Search

Jumat, 27 November 2009

Diposting oleh santri kuliah

Apa yang dimaksudkan dengan metode mendengar hadis ialah penjelasan tentang perkara-perkara yang ada dan disyaratkan kepada siapa yang mendengar hadis dari guru-guru dengan tujuan periwayatan dan penerimaan untuk selanjutnya diampaikan pula kepada orang lain. Contohnya seperti pensyaratan umur tertentu secara wajib atau umur yang disyaratkan
Maksud penerimaan hadis ialah penjelasan tentang cara-cara periwayatan hadis dan penerimaannya dari guru-guru. Maksud penjelasan tersebut ialah bagaimana murid mencatat riwayat yang diterimanya dengan cara yang dianggap pantas dan dan memenuhi syarat dalam penerimaan hadis.
Ulama hadis telah memberikan perhatian terhadap ilmu hadis ini dan mereka telah membuatkan kaedah, kriteria-kriteria dengan sangat teliti. Mereka juga membagi antara cara-cara penerimaan hadis dengan penyampaiannya kepada beberapa peringkat yang berbeda- beda. Usaha ini merupakan satu penegasan bahawa mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap periwayatan hadis-hadis Rasulullah s.a.w.

Cara-Cara Penerimaan Dan Lafadz-Lafadz Penyampaian Hadis
Terdapat delapan metode penerimaan hadis yaitu sama’ min lafz al-Guru (mendengar lafadz guru), qira`ah ‘ala al-Guru (membaca di hadapan guru), ijazah (izin) munawalah (menghulurkan riwayat), kitabah (memberikan tulisan), i’lam (memberitahu), wasiat (berwasiat) dan wijadah (mendapati).
Setiap metode ini akan dibincangkan dengan berurutan secara ringkas di samping huraian tentang lafadz-lafadz yang digunakan untuk menyampaikan riwayat.

Al-Sama’

Bentuknya: Seorang guru membaca dan murid mendengar, sama ada hafalan atau bukunya, atau murid mendengar sambil menulis atau mendengar saja.

Tingkatannya

Sama’ merupakan metode yang paling tinggi menurut mayoritas ulama`.

Lafadz-lafadz penyampaian
Sebelum tersebarnya lafadz yang khusus bagi setiap metode penerimaan riwayat, bagi murid harus mendengar lafadz guru untuk mengatakan lafadz itu ketika menyampaikan riwayat سمعت (saya telah mendengar), حدّثني (dia telah menceritakan kepada saya) أخبرني, أنبأني (dia telah memberitahu kepada saya) قال لي (dia telah berkata kepada saya) atau ذكر لي (dia telah menyebutkan kepada saya).
Setelah lafadz-lafadz dikhususkan untuk setiap metode maka lafadz-lafadz tersebut sebagaimana berikut:
1. Untuk sama’ سمعت atau حدّثني.
2. Untuk qir`ah (membaca) أخبرني.
3. Untuk ijazah أنبأني.
4. Untuk mendengar muzakarah hadis: قال لي berkata kepada saya ذكر لي.

Qira`ah ‘Ala Al-Guru (membaca di hadapan guru)
Mayoritas ulama hadis menamakannya dengan ‘ardh (pembentangan).

Bentuknya: murid membaca sedangkan guru mendengar sama apakah murid itu sendiri membaca atau murid lain yang membaca dan dia mendengar, sama apakah bacaan itu dari hafalan atau dari buku, sama ada guru memerhatikan pembaca itu dari ingatannya atau beliau memegang bukunya sendiri atau perawi tsiqah yang lain.

Hukum Periwayatan Dengan Metode Ini

Riwayat dengan metode ini sah tanpa ada khilaf dalam semua bentuk yang dinyatakan di atas kecuali ada pendapat yang dinukilkan dari sesetengah ulama` yang terlalu tegas dan pendapat mereka itu tidak perlu dipertentangkan

Tingkatannya
Pertentangan tentang kedudukannya:

1. Sama tingkatan dengan sama’. Pendapat ini diriwayatkan dari Malik, al-Bukhari dan kebanyakan ulama’ Hijaz dan Kufah.
2. Lebih rendah dari sama’. Ini diriwayatkan dari mayoritas ulama di sebelah timur dan inilah yang sahih.
3. Lebih tinggi dari sama’. Ini diriwayatkan dari Abu Hanifah, Ibn Abi Zi`b dan satu riwayat dari Malik.
[1] Sama’ muzakarah (mendengar dalam pembicaraan) tidak sama dengan sama’ tahdith (mendengar dalam bentuk penyampaian hadis) karena kedua itu guru dan murid telah membawa dari awal catatan hadis sebelum menghadiri majlis penyampaian hadis. Sementara dalam sama’ muzakarah, pembawaan seperti tidak ada.
[2] Maksudnya murid itu membaca hadis-hadis yang merupakan riwayat guru tersebut bukan dia membaca hadis yang disukainya karena qira`ah ‘ala al-guru ialah supaya beliau dapat mendengarnya dan menentukan ketepatannya.

Lafadz-lafadz Penyampaian
قرأتُ على فلان (saya membaca di hadapan fulan) atau قًرئ عليه وأنا أسمع فأقرّ به (dibacakan di hadapannya dalam keadaan saya mendengar dan dia menyampaikannya).

Harus dengan lafadz-lafadz sama’ tetapi disyaratkan ada lafadz qira`ah seperti َ حدّثنا قراءةَ عليه hadsana qira`atan ‘alaih (beliau membacakan kepada kami ).

Yang umum dipakai di kalangan ulama’ hadis ialah أخبرنا saja.

Ijazah
Definisi: memberi izin untuk meriwayatkan hadis secara lisan atau bertulis.

Bentuknya: Guru berkata kepada salah seorang muridnya: Saya mengizinkanmu meriwayatkan Sahih al-Bukhari dari saya.

Bagian-bagiannya
Ada beberapa kategori ijazah tetapi penulis hanya menyebutkan 5 saja darinya.

1. Guru memberi izin kepada orang tertentu untuk riwayat yang tertentu seperti dia mengatakan: Saya memberi ijazah kepadamu meriwayatkan Sahih al-Bukhari. Kategori ini adalah bagian ijazah tanpa munawalah yang paling tinggi.
2. Guru memberi ijazah kepada orang tertentu untuk menerima riwayat yang tidak tertentu seperti dia mengatakan: Saya memberi ijazah kepada anda untuk meriwayatkan hadis-hadis yang saya dengar.
3. Memberi ijazah kepada orang yang tidak tertentu dengan riwayat yang tidak tertentu seperti saya memberi ijazah kepada orang-orang di zaman saya untuk meriwayatkan hadis-hadis yang saya dengar.
4. Memberi ijazah kepada orang yang tidak diketahui atau riwayat yang tidak diketahui seperti saya memberi ijazah kepada anda untuk meriwayatkan kitab sunan, sedangkan dia meriwayatkan beberapa kitab sunan atau saya memberi ijazah kepada Muhammad bin Khalid al-Dimasyqi sedangkan terdapat banyak orang yang mempunyai nama ini.
5. Memberi ijazah kepada orang yang tidak ada contohnya saya memberi ijazah kepada si fulan dan anak yang akan dilahirkan atau kepada orang yang belum dilahirkan lagi
Hukumnya
Bagian yang pertama adalah sahih menurut pendapat mayoritas ulama dan dipakai secara berterusan serta harus meriwayatkan dengan cara ini dan beramal dengannya. Beberapa kumpulan ulama pula menganggap cara ini tidak tepat dan ini salah satu dari dua pendapat yang dinukilkan dari Imam al-Syafi’i.
Sementara bagian-bagian ijazah yang lain, khilaf tentang keharusannya pemakaiannya. Bagaimanapun, penerimaan dan periwayatan hadis dengan cara ini (ijazah) merupakan penerimaan dengan yang lemah dan belum pantas untuk langsung menerimanya.
Lafadz-lafadz Penyampaian
1. Yang paling baik dengan mengatakan: أجاز لي فلان(si fulan telah mengijazahkan kepada saya).
2. Diharuskan dengan lafadz sama’ yang mempunyai ketenntuan seperti حدّثنا إجازة beliau telah menceritakan kepada kami secara ijazah atau أخبرنا إجازة dia telah menkabarkan kepada kami secara ijazah.
3. Istilah ulama muta`akhkhirin: Lafadz أنبأنا(menyampaikan kepada kami) dan ini dipilih oleh pengarang kitab al-Wijadah.

Al-Munawalah
Bagian-bagiannya
1. Munawalah dengan ijazah. Ini merupakan bentuk ijazah yang tingkatannya paling tinggi secara mutlak. Gambarannya ialah guru menyerahkan kepada murid kitabnya dan berkata kepadanya: Ini diriwayat kepadaku dari si fulan maka riwayatkanlah dariku kemudian beliau memberi kepada murid itu atau meminjamkannya untuk penyalinan.
2. Munawalah tanpa ijazah. Gambarannya ialah guru menyerahkan kitabnya kepada murid dengan hanya mengucapkan ini adalah riwayat yang saya dengar.
Hukum

1. Meriwayatkan dengan cara Menuwalah berijazah dan ini merupakan peringkat periwayatan yang lebih rendah dari sama’ dan qira`ah ‘ala al-Guru.
2. Tidak meriwayatkan secara Munwalah tanpa ada ijazah. Ini adalah pendapat yang sahih.

Lafadz-lafadz penyampaian

1. Yang lebih baik ialah perawi berkata si fulan telah menghulurkan kepada saya atau menghulurkan dan memberi ijazah kepada saya. Ini sekiranya munawalah itu secara ijazah.
2. Diharuskan dengan lafadz sama’ dan qira`ah yang disebutkan munawalah seperti حدثنا مناولة (meriwayatkan kepada kami secara munawalah) atau أخبرنا مناولة وإجازة (memberitahu kepada kami secara munawalah dan ijazah).

Kitabah (Penulisan)
Seikh menulis sendiri hadis-hadis yang didengarinya kepada hadirin atau orang tidak hadir dengan tulisannya sendiri atau menyuruh orang lain menulis.
Bagian-bagian
Kitabah terbagi menjadi dua:
1. Disertaidengan ijazah seperti أجزتك ما كتبتُ لك أو إليك (saya memberi ijazah kepada anda apa yang saya tulis kepada mu) dan sebagainya.
2. Tanpa disertai dengan ijazah seperti ditulis untuk si fulan beberapa hadis dan dikirimkan kepadanya tanpa disertakan ijazah.
Hukum

1. Kitabah dengan ijazah: periwayatannya adalah sah atau diterima dan sama kuat dengan munawalah berserta dengan ijazah.
2. Kitabah tanpa ijazah: sebagian ulama menolaknya sementara yang lain mengharuskannya. Pendapat yang sahih di sisi ulama hadis ialah harus dengan cara ini karena ia menunjukkan kepada makna ijazah.

Apakah disyaratkan bukti untuk kesahihan tulisan?

1. Sebagian ulama mensyaratkan bukti kepada tulisan dengan membawa satu tulisan menyerupai tulisan yang lain. Ini adalah pendapat yang lemah.
2. Sebagian pula mengatakan cukup bagi orang yang menerima tulisan itu mengetahui siapa penulisnya karena tulisan seseorang berbeda dengan tulisan orang lain. Inilah pendapat yang sahih.
Lafadz-lafadz Periwayatan

1. Dengan menjelaskan sebutan kitabah, seperti kata-kata: كتب إليّ فلان “Si fulan telah menulis kepada saya.
2. Menyebutkan lafadz sama’ dan qira`at dengan disertakan lafadz kitabah, seperti حدثني فلان أو أخبرني كتابة (si fulan menceritakan atau memberitahu saya kepada secara penulisan).

Al-I’lam (Pemberitahuan)

Bentuknya: Seorang guru memberitahu kepada murid bahawa hadis ini atau kitab ini adalah riwayat yang didengarnya.
Hukum periwayatan
Ulama berbeda pendapat tentang metode ini:
1. : ini pendapat kebanyakan ulama hadis, fuqaha` dan ulama usul.
2. Tidak harus: Ini pendapat ramai dari kalangan ulama hadis dan lain-lain. Inilah yang sahih karena guru memberitahu bahawa hadis itu adalah apa yang diriwayatkannya tetapi tidak harus meriwayatkannya karena terdapat kecacatan padanya. Namun, sekiranya guru memberi ijazah untuk meriwayatkannya maka hukumnya harus.
Lafadz penyampaian

Perawi berkata: أعلمني شيخي بكذا (guru saya telah memberitahu kepada saya).


Wasiat

Seorang guru mewasiatkan salah satu kitab yang diriwayatkannya pada saat kematiannya atau pengembaraannya kepada seseorang.
Hukum Periwayatan Dengan Cara Wasiat

1. Harus: Ini pendapat sebagian salaf, bagaimanapun ini tidak tepat karena guru itu mewasiatkan kitab bukan mewasiatkan supaya meriwayatkannya.
2. Tidak harus, inilah yang sahih
Lafadz-lafadz Penyampaian

Guru berkata: أوصى إليّ فلان بكذا أو حدثني فلان وصية “Si fulan mewasiatkan kepada saya seprti ini atau si fulan telah menceritakan kepada saya secara wasiat.

Wijadah

Wijadah dengan wawu berbaris bawah, kata dasar kepada wajada. Masdar ini merupakan bina’ baru yang tidak pernah digunakan oleh orang-orang ‘Arab.
Bentuknya:
Murid mendapati beberapa hadis dengan tulisan guru yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut dan dia mengenali guru itu. Tetapi murid itu tidak mendengar hadis dari guru dan tidak juga mendapat ijazah.

Hukum Periwayatan
Periwayatan secara wijadah adalah termasuk dalam hadis munqati’ tetapi dari satu segi ia adalah secara bersambung-sambung.
Lafadz-lafadz penyampaian
Orang yang menyampaikan hadis itu berkata: وجدت بخط فلان أو قرأت بخط فلان كذا (saya mendapati tulisan si fulan atau saya membaca tulisan si fulan”, kemudian dia menyebutkan sanad dan matan.

0 komentar: