melenguh lagi.
“Ya. Meski pahit namun harus kamu minum. Bahannya bukan apa-apa, sekadar akar ilalang dan ujung akar pinang serta cengkih. Kamu tahu mengapa akar ilalang?”
“Tidak.”
“Akar ilalang akas dan punya daya tembus hebat. Tanah cadas yang keras pun dapat diterobosnya.”
Darsa nyengir.
“Kamu tahu mengapa cengkih?”
Darsa nyengir lagi.
“Cengkih bisa menimbulkan kehangatan. Ya. Karena semuanya bermula dari berhangat-hangat.”
Pada pekan pertama setiap hari Bunek datang merawat Darsa di rumah. Namun selanjutnya Darsa diminta datang ke rumah Bunek pada malam hari. “Di siang hari pekerjaanku terlalu banyak,” kata Bunek. “Lagi pula kamu perlu banyak berjalan untuk menghidupkan kembali urat-urat tungkaimu yang dingin.”
Dengan senang hati Darsa memenuhi permintaan Bunek karena pergi malam hari jarang bertemu orang lain. Darsa malu, setiap orang akan menutup hidung bila berpapasan dengan dia. Sengak. Lasi sering menemani Darsa pergi ke rumah Bunek. Namun bila badan terasa letih, Lasi melepas Darsa berangkat seorang diri.
Episode 10
Bekisar Merah
Hujan pertama sudah turun mengakhiri musim kemarau selama hampir lima bulan. Perdu yang meranggas pada dinding-dinding lembah dan lereng jurang menghijau kembali karena munculnya pucuk daun muda dan tunas-tunas baru. Rumpun puyengan yang menutupi tanah-tanah liar mulai berbunga, seakan menaburkan warna marak kekuningan di mana-mana. Relung-relung muda bermunculan di tengah hamparan pikis-pakisan sepanjang lereng jurang.
Ketika matahari naik ratusan kupu dari berbagai jenis dan warna beterbangan mengelilingi bunga-bunga liar atau berkejaran dengan pasangannya. Pagi hari ribuan laron keluar, terbang berhamburan mengundang burung-burung dan serangga pemangsa. Pagi yang meriah, suasana khas awal musim hujan. Burung layang-layang, keket, dan si ekor kipas pamer ketangkasan mereka menyambar mangsa. Tapi capung maling tak lagi mengejar buruannya apabila sudah ada seekor laron di mulutnya. Sedikit laron yang selamat adalah yang segera bertemu pasangannya. Laron jantan akan menggigit pantat laron betina, turun ke bumi, dan melepas sendiri sayap-sayap mereka. Keduanya akan merayap beriringan, menggali tanah di tempat yang tersembunyi, dan siap berkembang biak untuk membangun koloni baru.
Di pekarangan yang penuh pepohonan Darsi sedang mengumpulkan ranting-ranting mati untuk kayu bakar. Sudah beberapa hari Darsa bisa kembali bekerja yang ringan-ringan. Setengah tahun terpaksa beristirahat membuat otot-ototnya hampir kehilangan kekuatan. Maka Darsa belum berani menyadap sendiri pohon-pohon kelapanya. Meskipun demikian beberapa perubahan jelas nampak pada diri Darsa. Wajahnya mulai bercahaya dan segala gerak-geriknya kelihatan lebih bertenaga. Dan Lasi merasakan perubahan lain, Darsa makin jarang marah. Suaminya itu juga sudah mau bercakap-cakap, bahkan kadang tertawa dan bergurau bersama Mukri. Padahal biasanya wajah Darsa berubah gelap apabila Mukri datang mengantar nira. Apalagi bila Lasi kelihatan terlalu bersemangat membantu Mukri menurunkan pongkor dari pundaknya. Memang, Mukri suka mencuri pandang dan kadang senyumnya nakal. Lasi yang sekian bulan tidak diapa-apakan bisa tersengat oleh ulah Mukri. Hanya tersengat, selebihnya tidak ada apa-apa lagi.
Dan ada perubahan yang lebih nyata. Suatu kali Darsa mendekati Lasi yang sedang jongkok di depan tungku. Dengan wajah terang Darsa berbisik,
“Las, celana yang kupakai sejak pagi masih kering.”
Lasi menatap suaminya dengan mata bercahaya. Senyumnya mengembang,
“Syukur, Kang. Oh, pantas, cucianmu makin sedikit.”
“Kamu senang, Las?”
Lasi menunduk. Wajahnya memerah.
“Kamu sendiri senang apa tidak?”
Lasi dan Darsa berpandangan. Lasi tersengat dan ada gelombang kejut menyentak jantungnya. Pipinya merona. Namun Lasi segera menundukkan kepala.
“Nanti kita bikin selamatan, ya, Kang. Kita syukuran.”
“Ya, bila aku sudah benar-benar pulih-asal, kembali segar seperti sediakala.”
“Ya, Kang.”
Lasi terus bekerja mengendalikan api. Nira dalam kawah menggelegak seperti mengimbangi semangat yang tiba-tiba mengembang di hati Lasi. Asap mengepul dan bergulung naik ke udara. Bau nira yang mulai memerah tercium lebih harum. Oh, betul Gusti Allah ora sare, bisik Lasi untuk diri sendiri. Akhirnya Kang Darsa sembuh karena welas-asih-Nya. Orang yang senang menyebutku randha magel, janda kepalang tanggung, boleh menutup mulut. Emak yang selalu menyebut-nyebut nama Pak Sambeng juga boleh tutup mulut. Lasi mengembuskan napas lega. Air matanya menggenang.
Tadi malam hujan turun sejak sore dan baru berhenti bersamaan dengan bunyi beduk subuh di surau Eyang Mus. Beberapa bagian lantai tanah rumah Lasi tampak basah karena genting di atasnya bocor. Udara sangat dingin namun pagi ini Lasi dan Darsa sama-sama mandi keramas. Ada luap kegembiraan yang tertahan. Mereka bergurau, saling menyiramkan air. Di atas mereka seekor burung ekor kipas mencecet dan selalu bergerak sigap seperti mewakili semangat yang sedang menggeliat dalam hati pasangan penyadap muda itu. Darsa sudah mengambil kembali pekerjaan yang selama ia sakit dipercayakan kepada tetangganya, Mukri.
Meski punya pengalaman pahit terbanting dari ketinggian puncak kelapa, semangat Darsa tetap tinggi, tak terlihat kesan khawatir akan jatuh buat kali kedua. Di Karangsoga belum pernah terdengar cerita seorang penyadap jera karena jatuh. Rakam, misalnya, jatuh sampai tiga kali dan meninggal pada kecelakaan yang keempat. Mungkin ia akan tetap menyadap nira apabila nyawanya tak melayang. Meskipun begitu kemarin Lasi berdiri lama di depan pintu ketika melepas Darsa pergi menyadap. Mulut Lasi komat-kamit. Mangkat slamet, bali slamet, bisik Lisi. Amit-amit jangan seperti dulu, mangkat slamet, kembali sudah terkulai dalam gendongan Mukri.
Menjelang matahari tergelincir Lasi sudah selesai mengolah niranya. Gula merah sudah siap dalam sebuah bakul kecil ditutup daun-daun waru kering sebagai pengisap kelembapan. Dengan selendang tua bakul itu diangkatnya ke punggung. Simpul selendang menekan dadanya. Lasi tak pernah sadar dalam keadaan seperti itu ada bagian tubuh yang memadat yang tampak lebih menyembul kcluar dan menarik mata laki?laki.
Dengan sebakul gula merah di punggungnya Lasi keluar rumah dan berjalan cepat menuju rumah Pak Tir. Lebih nyaman terasa, menjual hasil sadapan suami daripada hasil sadapan orang lain. Matahari bersinar penuh sehingga Lasi harus menyipitkan matanya selama perjalanan. Kupu-kupu masih banyak beterbangan. Bunga bungur yang selalu muncul pada awal musim hujan mekar dalam dompolan ungu berputik kuning dan berlatar daun yang hijau berkilat. Beberapa ekor kumbang yang berpunggung kuning terbang-hinggap pada bunga yang masih segar dan meluruhkan kelopak yang sudah tua. Sepasang kutilang melompat-lompat pada ranting-rantingnya. Si jantan melantunkan kicaunya yang nyaring dan bening. Suara riang-riang membuat suasana tengah hari makin terasa hidup.
Lasi terus melangkah. Menyeberang titian pinang sebatang, tersenyum sendiri karena teringat dulu ia sering berlama-lama di situ, lalu mendaki dan muncul pada gang yang lurus menuju rumah Pak Tir. Sudah ada beberapa perempuan yang sama-sama hendak menjual gula. Lasi menunggu giliran. Dan merasakan suasana tiba-tiba berubah kaku dan hening. Tiba-tiba terasa ada jarak antara dirinya dan semua orang yang ada di sana. Perempuan-perempuan itu kelihatan menahan diri, enggan bertegur-sapa, malah mereka tersenyum aneh di antara mereka sendiri. Atau saling mengedipkan mata. Tiga laki-laki yang sedang mengangkat peti-peti gula dari gudang ke bak truk yang diparkir di halaman juga tersenyum dan saling pandang setelah mereka mengetahui kedatangan Lasi.
Pak Tir sendiri sibuk dengan batang timbangan. Lelaki gemuk dengan kepala bulat yang mulai botak itu bekerja cepat dan mekanis. Tangannya selalu tangkas memainkan batang timbangan, menangkapnya pada saat yang tepat, yaitu ketika batang kuningan itu mulai bergerak naik. Keterampilan seperti itu akan memberikan keuntungan sepersekian ons gula sekali timbang. Maka Pak Tir kadang tersinggung apabila ada orang terlalu saksama memperhatikan caranya menimbang gula. Pembayaran gula pun dilakukan Pak Tir dengan gampang dan dingin.
“Hari ini harga gula turun lagi. Aku hanya menuruti aturan tauke. Bila mereka menaikkan harga, aku ikut. Bila turun, aku juga ikut.”
Para istri penyadap sudah terbiasa mendengar kabar buruk seperti itu. Maka mereka selalu hanya bisa menanggapinya dengan cara menelan ludah dan alis yang berat. Tak bisa lain. Menolak harga yang ditentukan Pak Tir lalu membawa gula mereka pulang? Tak mungkin, karena kebanyakan mereka punya utang pada tengkulak gula itu. Juga, hasil penjualan hari ini adalah hidup mereka hari ini yang tidak mungkin mereka tunda. Maka bagi mereka harga gula adalah ketentuan menakutkan yang entah datang dari mana dan harus mereka terima, suka atau tidak suka.
Tentang harga yang turun kadang Pak Tir punya cerita; sekarang musim buah-buahan. Maka kebutuhan orang akan makanan yang manis berkurang. Atau, tauke bilang pabrik kecap di Jakarta yang biasa menerima gula terbakar sehingga stok gula menumpuk di gudang. Atau lagi, harga solar naik karena pemerintah memotong subsidi harga bahan bakar minyak. Tauke terpaksa menurunkan harga pembelian gula untuk menutup kenaikan biaya angkutan.
Istri-istri penyadap itu selalu mendengarkan cerita Pak Tir dengan setia. Mereka menganggukkan kepala setiap kali Pik Tir selesai dengan satu cerita. Tetapi mereka sungguh tidak bisa mengerti apa hubungan antara musim buah dan jatuhnya harga gula, tentang pabrik kecap yang terbakar, dan kenaikan bahan bakar minyak. Mereka mengangguk karena itulah satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan. Ya, mengangguk bukan karena mereka mengerti. Anggukan mereka lebih terasa sebagai pertanda ketidakberdayaan.
Ketika akhirnya giliran Lasi tiba, Pak Tir menatapnya sejenak lalu berdecak sambil menggelengkan kepala. Sama seperti semua orang yang berada di sekelilingnya, Pak Tir pun tersenyum aneh. Suaranya bernada penuh simpati ketika Pak Tir berkata perlahan,
“Oalah, Las, buruk amat peruntunganmu. Kamu harus bisa sabar. Puluh-puluh, Las, barangkali sudah jadi garis nasibmu.”
“Pak Tir, apa maksud Anda?” tanya Lasi gagap. Wajahnya menunjukkan kcbimbangan yang amat sangat.
“Lho, apa kamu belum tahu?”
“Tahu hal apa, Pak? Ada apa sebenarnya?” Wajah Lasi makin tak menentu. Bibirnya gemetar.
Pak Tir kembali menggelengkan kepala. Terasa ada yang aneh dan muskil.
“Las, aku tak ingin mengatakan sampai kamu tahu sendiri apa yang kumaksud. Memang aneh, Las. Aneh. Orang sekampung sedih tahu tetapi kamu sendiri malah tak merasa apa-apa.”
Episode 11
Bekisar Merah
Dengan tangan gemetar karena risau, Lasi menerima uang pembayaran gula yang diberikan Pak Tir. Tanpa menghitung uang itu Lasi langsung melangkah pulang. Sekilas dilihatnya orang-orang masih memandangnya dengan cara aneh. Terasa ada cakar tajam menusuk dadanya. Kuduk Lasi terasa panas, seakan semua mata orang melekat di sana. Lasi berjalan setengah berlari agar bisa secepatnya sampai di rumah. Langkahnya panjang-panjang. Tak dipedulikannya seekor si kaki seribu yang merayap melintas jalan di depannya. Padahal biasanya Lasi paling ngeri melihat binatang yang lamban dan menjijikkan itu. Lasi hampir masuk ke halaman rumah ketika dari arah samping muncul emaknya. Mbok Wiryaji berjalan sambil mengangkat kain tinggi-tinggi. Kemarahan yang luar biasa kelihatan dari wajahnya yang terbakar.
“Oalah, Lasi, anakku. Kaniaya temen awakmu! Sial amat peruntunganmu!”
“Apa, Mak? Sebetulnya ada apa, Mak?”
“Gusti. Jadi kamu belum tahu? Darsa, suamimu, tengik! Dia bacin! Dia kurang ajar. Sipah sedang menuntutnya agar dikawin. Kamu tidak usah pulang ke rumahmu. Kamu harus minta cerai.”
Lasi masih mendengar emaknya terus nyapnyap dengan ledakan kata-kata yang sangat pedas dan tajam. Lasi juga masih melihat bayangan emaknya bergerak-gerak dalam kemabukannya. Tetapi Lasi sendiri terpaku, matanya terbuka lebar tanpa kedip, kedua bibirnya berhenti pada posisi seperti hendak berkata-kata. Dan kesadarannya melayang ke dalam dunia yang asing. Lasi melihat semua orang. Pepohonan dan burung-burung menyeringai mengejeknya. Matahari terlihat kuning kotor dan air di dasar jurang menyuarakan gelak tawa. Muncul Bunek bertelanjang dada, teteknya menggelantung sampai ke pusar, menyeringai dengan gigi membusuk dan jarang. Rambutnya gembel menjadi gumpalan serabut kotor. Bunek terkekeh dan meringkik panjang. Suara yang buruk dan menyakitkan telinga itu bergaung lalu memantul berulang-ulang pada setiap dinding lembab.
Dunia Lasi terus jungkir balik dan malang melintang. Segala sesuatu melayang, berhamburan, dan berbaur dengan sejuta kunang-kunang, sejuta bintang dan sejuta kembang api yang meledak bersama. Ada ular belang siap mematuk. Ada kalajengking. Lalu ada suara berdenting pecah dalam liang telinga Lasi. Lalu segalanya hening. Yang jungkir balik perlahan mereda. Yang herhamburan perlahan berhenti dan luruh. Yang tampak pekat mencair. Yang keruh mengendap. Perlahan Lasi hadir kembali ke dalam dunia nyata.
Dalam kesadaran yang belum sepenuhnya pulih Lasi melihat Sipah, perawan lewat umur anak bungsu Bunek. Gadis berkaki pincang dan amat pemalu itu sedang menuntut Darsa mengawininya? Pada detik pertama Lasi mempercayai kenyataan itu, bakul yang sedang dipegangnya jatuh ke tanah. Juga uang yang digenggamnya. Kelenting receh logam jatuh ke tanah berbatu. Kedua tangan Lasi mengepal. Lasi terlempar kembali ke dalam dunia khayal, menjadi kepiting batu raksasa dengan capit dari gunting baja. Lasi siap memangkas putus pertama-tama leher Bunek, kemudian leher Darsa, kemudian leher semua orang. Tapi tak pernah ada kepiting raksasa atau jari dari gunting baja. Yang tergelar di depan Lasi adalah kenyataan dirinya terlempar dari pentas tempat selama ini dia hadir. Lasi kini merasa di alam awang-uwung, antah berantah. Tak ada layar atau cermin tempat ia melihat pantulan dirinya sendiri. Tak ada sesuatu untuk membuktikan bahwa dirinya ada. Lasi merasakan dirinya tak lagi mewujud. Hilang, atau ketiadaan yang menghunjamkan rasa amat sakit ke dalam dadanya.
Seperti kelaras pisang tertiup angin, Lasi bergoyang lalu berjalan. Dengan matanya yang tak pernah berkedip dan wajah mati rasa Lasi menjadi sosok yang bergerak tanpa kesadaran penuh. Masih terus mengutuk dan mengumpat Darsa, Mbok Wiryaji mengikuti Lasi, pulang. Sampai di ambang pintu Mbok Wiryaji melihat suaminya sedang duduk diam seperti pongkor kosong. Serta-merta kemarahannya meruah lebih dahsyat.
“Itu, Darsa kemenakanmu. Tengik bacin! Tak tahu diuntung. Setengah tahun hanya menjadi kambing lumpuh yang harus dicatu, kini dia malah menghina anakku. Kamu tidak tahu Lasi secepatnya akan dapat suami baru bila ia jadi janda? Suami barunya nanti seorang priyayi. Guru. Punya gaji. Bukan cuma penderes dungu yang bau nira masam. Apek. Mau tahu; banyak lelaki menunggu Lasi jadi janda?”
“Nanti dulu,” kata Wiryaji sabar.
“Tidak! Kemenakanmu memang kurang ajar. Menyesal, mengapa dulu aku menjodohkan dia dengan anakku. Menyesal!”
Mbok Wiryaji megap-megap karena kehabisan kata-kata. Lasi yang duduk di balai-balai masih membisu. Keheningan yang sesaat kemudian diisi oleh suara terompah mendekat. Eyang Mus masuk dan berdiri sejenak di pintu. Lelaki dan perempuan tetangga juga berdatangan.
“Ada apa, Wiryaji? Dari rumah aku mendengar orang berteriak-teriak?”
“Darsa, Yang. Kemenakan saya itu nakal. Dia sedang menghadapi tuntutan Sipah, anak Bunek. Sipah menuntut Darsa mengawininya. Darsa memang ingin membuat malu orangtuanya,” jawab Wiryaji lesu.
“Nah, Eyang Mus!” Tiba-tiba Mbok Wiryaji menyambar. “Dulu saya menyuruh Lasi minta cerai, tetapi sampeyan tidak setuju. Sekarang malah begini jadinya. Sampeyan harus ikut menanggung semua ini. Sekarang sampeyan harus ikut menyuruh Lasi minta cerai.”
“Sabar. Dari dulu aku selalu ikut menanggung kesulitan yang kalian hadapi. Sekarang aku juga ikut menyalahkan Darsa. Memang, wong lanang punya wenang. Tapi sekali-kali tak boleh sewenang-wenang. Jelas Darsa salah. Namun aku minta jangan dulu bicara soal perceraian.”
“Tunggu apa lagi, Eyang Mus? Apa karena hanya lelaki yang punya talak?”
“Sabar. Aku tak bermaksud sejauh itu. Yang harus kalian tunggu adalah suasana hati yang tenang. Tidak baik mengambil keputusan besar dalam keadaan panas seperti ini. Juga, apa pun sikap yang akan diambil terhadap Darsa, Lasi-lah yang punya hak. Percayalah akan adanya hak di tangan anakmu. Karena, istri yang setia hanya untuk suami yang setia, begitu aturannya.”
Beberapa tetangga, lelaki dan perempuan, ikut bicara. Mereka bersama-sama berusaha menenangkan Mbok Wiryaji. Seseorang mengingatkan Mbok Wiryaji akan keyakinan orang Karangsoga bahwa segala hal sudah ada yang mengatur, “Manusia mung saderma nglakoni,” katanya. Lasi, meski terkesan seperti petasan siap meledak, tetap diam. Lengang, meski kaku dan tegang. Eyang Mus yang semula bermaksud memanggil Darsa mengurungkan niatnya. Mempertemukan Darsa dengan Lasi dan Mbok Wiryaji ketika suasana masih panas sama dengan mengumpankan kucing ke depan anjing yang sedang amok.
“Nah, aku mau pulang. Aku minta kalian bisa bersabar menghadapi cobaan berat ini. Dan kamu, Las, ayo ikut ke rumahku untuk menenangkan diri di sana. Mau?”
Di luar dugaan semua orang Lasi bangkit lalu berjalan mengikuti Eyang Mus. Orang-orang memandangnya dengan rasa kasihan. Dari rumah Wiryaji orang melihat tubuh Lasi dan Eyang Mus sedikit demi sedikit tenggelam di balik pagar hidup ketika mereka mulai menapak jalan menurun. Dan lenyap sama sekali setelah keduanya melewati kelokan ke selatan.
*
Karangsoga sibuk lagi dengan pergunjingan. Cerita berkembang ke segala arah menuruti kemauan mulut setiap orang yang punya kisah. Tetapi kebanyakan orang percaya bahwa semua kesontoloyoan Darsa bermula dari akal-akalan Bunek. Sipah yang cacat dan sangat pemalu kurang layak dianggap punya keberanian menggoda Darsa. Seorang petutur dengan gaya sangat meyakinkan berkata, orang pertama yang tahu akan kesembuhan Darsa tentulah Bunek sendiri. Kata petutur ini, kesembuhan Darsa tidak boleh dibuktikan langsung kepada istrinya, melainkan harus kepada orang lain lebih dahulu. Kata petutur itu pula, yang demikian adalah syarat yang biasa dilakukan oleh seorang dukun lemah pucuk seperti Bunek.
“Boleh jadi,” kata petutur tadi, “Bunek ingin menyediakan diri menjadi ajang pengujian kesembuhan Darsa. Siapa tahu. Namun malu karena sudah bercucu dan beruban, Darsa dilimpahkannya kepada Sipah.”
Mengakhiri ceritanya, si petutur tersenyum puas dan disambut gelak tawa orang-orang yang mendengarkannya.
Petutur lain membawa cerita yang tak kalah seru, seakan dia tahu betul apa yang terjadi antara Darsa, Bunek, dan anak gadisnya. Menurut petutur yang satu ini, pada awalnya Sipah menolak ketika suatu malam emaknya menyuruh menggantikannya mengurut Darsa. Hanya karena takut akan kemarahan emaknya, Sipah menurut dan Bunek pergi meninggalkan Sipah hanya berdua dengan Darsa.
“Nah, meski pincang, Sipah tetap perempuan, bukan?” Tawa mereka pun meledak lagi.
Cerita tentang Darsa dan Sipah makin hari berkembang makin rumit dan simpang siur. Bunek yang semula menanggapinya hanya dengan tertawa latah sampai merasa perlu berterus terang. Tetap dengan pembawaannya yang serba cair, Bunek blak-blakan kepada semua orang. “Darsa? Ah, itu masalah kecil, masalah brayan urip, masalah kebersamaan hidup. Darsa sudah kutolong mengembalikan kelelakiannya. Sebagai imbalan aku balik minta tolong. Permintaanku sangat sederhana, enak pula melaksanakannya; kawini Sipah. Kalian tahu, menunggu sampai orang datang melamarnya, repot. Apa kalian mau mengawini anakku yang pincang itu? He-he-he.”
“Tetapi cara kamu minta tolong itu, lho. Kamu menjebak Darsa dengan menjadikan Sipah jadi umpan. Iya, kan?”
Bunek terkekeh.
“Urusan seperti itu kok ada jebakan dan ada umpan. Tak lucu. Soalnya sederhana, Darsi itu kan lelaki dan Sipah itu perempuan. Jadi soalnya adalah biasa, antara lelaki dan perempuan. Dan betul, Sipah memang pincang, tetapi hanya kakinya.”
Bunek latah lagi. Ia sudah mengalahkan semua orang dan memaksa mereka ikut tersenyum. Bahkan tertawa.
Ketika Karangsoga masih hangat dengan cerita tentang Darsa dan Sipah, lepas magrib sebuah truk pengangkut gula keluar dari halaman rumah Pak Tir. Pardi duduk di belakang kemudi dengan Sapon, kernetnya. Dengan muatan empat ton gula, Pardi harus sangat hati-hati mengendalikan truk yang sudah tua itu. Apalagi jalan kampung, meski berlapis batu yang ditata rapi, tetapi turun-naik dan sempit. Sebelum sampai di jalan besar lima kilometer di depan, truk itu harus melewati tikungan menanjak atau menurun serta melintasi jembatan-jembatan sempit dan tua. Pada beberapa tempat jalan kampung itu bahkan menyusur bibir jurang atau berdinding tebing hatu. Pardi tak pernah lupa tahun lalu sopir Pak Tir yang digantikannya meninggal di tempat itu setelah truk bersama semua isinya terguling dan hancur di dasar jurang.
Keluar dari tikungan terakhir Pardi merasa lepas dari ketegangan. Lampu truknya menyorot jauh karena jalan di depan sudah terbentang lurus meskipun menurun dan terus menurun. Pardi menyalakan rokok dan Sapon duduk lebih tenang. Seekor keklawar tertangkap sorot lampu. Binatang itu terbang berkelok-kelok mengejar serangga.
Jauh di depan seekor kucing liar atau musang bulan termangu di pinggir jalan. Sinar biru yang terpantul dari kedua matanya terlihat jelas sebelum binatang itu menyingkir ke balik belukar.
Episode 12
Bekisar Merah
Menjelang masuk jalan besar Pardi mengangkat pedal rem karena jalan kampung itu mulai datar. Tetapi Pardi tiba-tiba menginjaknya lagi untuk memperlambat truknya karena ia melihat sesosok tubuh mendadak muncul dari balik sebuah pohon. Sopir mana saja tahu itulah cara peremputan jalanan menarik perhatian orang, terutama para pengemudi kendaraan. Dan Pardi menggenjot rem kuat-kuat karena orang di depan sana bukan sekadar berusaha menarik perhatian melainkan sengaja merintang jalan. Truk berhenti terhuyung karena berat muatan. Mesinnya mati selagi gigi penggeraknya belum bebas. Pardi dan Sapon sama-sama mengumpat kesal. Namun keduanya kemudian sama-sama berseru,
“Lho, Lasi? Mau apa dia?”
Sopir dan kernet turun bersama-sama. Dan jauh di luar dugian mereka, Lasi menyerobot masuk kabin dan duduk membeku. “Mas Pardi, aku ikut,” ujar Lasi dingin dan kaku. Tatapan matanya lurus ke depan. Wajahnya keras dan beku seperti dinding batu menyiratkan suatu tekad yang tak tergoyahkan.
“Ikut? Kami mau ke Jakarta dan kamu mau ikut?”
Tak ada jawaban. Dan Lasi tak bergeming. Matanya yang nyalang terus menatap tanpa kedip ke depan.
“Lho, jangan, Las. Kami tahu kamu sedang punya masalah. Nanti orang bilang aku mencampuri urusanmu. Jangan, Las,” cegah Pardi.
“Ya, lagi pula kami merasa tak enak terhadap suami dan orangtuamu. Juga Eyang Mus. Salah-salah mereka mengira kami melarikan kamu. Wah, bisa repot,” tambah Sapon.
Lasi masih membatu di tempatnya. Pardi membuang rokok dan menggilasnya dengan sandal. Sapon berjalan berputar-putar. Suasana terasa canggung dan buntu. Mesin truk menderum-derum.
“Las, sesungguhnya kamu mau ke mana?” tanya Pardi.
“Truk ini mau ke mana?”
“Sudah kubilang, ke Jakarta.”
“Ke Jakarta atau ke mana saja, aku ikut.”
Pardi menggaruk kepala. Sapon malah menjauh lalu duduk menyelonjor di pinggir jalan. Ia bimbang.
“Bagaimana, Pon?”
“Terserah Mas Pardi. Bagiku, asal kita tidak dituduh macam-macam.”
“Mas Pardi,” kata Lasi tiba-tiba. “Bumi-langit jadi saksi bahwa aku pergi atas kemauanku sendiri. Ayolah. Atau bila kalian keberatan aku akan turun dan duduk di depan roda. Bagaimana?”
Sekali lagi Pardi menggaruk kepala. Namun akhirnya sopir itu naik. Sapon pun naik. Lasi duduk di antara keduanya. Mesin truk menggeram dan roda-rodanya kembali bergulir makin lama makin cepat. Sambil menukar gigi penggerak, Pardi bergumam,
“Baiklah, bila kamu sudah bersaksi kepada langit, kepada bumi. Aku pun bersumpah bahwa aku tak punya urusan dengan pelarianmu ini.”
Dekat mulut jalan besar Pardi kembali menghentikan truknya. “Aku mau beli rokok dulu,” katanya sambil melompat turun. Pardi memang membeli rokok. Tetapi kesempatan itu digunakannya juga untuk titip pesan bagi orangtua Lasi kepada pemilik warung. Bagaimana juga Pardi ingin membersihkan diri sebab sebentar lagi pasti ada geger; Lasi raib dari Karangsoga.
Memasuki jalan besar truk membelok ke barat dan meluncur beriringan dengan kendaraan lain yang datang dari timur. Di atas jalan kelas tiga yang berlapis aspal truk dari Karangsoga itu berjalan lebih tenang dan dikemudikan dalam kecepatan tetap. Suara mesin menderu datar. Pardi kembali menyalakan rokok. Kabin truk terang sejenak. Sapon menengok ke kanan dan sekejap terlihat olehnya mata Lasi berkaca-kaca.
Lasi memang menangis. Kini ia mulai sadar akan apa yang sedang dilakukannya; lari meninggalkan Karangsoga, bumi yang melahirkan dan ditinggalinya selama dua puluh empat tahun usianya. Lari dari rumah; rumah lahir, rumah batin tempat dirinya hadir, punya peran dan punya makna. Lari meninggalkan tungku dan kawah pengolah nira dan wangi tengguli mendidih. Dan semuanya berarti lari dari yang nyata menuju ketidakpastian, menuju dunia baru yang harus diraba-raba, dunia yang belum dikenal atau mengenalnya.
Lasi kadang merasa ragu dan takut. Namun rasa sakit karena perbuatan Darsa dan lebih-lebih sakit karena merasa dirinya tidak lagi berharga untuk seorang suami, membuat tekadnya lebih pekat. Lari dan mbalelo adalah satu-satunya cara untuk lampiaskan perlawanan sekaligus membela keberadaannya. Lari dan lari meski Lasi sadar tak punya tempat untuk dituju.
Hampir satu jam sejak memasuki jalan besar tak seorang pun dalam kabin truk itu bersuara. Pardi sering menggaruk-garuk kepala dan segera menyalakan rokok baru bila yang lama habis. Sapon mencoba bernyanyi. Tetapi suaranya terdengar sember, tertekan, dan parau. Ganti bersiul, namun bunyinya pun tak enak didengar. Kebisuan terus bertahan sampai Pardi menghentikan truknya di depan sebuah warung makan. Sapon turun lebih dulu untuk mengganjal roda supaya aman.
“Las, aku lapar. Warung makan ini langgananku. Kamu juga belum makan, bukan?”
“Ya, tetapi aku tak lapar.”
“Lapar atau tidak kamu harus makan. Kita mau berjalan jauh, tak baik membiarkan perut kosong. Bisa masuk angin.”
“Betul, Las,” sela Sapon. “Kita makan dulu.”
“Aku tak pernah makan di luar rumah. Malu.”
“Kalau begitu sekarang kamu coba. Lagi pula kamu sudah ikut kami, maka kamu harus ikuti aturan kami. Jangan sampai bikin repot gara-gara kamu sakit karena perut kaubiarkan kosong.”
“Apa kita sudah jauh dari Karangsoga?”
“Sudah. Di tempat ini kukira tak ada orang yang mengenalmu. Ayolah turun.”
“Aku tak punya uang. Pinjami aku dulu, ya.”
“Jangan bilang begitu. Kamu ikut kami, maka soal makan kamilah yang tanggung. Kecuali kamu mau bikin malu kami.”
Akhirnya Lasi mau turun dan masuk ke warung mengikuti Pardi dan Sapon. Lasi dan Sapon langsung duduk tetapi Pardi terus ke belakang. Seorang perempuan muda melayani Pardi dengan memberikan sabun dan handuk. Pardi tampak sudah sangat akrab dengan perempuan itu. Mereka sekilas tampak seperti suami-istri. “Biasa, Las,” kata Sapon yang melihat Lasi terheran-heran. “Sopir, kata orang, bila ingin ngaso, ya mampir. Jadi pacarnya banyak.” Lasi tak memberi tanggapan apa pun. Ia sedang mencatat dalam hati sesuatu yang baru diketahuinya karena sesuatu itu belum pernah dilihatnya di Karangsoga.
Sinar putih lampu petromaks membuat sosok Lasi tampak jelas. Kain kebaya yang dikenakannya sudah lusuh. Rambutnya disanggul sembarangan seperti perempuan hendak pergi ke sawah. Wajahnya berminyak pertanda sudah lama Lasi tidak mandi. Juga ternyata Lasi tak memakai alas kaki. Dan bibirnya pucat. Beberapa kali Sapon mendengar suara keruyuk dari perut Lasi.
Meski pada awalnya kelihatan canggung, Lasi makan dengan sangat lahap. Segelas besar teh manis pun ditenggak habis. Kalau bukan karena rasa lapar yang sudah lama tertahan, tak mungkin Lasi makan selahap itu. Keadaan Lasi mengingatkan Sapon akan cerita orang bahwa sejak mendengar suaminya berkhianat Lasi tak mau makan, juga tak bisa tidur. Bila cerita itu betul, boleh jadi sudah dua hari perut Lasi tak terisi makanan dan mungkin juga tidak tidur.
Sapon menggeleng-gelengkan kepala. Dan tersenyum; karena dalam keadaan demikian pun Sapon melihat Lasi tetap dalam kekhasannya: kontras antara hitam pekat rambutnya dan putih kulitnya begitu mengesankan. Alis dan matanya tdk ada duanya, membuat Lasi sangat mudah menarik perhatian. Apalagi tinggi badan Lasi seperti emaknya, Mbok Wiryaji, lebih tinggi dari kebanyakan perempuan Karangsoga. Sapon tersenyum lagi. Kini dia teringat Darsa. Betul, sumpah serapah Mbok Wiryaji, pikir Sapon. Darsa lelaki tak tahu diuntung, tak berhati-hati dengan kemujurannya mendapat istri secantik Lasi yang memang sudah dibilang orang lebih pantas menjadi ibu lurah.
Pardi keluar dari ruang dalam dan sudah berganti baju. Lasi heran lagi. Tetapi Pardi hanya menanggapinya dengan senyum, lalu minta dilayani makan. Lagi-lagi perempuan muda itu meladeninya seperti seorang istri. Lasi teringat pada istri Pardi di Karangsoga. Kalau begitu, pikir Lasi, benar kata orang, wis sakjege wong lanang gedhe gorohe, memang demikian adanya, semua lelaki tukang ngibul. Dan perempuan yang berambut keriting dan beranting berbentuk cincin itu melirik Lasi. Lasi tersinggung dan hatinya berkata bahwa perempuan itu cemburu terhadapnya. Jantung Lasi berdebar. Lasi ingin sekali menerangkan bahwa dirinya adalah perempuan somahan yang punya harga diri dan tidak ingin merebut lelaki mana pun. Dirinya sekadar menumpang truk untuk lari dan kebetulan Pardi yang menjadi sopir. Tetapi kata-kata yang sudah hampir tumpah itu hanya berputar-putar kemudian bergaung dalam dada. Pada kenyataannya Lasi hanya bisa menelan ludah dan menelan ludah lagi.
Episode 13
Bekisar Merah
Setelah membisikkan sesuatu kepada pacarnya, Pardi mengajak Sapon dan Lasi berangkat. Jam dinding tua di warung itu menunjuk angka delapan. Udara malam benar-benar dingin. Mesin truk kembali menderum dan perjalanan sepanjang malam yang akan menempuh jarak empat ratus kilometer dilanjutkan. Pardi terus-menerus merokok dan setiap kali korek api menyala, Sapon melirik ke kanan. Wajah Lasi kelihaLan lebih tenang bahkan pada kesempatan melirik kali ketiga, Sapon melihat mata Lasi terpejam. Jiwa yang letih setelah diguncang keras oleh kesontoloyoan suami, perut yang terisi penuh, serta ayunan pegas jok yang didudukinya membuat Lasi cepat ngantuk. Lasi benar-benar tertidur, kepalanya mulai terkulai ke kiri dan menindih pundak Sapon. Napasnya terdengar lembut dan teratur.
“Mas Pardi,” kata Sapon pelan.
“Apa?”
“Lasi tidur.”
“Biarlah dia tidur. Apa aku harus berhenti?”
“Bukan begitu. Aku kasihan.”
“Bukan hanya kamu. Aku juga. Malah aku masih bingung, apa sebenarnya yang ingin dilakukan Lasi. Minggat dan tak balik lagi ke Karangsoga atau bagaimana? Atau besok Lasi ikut pulang bersama kita?”
“Kukira begitu.”
“Bila ternyata tidak?”
“Aku tidak berpikir apakah Lasi akan kembali atau tidak.”
“Lalu?”
“Yang kupikir, dalam truk ini sekarang ada perempuan cantik, lebih cantik dari sennua pacarmu, Mas Pardi. Apa kamu tidak...”
“Hus! Monyet, kamu. Jangan macam-macam. Kami para sopir memang rata-rata bajingan. Tetapi kami punya aturan. Kami pantang main-main dengan perempuan bersuami. Itu pemali, tabu besar jika kami tidak ingin mampus dalam perjalanan.”
“Ya, Mas. Namun aku juga sedang berpikir bagaimana nanti bila Lasi benar-benar jadi janda. Karangsoga bakal ramai.”
“Ramai atau tidak, akulah yang akan pertama melamarnya. Tak percaya?”
“Lasi tidak akan mau karena dia tahu kamu sudah punya istri dan pacarmu sepanjang jalan. Dia akan memilih aku yang masih perjaka.”
“Monyet kamu. Demi Lasi aku mau kehilangan apa saja. Tahu?”
Tawa hampir pecah apabila Sapon dan Pardi tidak ingat di dekat mereka Lasi sedang nyenyak tidur. Namun demikian tak urung Lasi terusik. Ia menggeliat sejenak dan kepalanya lebih menyandar ke bahu Sapon, lalu pulas lagi.
Jam sebelas malam truk pengangkut gula itu masuk Tegal dan berhenti mengisi bahan bakar. Pardi menyuruh Sapon naik ke bak truk dan tidur di bawah terpal karena sopir itu ingin memberikan tempat yang lebih longgar kepada Lasi. Dengan melipat kedua kakinya Lasi dapat tidur lebih nyenyak karena bisa merebahkan diri di samping Pardi. Lasi lelap sepanjang jalan. Dia tidak tahu bahwa truk yang ditumpanginya berhenti lagi di Indramayu dan Pamanukan. Di Indramayu Pardi bahkan tidur dua jam dalam kamar sebuah warung makan. Sapon hafal di warung ini pun Pardi punya pacar.
Menjelang fajar truk sampai ke pinggiran kota Jakarta. Pardi menghentikan kendaraannya, lagi-lagi di sebuah warung makan yang masih benderang oleh dua lampu pompa. Pardi membangunkan Sapon untuk berjaga karena dia sendiri akan beristirahat sampai jam delapan pagi saat tauke siap menerima gula yang dibawanya. Segelas kopi dihidangkan oleh seorang perempuan dengan rokok di tangan. Dandanannya yang warna-warni seperti melawan suasana serba lembut ketika hari hampir pagi. Lasi masih lelap dalam kabin truk, dan Pardi merebahkan diri di atas dipan kayu di emper warung. Nyenyak, meski segelas kopi panas terletak hanya beberapa jari dari kepalanya.
Lasi terbangun oleh deru lalu lintas yang makin ramai. Ketika bangkit dan menengok ke luar Lasi terkejut karena matahari sudah muncul. Linglung. Lasi tak tahu di mana dia berada sekarang. Dan mana Pardi serta Sapon? Dalam kebimbangannya, untung, Lasi dapat menemukan Pardi masih tergeletak di emper warung. Lasi ingin turun dari kabin truk tetapi tak dapat membuka pintu.
“Sudah bangun, Las?” Sapon tiba-tiba muncul dari samping truk.
“Di mana kita sekarang berada, Pon?”
“Ya ini, Jakarta.”
Lasi terpana sejenak dan turun setelah Sapon membukakan pintu.
“Aku ingin ke belakang. Kamu tahu ada sumur?”
“Mari kuantar.”
Sapon membawa Lasi masuk ke warung makan yang cukup besar itu dan langsung ke bagian belakang. Lampu pompa belum dipadamkan, padahal hari sudah benderang. Lasi melihat tiga perempuan tidur berdempetan di sebuah bangku panjang. Sisa rias mereka masih tampak jelas. Warna pakaian mereka mencolok. Dua perempuan lain sedang duduk bercakap-cakap sambil merokok. Keduanya mengangkat muka ketika melihat Lasi dan Sapon masuk. Dan seorang di antaranya menyambar tangan Sapon setelah Lasi menghilang di balik pintu kamar mandi.
“Baru?” tanya perempuan yang beranting besar.
“Bawaan Pardi, ya? Pardi membawa barang baru?” susul yang berbetis kering.
“Kalian tanya apa, sih?” dengus Sapon.
“Hus, aku cuma mau tanya, kalian bawa barang baru?”
“Jangan seenaknya. Dia tetanggaku di kampung, perempuan baik-baik dan punya suami.”
“Aku tidak tanya dia bersuami atau tidak,” ujar si Anting Besar. “Ini, teman kita ini, juga punya suami,” lanjutnya sambil menuding si Betis Kering. “Yang kutanyakan, dia barang baru?”
“Bukan!”
“Kalau bukan, mengapa ikut kalian?” Si Anting Bcsar dan si Betis Kering tertawa bersama.
Sapon tak berniat berbicara lagi. Lasi keluar dan terus bergabung dengan Pardi yang sudah bangun dan sedang bercakap-cakap dengan Bu Koneng, pemilik warung. Perempuan bersanggul besar ini menatap Lasi lekat-lekat, menyelidik seperti pedagang ternak mengamati seekor sapi yang montok.
“Duduklah, Las,” ujar Pardi setelah memperkenalkan Lasi kepada Bu Koneng. “Sebentar lagi aku dan Sapon berangkat untuk membongkar muatan. Kamu tinggal di sini dulu bersama Bu Koneng. Mandi dan beristirahatlah. Siang atau sore nanti kami kembali.”
Wajah Lasi menyiratkan kebimbangan. Namun akhirnya Lasi mengangguk pelan.
“Ya, tak pantas seorang perempuan ikut mengantar barang sampai ke gudang,” sambung Bu Koneng ramah. “Tinggallah sebentar bersama saya. Di sini banyak teman, kok. Ah, nanti dulu, siapa namamu tadi?”
“Lasi, Bu.”
“Lasiyah,” sela Pardi.
Bu Koneng mengangguk. Dan kembali menatap Lasi.
“Maaf, ya. Aku mau tanya, apakah ayah atau ibumu Cina?”
Lasi tertunduk malu. Dia menoleh ke Pardi. Sopir itu mengerti. Maka dialah yang kemudian menjawab pertanyaan Bu Koneng dengan keterangan yang agak panjang. Dikatakannya juga Lasi sedang punya masalah sehingga perlu menghibur diri barang sebentar ke kota.
Selama mendengarkan penjelasan Pardi, Bu Koneng terus menatap Lasi dengan mata berkilat dan penuh minat.
“Oh, jadi begitu?” tanya Bu Koneng kepada Lasi.
Lasi mengangguk lagi dan tersenyum tawar. Dan tiba-tiba hatinya terasa buntu karena Lasi sadar bahwa dirinya sudah keluar jauh dari Karangsoga dan di tangannya tak ada uang sedikit pun. Bahkan ia juga tidak membawa pakaian pengganti barang selembar. Lasi bahkan baru sepenuhnya sadar bahwa dia tak punya jawaban untuk dirinya sendiri, “Mau apa sebenarnya aku berada di tempat yang ramai dan asing ini?” Mata Lasi berkaca-kaca.
Sebelum naik ke belakang kemudi Pardi mendekati Lasi dan mengulurkan tangan dengan beberapa lembar uang. Tetapi Lasi terpaku. Lasi belum pernah menerima uang kecuali dari suami atau dari penjualan gula. Bagi Lasi, berat menerima uang dari orang lain karena dia tahu uang tak pernah punya arti lain kecuali alat tukar-menukar. Siapa menerima uang harus mau kehilangan sesuatu sebagai penukarnya.
“Untuk sekadar pegangan, Las. Barangkali kamu membutuhkannya untuk beli minuman selama aku pergi,” kata Pardi.
“Terima kasih, Mas Pardi. Aku memang tidak memegang uang. Dan uang ini kuterima sebagai pinjaman. Kapan-kapan aku akan mengembalikannya kepadamu.”
“Jangan begitu, Las. Kita sama-sama di rantau, jauh dari kampung. Kita harus saling tolong.”
“Kamu betul, Mas Pardi. Tetapi aku tak ingin menjadi beban. Jadi uang ini tetap kuanggap sebagai pinjaman.”
“Terserahlah, kalau kamu ngotot. Yang pasti aku tidak merasa punya urusan utang-piutang dengan kamu.”
Episode 14
Bekisar Merah
Truk dari Karangsoga bergerak lagi setelah berhenti selama lima jam di depan warung Bu Koneng. Lasi memandang kepergian truk yang telah membawanya kabur sangat jauh dari rumah. Keterasingan tiba-tiba menggigit dirinya setelah truk bersama sopir dan kernetnya lenyap dari pandangan mata. Kosong dan buntu. Lasi berbalik dan ingin duduk di atas dipan kayu di emper warung. Bu Koneng masih di sana.
“Pardi bilang kamu tak membawa pakaian pengganti?”
Lasi mengangguk dan tersipu.
“Kalau begitu pakailah ini. Tak apa-apa buat sementara. Tetapi apa tidak baik kamu mandi dulu?”
Lasi mengangguk lagi. Bu Koneng memanggil seseorang untuk membawakan handuk. Muncul si Betis Kering dengan barang yang diminta induk semangnya dan memberikannya kepada Lasi dengan keramahan yang kelihatan dipaksakan.
Selesai mandi Lasi keluar dengan kain sarung dan kebaya biru terang. Kesan lusuh berubah menjadi segar. Kulitnya menjadi lebih terang karena warna baju yang dipakainya. Rambut disisir dan dikonde seadanya, asal rapi. Bu Koneng mengajaknya makan pagi, bukan di ruang warung melainkan di ruang dalam. Lasi tak enak karena merasa terlalu diperhatikan, tetapi tak mampu menampik kebaikan Bu Koneng. Si Betis Kering dan si Anting Besar selalu mencuri-curi pandang. Tiga perempuan muda yang tergolek berimpitan pun sudah lama terbangun. Mereka juga selalu menatap Lasi dengan pandangan mata seorang pesaing.
Lasi dapat mengira-ngira siapa si Anting Besar, si Betis Kering, serta ketiga temannya; tentu perempuan jajanan semacam pacar Pardi yang ada pada setiap warung yang disinggahinya. Sepanjang pengetahuannya perempuan seperti itu tak ada di Karangsoga. Tetapi Lasi sering mendengar ceritanya dan kini Lasi melihat sendiri sosok mereka, bahkan berada di antara mereka. “Dan, apakah Bu
Koneng seperti sering dibilang orang, adalah mucikari dan menyamar sebagai pengusaba warung makan?”
“Las, Pardi bilang kamu sedang punya masalah?” tanya Bu Koneng tanpa melihat Lasi. Samar, Lasi mengangguk.
“Katakan, soal uang, soal mertua, atau soal suami?”
“Suami, Bu,” jawab Lasi lirih.
“Katakan lagi, suami pelit, suami kelewat doyan, atau suami menyeleweng?”
“Nyeleweng.”
Bu Koneng mengangguk-angguk dan terlihat tak ada kejutan tersirat pada wajahnya.
“Ya. Itu biasa. Tetapi suami semacam itu panus diberi pelajaran. Dia akan tahu rasa apabila kamu membalasnya dengan cara menyeleweng pula.”
Lasi mengangkat muka dan membelalakkan mata.
“Oh, tidak. Maksudku, banyak istri membalas perlakuan suami dengan perbuatan yang sama. Kamu tidak begitu, bukan?”
“Bu Koneng, saya hanya seorang perempuan dusun. Melihat suami bertindak begitu, paling saya bisa purik seperti ini.”
“Hanya purik? Tidak minta cerai sekalian?”
“Entahlah, Bu. Tetapi di kampungku sebutan janda tak enak disandang. Terlalu banyak mata menyorot, terlalu banyak telinga nguping. Berjalan selangkah atau berucap sepatah serba dinilai orang.”
“Ya, betul. Tentang urusan seperti itu aku lebih berpengalaman. Tetapi lalu apa rencanamu berikut?”
“Saya tidak tahu.” jawab Lasi sambil menggeleng.
“Tetapi aku tahu.”
Lasi mengangkat muka, ingin mengerti apa yang dimaksud Bu Koneng.
“Tinggallah bersamaku di sini barang satu atau dua minggu sampai hatimu dingin. Kemudian kamu lihat nanti apa yang sebaiknya kamu lakukan.”
“Merepotkan Bu Koneng?” kata Lasi setelah agak lama terdiam.
“Tak apa-apa, kok. Aku sering disinggahi istri-istri sopir dan mereka biasa menginap di sini.”
“Istri-istri sopir?”
“Ya. Istri sebenarnya atau pacar, maksudku. Dan kamu lihat sendiri di warungku ini banyak perempuan.”
Lasi mengerutkan kening. Hatinya risi. Mengapa Bu Koneng menyebut-nyebut perempuan yang ditampungnya. “Ingin menyamakan aku dengan si Anting Besar atau si Betis Kering?” Lasi menelan ludah. Bu Koneng menangkap perasaan Lasi yang tersinggung.
“Di warungku memang banyak perempuan. Yah, kamu mengerti apa yang kira-kira mereka lakukan. Dan kamu, Las, tak perlu ikut-ikut mereka. Aku tahu kamu bersih dan tidak seperti mereka. Kamu bisa menjadi penjaga warung. Atau kalau mau, mengurus pekerjaan dapur.”
“Entahlah, Bu. Saya masih bimbang. Yang jelas saya malu bila harus menjaga warung. Tetapi pe­kerjaan dapur, barangkali saya bisa membantu ibu.”
Bu Koneng tersenyum.
“Andaikan kamu mau bekerja di dapur, Las, bukan maksudku menjadikan kamu pembantu di sini. Sekadar memberi kamu peluang untuk melupakan sakit hatimu. Aku sangat kasihan kepadamu. Kamu mengerti?”
Lasi mengangguk.
Seorang teman yang mau mengerti dan bisa menjadi bejana tempat menuangkan perasaan telah ditemukan Lasi. Dengan anggukan kepala dan senyum penuh pengertian Bu Koneng, dengan cara yang sangat diperhitungkan, menjadikan dirinya sandaran bagi hati Lasi yang sedang kena badai. Lasi mendapat seorang sahabat ketika dirinya merasa tercabut dari bumi dan terpencil dari dunianya. Ketika harus mengembara di tengah padang kerontang yang sangat terik, seseorang memberinya payung dan segayung air sejuk. Hati Lasi tertambat.
Tertambat, maka Lasi menurut ketika Bu Koneng mengajaknya ikut ke pasar. Naik 0becak, Lasi dan Bu Koneng menyusur jalan yang riuh dan semrawut, sangat berbeda dengan lorong-lorong kampung yang lengang di Karangsoga. Bu Koneng mengerti Lasi gagap karena tak biasa dengan keadaan seramai itu tetapi Bu Koneng pura-pura tidak tahu. Turun dari becak Bu Koneng membimbing Lasi menyeberang jalan. Lasi gagap lagi, kali ini oleh keadaan pasar yang kumuh, sumpek, dan luar biasa becek. Lasi yang tak asing dengan lumpur sawah, entah mengapa, merasa jijik dengan lumpur pasar. Hanya karena tak ingin menyinggung hati Bu Koneng, Lasi ikut ke mana saja induk semangnya yang baru itu pergi. Dengan keranjang besar Lasi menampung sayuran, tahu, ikan, atau telur yang sudah dibayar Bu Koneng.
Jam dua siang ketika Lasi sedang bercakap-cakap dengan Bu Koneng di emper depan, Sapon datang seorang diri. Ada muatan untuk dibawa sampai ke Tegal dan Pardi sedang mengaturnya, jawab Sapon ketika Lasi bertanya.
“Las, aku disuruh Mas Pardi memberitahu kamu agar segera bersiap. Sebentar lagi Mas Pardi datang dan kita langsung berangkat.”
“Berangkat ke mana?” potong Bu Koneng.
“Ke mana? Ke mana lagi kalau bukan pulang ke rumah.”
“Ya, aku tahu. Tetapi Lasi tidak ikut kalian. Lasi akan tinggal di sini sampai hatinya tenang. Bila tak percaya, tanyalah sendiri.”
Lasi ternganga. Pandangannya berpindah-pindah dari mata Sapon ke mata Bu Koneng. Kelihatan mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tak kunjung terdengar.
“Jangan, Las. Kamu jangan merepotkan kami. Kamu harus pulang. Bila tidak, aku dan Mas Pardi bisa mendapat kesulitan. Kami bisa menjadi sasaran segala macam pertanyaan.”
“Pon, kamu jangan menekan Lasi yang sedang sakit hati. Biarlah dia pada pilihannya, tinggal bersama kami sampai hatinya kembali tenang.”
“Sungguh, Las!” kata Sapon tak peduli. “Kamu harus pulang. Soal nanti kamu kembali kemari, itu urusanmu. Tetapi kali ini, karena kamu berangkat bersama kami, kamu harus pulang bersama kami pula. Kamu bisa marah kepada suami; tetapi emak? Dan kamu pergi tanpa memberitahu siapa pun, bukan?”
Lasi tergagap. Dalam kebimbangannya sekilas Lasi melihat rumahnya, melihat tiap jengkal bagian rumah kecil yang sudah tiga tahun dihuninya. Dadanya bergetar ketika di matanya muncul bilik tidur dengan balai-balai bambu beralas tikar pandan yang sudah mengkilat. Lasi juga teringat setiap potong jalan setapak yang selalu dilewatinya bila ia pergi menjual gula ke rumah Pak Tir. Titian pinang sebatang. Suara pongkor saling beradu. Bunyi letupan tengguli panas yang sedang diaduk. Dan malam hari yang lengang dengan suara gambang yang ditabuh Eyang Mus. Juga emaknya. Lasi sadar dirinya adalah anak tunggal. Emak pasti merasa sangat kehilangan dirinya.
Episode 15
Bekisar Merah
Lasi hampir mengiyakan ajakan Sapon. Tetapi urung karena tiba-tiba di matanya muncul Bunek, Sipah, lalu Darsa, lalu semua orang Karangsoga yang ramai-ramai mencibirinya. Telinganya berdenging karena Lasi mendengar orang sekampung menggunjingkannya. Lasi malah mendengar tangis bayi yang masih berada dalam perut Sipah. Ada kembang api pecah dalam kelopak matanya. Ada suara denting yang kering dan menusuk telinga. Lasi megap-megap. Beberapa kali ia mencoba menelan ludah yang terasa amat pekat.
“Las, kamu jangan linglung,” ujar Sapon memecah kebisuan. “Kamu mau pulang, bukan?”
Lasi terperanjat. Entah sadar atau tidak Lasi menoleh kepada Bu Koneng. Yang ditoleh tersenyum dan berusaha menampilkan wajah yang teduh.
“Begini,” kata Bu Koneng tenang. Kamu biasa mengangkut gula kemari seminggu sekali, bukan?”
Sapon mengangguk.
“Kali ini tinggalkan Lasi bersamaku di sini. Minggu depan kamu boleh membawa Lasi pulang. Itu pun kalau Lasi mau. Kalau tidak, ya jangan memaksa. Begitu, Las?”
“Ya,” kata Lasi dengan suara serak. “Sekarang aku ingat, minggu depan kalian akan mengangkut gula lagi. Jadi aku bisa pulang seminggu lagi bila aku mau.”
Sapon diam dan tertunduk. Bimbang, tak ada lagi yang bisa dikatakannya untuk mendesak Lasi pulang.
“Percayakan Lasi kepadaku,” ujar Bu Koneng.
Sapon menatap Bu Koneng dengan alis berkerut.
“Ya! Aku mengerti apa yang kamu khawatirkan akan terjadi terhadap Lasi. Tidak. Kalian jangan cemas. Aku menyadari Lasi tidak sama dengan perempuan-perempuan yang kutampung di sini. Jadi aku tidak akan menyamakannya dengan mereka.”
Terdengar klakson ditekan berulang-ulang. Sipon berlari ke jalan untuk menemui Pardi yang enggan turun dari truknya. Sopir dan kernet berbicara serius. Karena merasa kurang puas, Pardi turun dan berjalan mendekati Lasi yang masih berdiri bersama Bu Koneng. Seperti Sapon, Pardi pun membujuk Lasi hingga kehabisan kata-kata. Tetapi Lasi tidak goyah. Lasi bahkan mengulangi kata-kata yang diucapkannya kemarin; bumi dan langit menjadi saksi bahwa Pardi dan Sapon bersih dari kesalahan karena pelarian Lasi adalah tanggung jawab pribadi sepenuhnya.
“Kami percayakan Lasi kepadamu, Bu Koneng,” ujar Pardi tanda menyerah. Atau tanda minta jaminan.
“Baik. Aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan orang yang sudah lama kukenal. Percayalah, Lasi akan aman bersamaku di sini.”
Pardi dan Sapon berjalan lesu menuju truk mereka. Beberapa kali keduanya menggelengkan kepala pertanda kecewa. Ketika roda-roda kembali bergulir mereka melambaikan tangan. Lasi, tak urung, merasa ada yang menjauh dari hatinya. Ada yang menusuk dada, ada yang menikam jiwa. Mata Lasi basah. Truk milik Pak Tir itu tampak makin baur dalam pandangannya, lama-kelamaan kabur dan hilang dalam iring-iringan kendarann yang melaju ke timur.
Kalirong adalah sebuah suagai kecil yang bermula dari jaringan parit-parit alam di lereng gunung sebelah utara Karangsoga. Pada wilayah yang tinggi Kalirong lebih menyerupai jurang panjang dengan aliran air jernih di dasarnya namun tak tampak dari atas karena tertutup semak paku-pakuan. Hanya pada tempat-tempat tertentu terdengar gemerciknya. Namun pada wilayah yang lebih rendah Kalirong adalah nadi yang mencukupi air bagi sawah dan tegalan di kiri dan kanannya. Batu-batu besar, beberapa diantaranya sangat besar, teronggok diam seperti pengawal abadi yang merendam diri sepanjang masa dalam air jernih Kalirong. Di tempat ini air mengalir gemercik, buihnya yang putih hilang-tampak di antara bebatuan yang hitam mengkilat. Anggang-anggang berlari kian-kemari pada permukaan air. Serangga berkaki panjang ini bagai tak punya berat dan mereka menggunakan permukaan air sebagai tempat bersiluncur, menangkap mangsa, dan kawin.
Sepanjang tepian Kalirong tumbuh berbagai jenis pohonan. Cangkring yang penuh duri serta bakung yang muncul dari sela-sela batu besar. Logondang yang untaian buahnya muncul langsung dari batang, menjulurkan cabang-cabangnya jauh ke atas permukaan sungai agar mudah menyebarkan keturunannya lewat aliran air. Jambe rowe dengan batangnya yang langsung tumbuh tegak lurus dan berbaris mengikuti alur Kalirong. Lengkung-lengkung daunnya yang lentur mengikuti pola yang rapi dan buahnya yang bulat kekuningan membuat tumbuhan palma itu kelihatan sebagai jenis tanaman purba yang masih tersisa. Rumpun pandan yang juga hampir tak putus mengikuti garis tepian Kalirong memberi tempat bersembunyi yang aman bagi cerpelai. Bila keadaan sepi binatang pemangsa ikan itu keluar dari persembunyian dan bercengkerama di atas batu besar dan segera menghilang bila terlihat oleh manusia.
Pada sebuah kelokan Kalirong, sebatang beringin yang amat besar tumbuh di tepiannya. Buahnya yang kecil dan bulat sering jatuh ke air oleh gerakan berbagai jenis burung yang sedang berpesta dalam kerimbunan daun pohon besar itu. Plang-plung suara buah beringin menimpa air, memecah sunyi. Dan suara itu segera berubah menjadi rentetan bunyi yang lembut tetapi aneh ketika lebih banyak buah beringin runtuh oleh tiupan angin. Seekor burung merah yang sangat mungil terbang-hinggap pada ranting beringin yang menjulur, menggantung hampir menyentuh air, menggoyang tangkai-tangkai benalu yang tumbuh di sana. Beberapa butir buah jatuh dan lagi-lagi plang-plung. Ada daun kering ikut luruh menerpa permukaan air, berkisar sejenak lalu hanyut dan hilang di balik bongkah cadas hitam. Ada sehelai daun ilalang yang terus bergerak berirama karena ujungnya menyentuh aliran air. Seekor kodok tiba-tiba terjun dan mencoba menyelam untuk menyelamatkan diri. Tetapi penyerangnya, seekor ular ubi, tak kalah cepat. Ceot-ceot, suara kodok yang sedang mempertahankan diri dalam mulut ular. Ceot-ceot, makin lama makin lemah. Dan akhirnya hilang setelah kodok itu perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh ular.
Darsa mendesah panjang. Diperhatikannya ular ubi itu yang kemudian bergerak lamban karena ada beban seekor kodok dalam perutnya. Sekilas orang tak mudah melihat Darsa yang sedang duduk di atas batu berlumut agak tersembunyi di bawah pohon beringin itu. Selama beberapa hari terakhir Darsa mengundurkan diri dari pergaulan. Ia lebih suka menyendiri. Dan tepian Kalirong di bawah lindungan kerimbunan beringin adalah tempat sepi yang man menerima kegelisahan hatinya. Di sana pula, dekat Darsa kini duduk menyendiri, ada sebuah batu besar dan berpunggung rata. Batu yang terbaring di tengah kali itu kelihatan lebih kelimis karena sering tersentuh tangan manusia. Beberapa penyadap suka mandi di dekatnya dan kemudian naik untuk sembahyang setelah mereka membungkus tubuh hanya dengan kain sarung. Di sana sering terlihat pemandangan yang mengesankan; seorang lelaki dalam pakaian sangat sahaja bersujud di atas batu besar di tengah kali. Sepi, kecuali gemercik air atau cicit burung madu merah yang amat mungil. Atau derai plang-plung suara buah beringin yang jatuh menimpa air ketika angin bertiup.
Matahari yang hampir tenggelam hanya menyisakan mega kuning kemerahan di langit barat. Sepi makin sepi karena burung-burung tak lagi mencicit. Angin pun mati. Darsa bangkit dan mendesah. Geraknya tanpa semangat ketika dia melangkah, merendam diri setinggi betis dalam air, dan bersuci. Dengan melompat-lompat ke atas batu sampailah Darsa ke punggung batu besar itu. Darsa sujud dan alam diam menyaksikannya. Darsa sujud demi pertemuan dengan Sang Kesadaran Tertinggi untuk mencoba memahami gonjang-ganjing yang sedang melanda jiwanya. Darsa ingin memahami apa yang benar-benar telah dilakukannya dan menyebabkan ia harus berhadapan dengan kenyataan paling getir yang pernah dialaminya; Lasi minggat dan seisi kampung geger. Tak cukup dengan kenyataan pahit yang sulit diterimanya itu Darsa juga harus mengawini Sipah, perempuan yang tak pernah sekali pun dibayangkan akan menjadi istrinya.
Darsa merasa berdiri di depan dinding cadas yang terjal ketika tahu bahwa tidak mudah memahami perbuatan sendiri yang benar-benar telah dilakukannya. Memang, Darsa bisa mengingat dengan jelas urut-urutan kejadian di suatu malam di rumah Bunek. Seperti malam-malam sebelumnya, Darsa dipijat oleh Bunek dalam sebuah bilik. Sudah beberapa hari Darsa merasa mendapat kemajuan. Dan malam itu Darsa percaya tak ada lagi masalah pada dirinya. Tubuhnya bereaksi secara normal ketika dengan caranya sendiri Bunek memberinya stimulasi berahi, baik dengan pijatan maupun dengan kata-katanya. Bunek tertawa. “Apa kataku dulu, ular apa saja akan menggeliat bangun bila mendapat kehangatan.”
Episode 16
Bekisar Merah
Bunek menyuruh Darsa tetap berbaring sementara dia sendiri keluar. Dari dalam bilik itu Darsa mendengar Bunck berbicara dengan Sipah. Tidak jelas benar apa yang mereka bicarakan. Tetapi telinga Darsa menangkap ucapan Sipah yang menolak permintaan emaknya.
“Kamu jangan bodoh. Apa yang kuminta kamu lakukan hanya untuk membuang sebel yang melekat pada dirimu, sebel yang menyebabkan kamu jadi perawan tua.”
“Apa bukan karena kaki saya pincang, Mak?” kata Sipah. Darsa mendengar anak perawan Bunek itu mengisak.
“Bukan. Ada beberapa perempuan lebih pincang daripada kamu, tetapi mereka mendapat jodoh karena mereka tak menyandang sebel.”
“Bagaimana nanti bila aku hamil?”
“Dasar bodoh. Jika kamu hamil, malah kebetulan. Akan saya minta Darsa mengawinimu. Syukur bisa langgeng. Bila tidak, tak mengapa. Yang penting sebel-mu hilang dan kamu jadi janda, sebutan yang jauh lebih baik daripada perawan tua. Tahu?”
Darsa masih ingat, setelah mendesak Sipah, Bunek masuk kembali ke dalam bilik. Ketika itu Darsa masih terbaring dan memberi kesan demikian rupa seakan dia tak mendengar apa-apa. Bunek memintanya duduk lalu mcngungkapkan keinginannya dengan terus terang dalam kata-kata yang sangat cair dan ringan, bahkan diselingi tawa dan latah.
Ya. Darsa masih ingat. Ketika itu pikirannya terbelah-belah. Ada kesadaran tidak ingin menyakiti Lasi. Pada kesadaran ini Lasi terlalu baik untuk dikhianati. Atau Lasi adalah cermin tempat Darsa memperoleh pantulan gambar tentang dirinya sendiri. Adalah bodoh bila Darsa ingin memecah cermin berharga itu. Tetapi ada juga keinginin untuk tidak mengecewakan Bunek yang sudah sekian lama dengan sabar merawatnya sampai terasa berhasil. Dan ada berahi. Tetapi bahkan untuk soal berahi ini pun Darsa sudah dapat mengira-ngira beban akibat yang mungkin harus dipikulnya kelak.
Darsa juga menyadari waktu itu ada cukup peluang untuk mempertimbangkan dengan baik pilihan mana yang akan diambilnya; tidak menyikiti Lasi di satu pihak atau menyenangkan Bunek sekaligus melampiaskan berahi di pihak lain. Namun pada saat yang sama Darsa juga merasa ada dorongan kuat untuk meninggalkan peluang itu, untuk meninggalkan segala macam pertimbangan. Pada detik genting yang tiba-tiba terasa menyergapnya itu Darsa hanyut, lebur, dan mungkin sirna. Hilang. Tiada lagi Darsa karena yang ada ketika itu adalah Darsa yang lain, Darsa yang lupa pada Lasi, Darsa sing ora eling, Darsa yang lupa akan Sang Kesadaran Tertinggi.
Ya, diri yang hilang, dan Darsa tergagap ketika mencoba meraih kembali sosok diri sebenarnya yang lenyap itu. Gagap, bahkan Darsa merasa menjadi manusia asing bagi dirinya sendiri. Darsa mengeluh dan mendesah untuk mengusir kebimbangan. Namun hasilnya malah sebaliknya. Darsa makin, makin kusut.
Beduk magrib telah terdengar bergema dari surau Eyang Mus. Hari mulai gelap, namun Darsa tidak beranjak dari atas batu besar itu, malah sujud lagi dan sujud lagi. Tak dipedulikannya puluhan nyamuk yang berputar-putar kemudian hinggap untuk mengisap darah dari tubuhnya. Suara bangkong yang menggema dari balik batu-batu besar di tepi Kalirong. Suara keluang yang berkelahi berebut nira yang mereka tumpahkan dari pongkor yang masih terpasang di atas pohon kelapa. Atau kecipak suara cerpelai yang sedang berburu ikan di malam hari.
Malam benar-benar telah hadir. Dan Darsa masih termenung di atas batu, tak tahu apa yang hendak dilakukannya. Kembali ke rumah yang sudah kosong dan mati karena sudah ditinggal Lasi? Tak ingin. Atau Darsa tak berani menghadapi kekosongan rumah sendiri, kehampaan hati, dan ketiadaan Lasi. Dan pada puncak kerisauannya Darsa membayangkan dirinya tergantung tanpa nyawa pada dahan logondang yang menjulur datar di atas Kalirong. Dengan cara itu Lasi mungkin akan percaya bahwa Darsa benar-benar menyesal. Ah, tidak. Darsa merasa tak berani mengundang kematian untuk dirinya sendiri. Minggat, menghilang dari Karangsoga mungkin lebih baik. Ya. Dan Darsa bangkit. Termangu. Angin bertiup perlahan membuat desah halus pada kelebatan dedaunan. Buah beringin berjatuhan menimpa permukaan air. Dan telinga Darsa mendengar sesuatu yang lembut berirama dari arah rumah Eyang Mus. Suara gambang kayu keling tiba-tiba mengingatkan Darsa akan penabuhnya.
Eyang Mus. Selama ini Darsa enggan berbicara kepada siapa pun. Tetapi Eyang Mus? Orang tua itu mungkin mau memberi pencerahan, atau setidaknya mau mendengarkan keluhannya. Bahkan siapa tahu Eyang Mus man memberi jalan, jalan apa saja, yang mungkin bisa membawa Lasi kembali kepadanya.
Dan tepi Kalirong, Darsa menempuh lorong yang biasa dilalui para penyadap sampai ke rumahnya yang masih gulita. Derit pintu terdengar bagai suara hantu dalam kegelapan. Darsa menyalakan lampu tempel yang seketika memperlihatkan sosok kehampaan dalam rumahnya. Sunyi dan kosong. Ngawang-uwung. Rumah kecil itu telah kehilangan rohnya. Darsa tertegun dan tiba-tiba rasa sakit menusuk dadanya. Dengan mata kosong dipandanginya tungku dan kawah yang biasa dipakai Lasi mengolah nira. Dan denyut yang menyakitkan jantung kembali menusuk ketika Darsa melihat kebaya Lasi masih tergantung pada tali sampiran.
Darsa tercenung sejenak, menelan ludah, dan mendesah sebelum menutup pintu dari luar lalu melangkah menuju rumah Eyang Mus. Bunyi gambang masih terdengar. Setelah dekat Darsa juga mendengar suara tembang Eyang Mus sendiri yang mengiringi alunan gambangnya. Meskipun serak, suara lelaki tua itu terdengar serasi dengan irima gambang yang mengalir dari tangannya. Karena tak ingin memutus keasyikan Eyang Mus, Darsa tidak segera masuk. Darsa berhenti di emper depan sambil menunggu Eyang Mus selesai dengan pengembaraan batin melalui suara gambangnya.
Mengakhiri sebuah bait dhandhanggula Eyang Mus menghentikan kedua tangannya yang kemudian terkulai lemas di atas deretan bilah gambang. Kepalanya tertunduk karena dalam hati masih tersisa kemesraan berdekat-dekat dengan Yang Mahadamai. Kemudian dengan tertatih-tatih Eyang Mus bangkit meninggalkan gambangnya dan pada saat yang sama Darsa terbatuk.
“Siapa di luar?”
“Saya, Yang. Darsa.”
“Oh, kamu? Mari masuk.”
Pintu berderit dan Darsa masuk. Eyang Mus menyilakan Darsa duduk di kursi kayu di seberang meja. Darsa tersenyum namun kegelisahan hati tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Lain dengan Eyang Mus. Kakek itu tersenyum lebar dan wajahnya tetap jernih.
“Nah, kamu kelihatan kurus dan lusuh. Susah?”
Darsa tersenyum getir. Tetapi Eyang Mus malah tertawa.
“Iya, ya. Aku tahu, semua orang tahu, kamu sedang kanggonan luput, sedang menanggung salah. Dan itu tak mudah memikulnya.”
“Eyang Mus, saya bingung,” ucap Darsa sambil menunduk lesu.
“Iya, ya. Semua orang tahu kamu tengah gagap menghadapi akibat perbuatanmu sendiri. Malah mungkin kamu sendiri juga bertanya, apa sebenarnya yang telah terjadi kok tiba-tiba hidupmu gonjang-ganjing, limbung, sehingga badanmu jadi kurus seperti itu. Iya, kan?”
“Itulah sebabnya saya datang, Yang. Saya minta Eyang Mus mau memberi saya pepadhang, jalan keluar. Eyang Mus, saya amat bingung.”
Eyang Mus terbatuk lalu tersenyum. Mengangguk-angguk.
“Nanti dulu. Kamu sudah makan?”
Darsa tersipu.
“Belum? Kalau begitu sana masuk.”
“Terima kasih, Yang. Saya tak ingin makan.”
“Kalau begitu, kopi?”
Darsa mengangguk dan Eyang Mus menyuruh istrinya membuat minuman yang diminta. Darsa gelisah di kursinya. Matanya yang redup memandang sekeliling tanpa maksud tertentu. Beberapa kali terdengar desah napasnya yang berat dan panjang.
“Eyang Mus...”
“Ya?”
“Saya merasa telah membuat kesalahan yang besar. Saya menyesal. Tetapi saya tak tahu apakah penyesalan saya bisa diterimn Lasi?”
“Benar, katamu. Kukira kamu memang salah. Kamu telah menyakiti istrimu. Kamu juga telah mengabaikan angger-angger, aturan Gusti dalam tata krama kehidupan. Tetapi jangan terlalu sedih sebab kesalahan terhadap Gusti Allah mudah diselesaikan. Gusti Allah jembar pangapurane, sangat luas ampunan-Nya. Kamu akan segera mendapat ampunan bila kamu sungguh-sungguh memintanya. Gusti Allah terlalu luhur untuk dihadapkan kepada kesalahan manusia, sebesar apa pun kesalahan itu.”
Darsa mengangguk. Dan terbersit cahaya harapan pada wajahnya.
“Yang lebih sulit,” sambung Eyang Mus, “adalah memperoleh ampunan istrimu, Lasi. Kesalahanmu kepadanya sangat besar. Padahal Lasi adalah manusia seperti kita. Dia bukan sumber ampunan seperti Tuhan.”
“Saya mengerti. Tetapi, Yang, bagaimana juga saya tidak ingin rumah tangga saya bubrah. Saya tak ingin berpisah dengan Lasi.”
“Ya, semua orang tahu, mempunyai istri secantik Lasi adalah keberuntungan yang nyata. Maka kehilangan dia bisa berarti penderitaan yang dalam. Aku tahu, semua orang tahu. Namun masalahnya tergantung Lasi. Bagaimana bila dia menolak kembali kepadamu? Memang, orang bilang talak adalah kewenangan lelaki sehingga lelaki boleh berkata wong lanang wenang. Tetapi jangan lupa, seorang istri seperti Lasi pun bisa minggat. Dan hal itu sudah terbukti, bukan?”
Episode 17
Bekisar Merah
Darsa menunduk. Terlihat gambaran penderitaan pada matanya yang cekung dan tanpa cahaya.
“Jadi api yang harus saya lakukan sekarang, Yang?”
Eyang Mus diam. Tangannya mulai menggulung tembakau, pelan tetapi mekanis. Kemudian terdengar bunyi pemantik api dan cahayanya menerangi wajah lelaki tua itu yang segera terkurung oleh kepulan asap.
“Darsa,” ujar Eyang Mus dengan suara dalam.
“Apa, Yang?”
“Kukira, hal pertama yang pantas kamu lakukan adalah berani menerima dirimu sendiri, termasuk menerima kenyataan bahwa kamu telah melakukan kesalahan. Tanpa keberanian demikian kamu akan lebih susah.”
Darsa mengangguk-angguk dan kelihatan sangat berat mengangkat wajah.
Eyang Mus tersenyum.
“Ketika ngulahi Sipah dulu, sudahkah kamu merasa akan ada akibatnya?”
“Ya, Eyang Mus. Rasanya saya sendiri sudah bisa menduga apa yang mungkin akan terjadi.”
“Nah, dengan demikian purba-wisesa ada pada dirimu. Awalnya kamu sadar akan apa yang kamu lakukan, maka akhirnya kamu harus berani menanggung akibatnya. Terimalah kenyataan ini sebagai sesuatu yang memang harus kamu terima. Kamu tak bisa menghindar. Kamu harus ngundhuh wohing pakarti, harus memetik buah perbuatan sendiri; suatu hal yang niscaya bagi siapa pun.”
Darsa menelan ludah.
“Eyang Mus,” kata Darsa sesudah lama membeku di kursinya.
“Ya?”
“Sejak semula saya tidak ingin melakukan kesalahan ini. Sungguh, karena seperti yang sudah saya katakan, saya juga sudah bisa menduga apa akibatnya. Tetapi kesalahan itu benar-benar telah saya lakukan. Eyang Mus, saya bertanya mengapa hal seperti ini bisa terjadi?”
“Terjadi?”
“Ya. Mengapa orang bisa melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak ingin dilakukannya?”
“Maksudmu?”
“Maksud saya, apakah memang betul manungsa mung sakdrema nglakoni, manusia sekadar menjalankan apa yang sudah menjadi suratan?”
Eyang Mus menegakkan punggung, terkesan oleh pertanyaan Darsa. Diembuskannya asap rokok dan kedua matanya memejam. Sekilas terbersit dalam ingatan Eyang Mus satu bait suluk ajaran seorang wali, Sunan Bonang.
Pan karsa manira iki
Sampurnane ing Pangeran
Kaliputan salawase
Tan ana ing solahira
Pan ora darbe sedya
Wuta tuli bisu suwung
Solah tingkah saking Allah
Menurutku, kesempumaan Tuhan meliputi segalanya. Manusia tak punya tingkah atau maksud. Manusia tuli, bisu, dan hampa. Segala tingkah berasal dari Allah.
Eyang Mus menelan ludah. Kepalanya mengangguk-angguk. Dan setelah lama merenung Eyang Mus merasa apa yang sekejap melintas dalam ingatannya tak mungkin dikemukakannya kepada Darsa. Lelaki muda yang sedang kusut itu bukan orang yang tepat dan takkan sanggup mencerna pikiran Sunan Bonang tentang suatu sisi ajaran sangkan paraning dumadi. Maka Eyang Mus hanya ingin menyampaikan pengertian yang lebih sahaja.
Darsa terbatuk.
“Oh, aku belum menjawab pertanyaanmu? Dengarlah anak muda, orang sebenarnya diberi kekuatan oleh Gusti Allah untuk menepis semua hasrat atau dorongan yang sudah diketahui akibat buruknya. Orang juga sudah diberi ati wening, kebeningan hati yang selalu mengajak eling. Ketika kamu melanggar suara kebeningan hatimu sendiri, kamu dibilang orang ora eling, lupa akan kesejatian yang selalu menganjurkan kebaikan bagi dirimu sendiri. Karena lupa akan kebaikan, kamu mendapat kebalikannya, keburukan. Mudah dinalar?”
Darsa mengerutkan kening.
“Maksud Eyang Mus, tidak benar manusia mung sakdrema nglakoni?” tanya Darsa dengan sorot mata bersungguh-sungguh. Eyang Mus terkekeh.
“Tadi kamu bilang bahwa kamu sendiri tahu apa yang mungkin akan terjadi sebagai akibat perbuatanmu terhadap Sipah. Kesadaran seperti itu menjadikan kamu mempunyai peluang untuk memilih. Artinya, kamu akan berbuat sesuatu terhadap Sipah atau tidak, kamu bisa memutuskannya sendiri.”
Lagi, Darsa mengerutkan kening. Ia merasa tak sanggup mencerna kata-kata Eyang Mus.
“Tetapi jangan terlalu bersedih hati, karena kamu tidak sendiri. Lebih banyak orang yang seperti kamu, melakukan kesalahan yang sesungguhnya tak ingin dilakukan karena kebeningan hati sendiri melarangnya. Sebaliknya, hanya sedikit orang yang setia menuruti suara kesejatian dalam hatinya.”
“Jadi sebaiknya apa yang saya lakukan sekarang?” tanya Darsa setelah lama termenung.
Eyang Mus tidak segera menjawab karena sibuk menggulung rokok baru. Sementara itu Mbok Mus keluar membawa dua gelas kopi panas.
“Andaikan aku jadi kamu, aku akan mengambil sikap nrima salah, bersikap taat asas sebagai orang bersalah. Inilah cara yang paling baik untuk mengurangi beban jiwa dan mempermudah penentuan jalan keluar. Bagimu, hal ini berarti menjadikan Lasi sebagai pemegang kata putus atas kelanjutan rumah tanggamu.”
Kalimat terakhir yang diucapkan Eyang Mus membuat dada Darsa merasa tprtusuk dan wajahnya tiba-tiba tampak sengsara. Beberapa kali Darsa berdecap sambil menggelengkan kepala untuk mencoba mengelak dari keniscayaan sangat pahit yang sudah menjelang di depan mata.
“Aku juga harus mengawini Sipah meskipun aku tak menghendakinya?”
“Ya. Kamu tak mungkin menghindar dari keputusan para pamong desa dan itu juga wohing pakarti, buah perbuatan yang harus kamu petik. L­agi pula, suweng ireng digadhekna, wis kadhung meteng dikapakna. Kamu tahu?”
Darsa menggeleng.
“Subang keling digadaikan, telanjur bunting mau diapakan. Tahu?”
Kini Darsa nyengir pahit, sangat pahit.
“Dan penting kamu pahami, makin sungkan kamu menerima akibat perbuatan sendiri, makin berat beban batin yang akan menindih hati. Jadi andaikan aku jadi kamu, lebih baik semuanya kuterima dengan perasaan ringan dan carilah pertobatan. Mencoba mengelak, meski hanya dalam hati, hanya akan membuat beban menjadi jauh lebih berat dan membuat kamu lebih menderita.”
Darsa makin menunduk. Matanya menatap dataran meja. Tetapi pada dataran yang kusam itu Darsa melihat Lasi datang dari sumur hanya berpinjung kain batik. Rambutnya yang basah jatuh di tengkuk, melingkar ke samping, dan terjumbai pada belahan dada. Darsa juga mendengar langkah-langkah Lasi bahkan merasakan bau rambutnya. Tetapi ketika Darsa sadar bahwa kehadiran Lasi hanya sebuah angan-angan, mendadak rasa sakit menyengat jantung dan menyebar ke seluruh tubuh bersama edaran darahnya. Dan tak peduli sedang berada yang di depan Eyang Mus, air mata Darsa jatuh.
“Yang...”
“Apa.”
“Sudah saya bilang, sangat berat bagi saya ditinggal Lasi meskipun saya mengaku salah. Sekarang apa kira-kira usaha saya agar Lasi mau kembali?”
Eyang Mus tertawa.
“Begitu kok tanya. Gampang sekali; susul Lasi ke Jakarta dan bawa dia pulang.”
“Maksud saya, usaha batin. Menyusul Lasi ke Jakarta bagi saya tak mungkin.”
“Oh!”
Eyang Mus tertawa lagi. Tetapi Darsa tetap menunduk.
“Bila kamu percaya segala kebaikan datang dari Gusti dan yang sulit-sulit datang dari dirimu sendiri, hanya kepada Gusti pula kamu harus meminta pertolongan untuk mendapat jalan keluar. Jadi, lakukan pertobatan lalu berdoa dan berdoa. Bila masih ada jodoh, takkan Lasi lepas dari tanganmu. Percayalah.”
Episode 18
Bekisar Merah
Darsa mendesah panjang. Senyumnya muncul dari wajahnya yang kusam. Betapa juga kata-kata terakhir Eyang Mus adalah setitik harapan meski samar dan terasa sangat, sangat jauh.
Seekor burung malam melintas di atas rumah Eyang Mus sambil mencecet ketika Darsa membuka pintu lalu turun ke halaman. Masih di bawah tatapan Eyang Mus, Darsa berhenti dan termangu dalam keremangan sinar gemintang. Darsa tidak merasa pasti ke arah manakah dia akan melangkah. Pulang ke rumah untuk mendapatkan kehampaan yang amat menyakitkan hati atau kembali ke batu datar di tengah Kalirong untuk bersujud? Entahlah. Dan mungkin Darsa tak sepenuhnya sadar ketika langkahnya berbelok ke samping rumah Eyang Mus. Darsa membasuh kaki di kolam yang berdinding batu-batu kali lalu naik ke surau. Dalam surau kecil itulah dulu Darsa menghabiskan setiap malam masa kanak-kanaknya. Kini ia kembali bukan untuk ngaji seperti dulu melainkan untuk mencoba bercakap-cakap dengan kenyataan pahit yang sedang menghadang hidupnya.
Dari bunyi kecipak air, lalu suara pintu terbuka, Eyang Mus mengerti Darsa memasuki suraunya dan mungkin akan tidur di sana. Eyang Mus menggelengkan kepala dan menarik napas dalam untuk keprihatinan bagi seorang lelaki muda yang sedang memikul kesulitan yang sangat berat.
*
Ketika memutuskan memilih kehidupan para pembuat gula kelapa sebagai objek penulisan skripsinya, Kanjat hanya berpikir masalah praktis. Masyarakat penyadap kelapa adalah dunia yang mengelilinginya. Dunia itu bukan hanya dialami dan dipahaminya melainkan sekaligus juga dihayatinya. Sejak masa kanak-kanak Kanjat hidup di tengah para penyadap itu. Bahkan karena ayahnya, Pak Tir, adalah tengkulak gula, Kanjat akrab dengan hampir semua keluarga penyadap di Karangsoga; akrab dengan keluh kesah atau tawa mereka, akrab dengan mimpi-mimpi dan kegetiran mereka.
Masa kecil Kanjat dinikmati bersama anak-anak para penyadap. Bersama mereka Kanjat sering minum nira langsung dari pongkor. Bersama mereka pula Kanjat selalu bermain berkejaran di bawah pepohonan yang rimbun atau menangkap capung dengan getah nangka. Pada malam terang bulan Karangsoga riuh oleh suara anak-anak penyadap yang mengejar kunang-kunang atau main kucing-kucingan dan sekali pun Kanjat tak pernah terpisah dari mereka. Jadi Kanjat sungguh jujur kepada dirinya sendiri ketika dia mengaku kenal, akrab, bahkan menghayati sepenuhnya kehidupan masyarakat penyadap, dari tangis sampai gelak tawa mereka.
Anehnya, setelah skripsi untuk derajat sarjana teknik pertanian Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, itu mulai digarap, Kanjat terkejut menghadapi kenyataan yang mengusik jiwanya. Pilihan objek penditian yang jatuh pada kehidupan para penyadap, ternyata, bukan semata-mata masalah praktis. Rasanya ada kesadaran laten dalam alam bawah sadar yang muncul tak terasa dan menuntut keprihatinan Kanjat. Atau sesungguhnya justru keterpihakan dan keprihatinan terhadap kehidupan masyarakat penyadap itulah yang mengusik alam bawah sadarnya dan kemudian menuntun Kanjat menentukan objek penelitian untuk menyusun skripsinya. Kehidupan para penyadap dalam kenyataannya bukan sekadar kenangan indah masa kanak-kanak bagi Kanjat. Karena pada sisi lain kehidupan masyarakat penyadap juga memberikan pelajaran kepada Kanjat tentang kepahitan dan kegetiran yang ikut membentuk sejarah pribadinya.
Sejak kecil Kanjat tahu teman-teman lelaki dan perempuan sering terpaksa meninggalkan kegembiraan main gasing atau kelereng karena mereka harus membantu orangtua mencari kayu bakar. Karena sebab yang sama tcman-teman bermain Kanjat kebanyakan putus di jalan sebelum tamat sekolah desa. Dan teman-teman yang kemudian yatim karena ayah mereka meninggal setelah jatuh ketika menyadap nira; Kanjat tak bisa melupakan tangis mereka. Atau teman-teman yang emaknya kena musibah karena tangan terperosok ke dalam kawah yang berisi tengguli mendidih; suara tangis mereka masih terngiang dalam telinga. Atau tentang si Cimeng; ayahnya harus masuk penjara selama lima bulan karena kedapatan membawa cabang-rabang kayu pinus yang dipungut di tepi hutan untuk kayu bakar. Padahal barang yang dibawa itu hanyalah sisa curian sekelompok maling yang direstui mandor hutan sendiri. Dan Kanjat akan kehilangin semua teman bermain ketika harga gula jatuh. Teman-teman itu tak punya tenaga buat main kelereng atau kucing-kucingan karena perut tak cukup terisi makanan.
Keprihatinan Kanjat terhadap kehidupan para penyadap adalah sikap yang tumbuh sangat alami. Dan ia makin berkembang setelah Kanjat duduk di SMA. Pada usia itu Kanjat bisa membaca lebih jelas wajah istri-istri penyadap yang setiap hari menjual gula kepada ayahnya. Kanjat mulai menangkap gambaran beban dalam sorot mata mereka ketika mereka berhadapan dengan timbangan gula; ada ketakberdayaan ketika mendengar harga gula jatuh, ada kegembiraan bercampur ketakutan ketika mendengar harga sedikit naik.
Dan gambar penderitaan masyarakat penyadap berubah menjadi angka serta data setelah Kanjat dalam usaha menulis skripsi itu memulai penelitiannya. Apa yang dulu terasakan hanya sebagai gejala kesenjangan yang menindih kehidupan para penyadap, muncul menjadi bukti yang nyata yang bisa dihitung dan dianalisis. Tentang harga gula misalnya; para penderes terbukti menerima jumlah yang sangat tidak proporsional bila dibandingkan dengan harga terakhir ying dibayar oleh konsumen, terutama di kota-kota besar.
Dalam penelitiannya Kanjat juga menemukan, dengan harga yang selalu rendah sesungguhnya jerih payah para penyadap tidak punya nilai ekonomis bagi mereka sendiri. Apa yang mereka lakukan hanya layak disebut sebagai usaha terakhir mempertahankan hidup untuk diri sendiri, istri, dan anak-anak mereka. Sedangkan nilai ekonomis dan keuntungan perdagangan gula kelapa hanya dinikmati oleh tengkulak, pedagang besar, bandar di pasar-pasar kota, serta pedagang pengecer.
Keuntungan yang sama juga dipetik oleh industri makanan, obat-obatan, serta barang konsumsi lain yang menjadikan gula kelapa sebagai salah satu bahan dasarnya. Merekalah yang bersama-sama menciptakan mekanisme pasar dan pengaruh mereka terhadap naik-turunnya harga gula sangat besar, atau bahkan mutlak.
Kanjat selalu, selalu tercenung bila menyadari bahwa dengan demikian para penyadap yang hidup sengsara di sekelilingnya terbukti setiap hari memberikan subsidi nyata kepada mereka yang hidup lebih makmur atau sangat makmur. Para penyadap yang meletakkan nyawa di pucuk-pucuk pohon kelapa dan setiap saat terancam jatuh, nyata terbukti punya kontribusi besar untuk kemakmuran orang lain sementara perut sendiri sering kosong.
Mereka, para penyadap, yang terpaksa percaya bahwa kemiskinan adalah suratan sejarah, akhirnya hanya mampu menggantung harapan yang sangat sederhana; hendaknya keringat dan taruhan nyawa mereka bisa menjadi alat tukar untuk sekilo asin, sekilo beras plus garam. Namun harapan minimal ini pun lebih banyak hampa karena lebih sering terjadi harga sekilo gula lebih rendah daripada harga sekilo beras. Kanjat bahkan menemukan bukti, tidak jarang pada suatu masa harga satu kilo gula hanya bisa untuk membeli setengah kilo beras.
Karena penghasilan yang sangat rendah para penyadap mempunyai masalah berat tentang pengadaan kayu bakar, terutama pada musun hujan. Mereka tak mungkin mengurangi pendapatan mereka untuk membeli kayu bakar secara sah. Kalau harus diambil secara gelap dari hutan tutupan meskipun dengan risiko berurusan dengan mandor kehutanan, bahkan tidak sedikit yang harus merasakan penjara. Dengan kata lain, karena penerimaan yang tidak proporsional itu, para penyadap terpaksa membebankan faktor bahan bakar kepada daya tahan hutan pinus dan jati di sekitar mereka.
Sementara itu dengan perhitungan apa pun Kanjat mengerti bahwa nilai ekonomi gula kelapa, karena faktor biaya produksi dan risiko, sesungguhnya lebih tinggi daripada nilai ekonomi beras. Tetapi justru dari sisi ini Kanjat melihat ketidakadilan yang sangat nyata; apabila gabah mendapat perlindungan harga dengan adanya patokan harga eceran terendah, mengapa gula kelapa tidak? Karena ketiadaan perlindungan ini, tak ada jaminan penerimaan harga gula yang sepadan atau sekadar layak untuk para penyadap.
Dalam penelitiannya Kanjat menemukan, sesungguhnya pernah ada usaha untuk memperbaiki nasib para penyadap dengan pendirian koperasi-koperasi primer gula kelapa di desa seperti Karangsoga. Semua penyadap diminta membayar andil untuk menjadi anggota koperasi itu. Untuk beberapa bulan para penderes mendapat kemudahan memperoleh kain batik, sabun, beras murah, atau minyak tanah. Mereka bahkan mendapat janji mendapat perawatan gratis bila mendapat musibah jatuh dari ketinggian pohon kelapa.
Namun kepercayaan terhadap koperasi hanya bertahan sementara. Semua kemudahan terputus bahkan sebelum impas dengan nilai andil yang diberikan oleh para penyadap. Koperasi gula kelapa berubah wujud, menjadi pengesah bentuk perdagangan monopoli yang makin memberatkan para anggota. Harga gula makin jatuh karena jalur niaga makin panjang; koperasi tak bisa menjual gula yang terkumpul kecuali lewat para tauke yang secara tradisional memang menjadi penampung sekaligus menguasai distribusi dan pemasaran gula kelapa. Apalagi para pengurus koperasi, yang semuanya adalah priyayi-priyayi tingkat kampung, harus mendapat honorarium dan mencari untung. Maka koperasi gula pun ambruk karena tiadanya kepercayaan para anggota. Bahkan sebagai dampaknya, orang Karangsoga kehilangan kepercayaan terhadap segala bentuk yang bernama koperasi.
Semua kenyataan yang ditemukan Kanjat dalam penelitian mengangkat laten keprihatinan terhadap kehidupan para penyadap ke permukaan kesadarannya. Keprihatinan, bahkan keterpihakan. Dengan demikian Kanjat sesungguhnya menyadari penyusunan skripsi yang dilakukannya mempunyai kadar subjektiyitas, setidaknya pada tingkat motivasinya. Mungkin kelak ada orang berkata bahwa skripsi Kanjat lebih bermotif politis daripada ilmiah. Maka, karena merasa ragu suatu kali Kanjat minta pendapat Doktor Jirem, dosen pembimbing sebelum skripsinya diajukan ke depan dewan penguji.
“Lho, saya sudah membaca usulan skripsimu dan saya setuju. Kenapa kamu malah ragu?” tanya Pak Jirem.
“Saya khawatir akan ditertawakan orang.”
“Apa?”
“Akan ada orang mengatakan keterpihakan yang muncul dalam skripsi saya nanti adalah sikap sok moralis. Sementara saya sadar sikap seperti itu, setidaknya untuk saat ini, dibilang orang tak ada sangkut pautnya dengan dunia ilmiah.”
Pak Jirem tertawa sambil menepuk pundak Kanjat.
“Saya malah berpendapat sebaliknya. Keterpihakanmu kepada objek yang sedang kamu garap justru menambah bobot skripsimu. Ah, kamu tahu, saya adalah orang yang tidak percaya bahwa dunia ilmiah harus steril. Saya sudah bosan membaca skripsi-skripsi yang bisu dan mandul terhadap permasalahan nyata yang ada di sekeliling kita. Saya melihat skripsimu punya semangat keprihatinan terhadap masyarakat pinggir yang sekian lama tersisih. Maka kamu harus jalan terus!”
“Apakah nanti tidak akan dikatakan skripsi saya mirip slogan sosial? Bahkan politik?”
“Mungkin ya. Tetapi saya bilang jalan terus. Saya akan membelamu sekuat tenaga karena saya senang akan semangat yang ada di otakmu. Keterpihakanmu kepada masyarakat penyadap, saya kira, merupakan manifestasi perasaan utang budi dan terima kasihmu kepada mereka yang telah sekian lama memberikan subsidi kepadamu. Ini bukan sebuah dosa ilmiah. Jat, kamu tahu, sudah terlalu banyak kaum sarjana seperti kita yang telah kehilangan rasa terima kasih kepada ‘ibu’ yang membesarkan kita. Mungkin karena, ya itu, mereka seperti kamu, takut dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut dalam arus kecenderungan pragmatis. Agaknya mereka lupa bahwa dari segi-segi tertentu pragmatisme menjadi benar-benar amoral. Jadi mereka jadi amoral karena takut dibilang moralis.
Maka banyak sarjana seperti kita lupa, atau pura-pura lupa bahwa misalnya, guru yang mendidik mereka dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi digaji oleh masyarakat; bahwa sarana pendidikan yang mereka pakai dari gedung sekolah sampai laboratorium juga dibiayai dengan pajak orang banyak. Mereka lupakan ini semua sehingga status yang mereka peroleh dari kesarjanaan mereka hampir tak punya fungsi sosial. Mereka seakan merasa bahwa status kesarjanaan yang mereka peroleh semata-mata merupakan prestasi pribadi dan karenanya hanya punya fungsi individual.
Episode 19
Bekisar Merah
Jat, dengan demikian amat banyak sarjana seperti kita yang kehilangan keanggunan di mata masyarakat yang telah membesarkan kita. Mereka tak bisa berterima kasih dan membalas budi. Maka jangan heran bila masyarakat telah kehilangan banyak kepercayaan dan harapan atas diri orang-orang seperti kita.”
Kanjat menggaruk-garuk kepala.
“Kamu pernah mendengar ungkapan orang bodoh makanan orang pandai?”
Kanjat makin menggaruk-garuk kepalanya.
“Asal kamu tahu, ungkapan itu adalah keluhan masyarakat luas yang merasa diri mereka bodoh. Juga asal kamu tahu yang mereka maksud dengan orang pandai, sedikit atau banyak adalah kaum sarjana seperti kita. Sekarang, andaikan ada orang bilang bahwa banyak sarjana makan ‘ibu’ mereka sendiri, bagaimana kita harus membantahnya?
“Nah, anak muda,” sambung Doktor Jirem, “saya melihat dalam skripsimu semangat yang berlawanan dengan kecenderungan yang saya sebut tadi. Maka saya bilang, jalan terus. Bravo!”
Dan Doktor Jirem sekali lagi menepuk pundak Kanjat.
Boleh jadi Doktor Jirem sendiri tidak begitu peduli dengan tepukan yang dijatuhkan di pundak mahasiswanya itu. Namun lain bagi Kanjat. Tepukan lirih itu punya makna dalam dan melecut semangatnya. Keraguannya hilang. Pergulatan hati sekitar masalah subjektivitas skripsinya tak perlu diperpanjang. Celakanya pada saat yang sama Kanjat merasa jiwanya tiba-tiba terkepung dari segenap arah oleh rasa malu dan rasa bersalah: Bukankah kehidupan keluarganya termasuk dirinya sejak dulu dibiayai oleh keuntungan perdagangan gula kelapa yang diyakininya tidak adil itu?
Seperti menemukan sebuah granat yang siap meledak, Kanjat terkejut ketika menyadari dirinya sudah sejak semula menjadi bagian dari mereka yang diberi subsidi oleh para penyadap yang hidup miskin itu. Sindiran yang sangat tajam tiba-tiba menusuk jiwanya, menusuk kesadarannya, dan menggoyahkan martabat dirinya yang tak pernah bercita-cita menjalani hidup atas kerugian orang lain, apalagi atas mereka yang menderita.
Kanjat jadi lebih sering mengerutkan kening. Kesadaran bahwa biaya sekolahnya sejak tingkat dasar sampai tingkat tinggi juga berasal dari keuntungan perdagangan gula kelapa, tak mungkin ditepis. Kesadaran itu bahkan melebar ke segala arah. Dalam renungannya Kanjat sering melihat rumus-rumus kimia pada tatar-tatar batang kelapa, atau grafik-grafik pada pelepah nyiur yang digoyang angin. Vespa baru pemberian ayahnya juga sering terlihat sebagai timbangan gula sehingga Kanjat kadang malas mengendarainya.
Timbangan itu! Kanjat sangat menyadari perkakas metrologi yang terbuat dari kuningan itu adalah momok besar bagi para penyadap. Dan siapa yang mengendalikannya dibilang orang sahabat hantu yang suka makan cecek, yakni setrip-setrip batang timbangan. Satu setrip yang termakan adalah satu ons gula yang termanipulasi untuk keuntungan tetap seorang tengkulak. Dan Pak Tir, ayah kandung Kanjat, adalah salah seorang tengkulak itu. Kanjat menelan ludah.
Untuk menguringi tekanan rasa bersalah yang terus menindih hati Kanjat sering termenung sendiri di bawah pohon dalam kompleks kampusnya. Kanjat juga pernah mencoba membagi rasa bersalah dengan sesama mahasiswa: bukankah di antara sekian banyak mahasiswa yang tiap hari muncul di kampus sangat mungkin ada yang sama dengan dirinya? Dia mungkin anak pedagang yang mengambil keuntungan dari kelemahan mitra niaga seperti yang dilakukan Pak Tir, ayahnya sendiri. Atau, boleh jadi dia adalah anak pejabat yang rata-rata punya penghasilan jauh di atas jumlah gaji resmi. Mungkin juga dia adalah anak seorang pemborong bangunan sekolah desa yang ternyata hanya mampu tegak selama tiga tahun karena pemborong itu memanipulasi mutu dan volume bahan bangunan.
Apabila kemungkinan itu mengandung kebenaran, apakah mahasiswa tersebut juga punya rasa bersalah seperti dirinya? Atau sebaliknya: apakah pertanyaan seperti ini hanya pantas keluar dari mulut orang sinting sehingga tak perlu diajukan? Jawabnya sering terdengar sebagai keletak-keletik langkah kaki kuda penarik andong yang biasa lewat dekat kampus: datar dan terasa mengandung rahasia.
Meskipun demikian bagi Kanjat pribadi rasa berutang kepada masyarakat penyadap adalah sebuah kejujuran yang mungkin unik tetapi terus mengepung jiwa. Utang itu makin disadari mengalir sampai ke pembuluh darah yang terhalus dan terus berbisik minta diperhitungkan setidaknya secara moral. Kanjat merasa dirinya selalu diburu.
Pernah, untuk mencoba melawan perasaan itu Kanjat mencari pembenaran pada asas dunia perdagangan; bahwa keuntungan adalah tujuan pokok, maka hal-hal lain menjadi kurang atau tidak penting untuk dipertimbangkan. Dengan demikian sebagai tengkulak gula kelapa ayahnya tidak bisa dipersalahkan dan keuntungan yang didapat adalah sah dan wajar. Ayahnya, Pak Tir, hanyalah ujung tangan sebuah jaringan yang bukan hanya perkasa, melainkan juga mampu menciptakan ketergantungan yang sangat niscaya sehingga para penyadap sendiri dipaksa membutuhkan mereka. Tanpa jaringan perdagangan yang tidak disukai itu kehidupan para penyadap bahkan akan lebih parah. Namun pembenaran seperti itu malah kian menyiksa Kanjat. Rasa bersalah, meski dia sadari sendiri sebagai naif yang nyata, terus mengurung jiwanya.
Dan ketika berada dalam kepungan tuntutan moral seperti itu Kanjat pulang ke Karangsoga. Anehnya, Kanjat sendiri tidak pasti untuk apa dia pulang. Boleh jadi karena Kanjat memang mempunyai libur beberapa hari. Mungkin juga demi uang saku yang sudah menipis atau demi emaknya yang selalu meminta Kanjat, si bungsu, tidak terlalu lama meninggalkannya.
Atau demi meredam kegelisahan yang kian hari terasa kian menekan. Namun sampai di Karangsoga kegelisahannya malah merebak. Begitu menginjak kampung, cerita pertama yang didengarnya adalah ihwal derita seorang istri penyadap, Lasi, yang sudah satu bulan minggat ke Jakarta. Pada awalnya Kanjat tak begitu terkesan oleh kabar seperti itu. Juga oleh cerita tentang kesontoloyoan Darsa yang menyebabkan Lasi kabur. Tetapi setelah mengendap sejenak Kanjat merasa ada sesuatu yang menggeliat dari khazanah masa lalunya.
Oh ya, Lasi! Boleh jadi tak seorang pun tahu bahwa nama itu pernah punya makna khas di hati Kanjat meski anak Pak Tir itu jarang kembali ke Karangsoga. Bahkan bagi Kanjat, nama itu tidak juga hilang setelah Lasi menjadi istri Darsa. Dalam kenangan Kanjat, Lasi adalah anak kelinci putih yang cantik dan dulu sering digoda oleh anak-anak lelaki. Kanjat kecil selalu ingin membelanya meskipun tak pernah berdaya. Lasi juga teman bermain petak umpet waktu malam terang bulan. Kanjat tak pernah lupa, bila hom-pim-pah tangan Lasi paling putih. Ketika harus bersembunyi bersama dalam permainan kucing-kucingan Kanjat kecil suka merapat ke tubuh Lasi yang lebih besar. Bau rambut Lasi tak pernah terlupakan. Dalam setiap permainan Kanjat merasa bahwa Lasi ingin bertindak sebagai kakak. “Jat, aku kan tidak punya adik,” demikian sering dikatakannya. Dan Lasi senang mencubit lengan Kanjat yang gemuk.
Setelah masuk SMP Kanjat tidak lagi bermain bersama Lasi. Bahkan jarang bertemu karena Kanjat indekos di kota. Namun pada tiap kesempatan berada di rumah, Kanjat senang menunggu Lasi datang menjual gula emaknya. Kanjat puas bila sudah mengajak Lasi sekadar bercakap-cakap, atau malu-malu bertukar senyum. Dan lekuk di pipi kiri itu! Mengapa urusan kulit pipi yang sedikit terlipat itu punya daya tarik kuat dan Kanjat amat menyukainya? Apakah karena lesung di pipi Lasi selalu muncul bersama mata yang amat spesifik dan alis yang kuat? Atau karena rambutnya yang lurus dan amat legam? Kanjat tak pernah tahu jawabnya. Kanjat hanya mengerti sejak bocah bahwa Lasi lain. Lasi putih, matanya spesifik, dan lekuk pipinya sangat bagus.
Mungkin Kanjat ingin tetap akrab dengan Lasi ketika anak tengkulak itu mulai menginjak usia remaja. Sayang, Kanjat merasa Lasi mulai menghindarinya. Memang, di Karangsoga tidak ada gadis dan perjaka berani akrab di depan orang banyak. Namun Kanjat percaya bukan masalah itu yang menyebabkan Lasi menjauh. Dan jawaban yang jelas diperoleh Kanjat dari orang ketiga: Lasi malu berakrab-akrab dengan anak orang kaya sementara dia anak orang miskin. Apalagi setelah tamat SMA Kanjat memang lain; bongsor, gagah, terpelajar, dan dimanjakan Emak dengan sebuah sepeda motor. Pokoknya, Kanjat tak pantas lagi diaku sebagai adik oleh Lasi seperti ketika mereka masih kanak-kanak dan suka bermain petak umpet.
Dari luar tampak semua angan manis berakhir setelah Kanjat menjadi mahasiswa. Tetapi bagi Kanjat, Lasi adalah satu-satunya nama yang tetap mewakili kenangan indah masa bermain petak umpet di malam terang bulan. Anehnya, di sisi lain Kanjat merasa nama Lasi juga selalu mengingatkannya akan kehidupan pahit para tetangga d Karangsoga: para penyadap.
Meskipun jarang bertemu Lasi, Kanjat sering membayangkan kesulitan hidup para penyadap pada wajah teman lamanya itu, bahkan pada lesung pipinya. Bagi Kanjat, Lasi adalah selembar daun. Permukaan atasnya adalah kenangan indah masa kanak-kanak dan lesung pipi yang amat enak dipandang, permukaan sebaliknya adalah kehidupan pahit masyarakat penyadap. Keduanya sama-sama sering mengusik jiwa.
Tetapi sang daun lambang dunia penyadap itu tiba-tiba lenyap. Kanjat merasa ada sesuatu yang mendadak tanggal dan bergerak menjauh. Sesuatu yang selalu ingin sekadar dilihat bila Kanjat pulang libur, kini tak ada lagi di Karangsoga. Sekadar dilihat karena Kanjat tidak bisa berbuat apa-apa buat Lasi sebagai pribadi maupun sebagai wakil dunia pahit yang diwakilinya.
Karena ingin mengetahui lebih jelas berita tentang Lasi, Kanjat mendekati Pardi yang sedang mengutak-atik mesin truk di halaman.
“Ah, Juragan Muda, kapan pulang?” sambut Pardi.
“Tadi pagi. Ada yang rusak?”
“Tidak. Hanya saringan udara yang perlu dibersihkan. Saya bisa menanganinya sendiri.”
“Selesaikan pekerjaanmu, nanti temui aku dekat kolam ikan belakang rumah.”
“Wah, mau memberi hadiah kok pakai mencari tempat sepi.”
“Hus!”
“Penting?”
“Kok nyinyir?”
Pardi pergi ke sumur untuk membersihkan tangan lalu berjalan melingkar ke belakang rumah. Kanjat sedang memberi makan ikan gurami dengan daun-daun keladi. Dan tanpa menghentikan tangannya, bahkan tanpa menoleh, pertanyaan pertamanya meluncur ringan.
Episode 20
Bekisar Merah
“Kudengar Lasi ikut kamu ke Jakarta. Sudah berapa lama?”
Pardi tertegun, karena sama sekali tidak menyangka akan ditanyai soal Lasi oleh anak majikan. Tangannya tergagap mencari rokok dalam saku, menyalakannya, dan kepulan asap segera mengepung kepalanya.
“Kira-kira satu bulan, Mas.”
“Tahu keadaannya sekarang?”
“Saya kan baru pulang kemarin malam dari Jakarta. Setelah membongkar muatan saya memang sengaja menemui Lasi untuk...”
“Nanti dulu! Di mana Lasi tinggal? Bersama siapa?”
“Mas Kanjat pernah ikut saya mengirim gula ke Jakarta, bukan?”
“Ya.”
“Mas Kanjat ingat pernah saya ajak mampir makan di warung nasi Bu Koneng di daerah Klender?”
“Ya. Dan Lasi di sana? Lasi kamu taruh di tempat seperti itu?” tanya Kanjat dengan tekanan tinggi. Matanya serius.
“Kemauan Lasi sendiri, Mas. Saya dan Sapon sudah berusaha keras, bahkan memaksa Lasi ikut kembali pada hari yang sama kami datang di Jakarta. Tetapi Lasi bertahan. Malah kemarin saya pun menemuinya lagi untuk membujuk Lasi putang. Mas Kanjat, dia bilang tak ingin kembali.”
“Apa karena tahu suaminya sudah mengawaini Sipah?”
“Saya kira bukan. Lasi belum tahu dirinya dimadu. Kemarin saya ingin mengatakannya tetapi tak tega.”
Kanjat diam. Tangannya meremas daun keladi yang masih tersisa dalam genggaman. Pandangannya jatuh ke permukaan kolam tetapi Kanjat tidak melihat ikan-ikan yang ramai berebut makanan. Jongkok menghadap kolam. Dan Kanjat tidak tahu perlahan-lahan Pardi menyingkir karena merasa anak majikannya tiba-tiba seperti terputus lidahnya. Pardi mengangkat pundak dan berlalu. Kanjat tetap memandang air kolam meskipun angannya terbang kembali ke masa kanak-kanak ketika bersama Lasi berlarian menyeberang titian pada malam musim kemarau yang berhias bulan.
*
Sebuah Chevrolet berhenti di halaman warung nasi Bu Koneng. Bu Lanting turun, berjalan seperti bebek manila karena kelewat gemuk. Si Kacamata, sopir atau pacar Bu Lanting, menyusul di belakang. Bila Bu Lanting mungkin berusia di atas lima puluh, si Kacamata yang tak pernah melepas kacamata hitamnya mungkin dua puluh tahun lebih muda. Pasangan ini sering muncul di warung Bu Koneng dan kelihatan sangat akrab dengan pemiliknya.
“Maaf, aku baru bisa datang sekarang,” ujar Bu Lanting ketika melihat Bu Koneng muncul di pintu.
“Wah, sudah beberapa hari aku menunggu. Kukira kamu sudah tidak mau mendapat untung besar.”
Mereka masuk ke ruang dalam. Si Kacamata menyambar bir dan minta gelas dengan es dan duduk di samping Bu Lanting. Si Betis Kering melayani pesanan Si Kacamata.
“Yang ini istimewa,” kata Bu Koneng setelah menoleh kiri-kanan. “Kamu akan dapat untung besar. Tetapi kamu pun harus berjanji memberi bagian kepadaku dalam jumlah besar pula.”
“Koneng, nanti dulu. Aku kamu minta datang kemari karena katamu, kamu punya barang. Katakan dulu barangmu; lampu antik, besi kuning, keris langka, atau...”
Bu Koneng tertawa latah. Dia lupa bahwa niaga Bu Lanting memang banyak, dari segala macam benda antik, batu berharga sampai keris dan jejimatan. Dan perempuan muda. Terakhir Bu Lanting giat menjalankan niaga istimewa untuk melayani pasar istimewa yang sangat terbatas di kalangan tinggi. Orang bilang pasar itu diilhami oleh masuknya seorang gadis geisha ke istana negara pada awal dasawarsa 60-an dan kemudian bahkan menjadi ibu negara beberapa tahun kemudian.
Kecantikan gadis Jepang itu, yang sering muncul mendampingi Pemimpin Besar dengan kain kebaya gaya Jawa, konon mampu membikin oleng hati banyak orang. Dan karena Pemimpin Besar adalah patron, dari kalangan yang sangat terbatas pula muncul beberapa pemimpin kecil mengikuti langkahnya, mencari istri baru dari Jepang atau yang mirip dengan itu, Cina. Apabila mereka tidak berhasil menjadikan gadis-gadis Jepang itu istri sah, apa salahnya sekadar gundik. Yang penting, meniru langkah Pemimpin Besar dijamin tidak mungkin keluar dari rel revolusi, suatu ungkapan dan slogan politis yang sangat dipopulerkan oleh Pemimpin Besar sendiri.
Bagi pemimpin yang lebih kecil lagi memperoleh seorang gadis Jepang bukan hal yang mudah. Namun hasrat untuk mengikuti langkah Pemimpin Besar sebagai bagian dari semangat revolusi yang jor-joran, habis-habisan, tidak bisa surut. Maka apabila pemimpin yang lebih kecil lagi merasa tak mungkin memperoleh gadis Jepang asli, apa salahnya mencari yang setengah asli. Dan mereka bukan tidak tahu bahwa banyak tentara Jepang meninggalkan keturunan di beberapa daerah, misalnya di Kuningan, Jawa Barat.
Maka pencarian gadis-gadis peninggalan tentara Jepang, dalam beberapa kasus tak peduli dia sudah bersuami, pun dimulai. Bidang usaha bagi para calo bertambah. Apabila sebelumnya mereka menjelajah pelosok daerah untuk mencari lampu kuno, jimat-jimat untuk menciptakan rasa aman bagi pejabat, politisi, atau tokoh masyarakat, kini mereka juga mencari gadis-gadis tinggalan tentara Nippon. Dan Bu Lanting adalah salah satu mata rantai niaga gadis semacam itu dan sudah beberapa kali berhasil memenuhi permintaan pasar.
“Ayahnya Jepang asli. Bukan Cina seperti yang kamu pernah kena tipu,” sambung Bu Koneng.
“Oh, jadi barang yang kamu maksud seorang gadis keturunan Jepang?”
“Jangan keras-keras. Dia di dapur. Memang bukan gadis lagi. Tetapi kamu akan lihat sendiri. Dipoles sedikit saja dia akan tampak seperti gadis Jepang yang sebenarnya. Nah, tunggu sebentar, akan kusuruh dia membawa teh untuk kamu berdua.”
Bu Koneng bangkit dan menghilang di balik gorden pintu. Terdengar dia menyuruh Lasi menyiapkan minuman dan makanan kecil dan kembali ke meja tamu.
“Sengaja aku belum apa-apakan dia. Sebab aku tidak perlu menyembunyikan sesuatu. Nanti kamu akan percaya betapa repot aku menolak laki-laki yang mau jajan dan menghendaki rambon Jepang itu. Mereka baru surut bila kukatakan bahwa dia bukan orang jajanan. Dia kuakui sebagai sepupuku dan punya suami seorang tentara.”
Mungkin Bu Koneng masih ingin bicara lebih banyak. Tetapi Lasi muncul membawa nampan berisi tiga gelas teh dan piring berisi kue-kue. Bu Lanting memperhatikan Lasi dengan cara yang tidak kentara. Tetapi si Kacamata malah melepas kacamatanya, suatu hal yang jarang ia lakukan. Bu Koneng tersenyum karena melihat mata Bu Lanting berbinar.
Selesai meletakkan gelas dan piring, Lasi membalikkan badan. Tetapi Bu Lanting menghentikannya.
“Nanti dulu, Neng. Siapa namamu?”
“Lasi, Bu, Lasiyah,” jawab Lasi malu-malu. Senyumnya, meski sedikit canggung, menampilkan ciri khasnya, lekuk manis di pipi kiri. Mata Bu Lanting tambah berbinar.
“Kamu senang tinggal di sini?”
Lasi tersenyum lagi. Pertanyaan Bu Lanting sulit dijawab. Tetapi Lasi tidak bisa lain kecuali berbasa-basi mengiyakannya.
“Betul. Kamu harus senang tinggal di kota. Secantik kamu tak pantas bergelut dengan lumpur sawah di desa. Pokoknya segala yang terbaik akan atau harus terkumpul di kota.”
Dan Bu Lanting tersenyum dengan mimik seorang ibu kandung. Lasi pun tersenyum dengan lekuk pipi makin jelas. Si Kacamata nyengir sehingga giginya yang kuning kehitaman terbuka lebar.
“Boleh juga,” ujar Bu Lanting setengah berbisik setelah Lasi berlalu. “Hebat juga kamu. Di mana kamu menemukannya?”
“Untuk mendapat seorang seperti dia, kamu pasti harus mengerahkan puluhan calo dan menunggu berbulan-bulan sebelum berhasil. Atau malah gagal. Tetapi aku mujur. Aku tidak mencarinya ke mana pun karena dia sendiri datang kepadaku,” jawab Bu Koneng dengan senyum penuh kebanggaan. Kemudian segala cerita tentang Lasi meluncur lancar. Bu Lanting hanya mengangguk-angguk. Kegembiraan hati karena menemukan mata dagangan bagus disembunyikannya baik-baik. Perempuan gemuk itu khawatir antusias yang muncul ke permukaan bisa membuat Bu Koneng jual mahal.
“Ya. Lasi kini menjadi urusanku,” kata Bu Lanting sambil membuka tas tangannya. “Tetapi aku titip dia di sini dulu sampai aku siap. Ini uang untuk kamu.”
“Nanti dulu. Kali ini aku tak perlu uang.”
“Tak perlu?”
Bu Koneng tersenyum penuh percaya diri. “Coba lihat cincinmu. Nah, itu aku suka.”
“Kamu jangan bertingkah.”
“Aku tidak main-main.”
Bu Lanting tertegun. Kemudian dipandangnya cincin berlian di jari manisnya. “Koneng menghendaki cincin yang sangat mahal ini?”
“Berikanlah,” tiba-tiba si Kacamata memberi perintah. Bu Lanting menegakkan kepala dan menatap si Kacamata. Tatapan protes. Anehnya Bu Lanting menurut. Cincin itu dilepas dan dengan gerak yang berat diulurkannya kepada Bu Koneng. Cahaya kemilau membersit dari mata cincin itu ketika Bu Koneng memasukkannya ke jari manisnya sendiri. Senyumnya merekah.
Episode 21
Bekisar Merah
Bu Koneng mendekati Lasi di dapur setelah kedua tamunya pergi. Dipamerkannya cincin baru yang melingkar di jarinya. Wajahnya meriah seperti gadis kecil mendapat sepatu baru.
“Las, lihat ini. Bagus, ya?”
“Bagus sekali. Di kampung saya hanya istri lurah atau istri Pak Tir yang bisa punya cincin seperti itu.” Lasi memandang dengan kagum. “Berapa harganya, Bu?”
“Kukira bisa ratusan ribu. Mungkin malah jutaan. Tetapi aku tidak membeli kok, Las. Bu Lanting memberikan ini kepadaku sebagai hadiah. Dia memang kaya dan baik.”
Mata Lasi membulat.
“Ibu yang tadi?”
“Ya.”
“Dia juga mau menyapa saya ya, Bu? Tentu dia baik?”
“Memang. Maka aku percaya besok atau lusa kamu pun akan mendapat hadiah dari dia. Atau mengajakmu jalan-jalan. Kukira, bagi Bu Lanting harta tak begitu penting. Keempat anaknya sudah mapan.”
“Laki-laki di samping tadi anaknya juga?”
“Hus. Itu suaminya.”
Lasi kaget. Rasa menyesal tergambar jelas pada wajahnya.
“Bu Lanting memang begitu. Dia selalu mendapat suami yang pantas jadi anaknya. Hebat ya, Las?”
“Selalu?”
“Ya. Bu Lanting memang sering ganti suami atau gandengan atau semacam itu dan selalu mendapat lelaki muda.”
Lasi tersenyum. Dan terus tersenyum meski ia tahu induk semangnya sudah masuk ke kamar pribadinya.
Keesokan harinya pasangan Lanting dan si Kacamata muncul lagi di warung Bu Koneng. Selain menjinjing tas tangan kali ini Bu Lanting mengepit bungkusan di ketiaknya. Si Kacamata berjalan di belakangnya sambil mengunyah makanan. Tangan kanannya memegang sebuah majalah. Mereka masuk tanpa menunggu si empunya warung keluar. Si Kacamata menyambar bir dan minta gelas dengan es. Bila kemarin si Betis Kering, kini si Anting Besar yang melayaninya. Mereka langsung duduk di ruang tengah dan berseru memanggil Bu Koneng. Yang dipanggil, masih di tempat tidur, langsung bangkit karena sangat mengenal si empunya suara.
“Sesiang ini masih ngorok?”
“Maaf, tadi malam ngobrol sampai larut bersama Lasi. Kamu juga salah, pagi-pagi sudah datang. Tak tahu warungku memang buka malam? Maka jangan datang kemari terlalu pagi.”
“Pagi? Dasar pemalas. Jam sepuluh masih kau bilang pagi? Pantas, warung ini tak maju-maju karena pemiliknya doyan ngorok. Ah, sudahlah. Mana Lasi?”
“Pasti ada. Mau ke mana, karena dia tak pernah berani keluar seorang diri.”
“Baguslah. Nah, aku ingin melihat Lasi tidak pakai kain kebaya. Cobalah suruh dia memakai baju ini.”
Bu Koneng mengambil bungkusan yang disodorkan Bu Lanting dan membukanya. Isinya ternyata bukan hanya baju melainkan juga pakaian-pakaian dalam. Semuanya dari mutu yang bagus.
“Karena terlalu bagus, jangan-jangan Lasi malah tak mau memakainya.”
“Ah, jangan terlalu merendahkan Lasi. Meski datang dari kampung, Lasi sama seperti kita, perempuan. Pernah mendengar perempuan menampik pakaian bagus?”
Lasi sedang mencuci perabotan dapur ketika Bu Koneng memanggilnya masuk. Cepat dikeringkannya kedua tangannya lalu bergegas memenuhi panggilan induk semangnya itu.
“Nah, benar, kan, Las, Bu Lanting memang baik? Kini giliran kamu mendapat hadiah. Cobalah pakai baju ini.”
Sejenak Lasi terpana menatap baju yang disodorkan Bu Koneng.
“Bu, saya tak biasa memakai baju seperti itu. Saya biasa pakai kain kebaya.”
“Bila kamu tinggal di kampung, kamu memang pantas pakai kain kebaya. Tetapi, Las, di sini Jakarta. Lihat sekelilingmu. Tak ada perempuan semuda kamu pakai kain kebaya, bukan?”
Lasi kelihatan ragu. Tetapi matanya berbinar ketika sekali lagi dia menatap baju bagus itu. Ragu-ragu. Dan akhirnya tangan Lasi bergerak.
“Sudahlah, jangan banyak pertimbangan. Sana, masuk dan ganti kain kebaya lusuh itu.”
Lasi menurut dan tertawa ringan. Bu Koneng tersenyum. Dalam hati Bu Koneng memuji Bu Lanting; pernah kamu lihat perempuan menampik pakaian bagus? Tetapi dalam kamarnya yang sempit Lasi berdiri termangu. Baju baru yang hendak dipakainya masih terlipat di tangan. Lasi ragu karena mendadak teringat Emak pernah mengatakan, tak ada pemberian yang tidak menuntut imbalan. Ya. Lasi masih ingat betul emaknya beberapa kali menekankan, tak ada pemberian tanpa menuntut imbalan. Bahkan Emak waktu itu bilang, dia sendiri merasa berhak menuntut imbalan kepatuhan Lasi karena dia telah melahirkan dan menyusuinya.
Lasi sering menjumpai kebenaran ucapan Emak bahwa memang tak ada pemberian cuma-cuma. Dulu, Lasi tiap hari menerima uang dari Pak Tir karena tiap hari pula Lasi menyerahkan gula kepada tengkulak itu. Tak pernah terbayangkan Pak Tir mau memberikan uang kepadanya tanpa imbalan gula secukupnya. Lasi juga sering menerima sayur bening atau lodeh dari tetangga dan untuk itu pada lain waktu Lasi akan berbuat sebaliknya sebagai imbalan. Dan kata Eyang Mus, “Hanya pemberian Gusti Allah yang sepenuhnya cuma-cuma karena Gusti Allah alkiyamu binafsihi, tak memerlukan apa pun dari luar diri-Nya, bahkan puji-pujian dan pengakuan manusia sekalipun.”
Lasi bertambah ragu. Dia percaya apa yang Emak bilang. Tetapi di tangannya kini ada baju pemberian Bu Lanting yang baru dikenalnya. Untuk kebaikan Bu Koneng yang telah memberinya tempat berteduh, Lasi sudah memberikan tenaga sebagai imbalan. Tetapi untuk orang yang telah memberinya baju yang kini ada di tangan, apa yang akan diserahkannya?
Tiba-tiba pintu terbuka, Bu Koneng masuk. Dan heran ketika mendapati Lasi berdiri beku dan belum berganti pakaian.
“Oh, kamu tidak bisa memakainya? Mari kubantu,” ujarnya penuh semangat.
Lasi tergagap, tetapi menurut. Bu Koneng menggelengkan kepala, kagum ketika melihat dari balik kain kebaya yang usang muncul tubuh Lasi yang membuatnya iri. Kemudaannya memancar sangat mengesankan. Kulitnya yang putih makin putih setelah punggung Lasi sejenak terbuka. Rambutnya terlihat makin pekat karena tersaing oleh warna kulit yang begitu terang. Bagaimana nanti bila rambut itu sudah terkena shampoo? Bagaimana nanti bila Lasi sudah rajin menyikat gigi dan memakai cat bibir?
“Wah, pantas betul. Dasar baju bagus,” ujar Bu Koneng. “Las, ayo keluar, biar Bu Lanting tahu bagaimana kamu sekarang.”
Dibimbing Bu Koneng, Lasi melangkah keluar dengan canggung. Dan makin canggung setelah Lasi berada dalam jarak tatap Bu Lanting dan si Kacamata.
“Rasanya, rasanya, rok ini terlalu pendek,” kata Lasi terbata dan salah tingkah.
“Ah, siapa bilang. Lagi pula betismu bagus, tak perlu ditutup-tutupi.”
Bu Lanting tersenyum. Matanya menyapu sekujur tubuh Lasi. Sambil menyuruh Lasi duduk, Bu Lanting malah bangkit. Meminta sisir kepada Bu Koneng, perempuan tambun itu kemudian berdiri di belakang Lasi. Tangannya bergerak mengurai rambut Lasi yang tersanggul lalu menyisirnya pelan-pelan. Lasi kikuk tetapi senang karena merasa diakrabi demikian rupa, bahkan dimanjakan. Lasi menyukai bau parfum yang dipakai Bu Lanting.
“Las,” kata Bu Lanting yang terus menyisir rambut Lasi.
“Ya, Bu.”
“Koneng bilang, kamu lari ke sini untuk mencari ketenangan hati, bukan?”
“Ya.”
“Apa kamu bisa tenang tinggal di warung yang penuh orang? Apa kamu senang tinggal bersama perempuan-perempuan jajanan? Lho, salah-salah kamu disangka orang sama seperti mereka.”
Lasi diam, hanya menelan ludah dan menunduk.
“Las.”
“Ya, Bu.”
“Sebaiknya kamu tidak tinggal di sini. Kamu boleh ikut aku. Rumahku cukup besar dan ada kamar kosong. Bagaimana?”
Episode 22
Bekisar Merah
Lasi termenung. Tiba-tiba Lasi teringat pada rumahnya sendiri di Karangsoga. Telinganya mendengar gelegak nira mendidih. Hidungnya mencium wangi tengguli yang hampir kental. Bayangan Darsa berkelebat. Jantung Lasi berdetak keras. Rasa marah dan muak menyesakkan dada. Dalam rongga matanya, Lasi melihat Mbok Wiryaji, emaknya, memanggil pulang. Mata Lasi basah. Lasi terisak. Bingung. Tinggal di warung Bu Koneng memang risi, kadang gerah. Pokoknya tidak enak tinggal seatap dengan si Anting Besar dan si Betis Kering. Mereka memajang diri di warung Bu Koneng lalu berangkat bersama lelaki yang membelinya. Malah Lasi mengerti, kadang-kadang mereka melayani lelaki di kamar belakang. Tetapi untuk menerima tawaran Bu Lanting, Lasi ragu. Lasi belum tahu siapa perempuan yang kini sedang menyisiri rambutnya itu.
“Lho, kok malah menangis. Aku tidak memaksa kamu, Las. Kalau kamu suka tinggal di kamar sempit dan sumpek di sini, ya terserah.”
“Bukan begitu, Bu.”
“Lalu?”
“Bagaimana nanti dengan Bu Koneng? Apa dia tidak keberatan? Nanti siapa yang membantunya masak dan cuci piring?”
“Aku? Jangan repot memikirkan aku. Bila kamu senang ikut Bu Lanting, ikutlah. Aku bisa cari orang lain untuk membantuku. Atau begini, Las. Kamu memang pantas ikut Bu Lanting. Percayalah. Kamu tidak layak tinggal di tempat ini. Kamu ingat ketika ada lelaki mau nakal kepadamu, bukan?”
Lasi mengangguk.
“Nah. Jadi terimalah tawaran Bu Lanting. Kamu akan senang tinggal bersama dia.”
Lasi masih terdiam.
“Lho, bagaimana?”
“Bu Koneng, bila esok atau lusa Pardi datang kemari, bagaimana?”
“Itu gampang. Akan kukatakan kamu ikut Bu Lanting. Bila Pardi meminta, dia akan kuantar menemuimu. Itu gampang sekali.”
Lasi menyeka air mata dengan punggung tangannya. Rambutnya selesai disisir dan tidak disanggul kembali. Rambut itu dilipat dua oleh Bu Lanting lalu diikat model ekor kuda. Bu Lanting tersenyum puas, tak peduli Lasi sendiri masih sibuk dengan air matanya.
“Nah, benar. Kamu memang cantik. Kamu akan dibilang orang mirip Haruko, eh, Haruko siapa?” kata Bu Lanting sambil menoleh kepada si Kacamata.
“Haruko Wanibuchi,” jawab si Kacamata.
“Ya, betul, Haruko Wanibuchi. Hanya sayang, gigimu tak gingsul. Nah, kalau sudah cantik demikian, kamu masih mau tinggal di warung ini apa mau ikut aku?”
Sekali lagi Lasi tercenung. Ia ingin menggelengkan kepala tetapi tiba-tiba Lasi sadar dirinya sudah mengenakan baju bagus pemberian Bu Lanting. Karena alam pikirannya yang sahaja, Lasi merasa wajib memberi sesuatu karena dia telah menerima sesuatu. Dan sesuatu itu setidaknya berupa kesediaan menerima tawaran Bu Lanting.
“Las, aku ingin jawabanmu, lho.”
“Ya, Bu. Saya mau ikut. Saya bisa cuci piring.”
“Jangan pikirkan itu. Aku tahu yang kamu perlukan adalah ketenangan untuk melupakan sakit hati karena dikhianati suami. Pokoknya kamu ikut aku dan istirahatlah di rumahku. Tempat ini tidak baik buat kamu. Itu saja.”
“Ya, Bu.”
Dan air mata Lasi kembali meleleh.
***
Bu Lanting tidak bohong ketika dia bilang bahwa rumahnya besar. Juga tidak bohong tentang sebuah kamar kosong yang tersedia bagi Lasi. Kamar itu ada dan pada hari-hari pertama Lasi ikut menjadi penghuni rumah besar itu kecanggungan hampir membuatnya memutuskan kembali ke warung Bu Koneng. Kamar besar dan terang dengan dipan kayu jati dan kasur tebal membuat Lasi merasa sangat asing. Apalagi ada lemari, ada meja rias yang merupakan perabot yang buat kali pertama disediakan untuk dirinya.
Pada malam-malam pertama menghuni kamar itu Lasi tak bisa tidur. Ia teringat biliknya di kampung dengan balai-balai bambu, berpelupuh, beralas tikar pandan. Pelupuh bambu dan tikar telah begitu akrab dengan kulitnya sehingga kasur busa, meski sangat empuk, terasa kurang nyaman. Panas. Keterasingan juga sangat menggelisahkan Lasi. Dia merasa terdampar ke suatu dunia lain.
Karena sulit memejamkan mata seorang diri di tengah malam Lasi sering merenung dan bertanya tentang lakon yang sedang dialaminya. Mengapa Karangsoga, tanah kelahirannya, sejak Lasi masih bocah tak pernah ramah kepadanya? Apa kesalahannya sehingga rumah tangganya tiba-tiba berubah menjadi sepanas tungku dan Lasi tak mungkin bisa bertahan? Mengapa dia kini tinggal dalam sebuah rumah gedung bersama seorang yang bukan sanak, bukan pula saudara. Dan apa yang akan dilakukan selanjutnya di tempat yang asing ini?
Lasi tak bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Namun dia punya satu kepastian; tak ingin kembali ke Karangsoga, apalagi kembali kepada Darsa. Cukup sudah ketidakramahan orang-orang Karangsoga yang diterimanya sejak bocah. Cukup pula sakit hati akibat kesontoloyoan Darsa. Lasi ingin keluar dari tanah kelahirannya meski di sana masih ada orang yang tak perlu ikut dibenci: Emak, Eyang Mus, bahkan Wiryaji, paman Darsa. Dan Lasi merasa sangat beruntung, dalam ketidakpastiannya berada di Jakarta dapat bertemu dengan orang sebaik Bu Lanting yang sudah memberinya pakaian dan tempat berteduh.
Karena merasa tak enak menjadi penganggur suatu kali Lasi bergabung dengan dua perempuan pembantu bekerja di dapur. Namun Bu Lanting melarangnya. Bahkan Lasi juga diminta menyerahkan pakaian kotornya kepada tukang cuci. Lasi dilarang mencuci pakaian sendiri.
“Las, di rumah ini kamu adalah anakku,” kata Bu Lanting suatu kali. “Kalau kamu ingin bekerja, temani aku karena aku sering ke luar rumah. Itulah pekerjaanmu. Atau, yah, temani aku merawat kebun mawar di belakang itu. Mudah, bukan?”
Mudah. Tetapi Lasi malah sering bingung; orang kok bisa sebaik Bu Lanting. Selain tidak boleh bekerja, ketika pergi bersama, Lasi sering dibelikan baju, selop, atau perkakas kecantikan, semua bagus-bagus. Tiga hari yang lalu Lasi dibawa ke toko rias. Rambutnya dicuci, diperpendek sedikit, lalu disisir model entah apa namanya. Wajahnya digarap dengan sapuan macam-macam air dan pasta. Selama menggarap Lasi, Bu Lanting dan tukang rias bersama-sama memperhatikan gambar seorang perempuan dalam majalah. Lasi merasa sedang didandani agar kelihatan seperti perempuan dalam gambar itu. Lasi juga mendengar berkali-kali Bu Lanting menyebut Haruko Wanibuchi. Apakah itu sebuah nama? Bila betul, di telinga Lasi adalah nama yang sangat aneh.
Selesai dirias Lasi didandani dengan baju yang baginya juga aneh. Bu Lanting menyebutnya kimono. Dan masih dengan dandanan itu Lasi di boyong ke toko potret.
Setelah potret dicetak Lasi menemukan dirinya lain, sangat lain. Lasi terkejut, sungguh terkejut. Cantik? Mungkin. Lasi selalu berdebar bila memandang potretnya sendiri. Galau. Ada perasaan senang. Atau bangga. Atau malah asing.
“Nah, apa kubilang. Kamu sangat cantik, bukan? Kamu bukan anak kampung lagi. Dasar ayahmu Jepang, nah, kamu sekarang kelihatan aslinya, gadis Jepang yang cantik,” kata Bu Lanting.
Lasi tertawa ringan. Matanya berkaca-kaca. Hatinya melambung, seperti dalam mimpi.
“Las.”
“Ya, Bu.”
“Enak lho, jadi orang cantik.”
“Enak bagaimana, Bu?”
“Dengan modal kecantikan, perempuan muda seperti kamu bisa memperoleh apa saja.”
“Saya tidak mengerti, Bu. Dan apa betul saya cantik?”
“Lho, lihat sendiri potret itu. Sekarang kamu jauh lebih pantas dibilang gadis Jepang daripada gadis... eh, mana kampungmu?”
“Karangsoga, Bu.”
“Ya. Karangsoga. Dan sekarang aku mau tanya kepadamu, Las, bila kamu sudah begini, apakah kamu tak menyesal pernah menjadi istri seorang penyadap? Mending penyadap yang setia; suamimu malah berkhianat dan menyakitimu, bukan?”
Lasi mengangkat muka sejenak lalu menunduk. Senyumnya kaku, bahkan kemudian Lasi mendesah panjang.
“Las, maksudku begini. Karena masih muda dan menarik, bagaimana bila suatu saat kelak ada lelaki menginginkan kamu? Atau, apakah kamu masih ingin kembali kepada suamimu?”
Lasi cepat menggeleng. Dan air matanya cepat mengambang.
“Kamu betul. Buat apa kembali kepada suami yang brengsek. Kalau kamu tak ingin kembali, namanya kamu bisa menyayangi dirimu sendiri. Dan percayalah, kamu akan cepat mendapat suami baru. Siapa tahu suami yang baru nanti adalah lelaki kaya. Tidak aneh, Las, soalnya kamu layak punya suami berduit.”
“Tetapi, Bu, saya tidak memikirkin masalah suami...”
“Ya, aku mengerti, mungkin hatimu masih gonjang-ganjing. Maksudku, entah kapan nanti kamu toh membutuhkan seorang pendamping. Iya, kan? Dan aku percaya, pendampingmu nanti bukan seorang penyadap. Kamu sudah menjadi terlalu cantik bagi setiap lelaki Karangsoga.”
“Apa iya, Bu?”
“Betul.”
Lasi sering tak percaya mengapa dirinya bisa kelihatan sangat berbeda. Bahkan dalam keadaan tanpa rias pun Lasi merasa dirinya sudah berubah. Mungkin karena sudah lebih dari dua bulan kulitnya tak terjerang api tungku pengolah nira. Jemarinya lembut karena tak lagi memegang-megang kapak pembelah kayu api. Selalu memakai alas kaki. Dan Bu Lanting sudah mengajarinya duduk di depan kaca rias sambil memoles-moles segala cairan dan bedak kecantikan. Bibirnya kadang menyala dengan warna merah.
Episode 23
Bekisar Merah
Pada awalnya Lasi merasa malu dan canggung karena tak terbiasa dengan alat-alat kecantikan itu. Namun karena Bu Lanting terus mendorongnya, dan Lasi sendiri kemudian merasa senang karena jadi tambah ayu, Lasi melakukannya dengan sepenuh hati. Bahkan bersemangat. Atau sebenarnya Lasi terpacu oleh pertanyaan Bu Lanting, “Tidak menyesal pernah menjadi istri penyadap karena sesungguhnya kamu cantik?”
Menjadi istri penyadap bukan hanya berarti tiap hari terjerang panasnya api tungku dan bekerja sangat keras tetapi juga hidup miskin seumur-umur. Badan tak pernah dilekati baju yang baik, tak punya perhiasan apalagi alat kecantikan. Lasi teringat betapa berat mengolah nira pada waktu hari-hari hujan. Nira kurang bernas karena tercampur air dan kayu api lembap. Dalam pengalamannya jadi istri penderes beberapa kali Lasi terpaksa membakar pelupuh satu-satunya tempat tidur karena kehabisan kayu kering. Belum lagi, dalam cuaca yang banyak mendung, nira cepat berubah masam dan hasil pengolahannya adalah gula gemblung yang persis aspal, merah kehitaman dan tak laku dijual. Bila hal demikian yang terjadi berarti tak ada uang belanja karena bukan hanya Lasi, hampir semua keluarga penyadap tak pernah mampu menyinnpan uang cadangan.
Meskipun demikian mungkin Lasi tidak akan pernah menyesal menjadi istri penyadap karena segala kekurangan itu adalah hal biasa bagi semua perempuan sesamanya. Tetapi Lasi merasa semua harus dipertanyakan kembali karena Darsa sontoloyo. Atau bila Lasi tidak telanjur merasakan enaknya tinggal bersama Bu Lanting. Lasi tak pernah keluar keringat tetapi segala kebutuban tercukupi: baju-baju bagus, anting, jam tangan, bahkan sepatu yang dulu tak pernah terbayang akan dimilikinya. Sangat jauh berbeda dengan pengalaman menjadi istri penyadap. Dulu, hanya untuk membeli selembar kain batik kodian, Lasi harus menabung sampai berbulan-bulan. Hal itu bahkan tak bisa dilakukan tanpa mengurangi jatah makan. Atau, untuk memiliki dua gram cincin emas 18 karat Lasi hanya mengalaminya dalam mimpi.
Tetapi aneh, Lasi masih sering bertanya dalam hati; orang kok bisa sebaik Bu Lanting? Apakah karena dia, seperti pernah dikatakannya, sudah menganggap Lasi sebagai anak sendiri? Mungkin Bu Lanting pernah bilang dirinya kesepian karena kelima anaknya memisahkan diri dan tak pernah datang lagi. Bu Lanting bilang terus terang, anak-anak itu marah karena hubungan ibu mereka dengan si Kacamata. Ya, si Kacamata itu. Sejak kali pertama melihatnya Lasi pun sudah tidak menyukainya. Takut. Untung, ternyata si Kacamata tidak tinggal di rumah itu. Jadi berar kata Bu Koneng dulu bahwa si Kacamata itu sopir atau pacar atau suami Bu Lanting. Tidak jelas.
Atau, seperti juga pernah dikatakan sendiri, Bu Lanting ingin menolong Lasi mencarikan ayahnya atau paling tidak keluarganya. Bu Lanting bilang punya beberapa teman bekas tentara Jepang yang kini memimpin pabrik-pabrik besar di Jakarta. “Orang Jepang rapi. Mereka mungkin punya catatan tentang teman-teman mereka yang hilang dalam perang. Dari catatan itu bisa dicari keluarganya di Jepang. Las, kamu punya kemungkinan bertemu dengan keluarga ayahmu.”
Cerita tentang kennungkinan bertemu ayahnya adalah mimpi yang selalu mendebarkan dada Lasi. Mimpi itu muncul dari tumpukan ketidakpastian masa lalu yang mengurung Lasi sejak kanak-kanak. Tetapi mungkinkah mimpi itu berubah menjadi kenyataan? Lasi bertemu ayah kandung atau paling tidak keluarganya? Lasi sering bilang dalam hati bahwa hal itu hampir tak mungkin. Namun sering juga keyakinannya berubah. Bila Gusti Allah berkehendak, apa pun bisa terjadi. Dan bila mengingat kemungkinan bertemu ayahnya selalu membuat Lasi berdebar. Bahkan takut. Atau, ketika Lasi duduk di depan kaca rias, secara tak sadar dia sedang mematut diri agar cukup pantas bila nanti bertemu ayah kandungnya.
Anehnya, sesering berkhayal bertemu dengan ayahnya, sesering itu pula Lasi teringat emaknya, teringat rumahnya di Karangsoga. Di tengah musim hujan seperti ini, pikir Lasi, orang Karangsoga biasa sedang panen padi darat. Sebelumnya, panen jagung. Lasi ingin meniup serunai, duduk di bawah logondang yang rimbun di pinggir Kalirong. Lasi mencium bau batang padi darat ketika angin bertiup. Telinganya mendengar suara lengking gadis-gadis Karangsoga mengusir punai yang nebah padi. Matanya melihat hamparan padi darat menguning menutup tegalan yang bertepi deretan pohon kelapa yang disadap.
Lasi bahkan melihat dirinya sendiri berjalan sepanjang lorong sempit yang membelah tegalan. Ada rumpun kecipir dengan bunganya yang biru sedang dirubung kumbang. Tangan Lasi menyibak-nyibak rumpun padi yang melengkung melintang lorong. Punggung telapak kakinya basah oleh embun yang tersisa meski matahari sudah cukup tinggi. Betisnya perih tergesek daun padi. Ada belalang kayu terbang dengan sayap arinya berwarna merah tua. Ada kinjeng tangis, semacam riang-riang kecil yang terus berdenging. Kicau burung ciplak yang terbang berputar-putar di atas hamparan padi. Gemercik air bening Kalirong yang mengalir timbul dan menyusup di sela bebatuan. Dan Lasi terkejut ketika melihat seekor lebah terbang tepat ke arah wajahnya.
Lasi tersadar. Potret di tangannya jatuh. Menengok kiri-kanan, dan Bu Lanting tak kelihatan lagi. Lasi membungkuk untuk memungut potretnya. Duduk lagi dan matanya menatap tembok putih. Tetapi tiba-tiba tembok itu menjadi layar dan di sana muncul rumahnya yang hampa dan sunyi di Karangsoga. Dari rumah yang kecil itu bermunculan semua orang Karangsoga. Darsa dan Sipah berada di antara mereka. Orang-orang itu berbanjar di halaman lalu bersama-sama menjulurkan lidah masing-masing ke arah Lasi. Cepat Lasi memejamkan mata, mengubah dirinya menjadi kepiting raksasa, dan menjepit putus leher semua orang Karangsoga.
“Las...” suara Bu Lanting mengejutkan Lasi.
“Ya, Bu,” Lasi tergagap.
“Ambilkan penyemprot obat serangga. Mawarku dirubung semut.”
Kalau bukan karena Pak Handarbeni, boleh jadi Bu Lanting tak pernah mendengar nama Haruki Wanibuchi. Overste purnawira yang berhasil merebut jabatan terpenting pada PT Bagi-bagi Niaga bekas sebuah perusahaan asing yang dinasionalisasi, sering menyebut nama itu. Dari Pak Han itulah Bu Lanting tahu bahwa Haruko adalah seorang bintang film Jepang yang potretnya sering menghias majalah hiburan dan kalender. Bagi Pak Han Haruko adalah khayalan romantis, bahkan kadang mimpi berahi yang paling indah. Kecantikannya, kata Pak Han, melebihi Naoko Nemoto, geisha yang beruntung pernah menjadi penghuni Istana Negara itu.
“Lho, kok Anda tidak ambil saja dia dari Jepang? Bukankah bisa diatur agar Haruko diperhitungkan sebagai harta rampasan perang?” demi kian Bu Lanting pernah bergurau dengan Pak Han “Soal biaya tak jadi masalah bagi seorang direktur PT Bagi-bagi Niaga, bukan?”
“Ndak gitu. Untuk nyicipi seorang gadis Jepang mudah. Aku punya uang. Namun untuk memboyong dia ke rumah ada halangan politis, atau halangan tata krama, atau semacam itu.”
“Kok?”
“Mbakyu lupa kita orang Jawa? Di Istana sudah ada Naoko Nemoto. Nah, bila aku juga membawa gadis Jepang seperti Haruko, itu namanya ngembari srengenge, mengembari matahari. Kita orang Jawa pantang melakukan sesuatu yang merupakan prestise pribadi Pemimpin Besar. Mau kualat apa?”
“Takut kualat? Bekas tentara dan pejuang kok takut?”
“Boleh dibilang begitu. Tetapi masalahnya, aku tak ingin repot.”
“Terus teranglah. Tak ingin kehilangan kursi direktur utama PT Bagi-bagi Niaga. Iya, kan?”
“Ah, sudahlah. Yang jelas rumahku yang baru di Slipi masih kosong. Aku ingin segera mengisinya bukan dengan seorang Haruko, cukuplah dengan yang kini sedang banyak dicari.”
“Saya tahu, saya tahu.”
“Kata teman-teman yang sudah punya, hebat lho, Mbakyu.”
“Pernah melihat anak tinggalan tentara Jepang yang kini banyak diburu itu?”
“Seorang teman menunjukkannya kepadaku. Teman itu sungguh membuat aku merasa iri. Dan dia bilang Mbakyu-lah pemasoknya.”
“Barang langka selalu menarik. Seperti benda-benda antik. Atau bekisar. Dan Anda meminta saya mencarinya?”
“Langka atau tidak, antik atau bukan, aku tidak main-main, lho.”
“Saya percaya Anda tidak main-main. Anda butuh bekisar untuk menghias istana Anda yang baru. Ya, bekisar, kan?”
“Bekisar bagaimana?”
“Bekisar kan hasil kawin campur antara ayam hutan dan ayam kota. Yang kini banyak dicari adalah anak blasteran macam itu, bukan? Blasteran Jepang-Melayu. Memang, Pak Han, hasil kawin campur sering menarik. Entahlah, barangkali bisa menghadirkan ilusi romantis, atau bahkan ilusi berahi. Khayalan-khayalan kenikmatan berahi. Eh, saya kok jadi saru.”
“Entahlah, Mbakyu. Yang penting aku ingin bersenang-senang.”
“Ya, saya tahu Anda beruntung, punya biaya untuk menghadirkan apa saja untuk bersenang-senang.”
“Nasib, Mbakyu. Barangkah memang sudah jadi nasib. Aku merasa sejak muda nasibku baik. Dulu, pada zaman perang kemerdekaan aku melepaskan kartu domino untuk bergabung dengan para pejuang sekadar ikut ramai-ramai. Yang penting gagah-gagahan. Dan kalau kebetulan ada kontak senjata aku senang karena, rasanya, aku sedang main petasan. Jujur saja, sejak dulu aku lebih menikmati bunyi petasan daripada yang dibilang orang sebagai perjuangan. Pokoknya aku ikut grudak-gruduk, dar-der-dor, dan lari. Orang muda kan suka yang rusuh dan brutal. Banyak temanku mati, eh, aku sekali pun tak pernah terluka. Malah dapat pangkat letnan. Dan kini...”
“Dapat kursi direktur utama...”
“He-heh-heh... Nasib, Mbakyu, nasib.”
Dan hanya tiga bulan sejak pembicaraan itu, pagi ini Bu Lanting mengirimkan potret Lasi kepada Pak Han melalui si Kacamata. Dalam pengantarnya Bu Lanting menulis, apabila suka dengan calon yang disodorkan, Pak Han harus lebih dulu menepati janji. Pak Han harus menyerahkan kepada Bu Lanting Mercedes-nya yang baru. Plus biaya operasi pencarian sekian juta. Bila tak dipenuhi, calon akan diberikan kepada orang lain, salah seorang bos Permina, perusahaan minyak milik negara.
Episode 24
Bekisar Merah
Di ruang kerjanya, Handarbeni mengamati tiga foto yang baru diterimanya. Satu foto seluruh badan, satu foto setengahnya, dan satu lagi foto wajah close-up. Mata lelaki 61 tahun itu menyala. Tersenyum. Wajahnya hidup. Lalu bangkit dan berjalan ke arah cermin dan menyisir rambutnya yang sudah jarang tetapi selalu bersemir. Merapikan leher bajunya. Dan kembali ke meja untuk menatap tiga foto Lasi.
Nyata benar yang tergambar di sana bukan Haruko Wanibuchi meski terkesan penuh sebagai seorang gadis Jepang, bahkan alis dan rambutnya dirias mirip aktris film negeri Sakura itu. Merah kimononya persis yang dipakai Haruko dalam penampilannya pada sebuah kalender. Tetapi secara keseluruhan daya tarik yang muncul sama. Atau bahkan lebih kuat?
Ada keluguan, atau kemalu-maluan sehingga perempuan dalam foto itu terkesan tidak terlalu masak. Ah, Overste Purnawira Handarbeni sudah kenyang pengalaman. Menghadapi perempuan yang kelewat matang sering menyebalkan. Perempuan dalam foto itu juga menampilkan sesuatu yang terasa ingin disembunyikan, ditahan-tahan pada senyumnya yang setengah jadi. Citra keluguan perempuan kampung? Mungkin. Ah, Handarbeni teringat seloroh seorang teman. “Kenapa, ya, ayam kampung kok lebih enak daripada broiller? Apa karena ayam kampung tetap makan cacing dan serangga sementara broiller diberi makanan buatan pabrik?”
Atau, hanya karena sudah terlalu lama ngebet dengan seorang gadis Jepang, di mata Handarbeni perempuan dalam foto itu menjadi sangat cantik?
Handarbeni meraih telepon, memutar nomor dengan tergesa dan kelihatan kurang sabar menanti Bu Lanting mengangkat pesawatnya.
“Aku sudah melihat potret itu. Ah, boleh juga. Aku ingin bertemu dengan orangnya. Di mana? Di situ?”
“Eh, sabar, Raden. Perhatikan dulu baik-baik. Sebab meski ayahnya seorang Jepang tulen betapa juga dia bukan Haruko.”
“Tapi mirip, kok.”
“Meski demikian dia tetap bukan Haruko, kan!”
“Tak apa. Tak apa. Yang penting dia sangat mengesankan. Siapa namanya?”
“Las, Lasi... ah, bahkan saya lupa nama lengkapnya. Yang jelas, umurnya 24 dan masih punya suami.”
“Tak urusan! Yang kutanya, di mana dia? Kapan aku bisa bertemu?”
“Pak Han, sudah saya bilang, sabar! Bekisar Anda ada di suatu tempat dan belum akrab dengan suasana Jakarta. Dia belum jinak. Saya sendiri harus penuh perhitungan dalam menanganinya. Sebab, salah-salah dia bisa tak kerasan dan terbang lagi ke hutan.”
“Ya, ya. Tetapi sekadar ingin lihat, boleh, kan?”
“Itu bisa diatur. Pak Han, pada tahap pertama ini saya hanya ingin bilang bahwa bekisar pesanan Anda sudah saya dapat. Dan agaknya Anda berminat. Begitu?”
“Ya, ya.”
“Terima kasih. Eh. Jangan lupa janji, lho.”
“Tentu, tentu. Kapan bisa kukirim? Atau Mbakyu ambil?”
“Ah. saya hanya mengingatkan bahwa Anda punya janji. Semua akan saya ambil bila bekisar sudah ada di tangan Anda.”
Dan Bu Lanting meletakkan gagang telepon.
Tersenyum, dan mendesah panjang. Niaga yang berliku dan rumit sudah memperlihatkan bayangan keuntungan. Si tua Handarbeni yang berkantong sangat tebal bernafsu terhadap bekisar dari Karangsoga. Namun pada saat yang sama Bu Lanting sadar, pekerjaan belum selesai bahkan sedang memasuki tahapan peka. Bu Lanting tahu, berdasarkan pengalaman ada kemungkinan bekisarnya tidak bisa jinak; menolak lelaki yang menghendakinya. Tetapi berdasarkan pengalaman pula Bu Lanting mengerti, kemakmuran adalah umpan yang sangat manjur untuk menjinakkan bekisar-bekisar kampung yang kebanyakan punya latar kemelaratan.
Bu Lanting makin sering mengajak Lasi keluar; makan-makan di restoran, belanja di Pasaraya, atau beranjang-sana ke rumah teman. Atau menghadiri resepsi perkawinan di gedung pertemuan yang megah. Lasi mulai terbiasa dengan sepatu, jam tangan, serta sudah bisa berbicara lewat telepon dan menghidupkan televisi. Bu Lanting mengamatinya dengan saksama dan yakin bekisar itu menikmati semuanya. Kadang Bu Lanting tersenyum bila memperhatikan perubahan fisik bekisarnya. Putih kulitnya makin hidup. Rambutnya bercahaya, dan bila tersenyum gigi Lasi sudah putih dan begitu indah. Tumitnya yang dulu pipih dan pecah-pecah sudah membentuk bulat telur dan halus. Lasi sudah lain, meski sisa kecanggungannya masih tampak bila berhadapan dengan orang yang tak dikenalnya. Dan kemarin Bu Lanting mendengar Lasi bernyanyi kecil menirukan biduan di televisi. “Bekisarku sudah jinak dan betah di kota.”
Bu Lanting teringat Handarbeni yang sudah berkali-kali menelepon ingin diberi kesempaLan melihat Lasi. Kemarin-kemarin Bu Lanting selalu berusaha menunda pertemuan itu, khawatir segalanya belum siap. Tetapi sekarang lain; Bu Lanting percaya situasinya sudah matang. Sudah tiba saatnya Handarbeni dipertemukan dengan bekisar yang ingin dibelinya. Telepon pun diangkat untuk memberitahu Handarbeni bahwa lelaki itu boleh bertemu Lasi nanti sore di rumah Bu Lanting sendiri.
“Jadi selama ini bekisar itu ada di rumahmu?”
“Ya. Kenapa?”
“Kalau aku tahu begitu, sejak dulu aku ke situ dengan atau tanpa izinmu.”
“Sudahlah. Nanti sore Anda bisa melihatnya. Tetapi tolong, Pak Han, haluslah cara pendekatan Anda.”
“Halus bagaimana?”
“Halus, ya tidak kasar. Soalnya saya belum bilang apa-apa kepada Lasi. Menyebut nama atau gambaran tentang Anda pun belum.”
“Jadi aku harus bagaimana?”
“Bertamulah seperti biasa sebagai teman saya jam lima sore nanti.”
“Mengapa harus nanti sore? Sekarang bagaimana?”
“Saya mengerti, Pak Han, Anda tidak sabar. Tetapi jangan sekarang. Sungguh. Kami tidak siap.”
“Baik, nanti sore pun jadilah. Dan apakah aku perlu membawa oleh-oleh?”
“Bila Anda sediakan buat saya, boleh. Boleh. Tetapi bukan untuk Lasi. Tak lucu, baru bertemu langsung memberi oleh-oleh. Lagi pula Anda harus yakin dulu bahwa bekisar itu memang pantas mengisi rumah Anda yang baru. Sejauh ini Anda baru melihat fotonya, bukan?”
Jam lima sore. Namun belum lagi jam tiga Bu Lanting sudah meminta Lasi mandi. Lasi mengira dirinya akan diajak keluar karena hal itu sudah terlalu sering terjadi. Apalagi selesai mandi Lasi melihat induk semangnya sudah berdandan. Dan pertanyaan mulai muncul dalam hati Lasi ketika Bu Lanting menyuruhnya mengenakan kimono. Lasi belum pernah diajak pergi dengan pakaian seperti itu.
“Kita mau ke mana sih, Bu? Saya kok pakai kimono?”
“Tidak ke mana-mana, Las. Kita tidak akan pergi. Aku mau menerima tamu. Tamuku ingin melihat cara orang memakai baju adat Jepang ini.”
“Teman Ibu?”
“Ya tentu, Las. Masakan aku menerima tamu yang belum kukenal. Dia lelaki yang baik, Las.”
Lasi agak terkejut. “Laki-laki?”
“Ya, laki-laki. Mengapa heran? Las, temanku bahkan lebih banyak lelaki daripada perempuan. Dan yang akan datang nanti orangnya baik. Sangat kaya. Rumahnya ada empat atau lima. Pokoknya sangat kaya. Nah, kamu lihat, semua temanku adalah orang-orang seperti itu.”
Dan orang seperti itu ingin melihat aku dalam pakaian kimono? pikir Lasi.
Tetapi Lasi kehabisan kata-kata. Lasi tetap duduk dan diam sampai Bu Lanting menyuruhnya masuk ke kamar dan mulai berdandan. Tak lama kemudian Bu Lanting pun ikut masuk, membantu Lasi merias wajah dan menata rambut. Bu Lanting harus lebih banyak campur tangan ketika Lasi mulai memasang kimono merahnya.
“Las, aku tak pernah bosan mengatakan kamu memang gadis Jepang.”
“Apa iya, Bu?”
“Betul.”
“Bila saya memang gadis Jepang, bagaimana?”
“Banyak yang mau!”
Lasi terdiam, merapikan pakaiannya, lalu berjalan ke depan kaca.
“Las, bagaimana bila ada lelaki mau sama kamu? Soalnya, sudah kubilang, kamu masih sangat muda dan menarik. Tidak aneh bila akan ada lelaki, bahkan mungkin yang kaya, melirik kepadamu.”
Episode 25
Bekisar Merah
Lasi tidak segera menjawab. “Bu, saya belum berpikir tentang suami. Ibu tahu, kan, saya lari ke sini pun gara-gara suami.”
“Aku mengerti, Las. Cuma, salahmu sendiri mengapa kamu cantik. Jadi salira-mu sendiri yang mengundang para lelaki. Ah, begini saja, Las. Kelak kamu kubantu memilih lelaki yang pantas jadi suamimu. Betul, kamu akan kubantu.”
“Ibu kok aneh. Saya belum punya surat janda, lho.”
Bu Lanting tertawa.
“Bagi seorang lelaki yang berduit, surat janda bukan masalah. Kamu akan segera memperolehnya kapan kamu suka.”
“Sudah cukup, Bu?” kata Lasi mengalihkan pembicaraan.
“Ya, sudah. Dan, Las, sekarang baru jam empat kurang. Kamu tinggal dan menunggu tamu itu. Aku mau keluar sebentar. Sebentar...”
“Keluar? Bagaimana...”
“Tak lama. Betul. Syukur aku bisa kembali sebelum tamu itu datang. Bila tidak, tolong wakili aku menerimanya dan tunggu sampai aku kembali.”
“Tetapi saya malu, Bu.”
“Eh, tidak boleh begitu. Kamu sudah lama jadi anakku, kenapa masih malu bertemu orang? Lagian kamu tak punya sesuatu yang memalukan. Kamu cantik. Aku bilang, kamu adalah anakku dan cantik.”
Lasi masih ingin mengelak namun Bu Lanting sudah bergerak membelakanginya. Lasi hanya bisa memandang induk semangnya meraih tas tangan di meja tengah, berjalan seperti bebek manila, keluar halaman, dan melambaikan tangan di pinggir jalan raya untuk menghentikan sebuah taksi. Suara rem berdecit. Kemudian suara pintu mobil ditutup dan derum taksi yang menjauh.
Duduk di kamar seorang diri, Lasi merasa ada kerusuhan besar dalam hatinya. Takut tak mampu mewakili Bu Lanting menerima tamunya. Takut berhadapan dengan lelaki yang belum dikenal, dan siapa dia sebenarnya? Lasi gelisah. Lasi bangkit dan duduk lagi di depan cermin besar. Dipandangnya kembaran dirinya dalam kaca, dan tiba-tiba rasa takutnya malah menyesakkan dada. “Jangan-jangan Bu Lanting benar, sekarang aku cantik. Dan sebentar lagi ada laki-laki datang untuk melihat aku memakai kimono?” Lasi makin gelisah.
Lamunan Lasi mendadak terputus ketika terdengar bel berdering. Duh, Gusti, tamu itu datang. Lho? Ini belum lagi jam setengah lima? Lasi bergegas menuju ruang depan, menenangkan diri sejenak, lalu memutar tombol pintu.
Lalu terperanjat. Kedua matanya terpaku pada seorang lelaki yang berdiri kurang dari dua meter di depannya. Jelas sekali lelaki itu juga kaget, sama seperti yang dirasakan Lasi. Keduanya saling tatap pada kedalaman mata masing-masing. Keduanya seakan mati langkah. Bibir Lasi bergetar.
Dalam pelupuk matanya yang terbuka lebar tiba-tiba Lasi melihat dirinya masih seorang bocah sedang berlari di malam terang bulan. Di belakangnya menyusul seorang bocah lelaki yang montok dan ingin bersembunyi bersama dalam permainan kucing-kucingan. Lasi merasa geli sebab teman ciliknya itu terlalu rapat menempel ke tubuhnya.
Bayangan masa kanak-kanak terus bermain di mata Lasi, tetapi ia mendengar lelaki di depannya mendesah panjang. Lelaki itu kelihatan sudah kenbali menguasai perasaannya. Tetapi ketika membuka mulut suaranya terdengar parau.
“Las.”
“Kanjat? Oalah, Gusti, aku agak pangling!” Lasi bergerak ingin menepuk pundak Kanjat, tetapi gerakannya tertahan. Anehnya Lasi membiarkan tangannya lama dalam genggaman Kanjat.
“Ya, aku tadi juga pangling.”
“Kok kamu tahu aku berada di sini?”
“Bu Koneng yang memberikan alamat rumah ini.”
“Bu Koneng?”
“Ya. Aku ikut Pardi mengangkut gula. Pardi memang biasa istirahat di warung Bu Koneng. Tetapi tadi kami harus bertengkar dulu dengan pemilik warung makan itu.”
“Bertengkar?”
“Ya. Karena pada mulanya perempuan itu bersikeras tak mau menunjukkan di mana kamu berada. Pardi mengancam akan memanggil polisi bila Bu Koneng tetap ngotot.”
Lasi masih megap-megap. Tangannya terlepas dari genggaman Kanjat dan bergerak tak menentu.
“Ah, aku sangat senang karena kamu datang. Kamu sudah gede, gagah. Eh! Kamu tahu bagaimana keadaan Emak?”
Kanjat masih canggung. Ia jadi salah tingkah. Meski sudah yakin siapa yang berdiri di depannya, Kanjat masih sulit percaya bahwa perempuan cantik dengan kimono merah itu adalah Lasi. Sejak diberitahu oleh Bu Koneng bahwa Lasi tinggal bersama seorang kaya, Kanjat punya kesimpulan Lasi bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Tetapi sosok yang kini berdiri di depannya sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda seorang babu. Dalam rias dan busana seperti itu Lasi bahkan membuat jantung Kanjat berkisar-kisar. Lekuk pipi Lasi yang sejak dulu sangat manis di mata Kanjat terkesan bertambah indah. Lasi seperti kayu dipoles pernis; masih tampak pola garis seratnya tetapi terlihat jauh lebih terawat dan indah. Kanjat menelan ludah.
“Eh, Jat, maaf. Ayo masuk. Kamu bertamu di rumah ini dan aku, anggaplah yang punya rumah, karena Ibu kebetulan belum lama keluar.”
Kanjat hanya tersenyum. Matanya tetap pada sekujur tubuh Lasi. Yang diamati jadi rikuh. Lasi salah tingkah.
“Maaf, Jat, apakah aku kelihatan nganyar-anyari? Atau malah aneh? Lucu?”
Kanjat tiaak bisa menjawab. Dan menunduk ketika pandangannya tersambar mata Lasi yang bercahaya.
“Kamu pantas menjadi nyonya rumah ini,” gumam Kanjat.
“Jangan begitu, Jat. Aku malu.”
“Kamu pantas jadi nyonya rumah ini,” ulang Kanjat.
Wajah Lasi memerah.
“Ayolah masuk. Atau kamu lebih suka duduk di teras ini?”
Kanjat mengangguk lalu mengambil kursi rotan yang ada di dekatnya. Lasi pun duduk berseberangan meja yang kecil dan lonjong.
“Jat, kamu belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana keadaan Emak?”
“Baik. Kemarin masih kulihat emakmu menjual gula. Dan dari pembicaraannya aku tahu dia susah karena kamu tinggal pergi.”
Lasi menelan ludah.
“Emak tahu bahwa kamu akan datang kemari?” tanya Lasi.
Kanjat menggeleng.
“Jadi kamu datang kemari tanpa pesan apa pun untuk aku?”
Kanjat mengangguk. Ia tampak canggung. Dan hatinya rusuh lagi karena Lasi menatap dengan matanya yang kaput, mata Sakura.
“Jadi kamu datang kemari hanya karena ingin ketemu aku? Atau apa?”
Kanjat mengangguk lagi. Dan senyumnya tertahan.
“Kamu tak suka aku datang?”
“Oh, tidak. Tidak...”
Lasi tak bisa meneruskan ucapannya. Mendadak hatinya ikut rusuh. Keduanya membisu. Dan lengang. Tetapi kadang Kanjat mencuri pandang. Mereka bertukar senyum. Hati Lasi juga riuh. Ah, kenangan masa kanak-kanak. Dulu, bila ada anak Karangsoga yang tidak ikut-ikutan meleceh Lasi, dialah Kanjat. Dulu, bila ada bocah yang berusaha membela ketika Lasi diganggu anak nakal, Kanjatlah dia. Dan dulu, bila ada anak Pak Tir yang bongsor dan lucu sehingga Lasi senang menganggapnya sebagai adik, Kanjat juga orangnya. Bahkan kalau bukan malu karena merasa dirinya anak miskin, sesungguhnya sejak dulu Lasi ingin selalu manis pada Kanjat.
“Las, aku sendiri tak bisa mengatakan dengan pasti mengapa aku datang kemari. Mungkin hanya karena aku ingin melihat kamu. Atau entahlah.”
Lasi diam, mendengarkan Kanjat yang berbicara sambil menunduk dan gelisah.
“Tetapi setelah sampai kemari aku tahu jawabnya. Aku ingin kamu kembali ke Karangsoga. Eh, tetapi hal itu terserah kamu. Apalagi suamimu sudah mengawini Sipah. Oh, maaf. Aku tak sengaja memberi kamu kabar buruk.”
Lasi mengerutkan kening dan matanya menyempit. Napasnya yang pendek-pendek mewakili ombak besar yang tiba-tiba melanda hatinya. Air matanya terbit karena luka lama yang tak sengaja tergesek keras.
“Las, kalau aku boleh bertanya, bagaimana cerita sampai kamu tinggal di rumah ini?”
“Bu Koneng tidak mengatakannya kepadamu?”
“Dia, setelah kami desak-desak, mengatakan kamu ikut Bu Lanting. Tak ada cerita lainnya.”
“Memang begitu. Aku ikut Ibu pemilik rumah ini dan dia menganggapku sebagai anaknya. Di sini aku tidak bekerja apa pun kecuali menemani Ibu jalan-jalan dan memelihara bunga.”
Kanjat diam. Tetapi hatinya tetap rusuh.
“Jadi kamu betah tinggal di sini?”
“Bagaimana, ya? Aku tak bisa menjelaskannya. Aku hanya merasa lebih baik berada di sini daripada tinggal di rumah karena bagiku amatlah sulit dimadu bareng sabumi, dimadu dalam satu kampung. Tetapi, Jat, mengapa kamu bertanya seperti itu?”
Kanjat menunduk. Sesungguhnya ia ingin berkata bahwa ia menduga mungkin ada sesuatu di balik kebaikan Bu Lanting terhadap Lasi. Namun perasaan itu tetap tertahan dalam hati.
“Aku juga tidak bisa menjelaskannya. Yang bisa kukatakan, aku punya keinginan kamu kembali ke Karangsoga. Pulanglah ke rumah emakmu bila tak ingin berkumpul kembali dengan suamimu.”
Episode 26
Bekisar Merah
Lasi menggeleng dan menggeleng. Tangannya sibuk menghapus air mata yang tiba-tiba keluar menderas.
“Kenapa?”
“Jat,” jawab Lasi setelah lama hanya sibuk dengan air matanya. “Untuk apa aku pulang? Tak ada guna, bukan? Rumah tanggaku sudah hancur. Suamiku tak bisa lagi kupercaya. Dan aku anak orang miskin yang menderita sejak aku masih kecil. Bila aku kembali aku merasa pasti semua orang Karangsoga tetap seperti dulu atau malah lebih: senang menyakiti aku.”
“Las, kamu jangan berkata seperti itu karena aku pun anak Karangsoga.”
“Maaf. Kamu memang satu-satunya...”
Tiba-tiba Lasi berhenti berkata. Matanya yang redup menatap Kanjat dengan pandangan yang dalam. Entah mengapa Lasi merasa ingin mengulang masa kanak-kanak, minta perlidungan Kanjat bila menghadapi gangguan anak nakal. Berputar kembali dengan jelas rekaman pengalaman masa bocah: Lasi bergegas pulang sekolah, siap melintas titian pinang sebatang. Tetapi di seberang sudah berdiri tiga anak lelaki merintang jalan. Seorang lagi yang paling kecil kelihatan bimbang. Lasi mengusir tiga anak lelaki itu setelah menakuti mereka dengan kayu penggaris. Anak yang paling kecil kelihatan ingin membela Lasi tetapi tak berdaya. Si kecil Kanjat hanya terpaku dan minta dimengerti dirinya tidak ikut nakal. Tetapi dulu Kanjat lebih kecil. Sekarang anak itu sudah jadi lelaki berbadan besar, berkumis, dan lengannya berbulu.
“Jat, bagaimana sekolahmu?”
“Alhamdulillah, hampir selesai. Las, sebentar iagi aku insinyur.”
“Oh? Syukur. Kamu bahkan hampir insinyur. Nah, sekarang aku jadi ingin bertanya. Kamu anak orang kaya, calon insinyur, lalu mcngapa kamu mau bersusah payah mencari aku di sini? Aku yang sejak bocah selalu diremehkan oleh orang Karangsoga!”
“Las!”
Lasi menangis lagi. Pipinya yang putih merona merah. Kanjat terpojok oleh pertanyaan Lasi sehingga ia tak mudah menemukan kata untuk diucapkan.
“Maafkan, Las, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Malah aku balik bertanya. Sebenarnya kamu mau pulang apa tidak?”
Kali ini pun Lasi hanya menggelengkan kepala. Matanya yang merah melekat pada wajah Kanjat. Ingin dicarinya sasmita yang bisa menerangkan mengapa Kanjat terus mengajaknya pulang. Samar, sangat samar, Lasi menangkap apa yang dicari pada senyum dan mata Kanjat. Dada Lasi berdenyut. “Ah, tetapi betulkah perasaanku? Sejatikah sasmita sekilas yang kutangkap dari kedua mata Kanjat? Mungkin tidak. Aku hanya seorang janda kepalang, melarat, dan malah dua tahun lebih tua. Dia perjaka, terpelajar, dan anak orang paling kaya di Karangsoga. Mustahil dia menaruh harapan kepadaku. Dia dengan mudah dapat menemukan gadis yang lebih muda dan sepadan. Tidak!”
“Bagaimana, Las?”
“Jat, aku bungah kamu menyusul aku kemari. Tetapi aku tidak ingin pulang. Biarlah aku di sini. Aku ingin ngisis dari kegerahan hidupku sendiri.”
“Tidak kasihan sama Emak? Dia kelihatan begitu menderita.”
Hening. Lasi menunduk dan mengusap mata.
“Jadi sudah tidak bisa ditawar lagi, kamu tidak mau pulang?”
Lasi mengangguk. Kanjat menyandar ke belakang. Wajahnya buntu. Kanjat kelihatan sulit meneruskan pembicaraan.
“Baiklah, Las. Jauh-jauh aku datang kemari memang hanya untuk meminta kamu pulang. Tetapi bila kamu tak mau, aku menghargai keinginanmu tinggal di sini. Meski begitu apakah aku boleh sekali-sekali datang lagi kemari?”
“Oalah, Gusti, aku senang bila kamu tidak melupakan aku. Seringlah datang lagi. Aku juga tidak akan lupa kamu. Dan kamu tidak marah, bukan? Jat, aku khawatir kamu marah.”
Kanjat menggelengkan kepala dan tersenyum tawar lalu bangkit sambil menyodorkan tangan minta bersalaman. Lasi terkejut.
“Mau pulang?”
“Ya, sudah cukup. Kasihan Pardi yang sudah lama menungguku.”
“Tetapi betul, kan, kamu tidak marah?”
“Betul.” Dan Kanjat tersenyum paksa.
“Nanti dulu...”
Lasi lari ke dalam dan muncul lagi dengan sebuah foto di tangan. “Aku titip ini buat Emak. Tolong sampaikan. Tolong juga katakan aku baik-baik di sini.”
Kanjat memperhatikan foto Lasi dalam kimono merah itu. Tak pernah terkirakan Lasi bisa menjadi demikian menarik. Kanjat menggigit bibir.
“Maaf, Lis, bagaimana bila foto ini kuminta?”
Lasi terpana. Mulutnya komat-kamit tanpa bunyi.
“Kamu suka?”
Kanjat mengangguk. Dan senyumnya membuat wajah Lasi merah.
“Bila suka, ambillah. Tetapi jangan dirusak, ya. Dan apa kamu juga mau memberi aku fotomu?”
Kanjat terkejut.
“Sayang aku tidak membawanya. Oh, tunggu.”
Tangan Kanjat merogoh dompet di saku belakang, membukanya dengan tergesa. Senyumnya mengembang ketika ketemu apa yang dicarinya. Sebuah pasfoto dirinya dalam hem putih dan dasi hitam. Mata Lasi berbinar ketika menerima lalu menatap foto itu.
Kanjat tersenyum sambil memasukkan foto Lasi ke dalam saku bajunya, menatapnya dengan mata bercahaya, lalu minta diri.
Lasi tak menemukan kata-kata untuk melepas Kanjat. Keduanya hanya beradu pandang. Bertukar senyum. Tangan Lasi berkeringat ketika berjabat. Matanya terus mengikuti Kanjat yang berjalan meninggalkannya. Kanjat terus melangkah tanpa sekali pun menoleh ke belakang dan menghilang di balik pagar halaman. Pada saat yang sama Lasi memejamkan mata rapat-rapat.
Kembali duduk seorang diri Lasi malah jadi bimbang. Lasi menyesal tidak minta ketegasan Kanjat mengapa anak Pak Tir itu datang dan memintanya pulang. Tanpa maksud tcrtentu rasanya tak mungkin Kanjat bersusah payah datang diri Karangsoga. Lalu mengapa Kanjat tidak berterus terang? “Karena bagaimana juga Kanjat tahu aku masih istri Darsa?” Ah, ya. Lasi juga menyesal mengapa terlalu cepat menolak diajak Kanjat pulang. Padahal pulang sebentar bersama Kanjat berarti kesempatan melihat keadaan Emak atau bahkan membereskan urusannya dengan Darsa.
Angan-angan Lasi bubrah ketika sebuah mobil biru tua masuk ke halaman. Jam lima kurang sedikit. Lasi sadar tamu yang harus disambutnya sudah datang. Sebelum tamu itu turun dari mobilnya Lasi bergegas masuk untuk menghapus sisa tangisnya. Rias yang rusak cepat diperbaiki sebisanya. Lalu keluar untuk membuka pintu depan. Dan tamu itu sudah berdiri di teras. Hal pertama yang terkesan oleh Lasi adalah cincin emas besar dengan batu berwarna biru melingkar di jarinya. Jam tangannya pun kuning emas. Lalu tubuhnya yang bundar tanpa pinggang dan perutnya yang menjorok ke depan. Wajahnya yang gemuk hampir membentuk bulatan. Tengkuk dan dagunya tebal. Hidungnya gemuk dan berminyak. Lasi juga mencium wewangian yang dikenakan tamu itu.
Lasi merasa tatapan tamu itu sekilas menyambar mata dan menyapu sekujur tubuhnya. Tetapi hanya sejenak. Detik berikut tamu itu sudah tersenyum seperti seorang guru tua sedang memuji muridnya yang pandai dan cantik. Senyum itu mencairkan kegugupan Lasi.
“Selamat sore, aku Pak Han,” salam Handarbeni. Senyumnya mengembang lagi.
“Selamat sore, Pak. Mari masuk.”
“Terima kasih. Tetapi nanti dulu. Aku mau bilang, Bu Lanting beruntung. Dia bilang punya anak angkat yang cantik. Kamulah orangnya?”
Lasi terkejut oleh pertanyaan yang sama sekali tidak diduganya. Wajah Lasi merona. Dan ia hanya bisa mengangguk kaku untuk menjawab pertanyaan itu. Dari cara Pak Han memandang Lasi sadar bahwa tamu itu adalah lelaki yang ingin melihat perempuan berkimono seperti yang dikatakan Bu Lanting. Lasi bertambah gagap. Tetapi Handarbeni malah senang. Ia menikmati kegagapan perempuan muda di depannya.
“Aku juga sudah tahu namamu. Lasi?”
Episode 27
Bekisar Merah
Lasi mengangguk lagi. Dan menunduk. Bermain dengan jemari tangan yang kukunya bercat merah saga. Dan dengan sikap Lasi itu Handarbeni malah punya kesempatan lebih leluasa memandang bekisar yang akan dibelinya. Bahkan Handarbeni tiba-tiba mendapat kesenangan aneh karena merasa menjadi kucing jantan yang sangat berpengalaman dan sedang berhadapan dengan tikus betina yang bodoh dan buta. Handarbeni amat menikmati kepuasan itu karena dia terlalu biasa menghadapi tikus-tikus berpengalaman tetapi malah selalu merangsang-rangsang ingin diterkam. Atau Handarbeni sering merasa seperti disodori pisang yang sudah terkupas; tak ada sisi yang tersisa sebagai wilayah perburuan atau tempat rahasia keperempuanan masih tersimpan. Pisang-pisang yang kelewat matang yang kadang menyebalkan.
“Kamu sangat pantas dengan pakaian itu. Kudengar ayahmu memang orang Jepang?”
Lasi senyum tertahan. Tetapi lekuk pipinya malah jadi lebih indah. Entahlah, dulu di Karangsoga Lasi terlalu risi bahkan jengkel bila disebut rambon Jepang. Namun sekarang sebutan itu terdengar sejuk. Mungkin karena orang Karangsoga mengucapkan sebutan itu sebagai pelecehan sedangkan Bu Lanting, dan kini Pak Han, menyebutnya sebagai pujian? Entahlah.
“Pak, mari masuk,” kata Lasi untuk menghindari pertanyaan Pak Han lebih jauh.
“Ya. Mana Ibu?”
“Ibu sedang keluar sebentar. Saya diminta mewakilinya menemui Pak Han sampai Ibu kembali.”
Handarbeni tersenyum, mengangguk-angguk dan maklum. Si tua Lanting memang licin. Tetapi kali ini Handarbeni berterima kasih atas kelicinan itu. Wajahnya makin meriah.
“Oh? Kalau begitu ayolah duduk bersamaku. Aku sudah biasa datang kemari seperti saudara kandung ibu angkatmu. Jadi kamu jangan rikuh. Kama sudah jadi anak Jakarta. Siapa yang pemalu tidak bisa jadi anak kota ini. Kamu senang tinggal di Jakarta, bukan?”
Lasi tersenyum dan mengangguk karena ia percaya itulah yang diharapkan oleh tamunya. Tetapi ingatan Lasi sekilas melayang kepada Kanjat yang baru beberapa saat meninggalkannya. Sudah sampai ke mana dia berjalan pulang?
“Ya.”
Dan Handarbeni menyalakan rokok. “Banyak orang kampung pergi ke kota karena hidup di sana susah. Apalagi kamu memang lebih pantas jadi orang kota.”
“Apa iya, Pak. Saya kok belum percaya. Sebab saya bodoh. Saya tidak sekolah.”
“Tidak sekolah?”
“Hanya tamat sekolah desa.”
“Meski begitu kamu tetap lebih pantas jadi orang kota. Lho, kamu tahu mengapa aku bilang begitu?”
Lasi tersipu.
“Tahu?”
Lasi menggeleng. Handarbeni tertawa. Suasana berubah cair dan Lasi merasa lebih leluasa.
“Sebab, kamu tidak lagi pantas bekerja di sawah di bawah terik matahari. Tidak lagi pantas menggendong bakul di punggung. Pokoknya kamu lebih layak jadi nyonya, tinggal di rumah yang bagus, dengan mobil...”
“Betul!” tiba-tiba terdengar suara Bu Lanting yang sebenarnya sudah agak lama berdiri di balik pintu. “Betul, tak seorang pun bisa membantah bahwa Lasi memang pantas jadi nyonya. Nah, Pak Han, apakah Anda punya calon untuk Lasi?”
“Kita cari dan pasti dapat. Kata orang sekolahan, yang terbaik selalu sudah ada pemesannya. Iya, kan?”
“Betul, Pak Han. Barang yang demagang akan cepat laku.”
Handarbeni dan Bu Lanting sama-sama tertawa. Lasi yang tak enak karena merasa jadi dagangan yang terlalu banyak dipuji, bangkit.
“Maaf, Bu, saya belum menyiapkan minuman. Tadi Pak Han menahan saya di ruang tamu ini.”
“Oh? Tentu. Lelaki mana tak suka duduk berdua dengan kamu. Ya, sekarang ambillah minuman.”
Hening sejenak. Handarbeni menyedot rokok dan mengembuskan asapnya ke atas. Punggungnya merebah ke sandaran, sangat santai.
“Ah, aku suka bekisarmu. Penampilannya hampir sepenuhnya Jepang. Malah lebih jangkung dari rata-rata gadis Sakura. Sekarang aku percaya, dalam urusan barang langka kamu memang sangat ahli!”
“Wah, wah, kalau hati gembira pujian pun keluar seperti laron di musim hujan.”
“Betul. Kamu jempol. Kok bisa-bisanya kamu menemukan bekisar yang demikian bagus.”
“Jangan berkata tentang apa-apa yang sudah nyata. Bahkan saya merasa belum berhasil seratus persen. Bekisar Anda itu, Pak Han, masih berjalan seperti perempuan petani. Serba tergesa dan kaku. Sangat jauh dari keanggunan. Sisi ini adalah pekerjaan rumah saya yang belum selesai.”
“Ya. Sekilas aku telah melihatnya. Namun kamu harus tahu juga bahwa aku tak ingin dia sepenuhnya jadi anak kota. Sedikit sapuan kesan kampung malah aku suka.”
“Ya. Saya tahu Anda sudah jenuh dengan penampilan yang serba artifisial seperti yang diperlihatkan kebanyakan perempuan kota. Anda ingin menikmati sisa keluguan. Iya, kan?”
Handarbeni tersenyum. Kedua kakinya diselonjorkan ke depan. Kepalanya terdongak berbantal sandaran kursi.
“Ah, andaikan mungkin, aku ingin membawa bekisarku pulang sekarang juga.” Handarbeni tertawa tanpa mengubah posisi duduknya.
“Apa?”
“Tidak. Aku cuma berolok-olok.”
“Jangan seperti anak kecil mendapat mainan baru. Pak Han, perjalanan kita masih cukup panjang. Lasi, meskipun saya tahu sudah sangat ingin berpisah dari suaminya, belum punya surat cerai. Ini sebuah masalah. Kedua, akhirnya kita harus dapat meyakinkan dia agar bersedia menjadi bekisar Anda. Ini adalah soal yang paling peka.”
“Ya, aku menyadari hal itu. Aku juga sadar giri lusi, jalma tan kena kinira, hati manusia tak bisa diduga. Jelasnya, urusan bisa runyam bila bekisar itu tak mau kumasukkan ke kandang yang kusediakan di Slipi.”
“Iya. Maka Anda benar-benar harus sabar dan bijaksana. Kesabaran adalah kunci. Anda juga saya minta...”
Lasi keluar membawa minuman dan makanan kecil. Kemunculannya serta-merta menghentikan diskusi kecil antara Bu Lanting dan tamunya. Dan dari ekspresi wajahnya Lasi tidak menyadari dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan.
“Anda juga saya minta tidak menunjukkan minat yang berlebihan,” sambung Bu Lanting setelah Lasi masuk kembali.
“Aku sudah enam puluh lebih.”
“Oh, maaf. Saya percaya Anda sudah banyak pengalaman. Maksud saya, Anda saya minta bersikap pasif namun tetap manis. Selebihnya saya yang akan menggiring bekisar itu masuk kandang milik Anda, bukan sekadar masuk melainkan dengan senang hati. Untuk mencapai hasil yang memuaskan, Pak Han, saya kira Anda harus mau menunggu sampai dua atau tiga bulan. Nah, saya ragu apakah Anda bisa memenuhi permintnan ini.”
Handarbeni terkekeh. Lalu tersenyum.
“Jangan tersenyum dulu, sebab saya punya permintaan lain. Mulai sekarang segala biaya untuk pemeliharaan bekisar saya bebankan kepada Anda.”
“Karena aku merasa bekisar itu sudah jadi milikku, sebenarnya kamu tak perlu berkata begitu. Sebelum kamu minta aku sudah bersedia menanggungnya. Bagi aku yang penting adalah jaminan hasil kerjamu.”
“Anda percaya kepada saya, bukan?”
“Ya, sejauh ini kamu terbukti bisa kupercaya.”
“Terima kasih. Asal Anda tahu, yang sudah saya lakukan adalah mengajari bekisar itu membiasakan diri dari hal menyikat gigi sampai merawat kuku-kukunya yang rusak. Dari mengenal nama-nama alat kecantikan sampai nama-nama makanan dan masakan. Dan yang saya belum sepenuhnya berhasil adalah meyakinkan bekisar itu bahwa dirinya bukan lagi perempuan kampung istri seorang penyadap. Ia masih punya rasa rendah diri dan belum sepenuhnya percaya akan kelebihan penampilannya. Ah, tetapi untung, bekisar itu cerdas. Ia cepat menangkap hal-hal baru yang saya ajarkan kepadanya.”
“Baiklah, Bu Lanting, sementara kutitipkan bekisarku karena aku percaya kepadamu. Tetapi sekarang panggil dia karena aku ingin melihatnya sekali lagi sebelum aku pulang.”
“Anda mau pulang?”
“Sore ini aku punya urusan dengan seorang teman.”
Lasi keluar masih dengan kimono merahnya. Wajahnya merona ketika Handarbeni mengajaknya bersalaman setelah memujinya dengan acungan jempol.
“Aku senang bila kamu betah tinggal bersama Bu Lanting. Sudah pelesir ke mana saja selama di Jakarta?”
Lasi tersipu. Menunduk dan bermain jemari tangan.
“Belum banyak yang dilihat,” sela Bu Lanting.
“Baik. Lain waktu kita jalan-jalan, pelesir bersama. Mau lihat Pantai Ancol atau nomon film di Hotel Indonesia?”
Lasi tetap tersipu.
“Pak Han, mengapa tidak mengundang kami lebih dulu datang ke rumah Anda sebelum Anda mengajak kami jalan-jalan?” tanya Bu Lanting.
“Oh, kamu betul. Ya, aku senang sekali bila kalian mau datang ke rumahku. Aturlah waktunya. Aku menunggu kedatangan kalian.”
“Baik, nami Anda kami beritahu kapan kami akan datang. Tetapi katakan lebih dulu ke rumah Anda yang mana kami harus datang? Rumah yang baru Anda bangun di Slipi, bukan?”
Handarbeni tertawa mengiyakan. Matanya berkilat-kilat ketika sekali lagi mengangguk sambil tersenyum kepada Lasi.
Episode 28
Bekisar Merah
Sejak meninggalkan rumah Bu Lanting pikiran Kanjat terus lekat kepada Lasi. Bermacam-macam perasaan mendadak mengembang dalam hatinya. Penampilan fisik Lasi sangat di luar dugaan. Lasi menjadi jauh lebih menarik. Dada Kanjat selalu berdenyut lebih keras bila membayangkannya. Namun lebih dari soal penampilan, kenyataan bahwa Lasi berada di rumah orang kaya yang tak dikenal sebelumnya membuat hati Kanjat terasa tak enak. Kanjat tak bisa menghindar dari pertanyaan tentang tujuan Bu Lanting membawa Lasi ke rumahnya. Dari berita yang sering terbaca di koran, bahkan dari berita yang beredar dari mulut ke mulut Kanjat sering mendengar tentang perempuan desa yang tertipu dan terpaksa menjadi pelacur di kota-kota besar. Kanjat berharap hal semacam itu tidak akan terjadi atas diri Lasi. Anehnya Kanjat tetap punya perasaan bahwa keberadaan Lasi di rumah gedung di daerah Cikini itu tidak wajar, setidaknya bukan kehendak Lasi sendiri. Memang Bu Koneng menjamin, Bu Lanting sekali-kali tidak akan menyengsarakan Lasi. Namun pemilik warung nasi itu pun tidak berkata lebih jelas dan Kanjat tidak begitu percaya akan jaminan yang diberikannya.
“Bisa ketemu?” tanya Pardi serta-merta Kanjat turun dari taksi di depan warung Bu Koneng. Kanjat tak segera menjawab. Pardi bahkan melihat wajah anak majikannya itu berat. Pardi hanya dijawab dengan anggukan kepala.
“Kita terus pulang?” tanya Pardi lagi karena melihat Kanjat langsung naik ke kabin truk.
“Kamu sudah dapat muatan? Mana Sapon?”
“Lumayan, ada muatan barang rongsokan sampai ke Purwokerto. Si Sapon sudah ngorok di bak.”
“Kalau begitu, ayolah, kita pulang.”
Pardi bersiap dan tangannya bergerak hendak memutar kunci kontak. Tetapi tertahan karena tiba-tiba Kanjat menepuk pundaknya dari samping.
“Nanti dulu, Di. Aku ingin ngobrol sebentar.”
“Ngobrol apa? Lasi?”
Kanjat tak menjawab. Tetapi tangannya merogoh saku baju dan dikeluarkannya foto Lasi yang langsung diperlihatkannya kepada Pardi. Sopir itu membuka mata lebar-lebar agar dapat mengenali siapa yang terpampang dalam gambar di tangannya.
“Mas Kanjat, ini si Lasi anak Mbok Wiryaji?”
“Kamu pangling?”
“Bukan main, Mas. Aku bilang bukan main. Hanya beberapa bulan pergi dari kampung Lasi sudah sangat lain. Sangat cantik, Mas. Tak memalukan buat dipacari! Dan meski hanya anak Mbok Wiryaji dan tidak gadis lagi, tetapi Lasi pantas menjadi istri seorang calon insinyur.”
“Jangan ngawur.”
“Saya tidak ngawur. Apa Mas kira saya tak tahu Mas Kanjat senang sama Lasi?”
Kanjat tersenyum kaku karena merasa terpojok. Diambilnya foto Lasi dari tangan Pardi lalu disimpannya kembali dalam saku.
“Apabila Lasi terus tinggal bersama Bu Lanting kira-kira apa yang bakal dialaminya?” tanya Kanjat tanpa menoleh kepada Pardi.
“Mas Kanjat mempunyai perkiraan yang tidak baik?”
“Terus terang, ya. Maka aku sesungguhnya merasa kasihan, dan khawatir Lasi akan dijadikan perempuan yang nggak bener. Menurut kamu apa perasaanku ini berlebihan?”
“Tidak, Mas. Sedikit atau banyak saya pun punya rasa yang sama. Namun, andaikan pcrasaan kita benar, apa yang ingin Mas Kanjat lakukan?”
“Karena Lasi bukan anak-anak lagi dan juga masih punya suami, yang patut kulakukan hanyalah memintanya pulang. Hal itu sudah kulakukan dan gagal. Lasi kelihatan senang tinggal bersama orang kaya. Dia juga kelihatan dimanjakan. Kamu tahu, Di, ketika aku datang Lasi mengenakan pakaian seperti dalam foto itu.”
“Cantik?”
“Jangan tanya, Di.”
“Ya, itulah. Saya yakin Bu Lanting mau menampung Lasi karena kecantikannya. Mas Kanjat, saya kira hal ini bisa berbuntut nggak bener. Maka saya setuju bila Mas Kanjat berusaha mengambil Lasi dari rumah Bu Lanting. Kasihan dia, Mas.”
“Tidak mudah melakukannya, Di. Lagi pula, seperti sudah kubilang, Lasi masih punya suami. Tak enak, terlalu jauh mengurus istri orang. Apa kata orang Karangsoga nanti, apalagi bila ternyata kemudian... Ah, tidak.”
Pardi tertawa.
“Mas Kanjat, pikiran itu tidak salah. Saya yang brengsek ini pun pantang mengganggu perempuan bersuami karena perempuan yang bebas amat banyak. Tetapi tentang Lasi, siapa yang kira-kira pantas menolongnya selain Mas Kanjat?”
“Aku sudah mencobanya sebatas kepatutan.”
“Mungkin belum cukup, Mas.”
“Belum cukup? Jadi menurut kamu, aku harus bagaimana lagi?”
“Barangkali, lho, Mas Kanjat, Lasi mau pulang jika Mas Kanjat berjanji akan bertanggung jawab.”
“Bertanggung jawab? Ah, aku mengerti maksudmu. Aku harus berjanji mengawini Lasi bila dia sudah diceraikan suaminya?”
“Maaf, Mas Kanjat. Itu perkiraan saya belaka. Meskipun demikian saya juga menyadari tidak mudah bagi seorang insinyur, anak bungsu Pak Tir, melakukan itu semua. Karangsoga bakal geger; ada perjaka terpelajar dan kaya mengawini janda miskin, lebih tua pula. Bahkan sangat mungkin orangtua Mas Kanjat sendiri tidak akan mau punya menantu bernama Lasi. Namun andaikan saya adalah Mas Kanjat, andaikan.”
“Ya, bagaimana?”
“Andaikan saya adalah Mas Kanjat, saya takkan peduli dengan omongan orang Karangsoga. Bila saya suka Lasi, pertama saya harus jujur kepada diri saya sendiri. Lalu, masa bodoh dengan gunjingan orang. Toh sebenarnya Lasi perempuan yang baik. Apalagi sekarang dia makin cantik. Jadi yang pokok adalah kejujuran.”
Kanjat mendesah. Pardi mengambil rokok dan menawarkannya kepada Kanjat tetapi ditolak. Kabin truk segera penuh asap setdah Pardi menyalakan rokoknya.
“Di,” kata Kanjat menghentikan keheningan.
“Ya, Mas?”
“Bahkan sesungguhnya aku merasa malu bila orang-orang Karangsoga tahu bahwa aku menyukai Lasi. Maka aku minta kamu jangan bocor mulut. Tahanlah lidahmu setidaknya selama Lasi belum bercerai dari suaminya.”
“Ya, saya berjanji. Ah, Mas Kanjat, mulut saya masih mulut lelaki. Percayalah. Lagi pula saya merasa wajib mendukung keinginan Mas Kanjat. Setia kawan terhadap anak majikan. Dan yang lebih penting, bagaimana caranya agar Lasi tertolong. Betul, Mas Kanjat. Berbuatlah sesuatu untuk menyelamatkan Lasi.”
“Ya. Tetapi sayang aku tak mungkin bertindak apa pun dalam satu atau dua minggu ini.”
“Lho, kenapa?”
“Ujian. Aku harus menyiapkan diri menghadapi ujian. Maka paling cepat aku bisa kembali menemui Lasi bulan depan.”
“Wah, terlalu lama, Mas.”
“Aku pun ingin bertindak secepatnya. Tetapi apa boleh buat. Apakah aku harus menunda kcsempatan menyelesaikin sekolah?”
“Saya mengerti, Mas. Tetapi segalanya bisa terjadi atas diri Lasi selama jangka sebulan lebih itu.”
“Bukan hanya kamu yang cemas, Di. Maka kubilang, apa boleh buat. Sekarang, ayo berangkat.”
Pardi membuang rokoknya lalu memutar kunci kontak. Truk itu menderum dan roda-rodanya mulai bergulir kian cepat. Pardi beralih ke gigi tiga, empat, dan truk Karangsoga itu melesat ke timur. Duduk di samping Pardi, Kanjat menyandarkan diri ke belakang. Dalam tatapan matanya yang kosong Kanjat melihat anak-anak berkejaran berebut kunang-kunang di malam terang bulan. Kanjat melihat ada pipi putih transparan sehingga jaringan urat darahnya tampak. Ada banyak tangan berhom-pim-pah, dan satu di antaranya paling putih. Tangan Lasi.
Episode 29
Bekisar Merah
Lampu utama di kamar Lasi sudah lama padam. Yang tinggal menyala adalah lampu kecil bertudung plastik biru yang berada di pojok ruangan. Sunyi sekali. Lasi sudah lama berbaring di tempat tidur. Tetapi Lasi tak dapat memejamkan mata. Dari jauh terdengar penjual sekoteng mendentingkan mangkuknya. Dentang jam pukul dua tengah malam. Lasi yang makin gelisah bangkit untuk mematikan lampu kecil itu. Pekat seketika. Dalam kegelapan yang menelan sekeliling, Lasi mencoba mengendapkan hati dan kembali merebahkan diri menanti kantuk. Tetapi kegelisahannya malah makin menjadi-jadi.
Pada layar malam yang sangat pekat Lasi melihat dengan jelas sosok Kanjat yang datang seminggu lalu. Anak Pak Tir itu! Dia sudah besar dan gagah. Dia datang dengan senyum dan sinar mata seorang lelaki dewasa; senyum dan sinar mata yang mendebarkan. Tetapi, sudahlah. Lasi harus berusaha melupakan Kanjat. Karena malam ini ada hal lain yang lebih menggelisahkan hatinya. Handarbeni! Tadi sore Lasi diajak Bu Lanting berkunjung ke rumah lelaki itu di Slipi. Sebuah bangunan baru yang gagah.
Sebenarnya Lasi sudah mulai terbiasa dengan rumah-rumah bagus di Jakarta. Maka Lasi tak begitu heran lagi dengan rumah Pak Han yang lantainya lebih putih daripada piring yang biasa dipakainya di Karangsoga. Ruangan dan kamarnya besar-besar, dapurnya mengilap, dan ada kolam ikan di ruang tengah. Perabotnya serba kayu jati dengan bantalan tebal dan empuk. Setiap ruang tidur dilengkapi kamar mandi mewah.
Tidak. Lasi tidak begitu heran lagi. Tetapi ketika berada di rumah Pak Han itu Lasi berdebar-debar karena ada sebuah potret besar berbingkai perak terpajang pada tembok ruang tengah. Dan potret itu adalah foto Lasi sendiri dalam kimono merah.
Lasi sangat ingin bertanya mengapa potret dirinya bisa terpajang di sana. Ia ingin sekali bertanya kepada tuan rumah namun terasa segan meskipun Pak Han demikian ramah dan manis ketika mengantar Lasi dan Bu Lanting berkeliling rumah. Hanya Bu Lanting yang berhati peka tahu perasaan Lasi.
“Las, akulah yang memberikan potretmu kepada Pak Han. Sudah kubilang, Pak Han menyukai perempuan dalam pakaian kimono. Tetapi yang memasang potretmu di sana mungkin Pak Han sendiri.”
“Lho iya, dan apa pendapatmu? Sangat pantas, bukan?” ujar Pak Han.
“Amat sangat pantas,” jawab Bu Lanting. Lasi menunduk dan tersipu. “Lebih pantas lagi andaikan Lasi sendiri yang menghias rumah baru ini. Nah, Pak Han, sekarang saya balik bertanya, apa pendapat Anda?”
“Susah payah kubangun rumah ini, kaukira buat siapa?”
“Anda tidak berolok-olok, bukan?” tanya Bu Lanting.
“Aku bukan anak-anak lagi. Buat apa berolok-olok?”
Handarbeni dan Bu Lanting sama-sama tertawa dan sama-sama mencari tanggapan pada wajah Lasi. Merah rona dan tersenyum malu. Lasi merasa sesak di dada, gerah, dan berkeringat. Dan ingin sekali segera meninggalkan rumah itu. Untung, Handarbeni memang segera mengajak mereka keluar untuk makan malam. Tetapi Lasi kehilangan selera karena hatinya terus gelisah. Bahkan kegelisahan Lasi masih terkesan di wajah meskipun Handarbeni sudah membawanya jalan-jalan ke Pasaraya di tingkat atas restoran itu dan membelikannya baju dan sebuah tas tangan yang sangat mahal.
Keesokan hari Bu Lanting mengajak Lasi duduk-duduk di teras depan. Dengan jemari sibuk pada benang dan jarum renda, Bu Lanting membawa ingatan Lasi kembali ke rumah Handarbeni.
“Las, apa kamu belum tahu mengapa Pak Han memasang potretmu di rumahnya yang baru itu?” tanya Bu Lanting tanpa menoleh kepada Lasi.
Lasi langsung menundukkan kepala dan menggeleng. Tetapi hati kecilnya sudah merasa, sesuatu yang mengejutkan akan segera didengarnya.
“Las, aku mau bilang sama kamu, ya. Aku harap kamu sangat senang mendengarnya. Las, sebenarnya Pak Han menaruh harapan kepadamu. Pak Han suka sama kamu dan ingin kamu man menjadi istrinya. Katanya, dia sungguh tidak main-main.”
Lasi terbelalak. Sejenak terpana dan tiba-tiba sulit bernapas. Wajahnya pucat oleh guncangan yang mendadak menggoyang jiwanya. Sepasang alisnya merapat. Lasi gelisah. Tetapi Bu Lanting tak ambil peduli.
“Bila kamu mau, rumah Pak Han yang baru itu akan menjadi tempat tinggalmu. Aku sendiri ikut senang bila kamu menjadi Nyonya Handarbeni. Nah, apa kataku dulu. Kamu memang cantik sehingga seorang kaya seperti Pak Han bisa jatuh hati kepadamu. Bagaimana, Las, kamu mau menerima tawaran itu, bukan?”
Lasi tidak menjawab. Ia tetap menunduk. Tangannya gemetar dan mulai sibuk mengusap air mata.
“Las, bila aku jadi kamu, harapan Pak Han akan kuterima sebagai keberuntungan. Memang Pak Han tidak muda lagi. Bahkan kukira dia sudah punya satu atau dua istri. Namun dia punya kelebihan; dia akan mampu mencukupi banyak keinginanmu.”
Bu Lanting berhenti sejenak karena harus mengambil gulungan benang renda yang jatuh ke lantai.
“Las, kamu sendiri sudah berpengalaman menjadi istri yang bekerja sangat keras sambil mengabdi sepenuhnya kepada suami. Tetapi apa hasilnya? Selama itu, menurut cerita kamu sendiri, terbukti kalung sebesar rambut pun tak mampu kamu beli, malah kamu dikhianati suami. Pakaianmu lusuh dan badanmu rusak. Kini ada peluang bagimu untuk mengubah nasib. Dan karena kamu memang sudah pantas menjadi istri orang kaya, jangan sia-siakan kesempatan ini.”
Bu Lanting berhenti lagi, kali ini karena haus. Diangkatnya gelas teh manis yang baru diletakkan di hadapannya oleh pembantu. Dan tangannya segera kembali ke benang renda.
Air mata Lasi sudah reda.
“Bagaimana, Las?”
“Bu,” jawab Lasi gagap dan makin gelisah. Suaranya seperti tertahan di tenggorokan. Bibirnya bergetar. “Sebenarnya saya belum berpikir tentang segala macam itu. Saya malu. Saya masih punya suami. Dan hati saya belum tenang dari kesusahan yang saya bawa dari kampung. Lagi pula, apa betul Pak Han mengharapkan saya? Bu, saya cuma perempuan dusun yang miskin dan hanya tamat sekolah desa. Jadi apa yang diharapkan Pak Han dari seorang seperti saya?”
Bu Lanting terkekeh tetapi mata dan tangannya tetap lekat pada benang renda. Tetap tanpa memandang Lasi, Bu Lanting terus berceramah, sesekali diselingi dengan derai tawa.
“Oalah, Las, dasar kamu perempuan dusun. Kamu tidak tahu bahwa kamu punya sesuatu yang disukai setiap lelaki: wajah cantik dan tubuh yang bagus. Kamu mungkin juga tidak tahu bahwa sesungguhnya lelaki kurang tertarik, atau malah segan terhadap perempuan yang terlalu cerdas apalagi berpendidikan terlalu tinggi. Bagi lelaki, perempuan yang kurang pendidikan dan miskin tidak jadi soal asal dia cantik. Apalagi bila si cantik itu penurut. Jadi lelaki memang bangsat. Nah, kamu dengar? Kini kamu tahu kenapa Pak Han suka sama kamu? Sebabnya, kamu cantik dan diharapkan bisa menjadi boneka penghias rumah dan kamar tidur. Maka percayalah, kamu akan selalu dimanjakan, ditimang-timang selama kamu tetap menjadi sebuah boneka; cantik tetapi penurut.”
Tawa Bu Lanting kembali pecah. Sebaliknya, Lasi diam dan tak mengerti apa yang dikatakan Bu Lanting. Kerut-kerut di keningnya makin jelas.
“Bu, tetapi bagaimana juga saya masih punya suami. Rasanya tidak patut berbicara tentang lelaki lain selagi surat cerai pun belum ada di tangan.”
“Ah, itu mudah,” potong Bu Lanting dengan suara datar dan dingin, bahkan tanpa sedikit pun memalingkan wajah. “Sangat mudah. Kalau mau, kamu malah bisa punya surat cerai tanpa menunggu talak dari suamimu dan kamu tak perlu pulang kampung. Uang, Las, uang. Dengan uangnya Pak Han atau siapa saja bisa mendapat apa saja, apalagi sekadar surat ceraimu.”
“Ya, Bu. Tetapi, tetapi sedikit pun saya belum berpikir tentang perkawinan. Ah, bagaimana mungkin, saya masih punya suami.”
Lasi tak bisa meneruskan kata-katanya. Air mata yang kembali deras membuat lidahnya kelu. Dan bayangan Kanjat muncul sekejap. Bu Lanting tetap tenang, tetap suntuk dengan benang dan jarum rendanya.
“Sudah kubilang, yang penting kamu bersedia menerima Pak Han dan kamu akan beruntung. Lagi pula buat apa mengingat-ingat suami pengkhianat. Masalah surat cerai dan lain-lain, mudah diatur.”
Lasi mengerutkan kening.
“Apa kira-kira saya boleh pikir-pikir dulu, Bu? Soalnya, urusan seperti ini sangat penting, bukan?”
“Bukan hanya sangat penting melainkan juga keberuntungan yang sangat besar bagimu.”
“Tadi Ibu bilang Pak Han sudah punya satu atau dua istri?”
“Betul. Dan juga terlalu tua bagi kamu. Tetapi, Las, apa artinya itu semua jika Pak Han bisa memberi kamu rumah gedung dengan perlengkapannya yang mewah, pakaian bagus, dan mungkin juga simpanan uang di bank atau kendaraan. Las, aku sama seperti kamu, perempuan. Aku sudah cukup pengalaman hidup.
Episode 30
Bekisar Merah
Dulu, aku pun berpikiran seperti kamu. Tak sudi berbagi suami karena aku pun punya kesetiaan. Makan tak makan tidak jadi soal, yang penting akur, ayem tentrem. Suami hendaknya yang sepadan dan gagah. Itu dulu. Sekarang, Las, ternyata kemakmuran itulah yang terpenting. Buat apa menjadi istri satu-satunya dan punya suami muda bila kita tinggal di rumah kumuh, tak sempat merawat badan, dan selalu dikejar kekurangan? Las, hidup hanya satu kali; mengapa harus miskin seumur-umur? Nah, kinilah waktunya kamu mengubah nasib. Jangan biarkan peluang ini lewat karena mungkin tidak bakal datang dua kali seumur hidupmu.”
Lasi diam dan menggigit bibir. Lidahnya serasa terkunci oleh kepandaian Bu Lanting menyusun kata-katanya.
“Ya, Bu. Namun bagaimana juga saya minta waktu untuk berpikir.”
“Mau pikir apa lagi, Las?” sambung Bu Lanting. “Masalahnya sudah jelas, kamu mendapat peluang jadi wong kepenak, orang yang beruntung. Kenapa harus kamu pikir dua kali? Ah, tetapi baiklah. Kamu boleh pikir-pikir dulu. Namun aku pesan, jangan kecewakan orang yang berniat baik terhadap kamu. Besok kamu harus memberi jawaban, sebab Pak Han sudah menunggu. Ingat, jangan kecewakan aku dan Pak Han. Kalau kamu menampik peluang yang dia tawarkan, jadilah kamu orang tak tahu diuntung. Dan tak mau berterima kasih kepadaku!”
Bu Lanting bangkit dengan wajah beku dan pekat.
Dan Lasi tersentak karena mendengar bunyi jam tiga dini hari. Sambil menggeliat gelisah Lasi mengeluh, “Besok aku harus memberi jawaban. Tetapi apa?”
Sesungguhnya Lasi tahu jawaban yang harus diberikan hanya satu di antara dua: ya atau tidak. Namun kedua jawaban itu amat sulit dicari karena keduanya bersembunyi dalam rimba ketidakjelasan, keraguan, malah ketidaktahuan. Segalanya serba samar dan baur. Lasi jadi gagap karena merasa dihadapkan kepada dua pilihan yang tiba-tiba muncul di depan mata.
Dua pilihan? Oh, tidak. Hanya satu pilihan! Tiba-tiba Lasi sadar dirinya sedang berhadapan dengan hanya satu pilihan. Lasi hampir mustahil bilang “tidak”. Lasi merinding ketika menyadari dirinya sudah termakan oleh sekian banyak pemberian: penampungan oleh Bu Lanting, segala pakaian, bahkan juga makan-minum. Uang dan perhiasan. Belum lagi hadiah-hadiah dari Pak Han. Lasi merasa terkepung dan terkurung oleh segala pemberian itu. Lasi terkejut dan merasa dikejar oleh aturan yang selama ini diyakini kebenarannya. Bahwa tak ada pemberian tanpa menuntut imbalan. Dan siapa mau menerima harus mau pula memberi. “Ya ampun, ternyata diriku sudah tertimbun rapat oleh utang kabecikan, utang, utang budi, atau apalah namanya. Bila aku masih punya muka, aku harus menuruti kemauan Bu Lanting untuk membayar kembali utang itu. Aku tak mungkin menampik Pak Han. Tak mungkin?”
Lasi mendesah kemudian mengisak. Hati terasa pepat. Ia teringat pada pertemuannya dengan Kanjat. Dan tetap tak mengerti, getun, mengapa Kanjat tidak mengambil sikap lugas, berjanji mau hidup bersama misalnya, lalu mengajaknya lari entah ke mana. Lasi mendesah lagi.
Anehnya, dalam kegelisahan yang makin rumit Lasi masih bisa merasakan kadar kebenaran dalam ucapan Bu Lanting; bahwa hidup sebagai istri penyadap memang tidak banyak harapan. Lasi merasakan sendiri, para penderes bekerja hari ini untuk makan hari ini. Bahkan sering lebih buruk dari itu yakni ketika harga gula mencapai titik terendah. Atau ketika gula mereka gemblung, lembek, dan gagal dicetak. Para penyadap bertahan dalam kehidupan yang getir itu hanya karena mereka sudah membiasakan diri dengan segala macam kepahitan. Bahkan selama hidup bersama Darsa, Lasi pun tidak pernah ingin melarikan diri dari kegetiran hidup sebagai istri penyadap. Sama seperti orang-orang Karangsoga, Lasi tidak merasa perlu mempermasalahkan kesulitan hidup dan kemiskinan karena mereka tak pernah mampu melihat jalan keluar. Atau keduanya sudah diterima sebagai bagian keseharian yang sudah menyatu dan telanjur akrab sehingga tak perlu mempertanyakannya lagi.
Atau sesungguhnya Lasi sendiri sering menemukan celah kenikmatan dalam kepahitannya sebagai seorang istri penyadap. Misalnya, puasnya hati ketika gula yang diolahnya keras dan kuning; segarnya mandi curah di sumur yang terlindung rumpun bambu setelah lama bekerja di depan tungku; nikmatnya makan nasi dengan sayur bening dan sambal terasi ketika lapar demikian menggigit setelah keringat bercucuran. Semua tak bisa dirasakannya lagi setelah Lasi lari dari Karangsoga. Semuanya tak bisa diganti dengan kemanjaan hidup yang kini diterimanya setelah Lasi tinggal bersama Bu Lanting, menjadi bagian kehidupan Jakarta.
Atau puasnya hati ketika menerima uang hasil penjualan gula kepada Pak Tir. Meski tak seberapa, bahkan Lasi selalu merasa tidak menerima jumlah yang semestinya, tetapi selalu ada kenikmatan ketika menerimanya. Kini Lasi tahu betul apa yang menyebabkan kenikmatan itu: gamblangnya asal-usul uang yang diterima yakni cucuran keringat suami dan dirinya sendiri. Perolehan uang semacam itu tidak menimbulkan beban dalam hati. Sangat berbeda ketika Lasi menerima uang dari Bu Lanting yang sering dikatakan sebagai titipan dari Pak Han; Lasi selalu merasa ada sesuatu yang terbeli atau tergadai. Dan Lasi merasakan sakit bila mengingat dirinya sudah kehilangan kemampuan untuk mengelak dari pemberian-pemberian seperti itu.
Dentang jam menunjukkan pukul setengah empat pagi. Meski kamarnya tetap gelap, Lasi mencoba menatap langit-langit. Tetapi yang terbayang di pelupuk mata adalah semua orang Karangsoga. Oh, mereka tetap seperti dulu, suka meremehkan Lasi. Dan Lasi memejamkan mata kuat-kuat ketika teringat pengkhianatan Darsa. “Ah, tidak! Aku takkan kembali ke Karangsoga meskipun sebenarnya aku tak pernah menolak menjadi istri seorang penyadap, asal bukan Darsa.”
Ya. Tetapi apa? Pertanyaan itu datang lagi dan mengepung lagi. Sekejap Lasi teringat pada Kanjat. Malah terlintas niat untuk mempertimbangkan kemungkinan lari menyusul anak Pak Tir itu. Namun pikiran demikian hanya sejenak singgah di kepalanya. Lasi tak bisa membayangkan dia punya keberanian lari dari rumah Bu Lanting. Bahkan Lasi tak tahu ke mana harus menyusul Kanjat. Atau Lasi malu dan tak ingin dikatakan sebagai bubu yang mengejar ikan. Apalagi Lasi juga sadar, Kanjat belum pernah berterus terang menyatakan harapannya.
“Tidak. Aku tidak akan lari menyusul Kanjat.”
Ya, tetapi apa? Lasi makin gelisah. Entah sudah berapa kali ia mengubah posisi tubuhnya! Miring ke kiri, ke kanan, tengadah, atau telungkup. Meskipun demikian keresahan hati malah kian mengembang. Dan Lasi merasa tiba di jalan buntu ketika sadar memang hanya tinggal satu kemungkinan yang harus diterimanya: menuruti anjuran Bu Lanting menjadi istri Pak Han. “Menjadi istri Pak Han? Apakah aku bisa? Apakah benar kata Bu Lanting, enak menjadi istri orang kaya?”
Mungkin. Atau entahlah, karena Lasi belum pernah merasakannya atau bahkan sekedar membayangkannya. Seperti semua istri penyadap, Lasi merasa dunia makmur bukan dunianya. Dunia makmur adalah dunia asing. Di Karangsoga Lasi melihat dunia makmur pada kehidupan Pak Tir. Meski tinggal bersama puluhan penderes dan dalam banyak hal Pak Tir bisa brayan, membaur dengan mereka, namun tengkulak itu tetap lain, tetap asing. Pak Tir bisa bersikap tawar, tanpa rasa bersalah, misalnya ketika mengatakan harga gula jatuh. Sejak anak-anak Lasi tahu dunia makmur adalah dunia orang seperti Pak Tir yang tidak ikut susah, tidak mau peduli terhadap kepahitan hidup masyarakat penyadap.
Di Karangsoga juga pernah ada Pak Talab. Dengan bantuan saudaranya yang konon jadi orang penting, Pak Talab menjadi pemborong karbitan yang selalu memenangkan tender untuk proyek-proyek Inpres. Pak Talab jadi orang kaya mendadak, orang kaya tiban. Lasi tahu betul, orang-orang Karangsoga merasa risi dengan tingkah Pak Talab. Apabila Pak Tir terlihat asyik sendiri dengan kekayaannya, Pak Talab lain lagi. Dia dan keluarganya bertingkah ketemben, pamer dengan kemakmuran yang mendadak mereka terima. Ulah mereka macam-macam dan selalu dapat dibaca sebagai usaha menarik perhatian dan minta pengakuan akan kelebihan mereka di bidang harta.
Pak Talab juga jadi jarang bergaul dengan para tetangga. Dia seperti takut dikatakan masih satu lapisan dengan orang kebanyakan. Apabila mendapat pengakuan, biasanya berupa pujian, Pak Talab bungah seperti anak kecil yang dimanjakan. Namun bila pengakuan tak didapat, polahnya bisa tak terduga: kadang merajuk, marah, atau malah jadi pamer dan pongah. Lasi tahu betul, kebanyakan orang Karangsoga risi, bahkan malu. Pokoknya mereka tak suka direpotkan oleh tingkah Pak Talab.
Masalahnya, aku harus bagaimana andaikata aku sendiri sudah menjadi istri Pak Han? Haruskah aku menghindari perilaku seperti Pak Talab agar aku tidak membikin risi dan repot orang lain?
Atau!
Atau!
Atau biarlah aku meniru Pak Talab untuk mencolok mata Darsa bahwa aku tidak pantas dia perlakukan seenaknya? Juga untuk menunjukkan kepada semua orang Karangsoga bahwa aku, Lasi, bisa meraih peluang untuk membalas sikap mereka yang selalu meremehkan aku?
Dalam kegelapan kamarnya Lasi bangkit dan duduk bersimpuh di tempat tidur. Amat lengang. Namun Lasi tersenyum dan turun untuk menyalakan lampu. Matanya menyipit karena silau oleh cahaya yang tiba-tiba membuat kamarnya benderang. Tanpa maksud tertentu Lasi duduk di depan kaca rias. Lasi berhadap-hadapan dengan dirinya sendiri. Subjek dan bayangannya saling tatap dengan pandangan menusuk kedalaman hati. Ada kesadaran yang tiba-tiba terbit dan mendorong keduanya berbincang empat mata.
“Las!”
“Iya.”
“Mungkin benar kata Bu Lanting; enak lho, jadi istri orang kaya.”
“Tak tahulah.”
“Mau mencoba?”
“Entahlah. Aku bingung.”
“Tetapi kamu tak bisa mengelak. Hayo, kamu mau apa bila tidak patuh sama Bu Lanting?”
“Itulah sulitnya.”
“Sudahlah, Las. Tak usah banyak pikir. Biarkan terjadi apa yang agaknya harus terjadi. Mungkin sudah jadi suratanmu. Kalau bukan, mengapa kamu sampai terdampar di rumah ini?”
“Baiklah. Aku akan membiarkan terjadi apa yang agaknya harus terjadi.”
“Tidak hanya itu, Las. Kamu harus memanfaatkan peluang yang ada di depanmu. Kamu sudah cukup pengalaman hidup menjadi istri penyadap yang serba susah. Nanti kamu boleh menikmati kemakmuran yang ada di tanganmu. Kamu juga sudah cukup menderita karena sikap orang-orang Karangsoga yang selalu dengki kepadamu. Nanti kamu harus tunjukkan kepada mereka siapa kamu sebenarnya dan apa saja yang bisa kamu lakukan terhadap mereka.”
“Apa aku bisa?”
“Bisa saja.”
“Kok kamu tahu?”
“Jadi kamu bingung?”
“Memang aku bingung.”
Episode 31
Bekisar Merah
Bingung. Dan Lasi bangkit lagi, berjalan ke tempat tidur dengan hati dan jiwa yang sangat lelah. Agaknya aku harus rela hanyut pada apa yang akan terjadi, keluhnya beberapa kali. Lasi merebahkan diri. Dan tekanan yang menyesak dada terasa menurun setelah Lasi beberapa kali mengosongkan dada dengan melepas desah panjang. Angan-angan yang lintang pukang mulai mengendap dan samar. Matanya mulai terasa berat. Jagat besarnya makin susut, susut, dan lenyap ke dalam jagat kecilnya kelika Lasi menarik napas yang lentur pertanda ia mulai melayang ke alam mimpi. Tidur yang tak seberapa lama tergoda mimpi yang menakutkan. Lasi seakan masih tinggal di Karangsoga dan suatu ketika menyaksikan Darsa terbanting dari ketinggian pohon kelapa. Tubuhnya terluka parah karena terbelah oleh arit sendiri yang selalu terselip di pinggang. Darsa meninggal dalam genangan darah. Lasi tergagap-gagap dan bangun karena mendengar dentang lonceng jam enam pagi.
Ketika Lasi bertemu di meja makan untuk sarapan, Bu Lanting menagih janji.
“Sudah punya keputusan?”
Sejenak Lasi termangu tetapi kemudian mengangguk perlahan.
“Bagaimana? Kamu ikuti kata-kataku, bukan?”
“Bu, sebenarnya saya tidak bisa memutuskan apa-apa. Saya hanya akan menurut; semua terserah Ibu bagaimana baiknya. Saya pasrah. Tetapi, Bu, sebenarnya saya takut.”
“Takut? Kok?”
“Ya, Bu. Bagaimana juga saya adalah seorang perempuan kampung. Apa saya bisa mendampingi Pak Han?”
“Las. kamu sudah lebih dari pantas jadi orang kota. Sekarang ini malah tak akan ada orang percaya bahwa kamu orang kampung. Jadi jangan ragu menerima tawaran Pak Han. Memang, kamu belum pernah jadi istri orang kaya. Ah, itu gampang, Las. Nanti kamu akan tahu sendiri bahwa semuanya biasa dan mudah.”
Lasi diam lagi, memain-mainkan sendok di piring.
“Bu, masih ada lagi yang menjadi pikiran saya; bagaimana soal surat cerai? Saya ingin bicara blak-blakan, tanpa surat cerai dari bekas suami, saya tidak mungkin mau kawin lagi.”
Wajah Bu Lanting berubah beku dan dingin.
“Kamu jangan khawatir tentang kemampuan Pak Han. Seperti sudah kubilang, kamu bisa memperoleh surat cerai di sini. Las, di Jakarta ini segala sesuatu bisa ditembak. Surat cerai, oh iya, juga surat pindahmu bisa ditembak di sini dengan duit. Nah, agar urusan jadi cepat dan mudah, serahkan semuanya kepada Pak Han. Kamu tinggal tahu beres. Enak, bukan?”
Lasi termenung. Kedua alisnya merapat.
“Tetapi, Bu, soal surat cerai saya menghendaki yang asli, yang saya peroleh dari bekas suami. Saya juga ingin minta restu orangtua.”
“Oh, aku tahu. Maksudmu, kamu ingin pulang dulu ke kampung?”
“Iya.”
Bu Lanting diam. Ia memikirkan kemungkinan Lasi tak kembali kepadanya bila sudah sampai di Karangsoga. Ah, tidak. Bekisar itu masih amat lugu. Lasi bisa dipercaya.
“Baik, Las. Kamu boleh mengurus sendiri perceraianmu, sekalian minta surat pindah. Aku juga tahu, kira-kira kamu sudah kangen sama emakmu. Tetapi kukira Pak Han ingin bertemu kamu sebelum kamu berangkat. Lho iya, Las. Ini soal perjodohan. Jadi bagaimana juga kamu harus berbicara dulu berdua-dua dengan dia. Ah, kamu sudah bisa pacaran. Menyenangkan, bukan?”
Tawa Bu Lanting deras seperti talang bocor. Tetapi Lasi malah menunduk dengan wajah dingin.
“Lho, Las. Pacaran penting untuk kesenangan hidup. Malah kamu tahu aku yang tak muda lagi ini pun masih suka pacaran. Ya, kan?”
Bu Lanting tertawa lagi. Dan Lasi makin menunduk.
***
Jam tujuh malam Handarbeni muncul di rumah Bu Lanting. Necis dengan baju kaus kuning muda dan celana hijau tua. Wajahnya cerah dengan senyum renyah dan sorot mata penuh kegembiraan. Rambutnya, meskipun sudah menipis, tersisir rapi dan hitam oleh semir baru. Handarbeni sudah tahu bekisar itu mau, atau setidaknya tidak menolak menjadi miliknya dari pembicaraan telepon dengan Bu Lanting tadi siang. Kini Handarbeni datang karena ingin berbicara sendiri dengan bekisarnya.
“Wah, Anda kelihatan lain, Pak Han,” sambut Bu Lanting di teras.
“Lain? Aku masih biasa seperti ini.”
“Pokoknya bila hati sedang menyala segalanya jadi lain; ya kelimis, ya necis, ya murah senyum. Ah, tetapi Anda memang layak bersenang hati malam ini. Hati siapa sih, yang tidak menyala mendapat bekisar cantik dan masih begitu segar?”
Handarbeni hanya membalas dengan senyum dan duduk sebelum nyonya rumah menyilakannya. Mengambil rokok dari saku baju dan menyalakannya. Gelisah. Bu Lanting tersenyum. Lucu. Ternyata, seorang kakek pun tetap bisa celala-celili, gampang salah tingkah ketika menunggu pacar keluar dari kamar. Masih dengan senyum, Bu Lanting masuk untuk memberitahu Lasi akan kedatangan tamunya. Lasi menanggapinya dengan sikap biasa, sangat biasa. Namun setidaknya Lasi mengangguk ketika Bu Lanting menyuruhnya mematut diri sebelum keluar menemui Handarbeni.
“Pak Han, kukira bekisar itu sudah jinak dan bisa Anda masukkan ke dalam sangkar yang sudah Anda sediakan. Namun pandai-pandailah membuat dia betah. Karena bekisar Anda akan menemui banyak hal yang sangat boleh jadi tak pernah dibayangkan sebelumnya, lebih lagi perjodohannya dengan Anda. Dia harus banyak melakukan penyesuaian dan bila gagal akan menjadikannya tidak betah tinggal dalam sarang yang paling bagus sekalipun. Pokoknya Anda barus merawatnya dengan sangat hati-hati.”
“Aku sudah pernah bilang bahwa aku bukan anak muda lagi. Aku sudah bisa ngemong dan yang penting aku sudah biasa bersabar.”
“Sebenarnya saya sudah tahu siapa dan bagaimana Anda. Namun saya merasa harus bicara sekadar mengingatkan Anda agar tetap berhati-hati. Nah, sekarang, Anda berdua mau cukup bertemu di sini atau bagaimana?”
“Kamu pasti tahu apa yang kuinginkan.”
“Tahu! Anda ingin keluar berdua. Silakan. Saya pun punya janji malam ini.”
“Jadi kamu juga mau keluar?”
Bu Lanting hanya tersenyum lebar. Handarbeni juga hendak tertawa tetapi tertahan karena Lasi muncul. Bu Lanting mengatur Lasi duduk pada kursi yang paling dekat dengan Handarbeni. Suasana terasa agak kaku dan akan terus demikian apabila Bu Lanting tidak mencairkannya.
“Kalau sudah begini saya tidak bisa bilang apa-apa selain ucapan selamat. Ah, setidaknya selamat berbicara dari hati ke hati buat Anda, Pak Han, serta kamu, Lasi. Dan tidak seperti waktu lalu, sekarang saya tidak boleh menjadi pihak ketiga di antara Anda berdua. Jadi...”
Sebuah mobil terlihat membelok masuk halaman. Bu Lanting segera tahu siapa yang datang. Si Kacamata turun setelah memberi aba-aba dengan klaksonnya.
“Ah, rupanya sayalah yang harus berangkat lebih dulu. Yang menjemput saya sudah datang. Pak Han, Lasi, silakan atur waktu Anda berdua. Saya berangkat. Selamat ya.”
Bu Lanting bergerak agak tergesa seperti anak itik manila lari ke kubangan. Handarbeni memandangnya dengan senyum. Ada yang terasa lucu. Ternyata, seorang nenek pun bisa bertingkah seperti perawan ingusan bila sedang pacaran.
Hanya tinggal berdua, Handarbeni dan Lasi sejenak terjebak dalam kelengangan. Lasi bahkan merasa sangat berat untuk mengangkat muka. Ada kegelisahan mengusik hatinya, semacam rasa bersalah entah kepada siapa, karena Lasi seakan sudah menyediakan diri dimiliki oleh seorang lelaki lain. Dalam pandangan mata yang tiba-tiba membaur Lasi melihat dengan jelas bilik tidur dalam rumahnya di Karangsoga. Lasi juga melihat kain sarung Darsa terayun pada tali sampiran dalam bilik itu. Bahkan Lasi seakan merasakan kembali bau khas kain sarung itu meskipun yang sebenarnya mengambang adalah wangi parfum yang digunakan Handarbeni.
“Las,” suara Handarbeni pelan dan datar. Tetapi tak urung Lasi tersentak dibuatnya. “Bu Lanting sudah bilang soal keinginanku kepadamu, bukan?”
Diam. Wajah Lasi menjadi permukaan air yang diam tanpa riak sekecil apa pun. Namun terlihat beban berat di balik tatapan matanya yang kosong.
“Bagaimana, Las?”
Lasi mengerutkan kening lalu samar-samar mengangguk.
“Kata Bu Lanting kamu menerima ajakanku. Begitu, bukan?”
Lasi kembali beku. Keraguan dan kehampaan muncul lagi di wajahnya.
“Bagaimana? Katakanlah, Las.”
“Pak...”
“Ya?”
“Saya cuma menurut,” kata Lasi pelan, tanpa mengangkat wajah. Handarbeni mendesah, lega. Tersenyum sendiri dan matanya lekat pada Lasi yang tetap menunduk.
“Las, aku ingin bicara agak banyak tetapi bukan di tempat ini. Kita keluar sekalian makam malam. Kamu mau, bukan?”
Lasi terdiam dan kelihatan ragu.
“Saya malu.”
“Tak usah malu, Las. Kamu sudah lama menjadi anak Jakarta, menjadi anak Bu Lanting. Kalau mau hidup di kota ini, jangan terlalu banyak rasa malu. Ayolah.”
Akhirnya Lasi mengangguk. Lasi merasa tak punya tempat lagi untuk bersembunyi. Handarbeni tersenyum. Matanya berkilat.
“Las, aku ingin mendengar suaramu.”
“Ya, Pak.” Suara Lasi lirih setelah sekian lama tetap membisu.
“Ah, meski aku memang sudah tua, aku lebih suka kamu panggil Mas. Bagaimana?”
“Ya, Pak. Eh. Ya, Mas.” Suara Lasi lirih sekali dan terdengar agak terpaksa.
“Nah, begitu. Sekarang ambil baju hangat sebab udara di luar agak dingin.”
Seperti wayang bergerak di tangan datang, Lasi bangkit. Namun Handarbeni mendadak menahannya.
“Nanti dulu, Las. Aku hampir lupa. Aku punya sesuatu untuk kamu.”
Handarbeni merogoh saku celana dan mengambil sesuatu yang terbungkus kertas dan menyerahkannya kepada Lasi. “Bukalah di dalam dan kalau kamu suka, pakailah.”
Lasi mengulurkan tangannya dengan canggung, mengucapkan terima kasih dengan suara yang hampir tak terdengar lalu melangkah masuk. Dalam kamar setelah menarik baju hangat dari gantungan, Lasi ingin melihat isi bungkusan yang tergenggam di tangannya. Sesuatu yang melingkar, dan agak berat. Ketika bungkusan terbuka mata Lasi terbelalak melihat sebuah gelang yang tidak terlalu besar namun bermata banyak. Tanpa sadar Lasi memasang gelang itu pada tangan kirinya. Cahaya putih kebiruan berjatuhan dari pernik-pernik permatanya. Lasi berdebar. Ia tidak mengerti tentang intan atau berlian. Namun terasa ada sihir yang membuatnya tersenyum. Ada sihir berbisik di hati mengatakan bahwa semua perempuan pasti menyukai dan membanggakan gelang seperti itu. Sihir itu pula yang mengatakan bahwa sangat bodoh bila Lasi menampik pemberian Pak Han itu. Lasi kembali tersenyum.
Episode 32
Bekisar Merah
Dan senyum itu masih tersisa ketika Lasi kembali berhadapan dengan Handarbeni di ruang tamu. Senyum berhias lekuk pipi yang membuat Handarbeni terbayang pada wajah Haruko Wanibuchi meskipun bintang film Jepang itu hanya sempat dikenalnya melalui majalah hiburan.
“Sudah siap, Las?” tanya Handarbeni lembut dan santun seperti gadis kecil sedang memanjakan bonekanya.
“Sudah, Pak.”
“Mas.”
“Eh, iya. Saya sudah siap, Mas.”
“Ayolah.”
Lasi menurut ketika Handarbeni membimbing tangannya berjalan keluar. Seorang gentleman tua mengepit tangan pacarnya yang belia lalu dengan anggun membukakan pintu kiri mobil, memutar untuk mencapai pintu kanan, dan sesaat kemudian mesin pun mendesing lembut. Lasi membeku. Entahlah, mendadak Lasi merasa seharusnya ia tidak dalam keadaan berdua-dua dengan seorang lelaki, siapa pun dia.
“Ingin makan apa, Las; ayam goreng, rendang Padang, apa masakan Cina?” tanya Handarbeni setelah mobil meluncur di Jalan Cikini.
Lasi tetap membeku.
“Las?”
“Oh...”
“Kamu ingin makan apa?”
“Anu. Terserah. Saya ikut saja.”
“Aku lebih senang kamu ada permintaan.”
“Saya tak punya permintaan apa-apa, kok.”
“Atau ayam Kalasan di Arya Duta?”
“Terserah saja.”
“Ah, aku lupa. Setengah darahmu adalah Jepang. Sudah pernah menikmati sukiyaki atau tempura?”
“Apa itu?”
“Hidangan dari negeri ayahmu, Jepang.”
“Namanya pun saya baru mendengar.”
“Mau mencoba?”
“Pak... eh, Mas Han, sebenarnya saya ingin makan nasi dengan sambal terasi dan lalapan.”
Senyap. Lasi terkejut dan menyesal atas keterus-terangannya. Malu, dan ingin mencabut kata-katanya andaikan bisa. Handarbeni tersenyum, nyaris menjadi tawa. Tetapi tua bangka itu segera sadar, menertawakan kejujuran orang, apalagi pacar, bukan tindakan seorang gentleman.
“Dengan senang hati, Las, kamu akan kuantar ke sana. Di Jakarta ini, apalah yang tiada. Percayalah, kita akan mendapat hidangan nasi putih dengan sambal terasi dan lalapan. Tambah sayur bening dan ikan asin?”
Lasi tertawa lirih dan menunduk.
“Semua itu hidangan untuk orang kampung seperti saya, Mas Han. Apa Mas Han juga suka?”
“Ya, aku juga suka.”
“Bukan pura-pura suka?”
“Ah, Las. Bila soal makan tidak bercampur dengan urusan gengsi dan semacamnya, semuanya bisa sangat sederhana; yang penting sehat. Yang penting nilai gizinya, bukan jenis atau harganya atau dari mana asalnya.”
“Jadi Mas Han benar-benar suka sambal terasi?”
“Hm, ya. Apalagi bila kamu yang membuatnya.” Lasi tersipu. Suasana menjadi begitu menyenangkan sehingga hati Handarbeni berkobar, mendorong tangan kirinya bergerak dan jemarinya menggamit dagu Lasi. Dan Lasi menarik kepalanya ke belakang karena dia tidak siap menerima kemesraan seperti itu.
Di sebuah rumah makan khas Sunda, Lasi menemukan hidangan yang sudah sekian lama amat dirindukannya. Seluruh sistem pencernaannya yang sudah terbiasa dengan makanan sederhana menjadikan Lasi begitu menikmati makan malamnya. Pedasnya sambal terasi dan kuatnya rangsangan garam ikan asin membangkitkan selera aslinya sehingga Lasi menghabiskan sepiring penuh nasi. Malah kalau bukan karena malu kepada Handarbeni, Lasi ingin minta tambah. Handarbeni memperhatikan dengan penuh minat bagaimana pipi Lasi jadi makin merah oleh pedasnya cabe; bagaimana kesegaran muncul dengan sangat jelas pada wajah blasteran Jepang itu. Dan dada Handarbeni mengembang bila menyadari semua itu kini miliknya.
“Las, sehabis makan kamu ingin ke mana lagi?”
“Tak ingin ke mana-mana.”
“Nonton?”
“Tidak tahu. Saya tidak ingin ke mana-mana.”
“Kalau begitu lebih baik kita pulang ke Slipi. Kita omong-omong saja di rumah sendiri, pasti lebih leluasa. Kamu mau, bukan?”
Kali ini Handarbeni tak menunggu persetujuan Lasi.
“Tetapi jangan sampai terlalu malam.”
“Kamu takut sama Bu Lanting?”
“Bukan takut, nggak enak.”
“Kamu bisa telepon kepada Bu Lanting. Atau malah tak perlu. Kita sudah jadi calon suami-istri, bukan?”
Lasi terkejut. Tiba-tiba Lasi sadar bahwa Handarbeni memang punya cukup alasan untuk berkata seperti itu.
Dalam perjalanan ke rumah Handarbeni di Slipi, Lasi tak pernah bicara kecuali sekadar menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Lasi tengah mencoba mencairkan kebimbangan karena tidak sepenuhnya mengerti lakon apa yang sedang diperaninya. Perasaannya mengambang dan samar. Namun dari segala yang mengambang dan samar itu ada satu titik yang pasti: Lasi merasa tidak seharusnya berada dalam keadaan seperti sekarang ini. Dan perasaan asing itu makin memberat di hati setelah Lasi berada di dalam rumah Handirbeni yang baru dibangun itu.
“Las, ini bukan rumah siapa-siapa melainkan rumah kita. Kamu bukan orang asing di sini. Malah, kamu nyonya rumah.”
“Bukan, Mas Han,” ujar Lasi.
“Bukan? Ah, ya. Lebih tepat dikatakan kamu calon nyonya rumah ini. Meskipun begitu aku sudah menganggap kamu nyonya rumah sepenuhnya. Jadi jangan canggung. Kamu sudah tahu tempatnya bila kamu memerlukan makanan dan minuman. Juga lemari pakaianmu sudah tersedia dengan isinya. Tetapi maaf, aku belum mendapat pembantu yang cocok. Di sini baru ada Pak Min, sopir, dan Pak Ujang, penjaga.”
Lasi seperti tak berminat mendengarkan penjelasan Handarbeni. Mungkin karena terlalu nikmat makan dengan sambal dan lalapan, Lasi kelihatan lelah. Ia duduk seperti orang yang mulai mengantuk. Handarbeni mendekat dan meminta Lasi pindah duduk di sofa. Mereka berdekat-dekat. Lasi kembali merasa tidak seharusnya berada dalam keadaan seperti itu. Lebih lagi karena kemudian Handarbeni melingkarkan tangan pada pundaknya. Risi. Tetapi Lasi tak berani berbuat sesuatu yang mungkin bisa menyinggung perasaan Pak Han.
“Las...”
“Ya, Mas.”
“Rumah ini sudah lengkap, kok. Maksudku, jika lelah malam ini kamu bisa tidur di sini. Ada banyak kamar. Kamu tinggal pilih. Ndak apa-apa kok, Las. Betul, ndak apa-apa.”
Tak ada tanggapan. Lasi bermain dengan jemarinya. Dan menggeleng.
“Lho, daripada tidur di rumah Bu Lanting? Rumah itu takkan pernah menjadi milik kita, bukan?”
Lasi menggeleng lagi. Dan dalam hatinya terus berkembang perasaan bahwa dirinya tidak patut berdua-dua dengan Handarbeni. Bahkan akan menginap di bawah satu atap? Atau bahkan satu kamar?
Handarbeni bingung, seperti kehilangan acara. Bangkit, mengambil dua minuman kaleng dari lemari pendingin. Kembali ke sofa dan mendapati Lasi benar-benar mulai terkantuk. Handarbeni meletakkan minuman di atas meja kecil di samping sofa, duduk, dan menegakkan kepala karena Lasi minta diantar pulang ke rumah Bu Lanting. Handarbeni menepuk dahi sendiri dan tiba-tiba wajahnya cerah. Ada gagasan. “Tunggu sebentar, Las.”
Handarbeni masuk ke sebuah kamar dan keluar lagi dengan sebuah proyektor kecil di tangan, meletakkannya di atas meja kemudian menghadapkannya ke tembok. Tangannya sibuk memasang film, mengulur kabel, lalu berjalan mencari stop kontak. Proyektor sudah hidup. Posisinya digeser-geser untuk mencari bidang sorot yang tepat. Lampu ruangan dipadamkan dan gambar hidup pun mulai.
Episode 33
Bekisar Merah
Lasi hampir tertidur. Namun terkejut karena tiba-tiba lampu padam dan ada bioskop di tembok depan sana, Lasi kembali terjaga. Apalagi kemudian Handarbeni kembali duduk di sampingnya sambil melingkarkan tangan ke pundak.
“Las, jangan ngantuk. Kita nonton film.”
Lasi diam dan meski terasa berat matanya mulai mengikuti adegan di depan sana. Sebuah suasana purba. Seorang lelaki prasejarah yang hampir telanjang dan berambut panjang, berjalan mengendap-endap di sepanjang bantaran sungai. Lelaki kekar dan masih muda itu bersenjatakan sepotong tulang besar, berjalan agak terbungkuk. Serangga dan burung-burung kecil beterbangan ketika si manusia purba berjalan menembus belukar.
Lasi menikmati tontonan itu. Pemandangan di sana mengingatkan Lasi pada pengalamannya sendiri ketika mengumpulkan kayu bakar di hutan. Ada serangga beterbangan, ada derik ranting kering terinjak, dan ada gemercik air di dasar jurang. Bau lumut dari dinding tebing. Ada kokok ayam hutan. Ada ramat laba-laba berpendar seperti jala benang sutera yang ditebar di udara. Tetapi Lasi merasa ngeri ketika bioskop memperlihatkan seekor buaya tiba-tiba muncul dan menyerang si lelaki purba. Dengan senjata tulangnya lelaki itu membela diri bahkan mengalahkan penyerangnya.
Lasi lega. Matanya terus lekat pada gambar hidup yang terproyeksi di tembok sana. Demikian asyik sehingga Lasi kurang menaruh perhatian terhadap tangan Handarbeni yang mulai sempoyongan, melingkari pinggangnya.
Manusia purba itu terus berjalan lalu berhenti di tubir lembah. Mata si purba memandang ke bawah, menatap sepasang kambing hutan yang sedang berkelamin. Si kambing jantan terlalu besar dan perkasa bahkan brutal sehingga si betina terlihat begitu payah melayaninya.
Selesai menonton kambing kawin lelaki purba itu meneruskan perjalanan, menembus hutan dengan pepohonan raksasa. Tetapi lagi-lagi ia berhenti dan menatap ke atas. Di sana, pada dahan besar yang tumbuh mendatar, ada sepasang munyuk, juga sedang berkelamin. Primitif, hewani. Steril. Lasi tersenyum atau memalingkan muka atau memejamkan mata. Sekali terdengar Lasi terkikih. Dan di luar kesadaran Lasi, Handarbeni makin lekat. Sementara Lasi makin hanyut dengan tokoh lelaki purbanya apalagi ketika si tokoh tiba-tiba membalikkan badan, lari, dan terus lari menempuh jalur yang semula dilewatinya. Burung-burung kecil kembali beterbangan. Serangga berhamburan. Si purba terus lari menempuh semak, tanah terbuka, bibir tebing, kemudian tiba pada wilayah tepi sungai yang bergua-gua. Lelaki purba itu masuk ke dalam salah satu gua dan menarik keluar seorang perempuan yang sama purbanya. Perempuan itu dipaksa melepaskan anak kecil yang kebetulan sedang ditetekinya.
Lasi menahan napas. Tetapi di sebelahnya Handarbeni malah tertawa ngikik. Handarbeni sudah belasan kali melihat film cabul yang sedang diputarnya itu dan kini sengaja menyajikannya kepada Lasi demi sebuah tujuan. Dan Lasi kembali menahan napas ketika melihat si lelaki purba mulai memaksa perempuan pasangannya. Brutal seperti kambing jantan. Primitif, hewani, steril, seperti munyuk. Tidak. Lebih dari itu. Di mata Lasi adegan antara lelaki purba dan pasangannya di sana juga terasa liar, sangat tidak wajar, biadab, nirsila, menjijikkan, dan entah apa lagi, Lasi tak punya cukup perbendaharaan kata untuk melukiskannya. Yang jelas Lasi mulai merasa perutnya mual. Jantungnya berdebar. Kepalanya pening. Badannya basah oleh keringat dingin. Menggigil. Mendesah dalam keluhan yang tak jelas. Kemudian Lasi sungguh-sungguh memejamkan mati karena merasa tak sanggup lebih lama melihat apalagi mencerna adegan yang bagi penglihatannya, sangat, sangat, sangat cabul. Lebih dari brengsek dari segala brengsek yang pernah dilihat atau didengarnya. Satu hal saja cukup membuat bulu kuduk Lasi berdiri; sekadar jempol tangan suaminya pun Lasi belum pernah disuruh mengulumnya! Padahal yang baru ditontonnya sepuluh kali lebih brengsek.
Film habis tanpa Lasi mengetahui bagaimana akhir ceritanya. Tetapi Lasi malah merasa beruntang tidak melihatnya sampai selesai. Meskipun begitu perutnya tetap terasa mual. Kepalanya pusing. Lasi hampir muntath. Handarbeni cepat bangkit untuk menyalakan lampu. Dan terkejut ketika di bawah lampu yang terang terlihat wajah Lasi amat pucat dan shock. Lasi bergegas ke kamar mandi. Di sana, nasi putih, sambal terasi, dan lalapan yang baru disantapnya dengan penuh nikmat, tumpah ruah.
Handarbeni berjalan hilir-mudik menunggu Lasi keluar dari kamar mandi. Menggeleng-gelengkan kepala, penasaran. Dan terasa ada yang meleset. Dengan memutar film biru, sesungguhnya, Handarbeni ingin mencoba mengundang fantasi berahi untuk membakar Lasi. Bila api sudah berkobar Handarbeni akan berjerang dan mengendalikannya sepuas hati. Meleset. Lasi bukan hanya tak terbakar, kok malah muntah? Meleset. Handarbeni sungguh penasaran. Bahkan khawatir jangan-jangan Lasi jadi benar-benar sakit. Tetapi Handarbeni mencoba tenang ketika berhadapan dengan Lasi yang baru keluar dari kamar mandi.
“Las, kamu sakit?”
“Tidak,” jawab Lasi sambil menggelengkan kepala. Tetapi wajahnya masih pucat. Bibirnya pasi.
“Kok muntah?”
“Mual dan pusing. Namun sekarang sudah hilang,” jawab Lasi sambil duduk lesu.
“Untuk mual dan pusing di sini ada persediaan obatnya. Akan kuambil untukmu.”
“Jangan repot, Mas Han. Saya sudah sembuh. Saya tak memerlukan obat,” ujar Lasi bohong, padahal kepalanya masih berdenyut dan rasa mual belum hilang benar dari perutnya.
“Kalau begitu akan kubuatkan teh manis.”
Handarbeni lenyap. Duduk seorang diri, Lasi merasa seperti baru datang dari tempat asing. Film yang baru ditontonnya itu! Lasi bergidik. Muskil, mustahil. Sebidang wilayah yang baginya sangat pribadi dan rahasia, yang bagi Lasi keindahannya justru terletak pada kerahasiaannya
Episode 34
Bekisar Merah
Handarbeni diam. Menghadapi keteguhan Lasi terasa ada sodokan terarah ke lembaga moral yang sudah lama tak pernah menjadi pertimbangan perilakunya. Namun anehnya Handarbeni tersenyum. Lagi-lagi Handarbeni merasa ada pertahanan dalam keluguan perempuan kampung; pertahanan yang memerlukan perjuangan untuk menembusnya, sebuah tantangan yang membawa kadar kenikmatan. Handarbeni tersenyum lagi. Tetapi dadanya bergemuruh. Apalagi ketika Lasi pun menatap dengan senyumnya yang berhias lesung pipit.
“Jadi bagaimana, Las?” ucap Handarbeni dalam desah.
“Saya ingin pulang.”
“Baik. Aku akan mengantarmu. Dengan senang hati.”
“Bukan cukup dengan Pak Min?”
“Tidak. Kecuali kamu menolak kuantar pulang.”
Lasi tersenyum dan membiarkan Handarbeni menggandeng dirinya keluar. Tetapi untuk kesekian kali Lasi merasa tidak seharusnya membiarkan diri digandeng seorang lelaki. Entahlah.
*
Jarang terjadi bulan Puasa jatuh pada musim kemarau. Tetapi hal yang jarang itu selalu dinanti oleh para penyadap, karena sudah menjadi kebiasaan pada saat seperti itu harga gula akan naik dan bisa mencapai titik tertinggi. Para penderes sendiri tidak mengerti mengapa harga gula naik pada bulan Puasa, terutama sejak sepuluh hari menjelang Lebaran. Mereka hanya tahu dari pengalaman sejak lama bahwa harga dagangan mereka membaik bahkan melonjak menjelang akhir bulan itu. Tetapi para tengkulak seperti Pak Tir bisa mengatakan bahwa kenaikan harga gula disebabkan oleh melonjaknya tingkat konsumsi di kota-kota besar. “Pada bulan Puasa banyak orang membuat makanan manis, terutama di kota.”
Harga jual gula yang sangat baik pada bulan Puasa dan mudahnya kayu bakar didapat pada musim kemarau adalah dua hal yang bersama-sama mampu sejenak menjernihkan wajah masyarakat penyadap. Pada musim ini para penyadap nuerasa pekerjaan mereka jauh lebih ringan. Selain mudah mendapat kayu bakar, batang kelapa tidak licin karena lumut yang melapisinya mengering. Nira juga sangat bernas. Inilah hari-hari para penyadap sejenak bisa tersenyum dan tertawa. Mereka untuk sementara cukup makan dan mungkin bisa menyisihkan sedikit uang untuk mengganti baju anak-anak. Dan karena hati terasa ringan, sering terdengar mereka berdendang ketika mereka membelah kayu atau bahkan ketika mereka sedang tersiur-siur pada ketinggian pohon kelapa. Anak-anak mereka pun berubah. Pipi mereka jadi montok dan betis mereka jadi berisi. Mereka bergembira dan sering bertembang ramai-ramai di bawah sinar bulan. Ada sebuah tembang yang sangat mereka sukai, tembang tentang harapan di bulan Puasa bagi anak-anak yang sehari-hari tak cukup sandang dan pangan.
Dina Bakda uwis leren nggone pasa
Padha ariaya seneng-seneng ati raga
Nyandhang anyar sarta ngepung sega punar
Bingar-bingar mangan enak nganti meklar
Di hari lebaran sudah kita purnakan puasa
Kita berhari raya, bersenang jiwa dan raga
Berbusana baru, menyantap nasi paten
Riang gembira santap enak hingga perut
kenyang benar
Malam hari, sementara anak-anak berlarian atau bertembang di bawah sinar bulan, beberapa lelaki biasa berkumpul di surau Eyang Mus. Ketika hidup terasa kepenak; tak sia-sia, dan perut terasa aman, mereka punya peluang memikirkan sesuatu yang tak pernah hilang dalam jiwa tetapi sering mereka lupakan ketika lapar: sangkan paraning dumadi. Para penyadap yang selalu menyebut Gusti Allah untuk membuka kesadaran terdalam demi keselamatan mereka, sering lupa pergi ke surau karena mereka bingung menjawab pertanyaan yang menggigit; mana yang harus didulukan, oman atau iman? Oman adalah tangkai bulir padi, perlambang keamanan perut. Oman dan iman adalah kebingungan para penyadap yang muncul dalam ungkapan yang sering mereka ucapkan, “Bagaimana kami bisa lestari berbakti bila perhatian kami habis oleh ketakutan akan tiadanya makanan untuk besok pagi?”
Maka ketika ketakutan itu hilang, para penyadap sangat ingin membuktikan diri bahwa mereka se­benarnya adalah orang-orang yang tetap eling dan tetap berhati rumangsa di hadapan kemahakuasaan Gusti. Mereka berpuasa karena dalam suasana pe­rut aman mereka justru tak ingin lagi berkata, “Buat apa puasa karena tanpa puasa pun perut kami selalu kosong.” Dan hanya di surau Eyang Mus mereka bisa menemukan jalan untuk menyatakan hubungan yang mendalam antara jiwa mereka dan Sang Mahajiwa melalui cara yang mereka bisa. Mereka sembahyang malam bersama, kemudian melantunkan slawatan atau kadang suluk sisingiran secara barungan; satu orang membaca dan yang lain menirukan bersama-sama di belakang.
Namun tak jarang, setelah lelah membaca slawatan atau suluk mereka terlibat dalam percakapan tentang hukum dan biasanya Eyang Mus menjadi sumber rujukan. Malam ini ada sebuah pertanyaan sangat khas yang selalu menggantung, karena setiap kali diajukan, Eyang Mus lebih suka menghindar daripada menjawabnya. Pertanyaan itu sudah diajukan Mukri pada Puasa tahun kemarin dulu: apakah seorang penderes seperti Mukri tetap wajib berpuasa sementara in harus naik-turun 40 pohon kelapa pagi dan sore hari?
“Eyang Mus, malam ini saya minta jawaban yang jelas. Saya tidak tahan lebih lama dalam kebingungan; tidak puasa takut salah, tetapi bila berpuasa kaki saya sering gemetar ketika naik-turun pohon kelapa. Apalagi bila hari hujan.”
“Betul, Eyang Mus,” sela San Kardi. “Sudah sekian tahun Eyang Mus tak mau menjawab pertanyaan ini. Sekarang Eyang Mus kami minta menjawabnya.”
Suasana mendadak jadi sepi. Terdengar dengan jelas suara anak-anak yang berebutan kunang-kunang di halaman. Eyang Mus menunduk sehingga kelihatan jelas iket wulung yang membalut kepalanya. Terbatuk lirih lalu mengangkat muka. Senyumnya yang tulus menghias wajahnya yang tua.
“Ah, kalian tak pernah bosan mengajukan pertanyaan ini. Begini, Anak-anak. Dhawuh berpuasa hanya untuk mereka yang percaya, dan dasarnya adalah ketulusan dan kejujuran. Intinya adalah pelajaran tentang pengendalian dorongan rasa. Mukri, bila kamu kuat melaksanakan puasa meski pekerjaanmu berat, dhawuh itu sebaiknya kamu laksanakan.”
“Bila tak kuat?” potong Mukri.
“Di sinilah pentingnya kejujuran itu. Sebab kamu sendirilah yang paling tahu kuat-tidaknya kamu berpuasa sementara pekerjaanmu memang menguras banyak tenaga. Apabila kamu benar-benar tidak kuat, ya jangan kamu paksakan. Nanti malah mengundang bahaya. Dalam hal seperti ini kukira kamu bisa mengganti puasamu dengan cara berderma atau menebusnya dengan berpuasa pada bulan lain. Gampang?”
Mukri dan San Kardi saling pandang. Keduanya tampak gembira karena merasa sudah terlepas dari kebimbangan yang lama menindih hati mereka.
“Jelasnya, Yang, bila saya tak kuat berpuasa karena pekerjaan yang sangat berat, saya boleh berbuka?”
Eyang Mus mengangguk dan tertawa. “Asal kamu tulus dan jujur.”
“Eyang Mus...”
“Nanti dulu, aku belum selesai bicara. Meski kalian bisa memperoleh kemudahan, jangan lupa bahwa dalam bulan Puasa seperti sekarang ini kalian tetap diminta berlatih mengendalikan nafsu, perasaan, dan keinginan. Karena, itulah inti ajaran puasa.”
“Baik, Yang. Tetapi itu, lho. Jawaban Eyang Mus ternyata sederhana. Lalu mengapa Eyang Mus menundanya sampai bertahun-tahun?”
Eyang Mus terkekeh. Mulutnya yang sudah ompong terbuka. “Mau tahu jawabku? Begini, Anak-anak. Aku memang membatasi diri berbicara soal puasa. Sebab aku tahu kalian bekerja sangat berat dan berbahaya, sementara pekerjaanku hanya memelihara sebuah kolam ikan, itu pun tidak seberapa luas. Itulah, maka aku tak berani mengatakan puasamu harus sama seperti puasaku.”
“Dan itulah, maka sampai sekian lama Eyang Mus tak berani berterus terang kepada kami?” seloroh Mukri.
Mereka tertawa. Eyang Mus juga tertawa.
Bulan tua sudah meninggi ketika orang-orang turun meninggalkan saran Eyang Mus. Terdengar kentongan menandakan pukul sebelas, hampir tengah malam. Anak-anak sudah lama masuk dan tidur dalam pelukan udara kemarau yang dingin. Sunyi. Hanya suara tokek dari lubang pada pohon sengon dan suara gangsir. Kepak sayap kelelawar. Suara terompah kayu Eyang Mus mengiringi langkahnya pulang. Desah pintu bambu yang digeser. Eyang Mus masuk. Di luar, bulan yang tinggal sebelah mulai merambat menuruni langit sebelah barat. Namun semuanya bisu dan hampir tak ada gerak. Karangsoga sudah nyenyak karena dinginnya malam kemarau. Hanya ada cericit suara tikus busuk di pinggir kolam. Ada kucing melintasi halaman tanpa suara, hanya bola matanya memantulkan sepasang cahaya kebiruan. Di langit yang tanpa noda sering membersit lintasan cahaya bintang berpindah. Dan samar-samar dua ekor keluang terbang membentuk sepasang bayangan yang bergerak beriringan dalam keheningan.
Episode 35
Bekisar Merah
Makin dekat Lebaran orang Karangsoga makin banyak senyum karena harga gula kelapa terus naik. Pada puncaknya nanti mungkin harga sekilo gula bisa sepadan dengan satu setengah atau bahkan dua kilo beras. Apabila keadaan ini tercapai, meskipun tidak lima tahun sekali dan mungkin hanya berlangsung beberapa hari, orang Karangsaga merasa beruntung justru karena mereka adalah penyadap nira. Setelah tersedia beberapa kilo beras dan sedikit uang untuk menyambut Lebaran, mereka merasa bahwa hidup adalah kenikmatan yang pantas disyukuri. Dalam rasa beruntung seperti ini mereka pergi menyadap, menembus kabut pagi yang dingin dengan hati yang ringan. Mereka berbagi kegembiraan bila saling berpapasan di jalan dengan tertawa atau bersenandung bahkan ketika mereka sedang berada di ketinggian pohon kelapa. Memang, mereka sangat sadar bahwa harga gula yang pantas tidak pernah berlangsung lama. Namun kesadaran itu pula yang mengharuskan para penderes Karangsoga menikmati hari-hari yang langka dan sangat berharga itu. Tertawalah selagi ada peluang, meski hanya sejenak.
Sudah menjadi kebiasaan di Karangsoga sejak lama, hari-hari mereka bermula dengan suara beduk subuh dari saran Eyang Mus. Lalu suara panggilan yang berbaur kokok ayam jantan dan kicau burung-burung. Dan bunyi terompah kayu beberapa lelaki tua yang setia memenuhi panggilan itu. Kecipak air di kolam yang ada di samping surau. Dengung ribuan lebah madu yang merubung pepohonan yang sedang berbunga, dan teriakan angsa di halaman rumah Pak Tir. Kelentang-kelentung suara pongkor mulai terdengar dan di timur langit mulai terang. Beberapa pohon kelapa mulai bergoyang pertanda sudah ada lelaki Karangsoga menembus kabut kemarau yang dingin dan mulai bekerja menyadap nira.
Sinar matahari belum menjamah pucuk-pucuk pohon kelapa ketika sebuah sedan keluar dari jalan raya, membelok ke kanan menelusuri jalan kampung yang menanjak, dan terus menanjak menuju Karangsoga. Para penderes yang melihat kedatangan mobil itu yakin hari ini Pak Tir punya tamu tauke yang sering datang bersama keluarga. Hubungan dagang yang sudah berlangsung puluhan tahun membuat Pak Tir kelihatan sangat akrab dengan keluarga taukenya. Mereka sudah kelihatan seperti bersaudara.
Sedan itu terus merayap di atas jalan sempit yang naik-turun dan berbatu. Ayam-ayam berlarian menghindar. Seekor anak kambing mengembik dan segera lari bergabung dengan induknya. Sepasang angsa menegakkan leher dan si jantan berteriak nyaring dan serak. Beberapa orang perempuan muncul di pintu dan bergumam; sepagi ini Pak Tir punya tamu. Hadiah apa lagi yang bakal diterima dari taukenya?
Tetapi sedan itu tidak membelok ke halaman rumah Pak Tir. Terus merayap dan baru berhenti di sebuah mulut lorong beberapa puluh meter ke selatan. Mesin mati dan tak lama kemudian keluar seorang lelaki lima puluhan, kurus dan berpeci. Dari pintu mobil sebelah kiri muncul seorang perempuan muda berkulit sangat bersih dengan rambut tergerai agak sebahu. Mereka mulai menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sekitar sedan itu berhenti. Dua anak lelaki malah lari mendekat. Kemudian seorang gadis kecil dengan adik di punggungnya. Seorang penyadap yang sedang mengiris manggar pun berhenti untuk lebih leluasa memandang ke bawah; siapakah lelaki dan perempuan yang mengendarai sedan itu?
Makin banyak anak-anak berdatangan mengelilingi mobil pendatang. Seorang anak laki-laki yang agak besar merasa pasti bahwa dia belum pernah mengenal lelaki kurus dan berpeci itu, tetapi merasa pernah tahu si perempuan. Siapa? Dan bagi anak lelaki itu semuanya menjadi jelas setelah ia melihat Mbok Wiryaji keluar dari rumah, lari sepanjang lorong sambil berseru, “Las, Lisi, Lasiyah! Kamu pulang? Gusti, anakku pulang?”
“Ya, Mbok,” jawab Lasi dengan nada biasa. Wajahnya pun tidak menggambarkan kegembiraan yang meluap. Jabat tangan untuk emaknya juga ringan saja.
Mbok Wiryaji tak bisa berkata-kata lagi. Dadanya sesak. Terengah-engah. Air matanya mulai meleleh. Emak Lasi itu benar-benar menangis. Ia begitu gembira dan ingin merangkul anaknya tetapi mendadak ada rasa segan muncul dalam hati. Emak yang sudah sekian bulan memendam kangen itu berdiri kaku, merasa tak diberi peluang untuk menumpahkan kerinduannya. Mbok Wiryaji merasa Lasi telah berubah: pakaiannya, tata rambutnya, selopnya, bahkan gerak-geriknya, pandangan matanya, segalanya. Aneh, di mata Mbok Wiryaji, Lasi sudah lain, sangat lain. Dingin. Lasi kelihatan seperti seorang nyonya, artinya istri tauke Cina atau istri priyayi yang makmur dan cantik. Dan di atas segalanya, Lasi seperti tidak kangen kepada emaknya sendiri meski sudah lama tak bertemu. Dingin. Lalu apa pula artinya, Lasi datang dengan mobil bersama seorang lelaki asing?
“Mbok, ini Pak Min, sopir,” ujar Lasi memperkenalkan lelaki kurus itu.
Pak Min mengangguk dalam, membuat Mbok Wiryaji risi. Seumur-umur dia belum pernah mendapat perlakuan seperti itu. Mbok Wiryaji juga merasa Pak Min bersikap sangat sopan terhadap Lasi seperti terhadap majikan. Jadi benar, Lasi sudah lain. Itu perasaan Mbok Wiryaji. Padahal Lasi sendiri merasa banyak bagian dirinya tetap utuh. Paru-parunya masih peka terhadap kejernihan udara pagi di desanya. Penciumannya masih tajam terhadap bau pakis-pakisan yang tumbuh lebih pada dinding-dinding parit di sekitarnya. Telinganya masih sempurna menikmati kicau si ekor kipas yang terbang-hinggap dengan licah dalam kerimbunan rumpun bambu. Dan Lasi sejenak tertegun ketika melihat jauh di sana, di balik sapuan kabut, sebatang pohon kelapa bergoyang. Tampak seorang penyadap turun dengan dua pongkor tergantung dan berayun-ayun dari pinggangnya. Lasi melihat dunia lamanya terputar kembali di depan mata.
Masih dengan perasaan tak keruan Mbok Wiryaji mengiringi Lasi berjalan sepanjang lorong. Pak Min di belakang, menjinjing sebuah koper. Iring-iringan kecil itu bergerak menuju rumah Mbok Wiryaji karena ternyata Lasi tidak ingin masuk kembali ke rumah sendiri yang memang sudah lama dikosongkan. Di depan pintu, Lasi berhadapan dengan Wiryaji, ayah tirinya yang juga paman Darsa. Keduanya hanya bertatapan, saling sapa dengan basa-basi yang dingin dan terasa janggal.
Lasi datang dari Jakarta membawa sedan, itulah celoteh terbaru yang segera merambat ke semua sudut Karangsoga. Dan cerita pun menuruti kebiasaan di sana, berkembang tak terkendali ke segala arah. Meskipun demikian segala cerita orang Karangsoga bisa disimpulkan, mereka mempertanyakan bagaimana bisa, hanya dalam enam bulan Lasi berubah menjadi demikian makmur. Penampilannya menjadi demikian mengesankan sehingga para tetangga bahkan emaknya sendiri merasa terpisahkan oleh jarak yang sukar diterangkan. Anehnya rata-rata orang Karangsoga sudah menduga Lasi mendapat kemikmuran dari kecantikannya. “Kalau bukan karena cantik, di Jakarta Lasi paling-paling jadi babu,” kata mereka.
Dengan mengatakan bahwa Lasi jadi makmur berkat kecantikannya, orang Karangsoga bermaksud memperhalus dakwaan mereka. Mereka tak berani mengatakan kecurigaan mereka bahwa Lasi telah melacurkan diri. Bila tidak, masakan secepat itu Lasi punya sedan. Pakaian dan perhiasannya hanya bisa dibandingkan dengan milik istri tauke yang sering datang ke rumah Pak Tir.
Hari-hari berikut celotch orang Karangsoga terus berkembang. Tetapi mereka tak lagi bicara soal dari mana Lasi mendapat kemakmuran. Mereka beralih ke topik yang baru; Lasi sedang menuntut cerai dari Darsa. Namun topik ini pun cepat padam karena di luar dugaan semua orang Karangsoga, proses perceraian itu sangat cepat dan lancar. Mereka mengatakan bahwa Lasi membawa “surat sakti” dari seorang overste purnawira di Jakarta yang ditujukan kepada Kepala Desa Karangsoga dan Kepala Kantor Urusan Agama. Karena silau oleh tanda tangan seorang overste, kata tukang celoteh di Karangsoga, Kepala Desa bersegera membawa Darsa menghadap Kepala KUA. Bahkan tanpa kehadiran Lasi di kantor itu talak Darsa pun jatuh.
***
Pada usia hampir dua puluh lima tahun Kanjat lulus sebagai insinyur. Di hari-hari pertama menjadi sarjana Kanjat merasakan kegembiraan, dan juga kebanggaan. Tetapi hari-hari berikut terasa membawa kekaburan. Kanjat tak mudah menjawab pertanyaan sendiri; sesudah menyandang gelar sarjana, lalu apa? Beberapa teman seangkatan segera meninggalkan kampus untuk melamar pekerjaan menjadi pegawai negeri Departemen Pertanian. Dan Kanjat, entah mengapa, tak ingin mengikuti langkah mereka. Mungkin karena Kanjat tahu, melamar pekerjaan seperti itu sering berarti berhadapan dengan sistem birokrasi yang absurd dan adakalanya seperti meminta belas kasihan.
Seorang teman mengajak Kanjat mencoba melamar menjadi pegawai perkebunan milik para konglomerat yang makin banyak dibuka terutama di luar Pulau Jawa. Atau menjadi pegawai bagi pemegang hak pengusahaan hutan. Kata teman tadi, pada sektor swasta semacam itu pelamaran tidak begitu rumit dan aspek profesional lebih diperhitungkan. Entahlah, tawaran ini pun tak menarik hati Kanjat, terutama karena ia tahu para pengusaha HPH, termasuk keputusan-keputusan yang melahirkannya, punya andil besar dalam pembotakan hutan-hutan Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan Irian Jaya. Kanjat tidak ingin ikut menjadi sel kanker yang menggerogoti kehijauan bumi.
Sesungguhnya ada satu tawaran lain, dan kali ini diberikan oleh Doktor Jirem. Kanjat diminta tetap tinggal di kampus menjadi asisten dosen. Mulanya Kanjat tidak tertarik pada tawaran ini. Gaji seorang asisten dosen tidak menarik dan lebih lagi Kanjit merasa kurang bisa tekun dalam tugas sebagai pengajar. Namun ketika Pak Jirem bilang bahwa dengan tetap menjadi warga kampus Kanjat punya peluang lain, pikirannya berubah. Menurut Pak Jirem, Kanjat bisa bergabung dalam kelompok peneliti yang sudah satu tahun dipimpinnya. Dan Kanjat terkejut ketika Pak Jirem bertanya dengan gaya lugas.
“Jat, kamu sudah lupa akan skripsi yang baru kemarin kamu tulis? Maksud saya, apakah di hatimu masih ada keterpihakanmu kepada kehidupan para penyadap yang dulu sangat menggebu?”
Episode 36
Bekisar Merah
Karena gagap Kanjat hanya bisa mengangguk dan tersenyum.
“Ah, sarjana baru zaman sekarang! Baru kemarin kamu bilang soal keprihatinan, bahkan keterpihakan. Dan sekarang kamu sudah lupa. Semangat tempe?”
Kanjat tersenyum pahit. Menggaruk-garuk kepala. Wajahnya berubah merah dan napasnya tertahan. Nyata betul hati Kanjat tersinggung oleh kata-kata seniornya. Doktor Jirem pun kemudian sadar ucapannya memakan hati anak muda di depannya. Menyesal, tetapi semuanya telah telanjur.
“Pak Jirem,” kata Kanjat dengan suara berat. “Saya sih, sampai kapan pun tetap anak Karangsoga. Saya selalu merasa kaum penyadap di sana adalah sanak famili saya sendiri. Jadi kepahitan hidup mereka adalah keprihatinan dan beban jiwa saya juga, beban yang tak ringan.”
Kanjat berhenti. Gelisah. Pak Jirem memperhatikannya, masih dengan rasa menyesal.
“Jadi beban?” tanya Pak Jirem karena lama ditunggu Kanjat belum juga meneruskan kata-katanya.
“Ya. Karena, sementara saya bisa merasakan kesusahan mereka, saya boleh dibilang tak mampu berbuat sesuatu. Pak, mungkin perasaan saya salah. Namun memang saya merasa dalam kondisi kehidupan yang dikuasai oleh perekonomian pasar bebas seperti sekarang, segala keterpihakan terhadap kehidupan pinggiran kurang mendapat dukungan. Malah, jangan-jangan obsesi saya untuk membantu para penyadap merupakan sesuatu yang sia-sia. Seperti pernah saya katakan dulu, jangan-jangan nanti ada orang menyebut saya Don Kisot.”
Junior dan senior sama-sama terdiam. Namun tak lama kemudian Pak Jirem tersenyum. Kedua tangannya masih dalam saku celana.
“Ya, saya mengakui ada kebenaran dalam kata-katamu. Namun saya juga mengakui masih ada kebenaran dalam pepatah lama; lebih baik berbuat sesuatu, meskipun kecil, daripada tidak sama sekali. Dalam hal perdagangan gula kelapa, karena sudah lama terkuasai oleh tangan gurita yang begitu kuat, kita mungkin tak bisa berbuat banyak. Tetapi apakah tak ada sisi lain dalam kehidupan masyarakat penyadap yang perlu kita bantu?”
“Banyak!” jawab Kanjat cepat. Begitu cepat sehingga Jirem merasa napasnya terpotong. Tetapi Jirem tersenyum karena melihat ada semangat tergambar dalam wajah Kanjat.
Dengan gairah Kanjat menghitung segi-segi kehidupan para penyadap yang bisa ditangani sebagai bahan penelitian. Kanjat tahu betul para penyadap sangat disulitkan oleh nira, yang cepat berubah menjadi asam. Penemuan bahan kimia pengawet yang murah dan mudah didapat tentu sangat menolong mereka. Bahan kimia lain yang bisa membantu pengerasan gula juga sangat dibutuhkan para penyadap. Kanjat merasa yakin, dengan bantuan beberapa teman yang tahu urusan kimia kedua bahan itu bisa dibuat. Para penderes juga perlu mendapat pengetahuan bahwa pohon kelapa mereka memerlukan pemupukan, suatu hal yang sama sekali tak pernah mereka sadari kegunaannya. Tetapi Kanjat merasa berat ketika mengatakan kepada Pak Jirem, soal bahan bakar pengganti.
“Para penyadap tetap menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Juga limbah kilang padi berupa sekam. Tungku mereka merupakan sebuah sistem pemborosan energi yang luar biasa. Dalam penelitian saya ketahui hanya sekitar 20 persen panas yang termanfaatkan.”
“Hanya dua puluh persen?”
“Ya. Dan kita tahu kayu, bahkan sekam, harus mereka beli. Bila harga gula jatuh, mereka tak mungkin mengolah nira kecuali dengan cara mencuri kayu di hutan tutupan. Atau menebang kayu apa saja yang mereka miliki.”
“Ya, saya sudah tahu dari keterangan dalam skripsimu. Kebutuhan bahan bakar para penderes punya andil paling besar dalam kerusakan hutan di sekitar Karangsoga.”
“Juga, proses pembentukan bunga tanah berhenti karena di musim kemarau para penderes menyapu bersih sampah daun dari hutan di sekitar mereka. Dan yang satu ini tak tertulis dalam skripsi saya. Bahkan pohon soga hampir atau sudah hilang dari Karangsoga. Apabila keborosan akan kayu bakar tak dihentikan, kampung saya akan berubah menjadi wilayah monokultur karena selain kelapa semua pepohonan terancam masuk tungku.”
“Jadi, Jat, sebenarnya kamu ingin melakukan banyak hal. Dan yang kamu perlukan sekarang, mungkin, adalah sebuah momentum untuk menghilangkan keraguan, momentum untuk mendorong kamu segera bertindak.”
Atas bantuan Doktor Jirem, Kanjat berhasil menyusun sebuah tim peneliti. Joko Adi tahu soal kimia, Topo Sumarso tahu urusan produksi pertanian, dan Hermiati bisa menyusun hasil penelitian tim menjadi bahan tulisan untuk media massa. Kanjat sendiri mengambil bagian masalah dampak lingkungan kegiatan produksi gula kelapa.
Kegiatan tim kecil yang dipimpin Kanjat menjadi bagian kegiatan penelitian yang sudah lama diketuai Doktor Jirem. Mereka berkantor di sebuah ruang sempit di kompleks kampus. Tetapi ketika mereka harus berkerja di lapangan, rumah orangtua Kanjat di Karangsoga sering menjadi basis kegiatan. Kanjat dan tiga temannya sering berkumpul untuk membicarakan koordinasi ataupun kemajuan bidang garapan masing-masing.
Adalah Pak Tir yang sering menggeleng-gelengkan kepala bila melihat kegiatan anak-anak muda itu, terutama anaknya sendiri, Kanjat. Apa maksudnya dan apa gunanya membuat tungku-tungku percobaan yang katanya bisa menghemat kayu bakar? Apa guna mencatat punahnya berbagai jenis kayu dan perdu yang katanya disebabkan kerakusan tungku para penderes? Juga apa perlunya banyak bertanya tentang tetek bengek kegiatan para penyadap itu?
“Lho, kalau cuma ingin bisa membuat tungku atau mengakrabi orang Karangsoga, mengapa aku harus menyekolahkan dia sampai jadi insinyur?” kata Pak Tir kepada istrinya suatu hari.
“Memang lucu ya, insinyur kok kerjanya seperti itu. Yang kudengar, insinyur itu adalah pegawai, orang berpangkat yang berkantor di kota.”
“Ya, tetapi itulah anakmu. Coba, ajaklah dia bicara dan apa maunya.”
“Ah, biarlah, Pak. Nanti bila dia marah lalu memilih kerja di tempat yang jauh, lalu aku malah jadi susah. Kan bagaimana juga, katanya, dia menjadi dosen.”
“Dosen tungku?”
“Sampeyan jangan menyakitinya. Dia bungsu kita.”
“Itulah. Kamu memang selalu memanjakannya. Maka ulahnya aneh-aneh. Masakan sudah jadi dosen masih repot dengan tanah liat untuk membuat tungku, dengan kayu bakar. Dosen apa itu? Daripada berbuat macam-macam lebih baik kamu suruh anakmu itu mencari calon istri.”
Istri Pak Tir diam. Emak Kanjat itu tahu, suaminya sedang kecewa terhadap anaknya namun tak berani berterus terang terhadap Kanjat. Bila pembicaraan diteruskan suasananya bisa berubah menjadi tegang. Tidak. Anehnya, Mbok Tir diam-diam juga setuju dengan suaminya, tak ingin melihat anaknya melakukan hal yang aneh-aneh di kampung. Bedanya, Mbok Tir begitu sayang kepada bungsunya dan sangat khawatir anaknya pergi jauh dari Karangsoga.
Tim yang dipimpin Kanjat sudah satu bulan bekerja. Banyak temuan telah dicatat oleh Kanjat sendiri maupun Joko dan Topo. Giliran Hermiati merangkum hasil penelitian ketiga temannya itu untuk disusun sebagai naskah artikel untuk media massa. Kanjat sendiri masih sibuk di Karangsoga, memperbaiki model tungku hemat kayu api yang dimodifikasi dari model tungku temuan Ir. Johannes. Bungsu Pak Tir itu sedang bekerja di bengkelnya ketika Pardi muncul tiba-tiba. Pertanyaannya pun nyalawadi, mengandung rahasia,
“Mas Kanjat sudah dengar?”
“Dengar apa?”
“Dia sudah resmi jadi janda.”
“Maksudmu Lasi?”
“Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Mau bertaruh dengan saya tentang siapa yang akan pertama datang ke rumah Mbok Wiryaji untuk melamar Lasi?”
Kanjat tersenyum.
“Mas Kanjat sudah bertemu dia?”
“Belum. Jujur saja, Di. Entah mengapa di kampung sendiri aku merasa serba salah bila hendak menemui Lasi. Padahal sih, aku ingin melihatnya juga.”
“Saya bisa mengerti. Masalahnya, sekarang Lasi sudah resmi menjadi janda. Tak ada salahnya bila seorang lelaki, apalagi masih sendiri, pergi ke sana. Atau Mas Kanjat tak khawatir keduluan orang?”
Kanjat tersenyum, lalu meminta Pardi lebih mendekat. Wajah Kanjat berubah-ubah ketika mengatakan sesuatu kepada Pardi. Tetapi mereka mengakhiri pertemuan dengan senyum ringan. Pardi malah tertawa.
Kemudian terbukti sore ini Pardi-lah orang pertama yang melangkah menuju rumah Mbok Wiryaji untuk bertemu Lasi. Langkahnya ringan, wajahnya tanpa beban, dan asap rokok tak berhenti mengepul dari mulutnya. Pardi, sopir yang sangat berpengalaman menghadapi banyak perempuan, tak sedikit pun kelihatan canggung ketika sudah duduk berhadapan dengan Lasi. Namun apa yang serta-merta dilakukan Lasi terhadap Pardi adalah sesuatu yang mengejutkan sopir Pak Tir itu. Lasi meletakkan beberapa lembar uang di bawah mata Pardi.
“Di, aku belum tahu apa keperluanmu datang kemari. Namun terimalah uang itu lebih dulu agar utangku kepadamu lunas. Dan terima kasih atas kebaikanmu.”
Pardi tercengang namun langsung mengerti maksud Lasi. Gagu. Menggelengkan kepala. Pardi merasa tak bisa berbuat lain kecuali menerima kembali uang yang diberikannya kepada Lasi enam bulan berselang.
“Nah, Di, sekarang kamu boleh mengatakan apa maumu,” ujar Lasi dengan senyum
Episode 37
Bekisar Merah
Pardi gelisah. Senyum itu membuat jantungnya berdebar. Tetapi Pardi hanya bisa menelan ludah.
“Las, aku berharap belum seorang pun datang mendahuluiku. Aku melamarmu pada hari pertama kamu jadi janda. Bisa kamu terima?”
Lasi membelalakkan mata.
“Hus. Brengsek! Dasar lelaki. Dasar sopir. Sontoloyo! Yang kamu pikir hanya itu-itu melulu. Kamu tak tahu sakitnya orang seperti aku? Tidak?”
“Las, aku tidak main-main.”
“Tidak.”
“Dengar dulu...”
“Tidak, tidak!”
“Baiklah, tetapi jangan berteriak seperti itu. Sayang, secantik kamu berteriak-teriak seperti angsa jantan.”
“Kamu yang brengsek. Kurang ajar.”
Pardi tertawa.
“Katakanlah semaumu.”
Pardi tertawa lagi. Cengar-cengir, menoleh kiri-kanan.
“Mana emakmu?”
“Di dalam.”
Pardi cengar-cengir lagi. Lalu merogoh saku baju dan meletakkan sebuah surat di atas meja tepat di hadapan Lasi. Sesaat setelah tahu siapa pengirimnya, wajah Lasi menegang. Bibirnya bergetar. Bisu. Lengang, sehingga terdengar jelas suara korek api yang dinyakikan Pardi. Lasi membuka surat itu yang ternyata hanya berisi beberapa kalimat. Ada langkah mendekat dari ruang dalam. Lasi cepat menyembunyikan surat itu dalam genggamannya. Mbok Wiryaji muncul.
“Oh, kamu, Di?”
“Ya, Mbok. Malu-malu apa, saya mau melamar Lasi,” kata Pardi sambil senyum. “Siapa tahu anak Mbok yang sudah kayak Jepang tulen ini mau menerima seorang lelaki brengsek.”
“Nah, pernah mendengar ada orangtua mau menerima calon menantu brengsek?” kata Mbok Wiryaji dengan wajah sedingin bibir tempayan. Lalu masuk lagi. Pardi dan Lasi sama-sama tersenyum.
“Las, Mas Kanjat ingin bertemu kamu. Bisa, kan?”
Wajah Lasi kembali tegang. Menunduk. Membaca lagi surat yang berada di tangannya. Mendesah.
“Bagaimana, Las? Kok malah bengong?” tanya Pardi lirih.
“Bagaimana ya, Di? Aku bingung,” jawab Lasi sambil mendesah.
“Bingung?”
Lasi mengerutkan kening. Menelan ludah. Matanya yang sipit kelihatan makin sipit. Pardi menatapnya, menikmatinya. Kadang Pardi merasa begitu sial karena Kanjat, anak majikannya, lebih dahulu naksir Lasi. Andaikan tidak!
“Las, dalam surat itu Mas Kanjat bilang mau ketemu kamu, bukan?”
“Ya. Tetapi aku bingung.”
Diam. Pardi mengisap rokoknya dalam-dalam. Lasi menunduk seperti kehilangan kata untuk diucapkan. Tanpa mengaku bingung pun perasaan itu tergambar jelas pada wajahnya, pada gerik tangannya yang tak menentu.
“Las, aku kan cuma disuruh Mas Kanjat mengantar surat buat kamu. Nah, surat ini sudah kamu terima. Aku permisi.”
Lasi gagap. Pardi mengira Lasi akan mengucapkan sesuatu untuk disampaikan kepada Kanjat. Tetapi lama ditunggu bibir Lisi hanya bergerak-gerak tanpa suara. Pardi membalikkan badan dan melangkah.
“Tunggu, Di. Dengar dulu. Aku pun ingin bertemu Kanjat. Tetapi kukira aku tak bisa. Di, memang sebaiknya aku tidak bertemu dia.” Lasi menunduk dan mendesah.
“Kok?”
Lasi kembali mendesah. Mengusap mata yang basah. Menggigit bibir. Ada dua pernik perlahan muncul di mata dan meleleh pada pipinya yang bersih.
“Kamu benar-benar tak mau bertemu Mas Kanjat?”
Lasi mengangguk.
“Jadi aku harus mengatakan kepadanya bahwa kamu tak ingin dia temui?”
Lasi mengangguk lagi. Pardi mendesah. Tetapi Pardi merasa ada sesuatu yang tak wajar; ada jarak antara kesan pada wajah Lasi dan kata-kata yang diucapkannya. Tetapi Pardi merasa tak berdaya, buntu. Maka ia mengisap rokoknya dalam-dalam lalu bangkit.
“Baiklah. Akan kukatakan kamu tak mau ketemu Mas Kanjat.”
Lasi tak menjawab apa pun. Diam dan menunduk. Namun keraguan muncul dengan jelas pada wajahnya. Bangkit dan melangkah meninggalkan Pardi yang tetap berdiri dan bingung.
***
Makin dekat hari Lebaran, surau Eyang Mus makin ramai. Lepas saat berbuka puasa jemaah lelaki dan perempuan mulai berdatangan. Mbok Wiryaji dan suaminya pun sudah berangkit meninggalkan Lasi seorang diri di rumah. Semula Lasi hendak ikut serta, tetapi kemudian mengurungkan niat begitu menyadari dirinya baru sehari menjadi janda. Lasi merasa belum sanggup hadir di tengah orang banyak; tak sanggup menahan tatapan mata mereka.
Sendiri di rumah, Lasi merasa terkepung kebimbangan. Lasi tak bisa menentukan apa yang layak dilakukannya. Maka Lasi duduk di ruang depan dan membiarkan segala sesuatu berlalu tanpa tanggapan. Telinganya mendengar suara beduk dari surau Eyang Mus. Juga suara anak-anak, atau kadang suara burung-burung bluwak berebut tempat menginap dalam rumpun bambu di atas rumah orangtuanya. Lasi juga tak tertarik akan ulah seekor kupu-kupu yang terbang mengedari lampu gantung di depannya. Namun Lasi setidaknya menggerakkan bola matanya ketika ia melihat dari balik jeruji kayu ada sosok samar di halaman. Sosok itu berjalan mendekat dan makin lama makin jelas. Seorang lelaki, dan langkahnya lurus menuju pintu depan.
Pardi? Bukan. Dia belum lama pergi dan dia tak pernah memakai baju lengan panjang. Kanjat? Mustahil. Lasi sudah mengirim pesan lewat Pardi bahwa dia tak mau bertemu anak Pak Tir itu. Jadi lelaki yang sudah berdiri di depan itu bukan Kanjat. Tetapi Lasi terkejut ketika mendengar suara lelaki di sana. Dada Lasi gemuruh: senang, gagap, atau tak menentu.
Kanjat melangkah masuk begitu Lasi membukakan pintu. Kelugasan seorang lelaki tampak pada citra wajahnya. Matanya menatap Lasi. Dari rona wajah Lasi, matanya yang menyala, Kanjat segera mengerti kedatangannya bukan sesuatu yang tak disukai. Kanjat tersenyum. Lasi tersenyum. Kemudian mereka duduk berhadapan. Lasi berdiri untuk membesarkan nyala lampu tetapi Kanjat bergerak mendahuluinya. Tangan mereka bersinggungan. Mereka sama-sama tersenyum lagi dan sampai sekian jauh mulut mereka tetap rapat. Kanjat menelan ludah.
“Las,” katanya mengakhiri kebisuan yang kaku dan janggal.
“Apa?”
“Maafkan, aku datang meskipun kata Pardi kamu tak ingin kutemu.”
Lasi tersenyum. Matanya berkilat. Dalam hati Lasi malah bersorak justru karena Kanjat berani melanggar pesan yang dibawa Pardi. Lasi tertawa dan keindahan lekuk pipinya paripurna. Giliran dada Kanjat yang gemuruh.
“Las...”
“Ya?”
“Kamu diam?”
“Aku harus bilang apa?”
“Kamu tidak marah?”
Lasi menggelengkan kepala. Menunduk. Kadang alisnya terkesan menyimpan beban berat.
“Kau baik-baik saja, bukan?”
“Seperti yang kamu lihat.”
“Ya, kamu kelihatan lebih segar.”
“Kamu memujiku?”
Kanjat tersenyum.
“Kudengar kamu sudah selesai sekolah dan kini kamu jadi dosen. Enak, ya?”
Kanjat tersipu.
“Las, fotomu masih kusimpan. Kamu tahu mengapa?”
“Sama. Fotomu juga masih kusimpan. Dan kamu tahu mengapa?”
Mereka beradu pandang dan bertukar senyum.
“Las, aku ingin bicara. Kamu mau mendengarnya, bukan?”
Episode 38
Bekisar Merah
Lasi mengangkat wajah. Terlihat ada kecamuk dalam bola matanya. Wajahnya mendadak kaku. Intuisinya bilang, Kanjat akan mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan sebutan barunya: janda. Ya. Sinar mata Kanjat telah terbaca. Ada pusaran yang membuat hati Lasi serasa terberai. Lasi tergagap bahkan sebelum Kanjat membuka mulut. Napasnya pendek-pendek. Dalam kecamuk itu Lasi mencoba mempertimbangkan mencegah Kanjat menyampaikan maksud yang sedikit-banyak sudah bisa dirabanya itu. Sulit. Namun membiarkan Kanjat mengatakan isi hatinya sama dengan sengaja mendatangkan kebimbangan besar yang tak akan mudah menyingkirkannya. Sulitnya lagi, Lasi juga menyimpan kerinduan untuk mendengar kata-kata manis dari lelaki muda di hadapannya, kerinduan yang tak bisa disepelekan. Lasi mendesah panjang.
“Kamu mau bilang apa, Jat?”
Ganti Kanjat yang gugup.
“Banyak yang ingin kukatakan. Kamu bisa merasakannya?”
Lasi mengangguk.
“Jadi masih perlukah aku mengatakannya?”
Lasi menggeleng.
“Jat, itu tak mungkin.”
“Tak mungkin? Siapa bilang?”
“Aku sendiri. Aku seorang janda dan usiaku lebih tua. Kamu perjaka, terpelajar, dan anak orang berada. Pokoknya, aku tak pantas buat kamu. Dan sangat banyak gadis sepadan yang lebih pantas jadi istri kamu.”
“Las...”
“Kita harus berani melupakan keinginan yang sekuat apa pun bila kita tak mau menyesal kelak.”
“Tidak. Apa yang kamu katakan tadi sudah lama tak kupedulikan.”
“Tetapi jangan lupa, ini Karangsoga. Pernah kamu dengar seorang jejaka mengawini janda di sini?”
“Itu pun sudah lama tak kupikirkan.”
“Tetapi orangtuamu?”
“Las, aku sudah dewasa. Aku...”
“Jat, tetapi aku tak bisa. Tidak bisa. Kamu harus tahu aku memang tak bisa.”
Lasi menelungkupkan wajah di atas daun meja. Mengisak. Kanjat terpana. Hening. Kupu-kupu itu datang lagi dan kembali terbang mengedari lampu. Lasi terus mengisak. Dan tiba-tiba Kanjat merasa harus memperhatikan ucapan Lasi terakhir, “Kamu harus tahu bahwa aku memang tak bisa.” Ya. Kanjat ingat cerita tetangga kiri-kanan bahwa ada seorang overste purnawira membantu proses perceraian Lasi. Ya.
“Las, apa kamu sudah punya rencana lain?”
Lasi mengangkat wajah. Mengusap mata dan mendesah. Kemudian dengan nada sangat berat Lasi mengiyakan pertanyaan Kanjat. Sepi. Lasi menatap wajah Kanjat, ingin melihat pantulan reaksi di sana. Kanjat membeku. Namun tak lama. Ada semangat tiba-tiba menguak dan terbit dalam cahaya wajahnya.
“Overste purnawira itu, Las?”
“Ya. Kamu sudah tahu.”
“Semua orang tahu dari cerita yang berkembang di balai desa.”
“Ya. Begitulah, Jat. Maka kubilang aku tak bisa. Aku sudah punya rencana dengan orang lain.”
Kanjat termangu dan menelan ludah. Kemudian terdengar ucapannya yang bergetar dalam,
“Kamu bersungguh-sungguh dengan rencana itu? Maksudku, tak bisa lagi ditawar?”
“Ditawar?”
“Maksudku, kamu tak bisa membatalkan rencana itu?”
Mata Lasi membulat. Ada citra kebimbangan menyaput wajahnya. Bibirnya bergetar.
“Sayang tak bisa. Sungguh, aku tak bisa,” desah Lasi hampir tak terdengar. “Aku tak bisa menyalahi janji yang telanjur kuucapkan. Jat, kamu bisa mengerti, bukan?”
Kanjat diam, lama. Lalu mengangguk. Jakunnya turun-naik.
“Kamu juga mengerti perasaanku?”
Kanjat menatap Lisi langsung pada bola matanya. Ada pertukaran rasa yang sangat intensif melalui cahaya mata, bahkan gerak urat wajah yang samar. Kemudian Kanjat mengangguk kigi. Dan wajahnya hampa.
“Las, aku sangat sulit menerima kenyataan ini. Tetapi baiklah.”
Kanjat tak meneruskan kata-katanya. Suasana terasa kering dan janggal. Lasi mempermainkan cincin di jari. Cahaya kebiruan berpendar dari mata berliannya. Kanjat menggosok-gosokkin telapak tangan pada daun meja. Dan kupu-kupu itu masih terbang mengedari lampu. Kanjat bangkit dan mengulurkan tangan, minta diri. Lasi terpana, namun disambutnya juga tangan Kanjat. Keduanya merasa ada getaran hangat dalam telapak tangan masing-masing. Lasi makin erat menggenggam tangan Kanjat. Matanya berlinang. Bibirnya bergetar. Kanjat bergerak ke pintu. Bisu. Tetapi tiba-tiba Lasi menahan langkahnya.
“Jat, tunggu. Aku punya pesan untuk orangtuamu. Tolong katakan, besok pagi aku akan menemui mereka.”
“Kamu akan pergi ke rumahku?”
“Ya. Aku akan mengembalikan uang gadai kebun kelapa kepada ayahmu. Kamu ingat aku menggadaikan kebun kelapa untuk biaya pengobatan Kang Darsa, eh, dudaku?”
Plas. Ada tamparan sengit mendarat di hati Kanjat. Ada ironi sangat tajam terasa menusuk dada. Kanjat tiba-tiba merasa dirinya dipaksa kembali menatap nasib para penyadap. Memang, kini Lasi kelihatan makmur dan tidak lagi bergelut dengan gula kelapa. Tetapi di luar diri Lasi, masalah gadai-menggadai kebun kelapa, satu-satunya sumber hidup kebanyakan orang Karangsoga, adalah nyala dan hampir selalu melibatkan ayah Kanjat.
“Jat, kamu bagaimana? Kamu marah? Kamu tak suka aku pergi ke rumah orangtuamu?”
Kanjat terkejut.
“Kamu sakit? Kok pucat?”
“Ah, tidak. Tidak apa-apa. Aku tak keberatan kamu datang kapan saja kamu suka. Maafkan. Sekarang, permisi.”
Kanjat tersenyum janggal, lalu berbalik dan melangkah keluar. Selama masih terkena cahaya lampu, tubuh Kanjat adalah bayangan remang yang bergerak menjauh. Kemudian lenyap. Pada detik yang sama Lasi merasa ada debur dalam kehampaan hatinya. Tetapi Lasi tak bisa apa-apa kecuali memejamkan mata untuk mencoba menekan perih yang menggigit hati. Telinganya berdenging.
Menjadi istri Handarbeni, ternyata, bermula dari sebuah upacara ringan. Itulah yang dirasakan Lasi. Pemikahan dilaksanakan di rumah Pak Han di Slipi. Semua petugas diundang dari Kantor Urusan Agama, dan para saksi didatangkan entah dari mana. Tak ada keramaian. Tamu pun tak seberapa, hanya beberapa lelaki teman Pak Han, Bu Koneng, Bu Lanting, dan si Kacamata. Untung, si Betis Kering dan si Anting Besar tak muncul. Lalu kenduri.
Semula Lasi merasa sedih karena tak seorang kerabat pun, bahkan juga emaknya, hadir pada upacara di suatu pagi hari Minggu itu. Namun perasaaan demikian tak lama mengendap di hati Lasi karena suasana yang terjadi pada acara pernikahan itu terasa enteng, cair, dan seperti main-main sehingga kehadiran seorang emak terasa tak perlu. Ya, seperti main-main. Betul, “main-main” adalah kata yang paling bagus untuk melukiskan perasaan Lasi dan suasana pada saat itu. Aneh. Lasi sendiri heran mengapa hati dan jiwanya tidak ikut menikah, tidak ikut kawin. Mengapa, bahkan Lasi teringat masa kecil dulu ketika sering bermain kawin-kawinan bersama teman ketika bocah. Bagi Lasi, kawin-kawinan adalah permainan yang lucu, asyik, menyenangkan; namun tetap sebagai sesuatu yang tak mengandung kesungguhan, apalagi kesejatian.
Lasi sering mencoba memahami perasaan sendiri. Jangan-jangan hanya karena Kanjat tak bisa dilupakan, perkawinannya dengan Handarbeni terasa sebagai main-main. Lasi ingat betul ketika terjadi ijab-kabul, pada detik yang sama jiwa Lasi penuh berisi Kanjat. Tetapi Lasi kemudian sadar, sangat sadar, Kanjat adalah sesuatu yang sudah sangat jauh untuk diraih. Atau Lasi sendiri yang telanjur menjauh. Lasi juga sadar bahwa jauh sebelum hari perkawinan itu dia sudah menyatakan bersedia menjadi istri Pak Han. Lalu dari mana datang perasaan main-main itu?
Ah, Lasi terkejut ketika menemukan jawahan yang pasti. Hati dan jiwa Lasi mengatakan, perasaan itu justru datang dari suasana yang tercipta oleh sikap Handarbeni sendiri. Terasa oleh Lasi apa yang terjadi pada pagi hari Minggu itu adalah sesuatu yang tidak mendalam bagi Handarbeni, sesuatu yang berada di luar teras kehidupan pribadi lelaki gemuk itu. Ya. Dari kesahajaannya Lasi merasa bahwa perkawinannya kali ini sama sekali lain dari perkawinannya dulu dengan Darsa, betapapun Darsa telah bertindak kurang ajar kepadanya.
Hari-bari pertama menjadi Nyonya Handarbeni adalah pelajaran yang harus diikuti oleh Lasi, terutama tentang hubungan suami-istri atau bahkan hubungan lelaki-perempuan dengan cara yang baru. Atau sesungguhnya pelajaran itu sudah diberikan oleh Pardi pada hari pertama Lasi kabur dari Karangsoga. Pacar-pacar Pardi yang ada pada setiap warung yang disinggahinya itu; mereka melayani Pardi tanpa kesadaran sebagai kewajiban, lalu melayani setiap lelaki lain yang datang tanpa rasa bersalah. Pardi pun tentu mengerti bahwa pacar-pacarnya akan melayani juga setiap lelaki yang membeli mereka. Dan, Pardi kelihatan biasa-biasa saja, tak peduli.
Episode 39
Bekisar Merah
Di warung Bu Koneng, Lasi mendapat pelajaran lebih banyak. Di sana Lasi mendapat pengetahuan baru bahwa perintimin antara lelaki dan perempuan tak dibungkus dengan berbagai aturan. Gampang, murah. Di sana Lasi melihat perintiman sebagai sesuatu yang semudah orang membeli kacang. Dan ternyata para pelakunya seperti si Anting Besar atau si Betis Kering tetap manusia biasa. Mereka bisa bergaul, pergi ke pasar, tertawa di pinggir jalan, dan mendengarkan musik dari radio sambil berjoget.
“Las, ini bukan Karangsoga,” demikian Bu Lanting pernah bilang.
“Las, hidup ini seperti anggapan kita. Bila kita anggap sulit, sulitlah hidup ini. Bila kita anggap menyenangkan, senanglah hidup ini. Las, aku sih selalu menganggap hidup itu enak dan kepenak. Maka aku selalu menikmati setiap kesempatan yang ada. Kamu pun mestinya demikian.” Itu ceramah Bu Lanting yang dulu pernah didengar Lasi. Dan dari sekian banyak pitutur Bu Lanting buat Lasi, satu yang mengena dalam hatinya, “Barangkali sudah sampai titi-mangsane kamu menjalani ketentuan dalam suratanmu sendiri, pandum-mu sendiri bahwa kamu harus jadi istri orang kaya. Lho, bila memang merupakan pandum kemujuranmu, mengapa kamu ragu?”
Ya. Maka Lasi mulai belajar menikmati dunianya yang baru, berusaha yakin bahwa dirinya memang cantik dan pantas menjadi bagian dari kehidupan orang-orang kaya, dan semua itu adalah pandum yang tak perlu ditolak. Jadi Lasi bisa merasa benar-benar senang ketika misalnya, suatu kali diajak Handarbeni terbang ke Bali. Atas desakan Handarbeni Lasi pun akhirnya bersedia terjun ke kolam dalam sebuah hotel mewah di sana dengan pakaian renang yang tipis dan sangat ketat. Handarbeni tertawa-tawa di pinggir kolam. Banyak mata lelaki menatap Lasi. Dan lama-kelamaan Lasi merasa nikmat jadi pusat perhatian banyak lelaki.
Hampir satu tahun menjadi istri Handarbeni, Lasi sudah larut menjadi bagian kehidupan golongan kaya kota Jakarta. Apa-apa yang dulu hanya terbayang dalam mimpi, Handarbeni mendatangkannya dengan nyata bagi Lasi. Bu Lanting benar ketika berkata, selama Lasi bisa menjadi boneka cantik yang penurut, ia akan mendapat apa yang diinginkannya. Betul. Handarbeni memanjakan Lasi sebagai seorang penggemar unggas menyayangi bekisarnya.
Tetapi dalam satu tahun itu pula Lasi tahu secara lebih mendalam apa dan siapa Handarbeni. Benar pula kata Bu Lanting, Handarbeni sudah mempunyai dua istri sebelum mengawini Lasi. Maka dalam satu minggu Handarbeni hanya tiga kali pulang ke Slipi. Yang ini tidak mengapa karena Lasi mendapat kompensasi berupa kemakmuran yang sungguh banyak. Lasi juga akhirnya tahu bahwa sesungguhnya Handarbeni adalah laki-laki yang hampir impoten. Kelelakiannya hanya muncul bila ada bantuan obat-obatan. Yang ini terasa menekan hati Lasi, namun tak mengapa karena pada diri Lasi masih tersisa keyakinan hidup orang Karangsoga; seorang istri harus narima, menerima suami apa adanya. Tetapi Lasi menjadi sangat kecewa ketika menyadari bahwa perkawinannya dengan Handarbeni memang benar main-main. Lasi merasa dirinya hanya dijadikan pelengkap untuk sekadar kesenangan dan gengsi.
“Ya, Las. Kamu memang diperlukan Pak Han terutama untuk pajangan dan gengsi,” kata Bu Lanting suatu kali ketika Lasi berkLinjung ke rumahnya di Cikini. “Atau barangkali untuk menjaga citra kejantanannya di depan para sahabat dan relasi. Ya, bagaimana juga suamimu itu seorang direktur utama sebuah perusahan besar. Lalu, apakah kamu tidak bisa menerimanya?”
“Bukan tak bisa. Saya sadar harus menerimanya meski dengan rasa tertekan.”
“Maksudmu?”
“Secara keseluruhan, Mas Han memang baik. Maka saya bisa menerimanya, kecuali satu hal.”
“Apa?”
Lasi diam dan tertunduk.
“Anu, maaf, Las, kamu tidak kenyang?”
“Bukan hanya itu,” jawab Lasi tersipu.
“Maksudmu?”
“Keterlaluan, Bu. Yang ini saya benar-benar tidak bisa menerimanya.”
“Yang mana?”
Lasi tertunduk. Jelas sekali Lasi sulit mengemukakan perasaannya.
“Yang mana, Las?” ulang Bu Lanting.
Lasi tetap tertunduk. Ingatannya melayang pada suatu malam ketika ia dalam kamar bersama Handarbeni. Malam yang menjengkelkan. Handarbeni benar-benar kehilangan kelelakiannya meski obat-obatan telah diminumnya. Untuk menutupi kekecewaan Lasi akibat kegagalan semacam biasanya Handarbeni mengobral janji membelikan ini-itu dan keesokan harinya semuanya akan ternyata bernas. Tetapi malam itu Handarbeni tak memberi janji apa pun melainkan sebuah tawaran yang membuat Lasi merasa sangat terpojok, bahkan terhina.
“Las, aku memang sudah tua. Aku tak lagi bisa memberi dengan cukup. Maka, bila kamu kehendaki, kamu aku izinkan meminta kepada lelaki lain. Dan syaratnya hanya satu: kamu jaga mulut dan tetap tinggal di sini menjadi istriku. Bila perlu, aku sendiri yang akan mencarikan lelaki itu untukmu.”
Lasi memejamkan matanya rapat-rapat. Bu Lanting tersenyum.
“Lho, Las. Kamu belum menjawab pertanyaanku.”
Lasi mendesah. Kemudian dari mulutnya mengalir pengakuan dalam ucapan-ucapan yang patah-patah. Lasi berharap pengakuan itu akan mendapat tanggapan yang sejuk, penuh pengertian. Namun yang kemudian didengarnya dari mulut Bu Lanting adalah ledakan tawa. Dan gerakan kedua tangan yang mirip orang berenang.
“Oalah, Las, kubilang juga apa. Pak Han lelaki yang luar biasa baik, bukan? Oalah, Lasi, mujur amat nasibmu!”
Lasi membatu di tempatnya. Ia memandang Bu Lanting hanya dengan sudut mata. Jijik, kecewa, dan tak bisa dimengerti.
“Lalu kamu bagaimana, Las?”
“Aku bagaimana?”
“Iya. Kamu mendapat tawaran yang begitu menyenangkan. Bisa bersenang-senang dengan lelaki pilihan atas restu suami sendiri yang tetap kaya. Lho, apa nggak senang? Lalu kamu bagaimana?”
Ada ruang hampa tiba-tiba mengambang dalam dada Lasi. Kosong. Lengang. Dan buntu. Lasi ingin cepat mengalihkan pokok pembicaraan, tetapi Bu Lanting terus mengejarnya.
“Misalkan iku menjadi kamu Las, wah!”
“Tidak, Bu. Yang satu ini saya tak sanggup melakukannya.”
“Tetapi ini Jakarta, Las. Di sini, banyak perempuan atau istri yang saleh. Itu, aku percaya. Tapi istri yang tak saleh pun banyak juga. Jadi yang begitu-begitu itu, yang dikatakan suamimu agar kamu melakukannya, tidak aneh. Ah, kamu pun nanti akan terbiasa. Enteng sajalah...”
“Sungguh, Bu. Saya tak sanggup.”
“Las, kamu jangan berpura-pura. Aku tahu kamu masih sangat muda. Pasti kamu masih memerlukan yang begitu-begitu. Atau, nanti dulu; kamu tak bisa mencari...?”
“Ah, tidak. Bukan itu.”
“Lho, kalau kamu tak bisa, jangan khawatir. Aku yang akan mencarikannya buat kamu.”
“Tidak, Bu. Tidak. Saya betul-betul tidak bisa melaksanakan hal seperti itu.”
“Las, kamu jangan sok alim. Mau dibuat enak dan kepenak kok malah tak mau. Apa itu bukan bodoh namanya?”
Lasi tersinggung. Wajahnya mendung.
“Masalahnya bukan alim atau tidak alim, melainkan lebih sederhana. Melakukan hal seperti itu, bahkan baru membayangkannya, bagi saya terasa sangat ganjil. Itu saja.”
“Ganjil? Ganjil? Apa yang ganjil?”
Bu Lanting tertawa lagi, lalu mendadak berhenti. Mengusap air mata yang menetes dari hidung dan menatap Lasi dengan pandangan yang serius. Nada suaranya merendah.
“Eh, Las, begini saja. Aka punya saran. Minta cerai saja. Jangan khawatir. Aku jamin kamu tidak akan lama menjadi janda. Dan soal suami pengganti, itu urusanku. Itu gampang. Akan kucarikan buat kamu suami yang lebih kaya, dan yang penting lebih muda. Ee... percayalah kepadaku. Bagaimana?”
Lasi tertegun. Wajahnya beku.
“Entahlah. Yang demikian tak pernah terpikir. Pokoknya entahlah.”
“Ah, kamu ini bagaimana? Kamu cuma bisa bilang entahlah. Kalau begitu apa perlunya kamu datang kepadaku?”
Entahlah. Lasi memang merasa entahlah, entah yang akan dilakukannya. Suatu kali Lasi memutuskan benar-benar ingin menerima suami sepenuhnya, termasuk impotensinya. Lasi merasa keputusan itu tidak buruk. Ia akan menekan perasaan demi suami yang telah banyak memanjakannya dengan kemakmuran yang sungguh banyak. Apalagi dalam hati Lasi sudah tumbuh rasa kasihan terhadap Handarbeni. Kasihan, karena Lasi tahu Handarbeni berusaha menyenangkannya setiap hari. Juga setiap gilir malam meskipun yang ini Handarbeni lebih sering gagal. Namun keputusan demikian sulit terlaksana karena Handarbeni sendiri sering mengulang apa yang pernah dikatakan kepada Lasi, “Kamu boleh minta kepuasan kepada lelaki lain. Yang penting kamu jaga mulut dan tetap tinggal jadi istriku di rumah ini.”
Dan akhirnya menjadi kebiasaan yang terasa sangat menjijikkan. Setiap kali gagal menyenangkan Lasi, Handarbeni selalu mengulang ucapan itu. Usaha Lasi untuk menghentikannya tak dihiraukan oleh Handarbeni. Lasi protes. Lasi uring-uringan. Suatu kali Lasi bilang bahwa dia benar-benar tidak mau lagi mendengar Handarbeni menawarkan peluang nyeleweng.
“Kenapa sih, Mas Han suka bilang seperti itu?”
“Kenapa?”
“Ya, kenapa?”
“Karena aku tahu kamu masih sangat muda. Juga karena aku tidak merasa keberatan selama kamu jaga mulut dan tidak minta cerai. Jelas?”
Lasi menangis karena sangat sulit percaya bah­wa yang baru didengar betul-betul keluar dari mu­lut suaminya. Dunia yang baginya terasa begitu ganjil tiba-tiba terbentang dan Lasi dipersilakan masuk. Lasi protes lebih keras. Lasi minta pulang sementara ke Karangsoga. “Kangen sama Emak,” itu alasan yang keluar dari mulutnya. Mula-mula Handarbeni mengerutkan kening, namun kemudian tersenyum. Lasi diizinkannya berangkat.
***
Episode 40
Bekisar Merah
Hujan tampaknya belum lama berhenti ketika sore hari Lasi tiba di Karangsoga. Bersama Pak Min yang mengendarai Mercy baru, Lasi datang ke rumah orangtuanya, kali pertama setahun sejak ia menjadi istri Handarbeni. Turun dari mobil Lasi segera merasa sesuatu yang sangat berbeda; udara segar. Bau alami lumut dan pakis-pakisan yang baru tersiram hujan. Bau tanah kelahiran. Lasi merasa kedatangannya menjadi perhatian orang tetapi mereka tidak mau mendekat. Kecuali beberapa anak. Mereka mengelilingi mobil Lasi, masing-masing dengan mata membulat.
Mbok Wiryaji keluar, lari sepanjang lorong setapak karena sudah merasa pasti siapa yang datang. Bunyi langkah kaki yang menginjak tanah basah berbaur dengan letup kegembiraan. Anehnya Mbok Wiryaji berhenti beberapa langkah di depan Lasi. Ada jarak yang tak tertembus olehnya sampai Lasi mendekat dan mengulurkan tangan. Biasa, tak terkesan rasa kangen. Untung, Mbok Wiryaji lega karena setidaknya Lasi mau tersenyum dan bertanya tentang kesehatannya.
Lasi masih berdiri di samping mobil sambil memandang sekeliling, memandang Karangsoga yang kuyup. Teringat olehnya betapa sukar mengolah nira di kala hari hujan namun hasilnya tak cukup untuk sekilo beras. Namun Lasi merasa hanyut oleh kenangan masa lain ketika hidungnya mencium bau nira hampir masak. Dalam rongga matanya terlihat tengguli menggelegak dan uap yang menggumpal dan naik menembus atap. Dan putaran kenangan itu mendadak putus ketika bayangan Darsa muncul. Lasi memejamkan mata lalu bergerak menyusul Mbok Wiryaji dan Pak Min yang mendahului masuk rumah dengan barang-barang bawaan.
Lepas magrib Mukri dan istrinya datang. Juga istri San Kardi dan beberapa tetangga lain. Dan malam itu pun Lasi merasakan sesuatu yang amat berbeda: sikap Mukri dan para tetangga itu. Sangat jelas mereka mengambil jarak. Mereka lebih banyak menunggu sampai Lasi bertanya sesuatu kepada mereka. Wajah mereka, sinar mata mereka, lain. Lasi tahu istri Mukri sangat terkesan oleh gelang yang dipakainya. Hampir, Lasi membuka mulut untuk mengatakan harga gelang itu. Untung batal. Bila tidak, istri Mukri bisa amat sangat terkejut. Sebab andaikan rumah, tanah, dan pohon-pohon kelapa Mukri dijual pun takkan terkumpul uang seharga gelang kecil di tangan Lasi itu. Bahkan Pak Tir, orang terkaya di Karangsoga, kelak akan tahu dari taukenya bahwa harga seluruh harta bendanya takkan cukup untuk membeli satu mobil yang dibawa Lasi.
Tiga hari berada di rumah orangtua di kampung halaman, Lasi belum mendapat kepastian apa yang akan dilakukannya. Selama tiga hari itu Lasi hanya melangkahkan kaki seputar kampung tanpa tujuan tertentu. Selama tiga hari pula Lasi merasakan betapa sikap semua orang Karangsoga jauh berubah. Semua orang ingin memperlihatkan keakraban kepadanya dan wajah mereka cerah ketika diajak bicara. Mata mereka mengatakan, mereka menyesal dan tidak ingin lagi merendahkan Lasi seperti yang terjadi pada masa lalu. Lasi sering ingin tersenyum menikmati perubahan sikap orang-orang sekampung. Terasa ada kepuasan karena dendam yang terbayar. Namun sesering itu pula Lasi teringat ada kata-kata yang pernah diucapkan emaknya, aja dumeh, jangan suka merasa diri berlebih.
Kemarin Lasi berjalan-jalan, sekadar mengenang kembali lorong-lorong kampung yang dulu dilaluinya setiap hari. Ada rasa nikmat ketika kakinya merambah titian batang pinang. Telinganya mendengar riang-riang atau kokok ayam betina yang sedang menggiring anak-anaknya. Dan akhirnya perjalanan tanpa tujuan tertentu itu membawa Lasi ke sebuah kolam ikan milik tetangga. Ada kakus dengan dinding compang-camping di atas kolam itu dan mendadak Lasi ingin buang hajat. Entahlah, meski sudah lama menjadi istri orang kaya, Lasi belum merasa pas dengan kakus duduk mewah yang ada di rumah suaminya di Slipi. Di bawah rimbun pepohonan, dengan semilir angin yang membawa bau-bauan alami tertentu, Lasi malah merasakan puasnya buang hajat.
Malam keempat hujan lebat kembali turun di Karangsoga. Lasi kembali merasakan nikmatnya masa lalu: tidur dalam udara sejuk dengan iringan suara hujan menimpa kelebatan rumpun bambu dan pepohonan di belakang rumah. Atau bunyi anak burung bluwak yang kedinginan dan mencari induknya. Serta suara bangkong yang bergema dari lereng jurang. Namun tengah malam Lasi terbangun karena atap di atas tempat tidurnya bocor. Lasi uring-uringan dan sulit tidur lagi sampai terdengar suara beduk dari surau Eyang Mus. Aneh, dari soal atap bocor itu Lasi tanpa sengaja menemukan sesuatu yang pasti untuk dilakukannya selama berada di Karangsoga. Membangun kembali rumah orangtuanya yang memang sudah lapuk. Mengapa tidak? Pagi-pagi Lasi bangun dengan semangat baru. Pak Min disuruhnya mengirim kabar ke Jakarta karena mungkin Lasi akan tinggal lama di Karangsoga. Kemudian Lasi bertanya pada kiri-kanan apakah Pak Talab masih menjadi pemborong pekerjaan bangunan. Mukri menjawab, ya. Lasi ke sana dan Pak Talab keluar menyambut ketika melihat mobil Lasi berhenti di depan rumah. Buat kali pertama dalam hidupnya Lasi menerima keramahan pemborong itu.
Dalam sebuah pembicaraan yang singkat dan lugas, kesepakatan pun tercapai. Pak Talab akan membangun rumah Mbok Wiryaji dengan bentuk dan bahan-bahan yang sama sekali baru. Pulang dari rumah Pak Talab, Lasi mengemukakan rencana yang sudah diputuskannya sendiri kepada emaknya. Mbok Wiryaji membelalakkan mata.
“Las, kamu tidak main-main?”
“Tidak, Mak.”
“Tetapi aku tidak pernah meminta kamu melakukan hal itu. Aku tidak...”
“Sudahlah, Mak. Emak memang tidak minta. Tapi saya sendiri melihat rumah ini sudah terlalu tua. Saya sendiri yang menghendaki rumah ini dibangun kembali dan Emak tinggal tahu beres. Mak, Saya tidak ingin Mas Han kebocoran bila suatu saat kelak suamiku itu menginap di sini.”
Mulut Mbok Wiryaji tiba-tiba rasa terkunci. Ah, terasa ada kesadaran untuk mengakui betapa dirinya kini kecil, tidak banyak arti di depan kepentingan anaknya. Mbok Wiryaji tunduk dan menelan ludah. Terasa, betapa dirinya kini sudah berubah menjadi sekadar pinggiran untuk kepentingan Lasi. Ya, perasaan itu mengembang dan terus mengembang. Dia, Mbok Wiryaji, kini merasa hanya bisa jadi penonton untuk kemakmuran yang sedang dinikmati anaknya. Demikian kecil makna keberadaannya sehingga untuk membangun rumah sendiri pun Mbok Wiryaji boleh dibilang tak diajak bicara. Mbok Wiryaji menelan ludah lagi.
Dengan jaminan biaya yang lancar rumah Mbok Wiryaji selesai dalam waktu dua bulan. Dalam jangka waktu itu Lasi dua-tiga kali pulang-balik Jakarta-Karangsoga, sekali bersama Handarbeni. Orang Karangsoga sebetulnya heran mengapa suami Lasi begitu tua, layak menjadi ayahnya. Tetapi perasaan itu lenyap oleh citra bagus yang segera diperlihatkan oleh lelaki itu. Handarbeni ramah, mau berbicara dengan banyak orang, dan mau menyediakan dana untuk perbaikan beberapa jembatan kampung.
Karena kemakmuran yang terlihat dalam kehidupan Lasi, suatu saat Mukri datang.
“Las, kamu tidak ingin melihat Eyang Mus?”
“Eyang Mus? Oalah, Gusti! Aku hampir melupakan orang tua itu. Kang Mukri, bagaimana keadian Eyang Mus?”
“Dia masih sehat. Tetapi apa kamu sudah dengar Mbok Mus sudah meninggal?”
“Meninggal? Innalillahi.”
“Ya. Namun bukan itu yang ingin kukatakan padamu. Yang ingin kusampaikan kepadamu, surau Eyang Mus juga sudah tua. Kamu sudah selesai membangun rumah orangtuamu. Apa kamu tidak ingin beramal membangun surau Eyang Mus?”
Lasi diam.
“Bagaimana, Las?”
“Entahlah. Aku belum pernah memikirkannya. Aku bahkan baru teringat Eyang Mus karena kamu bercerita tentang suraunya.”
“Kalau begitu apa salahnya kamu melihat Eyang Mus.”
“Kamu benar, Kang. Aku akan pergi ke rumah Eyang Mus, kapan-kapan.”
“Kok kapan-kapan?”
“Karena aku baru teringat sekarang.”
Ternyata Lasi datang ke rumah Eyang Mus pada keesokan harinya. Benar kata Mukri, surau Eyang Mus sudah begitu tua, juga rumah Eyang Mus sendiri, sehingga Lasi merasa harus berhati-hati ketika membuka pintu depan. Eyang Mus yang sudah mendengar suara Lasi tetap duduk di kursi, hanya sedikit menegakkan kepala. Setahun tak bertemu orang tua itu, Lasi melihat Eyang Mus banyak berubah, makin kurus dan lamban. Kantong matanya menggantung dan tulang pipinya makin menonjol. Suaranya terdengar dalam. Kasihan. Dari Mukri, Lasi tahu bahwa kini Eyang Mus tinggal sendiri. Makan-minum dicatu oleh seorang anaknya yang tinggal tak jauh dari sana.
“Yang...”
“Kamu, Las?”
“Ya, Yang.”
Episode 41
Bekisar Merah
Lasi terjebak keharuan. Dan rasa bersalah, karena sudah sekian lama berada di Karangsoga namun baru sekali menengok orang tua itu. Lasi menarik kursi di samping Eyang Mus. Makin jelas kerentaannya.
“Eyang Mus masih suka menabuh gambang?” tanya Lasi sekenanya sementara matanya melihat perangkat gambang Eying Mus masih di tempat biasa.
“Tidak. Tanganku sudah sering gamang, sering kesemutan. Aku tak bisa lagi memukul gambang.”
“Yang...”
“Apa, Las?”
“King Mukri bilang, surau Eyang Mus perlu dipugar. Betul?”
Eying Mus terperanjat. Matanya yang buram dan kelabu menatap Lasi.
“Apa betul, Yang?” ulang Lasi.
“Tidak,” jawab Eying Mus mantap.
Lasi terkejut dengan jawahan yang tak terduga itu.
“Tidak? Kenapa, Yang?”
“Aku bisa mengira-ngira, Mukri memintamu membiayai pemugaran surau kita itu. Iya, kan?”
“Ya.”
“Kamu mau?”
“Ya, mau.”
“Kamu ada cukup uang?”
“Cukup, Yang.”
“Ah, tetapi tak perlu. Kukira surau kita masih baik. Artinya, masih bisa mendatangkan ketenteraman jiwa bagi siapa saja yang bersujud kepada Tuhan di sana. Surau kita masih membawa suasana yang akrab bagi orang-orang Karangsoga, masih lebih cocok dengan alam lingkungan dan kebiasaan mereka.”
“Eyang Mus tidak ingin surau kita berlantai tegel dan berdinding tembok? Surau berdinding bambu sudah ketinggalan zaman,” kata Lasi setelah agak lama terdiam.
Eyang Mus tersenyum.
“Tidak, Las. Aku malah khawatir surau yang terlalu bagus akan membuat suasana terasa asing bagi orang-orang yang biasa tinggal di rumah berdinding bambu dan tidur di atas pelupuh. Surau yang bagus mungkin bisa membuat orang-orang di sini merasa berada dalam ruangan yang tak akrab.”
Lasi diam lagi.
“Kalau begitu, bagaimana bila saya membeli pengeras suara untuk surau kita? Eyang Mus, di mana-mana orang memasang pengeras suara untuk mesjid dan surau mereka.”
“Las, itu pun tidak. Terima kasih. Mesjid balai desa sudah dipasangi corong. Setiap waktu salat suaranya terdengar sampai kemari. Bila surau kita juga dipasangi pengeras suara, nanti jadi berlebihan. Tidak, Las. Terima kasih.”
Eyang Mus diam. Terlihat kesan risi karena telah menampik kebaikan yang ditawarkan Lasi.
“Las...”
“Apa, Yang?”
“Bila benar kau ingin mendermakan uang, saat ini mungkin ada orang yang sangat memerlukannya.”
“Siapa, Yang?” kejar Lasi karena Eyang Mus lama terdiam.
“Kanjat.”
“Kanjat?” Lasi terkejut untuk kali kedua.
“Ya.”
“Anak Pak Tir perlu bantuan uang?”
“Begini. Kudengar Kanjat ingin membuat percobaan, mengolah nira secara besar-besaran. Semacam kilang gula kelapa. Ada orang bilang, dengan mengolah nira secara besar-besaran penggunaan bahan bakar bisa dihemat. Konon Kanjat akan menggunakan kompor pompa yang besar untuk mengolah nira yang dibeli dari penduduk. Namun untuk biaya percobaan-percobaan itu Kanjat tak punya cukup uang.”
“Ayahnya?”
“Kasihan anak muda itu. Pak Tir tak pernah setuju akan tetek bengek yang dilakukan anaknya. Pak Tir malah sangat kecewa karena Kanjat senang menggeluti urusan kaum penyadap yang menurut dia tak pantas dilakukan oleh seorang insinyur-dosen.”
“Nanti dulu, Yang. Kanjat akan membeli nira dari para penyadap?”
“Begitu yang kudengar. Orang bilang, bila percobaannya berhasil, para penyadap bisa langsung menjual nira, bukan hasil pengolahannya. Dengan demikian mereka punya banyak waktu untuk kegiatan lain, seperti bekerja di ladang atau kebun.”
“Jadi, jadi, para penyadap tak perlu lagi menjual gula?”
“Mestinya begitu. Atau, temuilah Kanjat. Kamu akan mendapat penjelasan langsung dari dia. Aku sendiri sebetulnya tak begitu paham. Aku hanya percaya Kanjat anak yang baik dan apa yang ingin dicobanya, aku percaya, bertujuan baik pula. Maka, bantulah dia.”
Sepi. Mata Lasi menatap datar tapi ia tak melihat sesuatu. Hanya ada Kanjat. Ya. Sesungguhnya nama itu selalu lekat di hatinya sejak Lasi berada kembali di Karangsoga. Tetapi bersembunyi di mana dia? Sudah bencikah dia? Entahlah, yang jelas sosoknya selalu tampak dalam angan-angan Lasi. Alisnya yang tebal dan sorot matanya yang tajam. Kesederhanaannya. Tak banyak omongnya. Sikapnya yang sejak dulu selalu ingin melindunginya. Dada Lasi berdebar. Ada pikiran nakal; membandingkan Handarbeni yang tua dengan Kanjat yang masih sangat muda.
Sampai tiba saat meninggalkan rumah Eyang Mus, Lasi tak memberi kesanggupan apa pun menyangkut rencana percobaan yang dilakukan Kanjat. Namun sampai di rumah orangtuanya Lasi segera memanggil istri Mukri. Lasi ingin tahu hari-hari Kanjat bisa ditemui di Karangsoga. Istri Mukri menjelaskannya dengan semangat dan terperinci bahkan dengan tambahan macam-macam.
Tambahan itu misalnya, kini ada seorang gadis, Hermiati, lengket dengan Kanjat. Hermiati selalu memakai celana panjang biru, ketat, rambutnya sebahu dan bila mengendarai sepeda motor gaya­nya seperti anak lelaki.
“Cantik? Apa dia... eh, siapa dia tadi?”
“Hermiati.”
“Hermiati. Dia cantik?”
“Soal cantik, dia kalah sama kamu.”
“Ah!”
“Betul. Lagi pula dia hanya naik sepeda motor dan kamu naik mobil.”
“Tetapi dia lengket, kan?”
“Ya. Apalagi bila mereka naik satu sepeda mo­tor. Lengket betul. Eh, Las, nanti dulu. Sejak tadi kamu belum mengatakan buat apa kamu mau ber­temu Kanjat.”
Wajah Lasi mendadak terasa hangat. Dia pun tidak sepenuhnya berhasil menyembunyikan keter­kejutannya. Namun Lasi segera bisa mengatasi ke­adaan.
“Aku dengar dari Eyang Mus, Kanjat punya rencana ini-itu tetapi tak cukup biaya. Eyang Mus meminta aku membantu Kanjat. Jadi aku ingin bertemu dia.”
Jawaban Lasi memuaskan istri Mukri yang juga tidak tahu bahwa selama berada di Karangsoga, sebenarnya Lasi merasa penasaran karena sekali pun belum pernah bertemu Kanjat. Padahal istri Mukri bilang, hampir setiap Sabtu siang Kanjat pulang ke Karangsoga, kadang sendiri, kadang de­ngan beberapa teman.
Adalah Pardi, suatu pagi terlihat sedang berbincang-bincang dengan Pak Min di gang depan ru­mah Mbok Wiryaji. Pardi tampak sedang mena­nyakan sesuatu temang mobil bagus yang dipegang Pak Min. Lasi memanggilnya dan Pardi datang dengan gayanya yang khas. Rokok terus mengepul di mulutnya. Langkahnya ringan dan bibirnya ce­ngar-cengir. Begitu duduk di kursi baru kata-kata­nya langsung membuat Lasi terpojok.
“Ah, Nyonya Besar, ternyata kamu masih ingat padaku.”
“Jangan gitu, Di. Aku tak pernah lupa, kalau bukan karena kamu, aku takkan sampai ke Jakarta.”
“Kalau begitu, bagi-bagilah kemakmuranmu.”
“Sungguh? Kamu mau beli rokok?”
“Tidak. Aku hanya berolok-olok.”
“Nggak kirim gula ke Jakarta?”
“Aku malah baru pulang tadi pagi.”
“Masih dengan Sapon?”
“Masih. Tetapi sekarang anak majikanku tak pernah lagi ikut aku naik truk gula. Kenapa ya, Las?”
“Maksudmu Kanjat?”
“Ah, siapa lagi?”
“Kenapa kamu tanyakan itu kepadaku?”
“Kenapa, ya?”
Wajah Lasi merah. Lasi tak pernah lupa, Pardi adalah satu-satunya orang yang tahu apa-apa ten­tang dirinya dengan Kanjat. Dada Lasi berdebar. Lidahnya jadi sulit untuk berkata-kata. Pardi cengar-cengir, senang melihat Lasi tergagap. Atau senang menikmati kecantikan Lasi, terutama pada keindahan seputar matanya.
“Di, aku ingin ketemu dia. Tolong, ya. Kamu tahu caranya?”
Pardi tertawa. Rokok hampir jatuh dari mulutnya. Lasi merajuk.
“Las, dunia memang aneh, ya. Dulu, dia yang ngotot ingin bertemu kamu. Sekarang kamu yang merengek ingin ketemu dia. Dan, ini yang hebat: kamu lupa sudah punya suami? Mau apa lagi, toh kamu sudah demikian makmur?”
“Lho, Di. Aku hanya ingin ketemu anak majikanmu itu. Aneh?”
Pardi tertawa lagi. Jelas, ia meremehkan alasan yang baru didengarnya. Lasi tersipu.
“Jangan seperti anak kecil, Las. Hanya mau bertemu pacar kamu minta bantuan?”
“Pacar? Brengsek. Aka cuma minta tolong sampaikan pesan kepada Kanjat, aku ingin bertemu dia. Itu saja.”
“Sungguh?”
Mata Pardi menyala ketika melihat pipi Lasi merona. Lasi menunduk. Senyumnya janggal tapi bernas.
“Jadi benar, kan, kamu ingin bertemu pacar? Awas, bisa kulaporkan kepada suamimu.”
“Sudahlah, Di, aku tidak main-main.”
“Baik, baik. Ah, ternyata memang benar, yang namanya pacar sukar dilupakan.”
Pardi meninggalkan rumah Mbok Wiryaji sambil menggeleng-gelengkan kepala dan senyum yang tak mudah hilang. Lasi yang sudah makmur dan makin cantik masih ingin bertemu Kanjat? Mungkin, untuk memberinya bantuan keuangan. Tetapi mata Lasi sendiri banyak memberi aba-aba, keinginannya bertemu Kanjat bukan sekadar masalah bantuan uang. Pardi menggeleng lagi. Asap rokok makin mengepul dari mulutnya.
Episode 42
Bekisar Merah
Sebelum pertemuan dengan Kanjat benar-benar terlaksana, Lasi sudah membayangkannya dalam angan-angan yang manis. Kanjat menyusul Ke Jakarta dan menemuinya di sebuah tempat yang sangat pribadi. Lasi berterus terang bahwa sejak semula dirinya terbawa arus yang tak bisa dimengerti dan perkawinannya dengan Handarbeni pun seperti terjadi di luar dirinya.
“Jat, kamu mau menolongku, bukan?”
Kanjat menatapnya dengan sorot mata penuh keraguan.
“Menolong bagaimana? Kamu kan sudah jadi istri orang?”
“Jat, mungkin perkawinanku tidak akan lama. Mungkin aku akan minta cerai. Aku akan kembali jadi janda.”
“Ya?”
“Kamu mau brayan urip-bersamaku, Jat?”
“Brayan urip? Kawin?”
“Ya. Ah, tetapi sebenarnya aku malu. Sebenarnya aku harus tahu diri karena aku janda. Malah dua kali janda. Aku juga lebih tua. Tetapi, Jat, bagaimana ya? Dan kata Bu Lanting, aku cantik. Benar, Jat, aku cantik?”
Kanjat tertegun.
“Ya, Las. Sejak bocah kamu sudah cantik.”
“Betul?”
Kanjat mengangguk dan senyumnya nakal.
Dan Lasi kaget sendiri. Sadar dari lamunannya, Lasi tersenyum pahit karena tak seorang pun berada di dekatnya, tidak pula Kanjat. Lalu, pada pertemuan scbenarnya keesokan harinya, Lasi mula-mula tak mudah omong. Mula-mula Lasi lebih sering menatap Kanjat dengan perasaan tak menentu. Ada harap, ada segan dan malu. Ketenangan yang diperlihatkan Kanjat malah membuat Lasi merasa kecil. Anehnya, dada Lasi selalu berdebar bila mata Kanjat menyambarnya. Telapak tangannya berkeringat.
“Kamu memanggilku, Las?” tanya Kanjat setelah mengambil tempat duduk.
“Aku ingin bertemu kamu. Terima kasih, kamu mau datang. Ke mana saja kamu selama ini?”
“Aku pun sebenarnya ingin bertemu kamu. Tapi entahlah.”
“Jat, kamu menghindar?”
“Tidak juga.”
“Kukira, ya!”
“Sudahlah. Sekarang, apa yang ingin kamu katakan kepadaku? Pardi hilang kamu mau membantuku?”
“Jat...”
“Ya?”
“Kemarin aku memang ingin bicara dengan kamu soal bantuan yang mungkin bisa kuberikan kepadamu. Tetapi hal ini, nanti saja.”
“Ya. Lalu?”
“Aku tak tahu. Ah, Jat. Mengapa kamu hanya seperti itu? Apa itu hanya alasan karena sebenarnya kamu tak mau duduk sebentar bersamaku?”
Kanjat diam dan merasa terpojok di jalan buntu. Ada riak menggetarkan jantungnya ketika dengan kekuatan matanya, Lasi menuntut sesuatu, entah apa.
“Jat, aku mau cerita. Kamu mau mendengarnya, bukan?”
“Ya, mau. Ceritalah yang banyak.”
Lasi terlihat beherapa kali menelan ludah.
“Jat, kamu tahu aku sudah punya suami lagi. Iya, kan?”
“Tentu, Las. Sennua orang tahu kamu sudah kawin lagi.”
“Tetapi apa kamu tahu bahwa aku cuma, anu... aku cuma, anu... cuma kawin-kawinan?”
Sepi. Kanjat menatap Lasi yang tiba-tiba menunduk.
“Kawin-kawinan? Maksudmu?”
“Kawin-kawinan, kamu tak tahu? Artinya, main-main. Tahu?”
Kanjat mengerutkan kening. Intuisinya bekerja keras untuk memahami kata-kata Lasi. Ya. Kanjat bukan anak kemarin sore. Ia sarjana. Tak terlalu sulit bagi Kanja memahami maksud Lasi. Mungkin tidak seratus persen tepat. Namun sepanjang menyangkut keluhan seorang istri terhadap perkawinan sendiri, Kanjat sudah tahu pasti ke mana muaranya. Kanjat mendesah.
“Jat, kamu sudah tahu, bukan?”
“Ya.”
“Nah, aku puas karena kamu sudah tahu perkawinanku cuma kawin-kawinan. Sekarang, ganti soal. Eyang Mus bilang kamu punya rencana yang perlu biaya. Jat, mungkin aku bisa membantumu.”
Kanjat teNenyum dan mengangguk-angguk. Tetapi dari senyum Kanjat itu Lasi melihat ketidakpastian. Apalagi Lasi melihat Kanjat menggeleng dan menggeleng lagi seperti memendam kebuntuan.
“Bagaimana, Jat?”
“Wah, terima kasih atas tawaranmu. Tetapi rencana itu ternyata sulit kami laksanakan.”
“Maksudmu?”
Kanjat diam lagi. Tak mudah baginya menerangkan hasil sebuah penelitian ilmiah kepada orang seperti Lasi yang meski sudah jadi orang kaya, pendidikannya hanya tamat sekolah dasar. Namun Kanjat mencobanya juga.
“Dalam penelitian ulang kami menemukan, pengolahan nira secara masal dengan tungku modern yang kami rencanakan ternyata akan menghadapi banyak kesulitan. Dari penyadap tak akan mau menjual nira karena hal semacam itu baru bagi mereka. Para penyadap masih sangat sulit menerima perubahan. Juga, penghasilan mereka jadi berkurang meskipun mereka memperoleh waktu luang untuk melakukan kegiatan lain. Mereka tak punya keterampilan lain untuk mengisi waktu luang itu. Jadi bagi para penyadap, mengolah nira adalah satu-satunya kegiatan produktif. Sayangnya kegiatan itu baru membawa keuntungan bagi mereka apabila bahan bakar diperoleh secara cuma-cuma. Dengan kata lain, lingkungan, terutama hutan di sekitar Karangsoga, yang harus menerima beban biaya bahan bakar itu.”
“Lalu?”
“Las, lebih dari satu tahun aku dan beberapa teman mencoba berbuat sesuatu bagi para penyadap di sini. Tetapi hasilnya boleh dibilang nihil. Kami hanya berhasil memperkenalkan bahan kimia pengawet nira serta bahan untuk membantu mengeraskan gula. Kami juga membuat tungku hemat kayu api. Tetapi sudah kubilang, para penyadap tidak mudah menerima perubahan. Maka hanya ada beberapa penyadap yang mau menggunakan tungku buatan kami.”
Kanjat kelihatan getir. Tetapi senyumnya selalu membuat Lasi berdebar dan tertunduk.
“Jadi gagal, Jat?”
“Kukira, ya. Tetapi bagaimanapun aku sudah mencobanya. Juga aku menjadi sadar bahwa permasalahan para penyadap di sini memang besar dan rumit sehingga tak bisa diselesaikan dengan cara kecil-kecilan. Segi-segi pandang seperti kebiasaan, taraf pengetahuan, dan juga budaya terlibat di dalamnya. Dari luar, para penyadap menghadapi tata niaga gula yang demikian senjang dan tidak adil, namun sudah berhasil menciptakan ketergantungan yang demikian mendalam. Jadi hanya dengan usaha besar-besaran, terencana dengan baik, serta ada kebijaksanaan politik dan dana yang banyak, taraf hidup para penyadap dapat diperbaiki. Las, kami tak punya kekuatan seperti itu. Las?”
“Ya. Eh, apa tadi? Kamu ngomong apa tadi? Para penyadap tergantung-gantung?”
Kanjat tertawa dan yakin sampai demikian jauh Lasi tidak mendengarkan kata-katanya. Tidak mendengarkan, atau Lasi tak mampu mengikuti jalan pikiran seorang insinyur. Suasana jadi lucu. Lasi akhirnya juga tersenyum. Kanjat ingin tidak memandang lekuk pipi yang sangat indah itu, mata spesifik yang sangat menawan itu, tapi tak bisa. Dan makin dipandang, denyut dalam dada Kanjat makin seru. Lasi yang merasa sedang ditatap, membalasnya dengan senyum setengah jadi. Kanjat menarik napas panjang dan menyandar ke belakang.
“Las, persoalan kaum penyadap malah makin bertambah rumit. Kamu melihat pancang-pancang merah di pinggir jalan dan lorong-lorong?”
“Ya, ya. Aku melihatnya. Pancang apa itu?”
“Listrik, Las. Sebentar lagi Karangsoga dialiri listrik.”
“Ya, aku pun sudah mendengarnya. Wah! Hebat, aku akan minta Pak Talab memasang listrik di rumah ini.”
“Ya. Demi Tuhan, kita bersyukur karena listrik akan masuk ke Karangsoga. Dengan listrik orang Karangsoga bisa mendapat banyak kemudahan. Masalahnya, Las, lagi-lagi kaum penyadap itu. Banyak pohon kelapa tumbuh berbaris sepanjang tepi jalan dan lorong kampung ini. Pohon-pohon kelapa seperti itu harus ditebang karena kawat listrik direncanakan lewat di sana.”
“Ditebangi? Oh, ya. Aku baru sadar sekarang. Kawat listrik akan menjalar ke mana-mana. Banyak pohon kelapa akan dirobohkan.”
“Ya. Banyak penyadap datang kepadaku karena mereka harus merelakan pohon-pohon kelapa sumber penghidupan mereka dirobohkan tanpa uang pengganti. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan kamu masih ingat Darsa?”
“Ah, ya. Kenapa Kang Darsa?”
“Bekas suamimu itu hanya punya dua belas batang kelapa, sepuluh di antaranya tumbuh sejajar di tepi lorong.”
“Sepuluh itu yang akan dirobohkan?”
“Ya. Kemarin dia datang kepadaku, dia sudah kubilang, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ketika kudatangi, Lurah pun tak bisa berbuat apa-apa.”
“Kasihan Kang Darsa.”
“Padahal bukan hanya Darsa. Dan di desa lain yang sudah lebih dulu dimasuki listrik, beberepa penyadap malah berjatuhan setelah tersengat setrum.”
“Gusti. Sengatan listrik?”
“Ya. Karena tahu tak akan mendapat uang pengganti, mereka enggan menebang batang kelapa yang ada dekat jalur kawat. Apalagi kebanyakan penyadap memang tidak punya sumber penghasilan lain. Bila tak ada angin atau hujan, mereka memang aman. Namun bila ada goyangan yang membuat pelepah-pelepah itu menyentuh kawat, semuanya menjadi lain.”
Episode 43
Bekisar Merah
Lasi menunduk dan mengerutkan kening. Kanjat terpesona. Ia selalu sadar dirinya wajib berusaha tidak menatap Lasi, tetapi selalu pula gagal. Ada getaran mengimbas aliran darah setiap kali matanya menangkap keindahan di hadapannya.
“Jadi, jadi, Kang Darsa juga akan disengat listrik?”
“Tidak, karena pohon-pohon kelapa Darsa malah harus ditebang. Harus, karena jalur kawat akan lewat tepat di sana.”
“Lalu?”
“Kudengar Darsa diminta pindah ke Kalimantan. Tetapi bekas suamimu itu tidak bersedia berangkat karena dia hanya bisa menyadap nira. Orang bilang, di tempat yang baru tidak tersedia pohon kelapa yang bisa digarap Darsa.”
“Jadi? Jadi?”
Kanjat menggeleng. Ia kelihatan kehilangan semangat membicarakan persoalan kaum penyadap. Pada wajahnya tergambar kebuntuan. Tetapi tiba-tiba Kanjat menegakkan punggung. Kanjat seperti menemukan sesuatu yang penting.
“Las, malah kudengar penebangan pohon-pohon kelapa yang terkena jalur listrik akan dimulai di sini besok pagi. Kamu ingin melihat?”
“Pohon kelapa Kang Darsa bagaimana? Juga ditebang besok?”
“Ya, besok. Sebenarnya aku tak tega melihat mereka kehilangan sumber mata pencarian. Namun entahlah, rasanya aku pun ingin tinggal sampai besok. Sekarang kukira cukup, aku minta permisi.”
“Jat!”
Kanjat urung bangkit. Ia melihat Lasi menatapnya sejenak, lalu menunduk.
“Jat, kamu tak ingin tinggal lebih lama?”
“Masih ada yang ingin kamu bicarakan?”
“Tidak. Cuma ngobrol saja. Mau, kan?”
Kanjat mengangkat alis dan tersenyum tawar.
“Kalau hanya ngobrol, kukira sudah cukup. Permisi, Las...”
“Sebentar, Jat. Kudengar kamu sudah punya pacar. Betul?”
Kanjat kaget, tetapi kemudian ia tertawa. Ia teringat pada Hermiati; hitam manis, mandiri, dan lugas. Hermi adalah teman yang menyenangkan. Di fakultas, ia adalah mahasiswinya yang pintar. Namun Kanjat tidak merasa dia sudah menjadi pacarnya.
“Betul, kan?”
“Tidak. Sudah lama aku tidak memikirkan soal itu.”
“Maksudmu?”
“Ya, aku sudah lama tak ingin pacaran.”
“Itu aku sudah dengar. Yang kumaksud, mengapa kamu begitu?”
Kanjat gelisah. Senyumnya muncul tetapi tawar dan kaku.
“Kamu tak marah bila aku tak mau berkata lebih banyak?”
“Aku marah.”
“Kamu tak suka aku menyimpan perasaan pribadi?”
“Pokoknya aku marah,” Lasi merajuk. Kanjat merasa jadi serba salah.
“Baiklah, Las. Aku berterus terang, tetapi hanya untuk kamu. Sejak aku merasa tak beruntung, aku jadi malas berpikir tentang pacaran. Dulu, kamu adalah istri Darsa. Sekarang kamu adalah istri orang lain lagi. Aku memang tak beruntung.”
“Jadi, jadi, akulah penyebabnya?” tanya Lasi tanpa mengangkat muka. Mendadak pipi Lasi memerah dan bibirnya bergetar.
Kanjat diam. Ia hanya menarik napas panjang.
“Jat, kamu mau memaafkan aku, kan?”
“Kamu tak bersalah apa pun. Betul, Las, kamu tak punya salah sedikit pun kepadaku.”
“Tetapi karena aku, kamu tak mau pacaran lagi, kan?”
“Ya. Tetapi hal itu semata-mata urusan pribadiku.”
“Jat, aku sudah berterus terang mengatakan bahwa perkawinanku cuma main-mainan. Itu pengakuanku yang sangat jujur. Sekarang boleh kan, aku minta kejujuranmu pula?”
“Maksudmu?”
“Begini, Jat, cepat atau lambat, perkawinanku akan bubar lagi. Itu pasti. Jat, aku akan kembali jadi janda. Itu pasti...”
Lasi tak bisa meneruskan kata-katanya. Tangannya sibuk menghapus air mata. Kanjat kembali menarik napas panjang. Ia bahkan menopang dagu dengan tangan kirinya setelah Lasi, dengan nada yang sangat datar dan terputus-putus, menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya.
“Sudah kubilang, perkawinanku terasa sangat aneh. Ganjil. Maka siapa pun yang masih punya pikiran wajar tak mungkin tahan tinggal dalam perkawinan seperti itu.”
Lasi bicara dan terus bicara. Tentang Bu Lanting yang menawarkan cara berahi bebas pun keluar juga dari mulut Lasi. Kanjat mendengarkannya dengan dahi berkerut dan alis yang merapat. Ah, Kanjat jadi tahu, di balik kemakmuran yang dari luar tampak sangat megah, Lasi menanggung beban yang tak kepalang justru karena ia masih ingin dikatakan punya pikiran wajar.
“Jat, bila aku mau jadi orang nggak bener, sangat gampang. Aku boleh dibilang punya semua kemudahan untuk melakukan hal itu. Bahkan sudah kubilang, suamiku pun mengizinkannya. Tetapi, Jat, aku masih eling. Masalahnya, kalau tak ada orang bener yang mau membawaku keluar dari persoalan ini, sampai kapankah aku bisa bertahan eling? Jelasnya, bila aku sudah jadi janda lagi nanti, apa yang mungkin akan terjadi pada diriku? Jat, kamu bisa mengatakannya?”
Kanjat meluruskan punggung dan menyandar ke belakang. Mengusap wajah dengan tangan kirinya, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Ada yang terasa gawat dan canggih. Terasa ada keterpanggilan yang samar-samar mulai hadir mendekat. Tetapi Kanjat juga merasa objek keterpanggilan itu berada dalam sebuah kandang khayali dan Kanjat takkan begitu mudah memasukinya. Dan Kanjat mendengar Lasi mengisak.
“Jat, aku menyesal. Seharusnya aku tidak mengatakan semua ini kepadamu. Aku malu.”
Kanjat malah makin merasa tak enak. Makin terpanggil. Tetapi ia belum juga bisa membuka mulut. Ketika akhirnya Kanjat menemukan kata untuk diucapkan, suaranya terdengar parau.
“Las, kamu tak perlu menyesal. Kamu tak salah mengatakan semua itu kepadaku.”
“Tak salah? Jadi aku tak salah?”
“Ya.”
“Kalau begitu kamu betul-betul tahu perasaanku?”
“Ya, aku tahu.”
“Tahu?”
Kanjat mengangguk dan tersenyum. Anggukan itu, entah mengapa, sangat berkesan di hati Lasi yang kemudian melepas napas panjang. Lega. Entahlah, Lasi merasa lega. Senyumnya mengembang dan rasanya diberikan secara khusus buat Kanjat.
“Nah, aku permisi. Sudah cukup, kan?”
Lasi mengangguk. Matanya bercahaya. Senyumnya renyah lagi.
Kali ini Kanjat benar-benar bangkit, dijabatnya tangan Lasi sambil tersenyum. Kanjat merasa telapak tangan Lasi berkeringat dan agak bergetar. Sekilas terlihat kemanjaan, namun Lasi kelihatan berusaha melawannya. Kanjat berangkat tanpa menoleh ke kiri-kanan. Lasi mengantarnya sampai ke pintu dan berdiri di sana. Matanya menerawang. Terasa ada sesuatu yang tertinggal dan masih menggumpal dalam hati. Ada hasrat yang tetap mengendap. Tetapi Kanjat sudah jauh. Bahkan tak tampak lagi sosoknya.
***
Episode 44
Bekisar Merah
Pagi ini Darsa bangun lebih awal setelah semalaman hampir tak bisa tidur. Pagi ini Darsa tak pergi menyadap nira karena sepuluh dari dua belas pohon miliknya akan dirobohkan. Jongkok di emper rumahnya, Darsa merenung dan merenung, mengapa hidupnya selalu susah. Belum lagi hati benar-benar terhibur akibat terpaksa berpisah dengan Lasi lebih dari setahun yang lalu, kini dia akan kehilangan satu-satunya sumber mata pencarian. Ada niat pergi ke rumah Eyang Mus untuk bertanya, mengapa orang bisa demikian menderita bukan oleh kesalahan sendiri? Dulu ketika Darsa menderita karena harus bercerai dengan Lasi, Eyang Mus bilang, itulah wohing pakarti. “Sekarang, ketika aku harus kehilangan sepuluh batang kelapa, siapa yang salah? Apa ini yang dibilang orang nasib? Kalau ya, adilkah itu?”
Darsa pusing. Darsa lumpuh. Ia tak kuasa menjawab pertanyaan yang muncul dalam hati sendiri. Maka dalam puncak kelumpuhannya Darsa hanya bisa tertawa getir untuk mencoba berdamai dengan nasib buruk dan memaksa dirinya percaya bahwa orang, terutama orang kecil seperti dirinya, paling-paling hanya bisa nrima pandum.
Dalam bulan-bulan terakhir sebenarnya hidup Darsa mulai terasa menyenangkan. Darsa mulai berhasil meredam rasa tak puas terhadap Sipah, istrinya, yang pincang dan terpaksa dinikahinya. Sipah sudah memberinya seorang bayi yang lucu dan putih, dan inilah keunggulan istrinya yang pincang itu dibanding dengan Lasi. Bagi Darsa, seorang bayi adalah bukti kelelakian, bahkan bukti keberadaan. Bayi itu selalu bangun menjelang fajar dan ocehannya polos dan sangat menawan. Dengan seorang bayi di rumah, hidup Darsa tcrasa mapan dan gamblang. Bahwa Sipah tetap pincang, tak lagi jadi persoalan yang terlalu mengganjal hatinya.
Darsa juga menemukan kenyataan yang dulu tak pernah terbayangkan. Mempunyai istri pincang, memang, berarti malas mengajaknya ke kondangan. Namun sebaliknya, Darsa tak pernah merasa khawatir meninggalkan Sipah seorang diri, malam hari sekalipun, misalnya bila Darsa ingin suntuk nonton wayang. Bahkan akhirnya Darsa percaya kata orang bahwa istri bisa banyak, namun jodoh pastilah hanya seorang, dan yang seorang itu bagi Darsa adalah si pincang Sipah. Dan Darsa jadi lebih percaya bahwa Gusti Allah memang adil. Sebab ternyata, dengan sikap nrima pandum, seorang istri pincang pun bisa memberi kesejukan. Perasaan semacam itu tak pernah didapatnya ketika Darsa mempunyai istri Lasi yang nirmala dan cantik.
Tetapi pagi ini ketenangan hidup ying sedang berseri itu harus pupus. Ketika matahari mulai naik, para pekerja yang akan merobohkan pohon-pohon kelapa yang kena jalur listrik mulai berdatangan. Mereka adalah orang-orang muda yang baru sekali muncul di Karangsoga. Mereka dingin, tak mau tahu akan kepedihan hati para penyadap yang akan kehilangan pohon-pohon kelapa. Dengan gergaji mesin mereka mulai bekerja; mekanis, lugas, bahkan pongah.
Dalam kebisingan suara chain saw mereka terus bekerja. Tak sampai dua menit sebatang kelapa akan roboh. Anak-anak yang belum tahu kepedihan orangtua mereka, bersorak-sorak setiap ada batang kelapa roboh ke bumi. Anak-anak itu baru sekali melihat gergaji mesin dan di mata mereka perkakas masinal itu sangat hebat.
Karena suara mesin gergaji yang terus meraung-raung, makin banyak orang keluar dan berkerumun menyaksikan penebangan pohon-pohon kelapa itu. Tetapi mereka diam. Wajah mereka adalah gambaran kepasrahan. Atau ketidakberdayaan. Kanjat yang berada di antara mereka juga diam. Hanya ada tarikan-tarikan napas panjang. Lasi yang selalu berdiri di dekat Kanjat juga diam. Orang-orang itu bergerak mengikuti perjalanan para penebang. Dan mereka mempunyai perasaan sama; peristiwa paling mengesankan akan terjadi di pekarangan Darsa karena penyadap itu akan kehilangan hampir semua pohon kelapanya. Maka mereka pun bergerak bersama-sama ke sana.
Darsa sudah berada di sana, jongkok seorang diri di atas tanah yang agak tinggi dan matanya menatap batang-batang keiapa yang setiap hari disadapnya dan sebentar lagi akan tumbang. Darsa melihat Giman, anaknya yang masih bayi, melompat-lompat seperti cecak terbang yang meluncur dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya. Darsa juga melihat pongkor-pongkor, tungku, kawah pengolah nira, dan arit penyadap. Terakhir, Darsa melihat dirinya sendiri melayang dari ketinggian pohon kelapa, terus melayang masuk ke dalam jurang yang sangat dalam. Dan Darsa baru tersadar ketika suara gergaji mesin yang makin mendekat terasa menggorok di jantung dengan getaran yang mengoyak jiwa. Urat rahang Darsa menggumpal. Sekilas muncul murka pada wajahnya. Sekejap kemudian muncul gambaran rasa tidak berdaya.
Mukri mendekati Darsa, mengucapkan sesuatu, tatapi Darsa tidak memberi tanggapan apa pun. Mukri juga kehilangan tiga pohon kelapanya. Namun miliknya yang tersisa masih ada dua puluh dua batang. Mukri ingin menghibur Darsa tetapi Darsa tidak bergeming. Mata Darsa terbuka mati sebagai mata bambu, tak berkedip, dan hampa. Dan wajah Darsa mendadak pasi ketika mata gergaji mesin menyentuh batang kelapa pertamanya. Mesin mendesing makin keras dan pohon kelapa itu bergetar, perlahan condong, lalu roboh menyentak tanah. Semak dan perdu ikut poranda. Serangga-serangga kecil terbang berhamburan.
“Darsa, kita memang tak bisa lain kecuali pasrah. Maksudku, daripida bersedih dan terus kecewa tetapi pohon-pohon itu tetap tumbang, lebih baik kita terima dan mengalah.”
Darsa tetap tak bergeming, dan satu lagi pohon kelapanya roboh. Sebuah pongkor terlempar dan isinya terburai membasahi tanah tak jauh dari tempat Darsa berada. Darsa seperti melihat mayat anak-istrinya terbujur di bumi.
Mukri menepuk pundak Darsa. “Sungguh, Darsa. Percuma menyesali atau menolak kuasa yang kita tak mungkin menampiknya. Kukira, lebih baik kamu mencoba hidup dari dua batang pohon kelapamu yang tersisa.”
Pohon yang ketiga bergetar, bergoyang, kemudian melayang rebah dalam tatapan mata Darsa. Berdebum ke bumi dan entakannya mengguncang dadanya.
Pendar-pendar yang sangat menyakitkan pecah dalam hati Darsa. Giman melompat-lompat di antara pohon-pohon kelapa yang masih tegak. Tetapi bayi itu mulai menangis. Darsa hampir ikut menangis.
Pohon keempat, kelima, keenam, dan seterusnya pun bertumbangan. Dengan sepuluh batang kelapa yang malang melintang, pekarangan Darsa porak-poranda seperti habis diamuk badai. Dalam jongkoknya, Darsa bergoyang. Mukri memegang pundaknya karena mengira Darsa hampir jatuh. Keliru, karena Darsa malah bangkit tepat ketika pohon yang kesepuluh habis dimakan gergaji. Dengan langkah tanpa tenaga Darsa berjalan pulang. Kanjat mengikutinya dengan pandangan mata. Darsa terus melangkah, menapak jalan yang menanjak, meninggalkan hiruk-pikuk suara pohon yang bertumbangan dan suara gergaji mesin yang terus mendesing. Tubuh Darsa akhirnya lenyap di ujung tanjakan. Pada saat yang sama Kanjat tertunduk dan mendesah.
“Aku mau pergi ke rumah Kang Darsa. Kamu mau ikut, Jat?” suara Lasi tiba-tiba menyentak kesadaran Kanjat.
“Aku mau ke rumah Kang Darsa. Ikut?”
Kanjat diam. Tetapi ia menurut ketika Lasi menarik tangannya. Mereka mengikuti jalan yang ditempuh Darsa belum lama berselang. Mereka berjalan menunduk dan membisu.
Dalam perjalanan itu Kanjat dan Lasi sudah membayangkan akan menemukan Darsa duduk dengan mata hampa karena boleh dibilang dia telah kehilangan segalanya. Tetapi sampai di halaman rumah Darsa mereka berhenti dan saling memandang. Mereka melihat Darsa sedang duduk sambil merokok. Wajahnya cair, tanpa beban. Suaranya pun bening ketika Darsa menyambut kedatangan Kanjat dan Lasi. Sipah berdiri di samping Darsa sambil membopong bayinya. Tetapi Sipah segera mundur terpincang-pincang ketika melihat Lasi dan Kanjat datang. Lasi berhadap-hadapan dengan Darsa, bekas suaminya. Mata Lasi basah. Darsa menunduk. Lasi melihat pongkor-pongkor teronggok di emper samping, diam dan kosong. Bahkan dari tempat ia berdiri Lasi melihat tungku pengolah nira, dingin dan mati. Dinding anyaman bambu itu rapuh dan tembus pandang. Suasana terasa gamang meskipun Kanjat, Lasi, dan Darsa sama berusaha tersenyum. Mereka kelihatan menunggu siapa yang akan mulai bicara.
“Ah, kalian datang ke rumah buruk ini. Terima kasih, tetapi kami tak punya kursi,” kata Darsa akhirnya. “Ada perlu?”
“Tidak, Kang,” jawab Kanjat dan Lasi hampir bersamaan.
“Hanya ingin bertemu Kang Darsa,” kata Lasi.
“Bukan ingin ikut-ikutan memintaku boyong ke Kalimantan karena aku sudah tak punya pohon kelapa lagi?”
“Tidak.”
“Syukurlah. Lebih baik kalian seperti Mukri, menyuruhku bersabar dan pasrah. Ya. Mukri benar. Kalau bukan pasrah, lalu mau apa? Coba, mau apa?”
Darsa tersenyum. Lalu diisapnya rokok buatannya sendiri dalam-dalam dan diembuskarmya asapnya dalam tiupan yang lepas. Lepas. Terlihat bayangan rasa lega pada wajah Darsa. Tetapi Kanjat membatu. Terasa sebuah ironi besar mendadak menindih hatinya.
“Atau seperti Eyang Mus,” sambung Darsa.
“Eyang Mus bilang, pohon-pohon kelapaku dirobohkan orang karena sudah menjadi suratan. Sudah menjadi nasib. Terimalah nasibmu dengan hati lapang, itu kata Eyang Mus. Ya, memang betul. Andaikan tidak mau menerima apa yang tak bisa kutampik, lalu aku bisa berbuat apa? Coba, seorang penyadap seperti aku ini mau apa? Mbalelo?”
Episode 45
Bekisar Merah
Darsa tersenyum lagi. Malah terkekeh. Kanjat makin membeku. Pengakuan Darsa dan kepolosannya menerima kenyataan pahit menjadikan beban terasa makin mengimpit jiwanya.
“Tetapi pohon kelapamu hanya tinggal dua batang. Mau diapakan, Kang?” tanya Lasi.
“Lho, aku masih seorang penyadap. Aku masih akan menyadap nira meskipun hanya dua batang kelapa yang kumiliki.”
Kanjat menelan ludah.
“Ketika menyadap dua belas pohon, aku mendapat tiga kilo gula. Dengan dua pohon aku akan mendapat hanya setengah kilo. Lho, apa tumon? Di mana di dunia ini ada penyadap yang hanya menyadap dua pohon kelapa?”
Tawa Darsa meledak. Kanjat dan Lasi terpaku karena keduanya tahu, setengah kilo gula tak lebih berharga daripada setengah kilo beras.
“Ah, mungkin aku juga mau jual kayu bakar,” ujar Darsa masih dalam suara ringan.
“Sekarang penjagaan hutan makin keras, Kang. Kamu bisa ditangkap mandor. Kamu bisa dihukum.”
“Lha, kalau suratan mengatakan demikian, aku mau apa? Hayo, aku mau apa? Pula, apa lagi yang bisa aku makan kecuali nunut urip, numpang hidup, pada hasil hutan? Dan kalau jalan ini akan menyebabkan aku ditangkap mandor, ya aku bisa apa selain pasrah?”
Darsa tertawa. Kanjat menunduk dan tersenyum, senyum paling pahit yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya. Pengakuan Darsa terdengar dan terasa sebagai telunjuk api yang menuding akan adanya jaringan tangan gurita yang mengisap Darsa dan puluhan ribu penderes seperti dia. Tangan gurita itu demikian tangguh dan melembaga sehingga seorang lemah dan tertindas seperti Darsa hanya bisa bilang, ini sudah nasib. Kalau tidak menerima kepahitan ini lalu mau apa? Coba, mau apa?
Apabila Kanjat hanya membeku dan membiarkan amok berkobar dalam hati, Lasi lain. Lasi mendengar tawa Darsa sebagai rintihan paling memilukan yang tak mungkin keluar kecuali lewat guyu-tangis, tawa yang membungkus tangis. Maka Lasi pun sibuk menghapus air mata. Lalu tiba-tiba Lasi merasa ada kekuatan yang mendorong kedua kakinya tegak dan melangkah. Lasi masuk ke dalam rumah kecil yang kusam itu dan menemukan Sipah sedang duduk dan terisak. Sekejap Lasi merasa kembali berada pada masa lalunya sendiri. Lasi merasakan sepenuhnya kepedihan hati istri seorang penyadap yang remuk ketika tungku tak lagi berapi karena tak ada lagi pohon kelapa yang disadap.
Lasi duduk di samping Sipah, madunya, yang terus menangis. Tak ada sepatah kata segera bisa diucapkannya. Namun tangan Lasi bergerak membuka dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang yang masih baru.
“Berikan uang ini kepada Kang Darsa. Uang itu cukup untuk makan kalian selama setahun bila kalian gunakan untuk menyewa pohon kelapa. Sudah, jangan terus menangis.”
Anehnya, Lasi sendiri malah menangis lagi. Keluar, menggamit pipi bayi yang sedang dibopong Sipah, lalu pergi. Kanjat menyusul karena ia pun merasa tak bisa berbuat apa-apa untuk Darsa. Kanjat bahkan bisa merasakan sebuah ironi lagi yang tak kalah pekat; Darsa yang telah memberikan sumber penghidupannya demi kawat listrik, mustahil kelak dapat menjadi pelanggan.
Dalam perjalanan pulang, Lasi dan Kanjat membisu. Dari kejauhan mereka masih mendengar suara chain saw yang terus merobohkan pohon-pohon kelapa. Tetapi mereka sudah mendengar kicau burung. Juga riang-riang. Ketika keduanya memasuki lorong yang menembus bayangan pepohonan, sepasang burung ekor kipas melintas berkejaran. Kanjat dan Lasi masih diam. Dan keduanya merasa tak bisa menghindar dari kenangan masa kanak-kanak ketika mereka berkejaran melintas jalan yang sedang mereka susuri. Lasi teringat, dulu, Kanjat selalu merapatkan diri pada tubuhnya ketika berdua giliran bersembunyi dalam permainan kucing-kucingan. Kanjat pun merasa dalam kenangan yang sama; Kanjat masih bisa merasakan bau rambut Lasi. Hening.
“Jat, aku akan kembali ke Jakarta besok atau lusa. Kamu ikut, ya?” tanya Lasi.
Kanjat menegakkan kepala, lalu menelan ludah. Ia tidak siap menerima pertanyaan Lasi karena hatinya masih melayang ke rumah Darsa.
“Terinna kasih, Las. Sekarang aku pegawai negeri. Tak mudah bagiku pergi sekehendak hati.”
“Jat?” suara Lasi terdengar dalam.
“Apa?”
Lasi kelihatan ragu.
“Aku masih menyimpan fotomu. Kamu?”
Kanjat tergagap lagi. Pikirannya masih sukar dibawa pergi dari rumah Darsa. Gagap, karena Kanjat memang masih menyimpan foto Lasi dengan kimono merah itu. Entahlah, Kanjat merasa tak mampu menyingkirkan foto itu, misalkan dengan cara mengembalikannya kepada Lasi.
“Masih?” ulang Lasi karena melihat Kanjat membisu.
Kanjat tersenyum dan mengangguk. Lasi tertawa. Senyum itu, lesung pipi itu. Dan kekuatan pesona mata itu. Kanjat menoleh ke samping karena tak ingin hatinya lebih lama terguncang-guncang.
Kanjat dan Lasi berjalan perlahan sepanjang lorong setapak kemudian berhenti di bawah kerindangan pepohonan. Ada seberkas cahaya menerobos dedaunan dan membuat latar putih pada sisi leher Lasi. Mereka saling pandang. Lasi seperti hendak menangis. Kanjat dan Lasi sama-sama canggung. Lalu keduanya sama-sama meneruskan perjalanan. Kecuali suara mesin gergaji dari kejauhan, selebihnya sepi. Mungkin karena banyak orang Karangsoga pergi menyaksikan penebangan pohon-pohon kelapa. Sinar matahari membuat bayang dedaunan bermain pada punggung mereka. Sepi. Keduanya merasa tak mudah membuka mulut. Sepi, sehingga terdengar jelas suara daun-daun kering yang pecah terinjak.
Setelah lewat punggung tanjakan, Kanjat minta izin mengambil jalan menyimpang. Lasi diam. Pada wajahnya terlihat keraguan. Kanjat melihat pada kedalaman mata Lasi masih tersimpan pesona yang membuat dadanya berdebar. Tetapi pada mata Lasi pula Kanjat melihat kenyataan lain: Lasi masih punya suami. Dan lebih dari kenyataan itu, dalam mata Lasi, Kanjat juga melihat Darsa, Sipah, dan Giman. Sorot mata bayi Darsa itu terasa mengepung jiwanya. Tatapan itu seperti menyindir-nyindir Kanjat yang gagal meringankan beban hidup para penyadap.
Berjalan seorang diri, Kanjat melangkah dengan wajah menatap tanah. Pikirannya terombang-ambing antara Lasi dan Darsa. Pengakuan Lasi bahwa kehidupannya terkurung dalam situasi yang tidak wajar, menggugah perhatian Kanjat yang sudah lama terpendam. Sesungguhnya, membiarkan Lasi menjadi ibu untuk sebuah rumah tangga yang baik, siapa pun yang menjadi suaminya, bagi Kanjat adalah keharusan. Tetapi membiarkan Lasi tetip berada dalam kemungkinan terbawa arus kehidupan yang tak senonoh mungkin merupakan kesalahan. Atau Kanjat harus berani jujur mengaku bahwa betapa juga Lasi adalah harapan dan cita-cita yang tetap hidup dalam jiwanya. Apabila ada peluang untuk mencapai jalan yang sah dan terhormat, memperistri Lasi akan menjadi pertimbangan pertama Kanjat.
Pada pihak lain, Darsa adalah dunia para penyadap yang terus memanggil keterpihakan Kanjat. Sudah menjadi kesadaran yang mendalam di hati Kanjat bahwa para penyadap menyimpan piutang yang sangat besar pada orang-orang dari lapisan yang lebih makmur, termasuk Kanjat sendiri. Tetapi piutang itu agaknya tertelan oleh benalu, bahkan siluman struktural yang tak kasat mata. Piutang para penyadap itu menjadi uap yang terlupakan dan dianggap khayali. Maka sangat mungkin terasa ganjil ketika orang membincangkannya. Di mata Kanjat, piutang para penyadap adalah sesuatu yang sangat nyata, meski ia merasa gagal membayarnya kembali. Keringat para penyadap itu mungkin akan menjadi utang abadi baginya.

0 komentar: